ASAL MUASAL ORANG SAKAI


AINIL HAYATI / A / SR

            Suku sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup dipedalaman Riau. Orang sakai hidup dalam wilayah kabupaten Bengkalis, paling banyak di kec. Mandau, Kec. Bukit Batu (sebelum daratan Riau berkembang). Karena adanya pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dan eksplorasi minyak yang dilakukan oleh Caltex, orang sakai terpencar-pencar didaerah pedesaan yang terpencil yang pada umumnya terletak ditepi-tepi hulu sungai atau ditepi-tep mata air dan rawa-rawa.
            Menurut Moszkowski (1908) dan kemudian juga dikutip oleh Loeb (1935), orang sakai adalah orang Veddoid yang bercampur dengan orang-orang minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, ditepi sungai Gasib yang terletak di hulu sungai Rokan. Kemudian Gasib menjadi sebuah kerajaan dan kerajaan Gasib ini dihancurkan oleh kerajaan Aceh dan warga dari kerajaan Gasib melarikan diri ke hutan-hutan disekitar daerah sugai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak. Mereka inilah nenek moyang dari orang sakai.         
            Sedangkan menurut keterangan dari Bapak Boechari Hasny (1970) yangmemperoleh keterangan mengenai asal muasal orang sakai yang didapatnya dari orang tua sakai dan juga menurut keterangan dari Bapak Saepel, mantan batin Beringin sakai yang diwawancara penulis, orang-orang sakai ini berasal dari Pagarruyung, Batusangkar dan Mentawai. Uraian mengenai asal muasal orang sakai terdapat dalam sejarah perbatinan lima dan perbatinan delapan. Berikut ini penjelasannya.
1.      Perbatinan lima
Negeri pagarruyung dahulu sangat padat penduduknya. Jadi, rajanya berusaha untuk mencari wilayah baru yang akan dijadikan sebagai pemukiman untuk menampung penduduknya. Wilayah yang dipilih oleh Raja adalah wilayah-wilayah disebelah timur Pagarruyung, karena tampaknya masih kosong tidak penduduknya dan hanya ada hutan belantara. Raja mengutus sebuah rombongan yang terdiri 190 orang yang terdiri atas 189 orang janda dan 1 orang hulubalang/prajurit laki-laki sebagai kepalanya untuk berangkat ke arah timur. Mereka menembus hutan dan akhirnya sampai ditepi sungai biduando, yang artinya sungai dari rombongan 189 janda yang dipimpin oleh seorang kepala rombongan (bidu: kepala rombongan dan ando : janda). Nama Biduando kemudian diubvah menjadi Mandau.
Setelah rombongan itu tinggal beberapa lama di tepi sungai Mandau, dan mereka pun menyimpulkan bahwa wilayah iru layak dihuni dan dijadikan pemukiman dan rombongan itu kembali ke Pagarruyung dan melaporkan berita itu ke Raja. Lalu raja mengirim kembali rombongan untuk meneylidiki wilayah yang disebutkan oleh rombongan pertama. Rombongan kedua ini terdiri dari 3 orang hulubalang, yaitu : Sutan Janggut, Sutan Ahrimau, Sutan Rimbo. Rombongan ini mengikuti jejak rombongan sebelumnya dan perjalanan yang mereka lalui sangatlah lama. Mereka membawa makanan dan bibit tanaman serta peralatan-peralatn lain yang dibutuhkan. Setelah beberapa tahun dalam perjalanan, mereka tidak sampai ke Mandau (tempat yang ditemukan oleh rombongan pertama). Tetapi, mereka malah sampai di kerajaan Kunto Bessalam (kunto darussalam dan mereka, menyerahkan diri kepada Raja Kunto Bessalam. Setelah tinggal beberapa lama dikerajaan Kunto Bessalam, mereka bertiga pun diangkat menjadi hulubalang dikerajaan tersebut.
Raja Kunto mempunyai keinginan untuk menjadikan negerinya menjadi sebuah kerajaan yang besar, tetapi jumlah penduduknya sedikit hanya terdiri dari25 keluarga dan 10 orang hulubalang. Maka diputuskanlah untuk mencari tambaahn penduduk dengan cara mendatangkan kira-kira 100 orang penduduk baru. Menurut keterangan, penduduk di Mentawai sangatlah banyak, jadi Raja memerintahkan untuk mencari tambahan penduduk disana. Raja mengutus Sutan janggut, Sutan Harimau, dan Sutan Rimbo untuk pergi ke Mentawai untuk menghadap kepala kampung Mentawai untuk meminta tambahan penduduk yang mereka butuhkan dengan cara menyerahkan emas, perak, dan intan kepada kepala kampung mentawai itu. Penduduk yang berjumlah 100 orang ini, dijadikan budak dan juga sebagai penduduk Kerajaan Kunto Bessalam dengan kewajiban bekerja sebagai rodi bersama dengan penduduk asli yang berjumlah 25 keluarga untuk membangun Kerajaan Kunto Bessalam. Yang dibangun adalah istana, benteng-benteng, jalan dan saluran-saluran air.
10 tahun kemudian, kerajaan ini menjadi besar dan Raja Kunto mengalihkan kegiatan pembangunan ke kerajaan rokan kanan/kiri yang berkerabat dan bersahabat dengan nya,dengan mengirim 50 keluarga yang dipimpin oleh sutan junggut dan rimbo untuk bekerja disana. Sebelum pembangunan dilaksanakan dengan baik, Sutan Janggut dan Sutan Rimbo bersama 5 keluarga kabur dari kerajaan rokan kanan/kiri karena rajanya sangat kejam. Tapi sisanya masih tetap melakukan pembangunan, hingga 10 tahun kemudian kerajaan rokan kanan/kiri menjadi kerajaan besar. Keluarga yang ditinggalkan oleh rombongan yang kabur, mereka tetap tinggal dan menjadi penduduk kota rokan kanan/kiri dan sebagiannya lagi tinggal di desa sintung dan desa-desa lainnya yangt berdekatan dengan rokan kanan/kiri.
Rombongan yang lari dibawa pimpinan sutan janggut dan sutan rimbo berjalan kearah mandau. Selama mengembara,mereka sampai ditepi sungai syam-syam, di hulu sungai mandau.mereka terus berjalan kehulu sungai dan tiba diwilayah yang dialiri 7 anak sungai. Dalam wilayah tersebut terdapat bekas-bekas pemukiman yang menurut mereka adalah bekas dari rombongan 190 orang. Setelah tinggal beberapa lama disana mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan sampai dihulu sungai Penoso. Mereka tinggal untuk sementara dihulu sungai dan disini Sutan rimbo meninggal dunia. Rombongan ni masih melanjutkan perjalanannya ke Mandau dan secara diam-diam Sutan janggut pergi meninggalkan rombongan. Rombongan itu masih terus berjalan dan tiba di desa Mandau dab menyerahkan diri kepada Kepala desa / penghulu Mandau yang bernama Takim.
Setelah beberapa tahun tinggal di Mandau, rombongan yang terdiri 5 keluarga ini memohon unutk diberi tanah untuk mereka menetap dan hidup. Penghulu memberi mereka hak alayat atas tanah yang diminta, yang berada didaerah sekitar minas, hulu sungai penaso, hulu sungai beringin, sungai belutu dan sngai ebon di Tengganau. Rombongan ini kemudian beranak pinak dimasing-masing wilayah tempat hidup mereka. Masing-masing tempat pemukiman tersebut dinamakn  perbatinan (dukuh) yang dipimpin oleh seorang kepala perbatinan/batin. Jumlah penduduk masing-masing perbatinan terus bertambah dan juga karena adanya usaha penyeragaman administrasi yang dilakukan oleh pemerintahan kerajaan Siak dalam usaha untuk memudahkan penarikan pajak, maka masing-masing perbatinan tersebut dijadikan kepenghuluan/desa dan dikepalai oleh seorang kades. Desa-desa orang sakai yang tergolong dalam perbatinan 5 tersebut adalah desa minas, penaso, beringinsaka dan desa tengganau.
2.      Perbatinan delapan
Setelah lamanya dari kebangkitan rombongan terakhir meninggalkan pagarruyung, kerajaan ini menjadi padat lagi penduduknya. Mencari nafkah sangatlah susah. Secara diam-diam, tanpa meminta izin kepada Raja, sebuah rombongan yang terdiri atas 15 orang ( 12 orang perempuan, suami-istri dan 1 orang hulubalang yang menjadi pemimpinnya yang bernama batin sangkar) meninggalkan Pagarruyung pada malam hari dengan tujuan menemukan tempat tinggal baru.
Setelah lama dalam perjalanan, akhirnya mereka sampai kehulu sungai Syam-syam di Mandau. Mereka berkeliling sampai kedaerah yang dialiri oleh 7 anak sungai. Disana mereka membuat ladang, rumah, dan menempa besi untuk membuat peralatan. beberapa waktu kemudian, istri dari keluarga anggota rombongan hamil. Si istri mengidam agar suaminya mencarikannya bayi rusa jantan yang masih dalam kandungan, tapi suami mendengar bayi pelanduk/kancil jantan dalam kandungan. Dan suaminya pun tidak pernah menemukannyadan ia pun berjanji tidak akan pulang sebelum mendapatkan apa yang ia cari.
Rombongan 12 perempuan dan 1 hulubalang pergi meninggalkan si istri, karena istri tetap setia menunggu suaminya pulang. Istri itu pun melahirkan anak laki-laki, ketika anaknya sudah besar, ia kembali kePagarruyung dan minta ampun pada Raja. Lalu raja mengirimkan lagi serombongan yang terdiri dari seorang laki-laki dan keluarga untuk menyusul rombongan yang dipimpin oleh Batin Sangkar.
Rombongan yang dipimpin Batin Sangkar sampai didaerah Petani. Setelah menetap didaerah ini beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memutuskan untuk memecah rombongannya menjadi 8 dan tinggal di delapan pemukiman yang saling berdekatan, yaitu Petani, Sebanga/duri Km 13, Air Jamban duri, Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balaimakan. Setelah 8 pemukiman ini terbentuk, secara kebetulan datang rombongan terakhir yang dikirim oleh Raja dari Pagarruyung, kemudian Batin Snagkar membagi rata penempatan rombongan itu di delapan pemukiman. Salah seorang rombongan bernama Barembun. Barembun ini cerdas, oleh karena itu Batin Sangkar mengangkat Barembun sebagai pembantu. Barembun disuruh oleh Batin Sangkar untuk menghadap Raja Siak, dengan tujuan untuk meminta izin kepada Raja Siak agar dapat dijadikan rakyat di kerajaan Siak Indrapura dan diberi pengesahan atas hak pemukiman serta menggunakan hutan yang ada diwilayahnya. Oleh Raja Siak permintaan ini dikabulkan, dan 8 pemukiman tersebut disahkan menjadi 8 perbatinan/dukuh dengan kepalanya seorang batin (kepala dukuh) dan diterima sebagia bagian dari kekuasaan kerajaan Siak. Kedelapan perbatinan tersebut disebut dengan perbatinan delapan, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1.      Perbatinan induk-pucuk, meliputi: Petani, Air Jamban duri, Pinggir dan Semunai
2.      Perbatinan anak, meliputi: Sebanga/Duri Km 13, Balaimakan, Kandis, dan Syam-syam.
Daftar Pustaka
Suparlan, Supardi. 1995. Orang Sakai di Riau:Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Surgaditelapakibu.blogspot.com/2011/05/orang-sakai-di0riau.html?=1

No comments:

Post a Comment