PERLAWANAN KESULTANAN BANTEN TERHADAP VOC

AHMAD SUHARLAN 

 

Latar Belakang Belanda Datang Ke Banten

Bangsa Eropa datang ke wilayah Nusantara pada awalnya memiliki tujuan untuk mencari rempah-rempah dan berdagang. Hal tersebut yang dilakukan oleh Portugis, sebagai bangsa Eropa pertama yang datang ke wilayah Nusantara dengan motif ekonomi, petualangan, dan agama. Kedatangan bangsa Eropa ke Nusanta juga dilatarbelakangi oleh jatuhnya kota Konstantinopel sebagai pusat perdagangan rempah-rempah ke tangan Turki Usmani pada tahun 1453. Seiring dengan hal tersebut, pekembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti perkapalan, navigasi, dan kompas di Eropa turut memicu adanya penjelajahan samudra sampai ke wilayah Nusantara.

Begitu juga halnya dengan Belanda. Pada abad ke 15, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Belanda hanya sebatas pada perdagangan garam, anggur, dan tekstil serta mendistribusikan rempah-rempah dari Asia ke pelabuhan Lisabon, pelabuhan baru setelah jatuhnya konstantinopel. Namun, pecahnya perang antara Belanda dengan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan perang 80 tahun menyebabkan pelabuhan Lisabon jatuh ke tangan Spanyol pada tahun 1580 sehingga perdagangan dan distribusi barang yang dilakukan oleh Belanda menjadi terhambat bahkan akhirnya terhenti.

Dengan jatuhnya Lisabon ke tangan Spanyol, maka Belanda berinisiatif untuk medatangi langsung sumber rempah-rempah. Untuk mewujudkan hal tersebut, Belanda mengumpulkan para ahli ilmu bumi, antara lain Plancius dan Mercantor. Pada saat yang sama, terbit buku karya Jan Huygen van Linscoten berjudul Itineratio yang berisi tentang Hindia (Indonesia) berikut kekuasaan Portugis di Hindia (Indonesia) tersebut. Buku ini yang kemudian menginspirasi Cornelius de Houtman dan Pieter de Keyser untuk melakukan pelayaran ke Nusantara. Pada tanggal 2 April 1595, berangkatlah 4 buah kapal dari pangkalan Tessel di Belanda Utara dan sampai di Banten pada tanggal 23 Juni 1596.

Saat Belanda tiba di Banten, saat itu kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Belanda kemudian menjadi tertarik dengan Banten karena     Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara pada abad ke 16. Dengan adanya lada, para pedagang baik dari Cina, Arab, maupun bangsa Eropa tertarik untuk berdagang di Banten. Saat Belanda pertama kali mendarat di Banten  dengan 3 kapal dan 89 awak kapal dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, mereka terkagum-kagum dengan pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat ini. Cornelis de Houtman memperkirakan Banten memiliki luas yang mungkin sama dengan Amsterdam. Dengan potensi yang ada pada Banten, maka VOC yang kemudian mewadahi kongsi dagang Belanda hendak menguasai Banten dan memonopoli perdagangan secara keseluruhan. Hal tersebut sangat ditentang oleh sultan yang berkuasa saat itu, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa.

Asal Usul VOC (Verenigde Oost Indishe Compagnie)

VOC merupakan singkatan dari Verenigde Oost Indische Compagnie. Awalnya VOC adalah gabungan umum dariGenerale Verenigde Geoctroyeerde Oost Indische Compagnie (Persatuan Umum Persekutuan Dagang Hindia Belanda). VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 di Amsterdam, setelah diadakannya perundingan yang lama dan sulit antara Staten Generaal (Dewan Perwakilan). Dalam perundingan tersebut turut dihadiri oleh pengacara Belanda yang terkenal, yaitu Johan van Oldenbarneveldt, para pengurus perusahaan dagang Holland dan Zeeland, yang telah dibentuk antara tahun 1596 – 1602 untuk berdagang di Hindia Timur. Sebelum VOC berdiri dengan rentang tahun antara 1598 – 1602, Belanda telah memiliki 65 kapal dari jumlah sebelumnya yaitu 22 kapal yang mengangkut hasil bumi dari Nusantara terutama rempah-rempah, baik milik perseorangan maupun milik perserikatan dagang.

Dengan banyaknya perserikatan dagang, terjadilah persaingan diantara para pedagang Belanda yang mengakibatkan harga rempah-rempah di pasaran Eropa menjadi jatuh. Oleh sebab itu, didirikan VOC dengan tujuan untuk mewadahi para pedagang, menghindarkan para pedagang dari persaingan yang tidak sehat, dan melindungi para pedagang dari intervensi pedagang lain seperti pedagang Portugis, Arab, Cina, dan Inggris. VOC memiliki hak istimewa yang disebut dengan hak oktroi. Hak tersebut mengindikasikan bahwa VOC memiliki kewenangan dan kekuasaan yang sama seperti halnya sebuah negara. Hak istimewa tersebut antara lain:

1.    Hak mengadakan perjanjian dengan negara lain tanpa melalui persetujuan Raja/Ratu Belanda.

2.    Hak membuat dan mengedarkan uang sendiri.

3.    Hak menyusun dan memiliki angkatan laut serta angkatan darat sendiri yang dapat bertindak tanpa harus tunduk kepada kerajaan Belanda.

4.    Hak menyatakan perang dengan negara atau kerajaan lain tanpa harus meminta persetujuan dengan Raja/Ratu Belanda.

Kepentingan-kepentingan yang menaungi VOC diwakili oleh sistem majelis untuk masing-masing dari enam wilayah yang memiliki direktur berjumlah 17 orang yang disebut dengan Heeren XVII. Mereka berasal dari Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, Delft, dan Middleburg (Zeeland). Penetapan anggota Heeren XVII  didasari atas ketentuan, yaitu 8 orang dari Amsterdam, 4 orang dari Middleburg (Zeeland), dan sisanya berasal dari Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, dan Delft dengan jumlah masing-masing satu orang.  Untuk anggota yang ketujuh belas ditentukan oleh Zeeland. Heeren XVII mengadakan pertemuan dua kali dalam satu tahun, yaitu pada musim semi dan musim gugur.

Kondisi, Posisi, dan Kedudukan Banten

Kondisi geografis Banten pada awal abad ke 16 dilukiskan oleh Couto, yaitu Banten terletak di pertengahan teluk yang memiliki lebar sekitar 3 mil dan panjang sekitar 850 depa serta dari tepi laut memiliki panjang sekitar 400 depa. Untuk melindungi kota Banten, terdapat sebuah benteng yang dinding setebal tujuh telapak tangan laki-laki terbuat dari bata dan pada bagian pertahanannya terbuat dari kayu setinggi dua tingkat dengan dilengkapi oleh persenjataan yang baik. Pusat kota terletak pada lapangan raja (alun-alun) yang disebut paseban dengan masjid dan pasar disekitarnya. Jalan-jalan dibuat secara simetris, membentuk palang silang yang sempurna. Banten memiliki luas sekitar 10.000 km2, wilayah yang tidak lebih luas dari sebuah kabupaten yang besar di Perancis. Wilayah Banten membentang dari Tangerang sampai Tulang Bawang dan dari Pelabuhan ratu sampai Silebar dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 sampai 100.000 orang pada penghujung abad  ke16.

Belanda menggambarkan bahwa Banten memiliki luas hampir sama dengan Amsterdam kuno. Selain itu, Belanda menggambarkan bahwa Banten terletak pada dataran kosong di kaki perbukitan. Untuk sampai ke Banten, diperlukan jarak tempuh sekitar 25 mil antara Jawa dan Sumatra. Pada kedua sisi kota mengalir sungai, dimana salah satu dari sungai itu mengalir melewati kota.

Saat itu, Banten sudah berkembang sebagai kota pelabuhan yang ramai, dimana terdapat para pedagang Cina, Arab, Portugis, dan Inggris selain dari pedagang Belanda dan pribumi. Komunikasi antara pedagang pribumi dan pedagang asing dengan menggunakan lingua frangka. Dapat dikatakan bahwa Banten merupakan salah satu pelabuhan besar di Nusantara. Dengan ditunjang oleh potensi alam berupa beras dan komoditi unggulan rempah-rempah berupa lada, Banten sangat maju dalam hal ekonomi seperti pada kota-kota dagang pada umumnya.

            Dalam hal politik, Banten dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa mampu menjaga stabilitas politik. Hubungan kerajaan Banten dengan kerajaan lain di Pulau Jawa, seperti kerajaan Mataram dan Cirebon terjalin dengan baik. Hubungan antara Banten dengan kerajaan lain di Pulau Jawa tidak sejalan dengan hubungan antara Banten dengan Belanda. Berkali-kali Sultan Ageng Tirtayasa menentang Belanda, terutama VOC. Hubungan antara Banten dengan Mataram yang pada awalnya sering mengalami ketegangan karena Mataram hendak menjadikan Banten sebagai daerah bawahannya mulai menjadi kurang baik lagi ketika Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC. Hal tersebut sama seperti ketika Cirebon bekerjasama dengan VOC pada 1681. Pada akhirnya hubungan baik antara Banten dan kerajaan-kerajaan lain terganggu dengan kehadiran VOC.

Penyebab Perlawanan Banten Terhadap VOC

Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang membuat para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara geografis, Banten terletak di ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang merupakan bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang dekat dengan selat Sunda menjadikan Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara setelah Portugis mengambilalih Malaka pada tahun 1511.

Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri, dimana Banten adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras dengan dibukanya lahan pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan letak geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat pertemuan. Letak Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara menyulitkan Heeren XVII untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perdagangan. Dengan pertimbangan tersebut, Banten dipilih sebagai Rendez-vous, yaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Banten.

Perlu diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651 sampai dengan 1682, VOC dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653 sampai 1678.  Menurut Nicolaus de Graaff, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC terlama dengan kedudukan selama seperempat abad. Pada masa pemerintahan Maetsuyker inilah VOC mengalami masa keemasannya.

Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC adalah dengan memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor perekonomian Bnaten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh Belanda. Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh Belanda sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktivitas perdagangan dan kegiatan perekonomi terganggu. Menyikapi hal tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC. Akan tetapi, VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya memperbaharui perjanjian tahun 1645, akan tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

Awal Perlawanan dan Kronologis Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap VOC Tahun 1651-1682

Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah mendapat gelar Sultan Abdulfath Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa setelah sebelumnya Banten diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan anak dari Sultan Abul Ma'ali Ahmad.

Sultan Ageng Tirtayasa selama memerintah kesultanan Banten sangat menentang segala bentuk penjajahan asing atas daerah kekuasaannya, termasuk kehadiran VOC yang hendak menguasai Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Oleh sebab itu, VOC yang berusaha melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten dengan menyerang kapal-kapal yang hendak berdagang di Banten mendapatkan perlawanan dari pasukan Banten.

Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan perusakan terhadap segala instalasi milik VOC di wilayah kekuasaan kesultanan Banten. Dengan tindakan perlawanan demikian, Sultan Ageng Tirtayasamengharapkan agar VOC segera meninggalkan Banten. Tangerang dan Angke dijadikan sebagai garis terdepan pertahanan dalam menghadapi VOC. Pasukan Banten menyerang Batavia pada 1652 juga dimulai dari Tangerang dan Angke.

Untuk meredakan perlawanan tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua kali pada tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah-hadiah yang menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten pada tahun 1656 untuk melakukan gerilya besar-besaran dengan mengadakan pengerusakan terhadap kebun-kebun tebu, pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli, dan pembunuhan terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan dilakukan pada malam hari. Selain itu, pasukan Banten juga merusak kapal-kapal milik Belanda yang berada di pelabuhan Benten, sehingga untuk memasuki Banten, diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal kapal-kapal tersebut.

Saat perlawanan sering terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali mengadakan hubungan kerjasama dengan kesultanan lain, seperti kesultanan Cirebon dan Mataram serta dengan Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark. Hal ini dilakukan agar Banten dapat memperkuat kedudukan dan kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark inilah Banten mendapatkan banyak bantuan berupa senjata api. Sultan Ageng Tirtayasa pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang dikuasai oleh kesultanan Banten, yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan pasukan Surosowan.

Menghadapi kenyataan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan kekuatan dengan menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis karena serdadu Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu pribumi inilah yang melawan pasukan Banten, sedangkan  serdadu Belanda lebih banyak berada dibelakang serdadu pribumi tersebut.

Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya persiapan VOC dalam menghadap Banten karena sedang berperang dengan Makasar membuat VOC pada sekitar bulan November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata. Pertempuran antara Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah pihak. Gencatan senjatapun baru dapat dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 29 April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang berisi sepuluh pasal. Diantara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal perubahan. Namun, hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan kembali terjadi.

Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng Tirtayasa bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten dengan VOC sehingga jalan satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan Ageng Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke VOC pada tanggal 11 Mei 1658. Menurut Djajadiningrat (1983:71) dan Tjandrasasmita (1967:12-16), pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara terus menerus mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.

Pada dasarnya, perlawanan Banten terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk melakukan gencatan senjata dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC. Lurah Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi balas dendam dan perlawanan dari Banten (Djajadiningrat, 1983:73).

Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus terhadap VOC membuat kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia. Akhirnya VOC mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak perjanjan gencatan senjata, maka VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi perjanjian tersebut. Maka sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana. Pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian gencatan senjata antara Banten dan VOC.

Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan Denmark, dengan tujuan memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat blokade yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan Banten kembali dibuka. Berbagai cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Banten berkembang dengan pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral Ryklop van Goens sebagai pengganti Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda tertanggal 31 Januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan Banten (Tjandrasasmita, 1967:35).

Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1683)

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji (Pangeran Gusti) dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.

Sultan Ageng merupakan musuh VOC yang tangguh. Pihak VOC ingin mendapatkan monopoli lada di Banten. Pada tahun 1656 pecah perang. Banten menyerang daerah-daerah Batavia dan kapal-kapal VOC, sedangkan VOC memblokade pelabuhan. Pada tahun 1659 tercapai suatu penyelesaian damai. VOC mencari siasat memecah belah dengan memanfaatkan konflik internal dalam keluarga Kerajaan Banten.Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya yang bergelar Sultan Haji (1682 – 1687) sebagai raja di Banten. Sultan Ageng dan Sultan Haji berlainan sifatnya. Sultan Ageng bersifat sangat keras dan anti-VOC sedang Sultan Haji lemah dan tunduk pada VOC. Maka ketika Sultan Haji menjalin hubungan dengan VOC, Sultan Ageng menentang dan langsung menurunkan Sultan Haji dari tahtanya. Namun, Sultan Haji menolak untuk turun dari tahta kerajaan. Untuk mendapatkan tahtanya kembali, Sultan Haji meminta bantuan pada VOC. Pada tanggal 27 Februari 1682 pasukan Sultan Ageng menyerbu Istana Surosowan di mana Sultan Haji bersemayam. Namun mengalami kegagalan karena persenjataan Sultan Haji yang dibantu VOC lebih lengkap. Tahun 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap, dan Sultan Haji kembali menduduki tahta Banten. Meskipun Sultan Ageng telah ditangkap, perlawanan terus berlanjut di bawah pimpinan Ratu Bagus Boang dan Kyai Tapa.

Usaha Rayat Banten Merebut Kembali Jayakarta dari Tangan Kompeni Belanda

Peristiwa yang mempercepat meletusnya peperangan ketika terbunuhnya Lurah Astrasusila. Lurah Astrasusila yaitu salah seorang ponggawa Banten yang kena marah Sultan karena peristiwa pagarage di Sumur Angsana. Untuk menebus dosanya ini beliau ingin ikut berperang dan mati syahid di sana.

Suatu hari seusai shalat Maghrib, belia dengan diam-diam berlayar dengan sebuah kunting menuju ke timur ke Tanjung Kahit. Ia berusaha mencegat kapal Belanda yag biasanya lewat dari Tong Jawa atau Batavia. Ditengah perjalanan melihat subuah selup  Kompeni. Dengan dua orang temannya Lurah Astrasusila berpura-pura sebagai penjual kelapa yang dengan mudah dapat ditawan dan dinaikkan ke selup tersebut. Tapi di atas selup, Lurah Astrasusila dan kedua temannya mengamuk sehingga banyak serdadu Belanda yang dibunuhnya. Tapi akhirnya tiga orang itupun gugur pula.

Mendengar hal tersebut, maka Sultan merasa terharu atas pengorbanan ponggawnya dan beliaupun marah dengan terbunuhnya Lurah Astrasusila itu. Disiapkannya pasukan Banten dan sejak itulah bendera perang mulai dikibarkan.

Angkatan Laut :

1.    Armada laut yang menuju perairan Karawang, dipimpin oleh Pangeran Tumenggung Wirajurit.

2.    Armada laut yang berkedudukan di dekat pelabuhan Untung Jawa dipimpin oleh Aria Surata.

3.    Armada laut yang berkedudukan di dekat pelabuhan Tanahara di pimpin oleh Pangeran Ratu BagusSingandaru.

4.    Armada laut yang berkedudukan di dekat perairan Pelabuhan Ratu dipimpin oleh Tumenggung Saranubaya.

Penempatan Infantri :

1.    Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Wirasaba dan Ngabehi Purwakarti dikirim ke Caringin untuk menjaga musuh yang masuk dari arah selatan.

2.    Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Tanujiwa, ditugaskan sebagai pasukan penghubung antara garis depan Angke dan Tanggerang dengan kota Surosowan.

3.    Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Tanuita ditempatkan di kota Surosowan sebagai penjaga Ibu Kota Kesultanan.

4.    Pasukan yang dipimpin oleh Raden Senapati Ing Ngalaga (Panglima Perang) dan Rangga Wirapatra ditugaskan menjadi pasukan penyerang dan menjadi pasukan induk dengan kekuatan 5000 prajurit pilihan.

Pasukan Meriam :

Pada hari yang sudah ditentukan yaitu pada hari Senin tahun Kadi ula pandawa iku atau tahun 1657/58 Masehi, berangkatlah pasukan perang Belanda tu ke pos penyerangannya masing-masing seperti yang sudah diintruksikan. Pada hari ini pemberangkatan itu Sultan menyuruh membagi-bagikan hadiah berupa uang dan pakaian sebagai tanda kenang-kenangan dan tanda penguat tekad untuk prajuritnya maupun untuk keluarga yang ditinggal.

Setelah perjalanan selama depan hari, barulah pasukan itu sampai di Tangerang. Dibuatnya barak-barak tentara di Tangerang dan Angke sebagai pusat pertahanan dan basis penyerangan. Mereka bergabung dengan pasukan yang sudah ada disana.

Di Batavia, mendengar keberangkatan pasukan Banten yang kemudian di tempatkan di Tangerang dan Angke ini, sibuklah mereka. Dipersiapkannya pasukan-pasukan yang dibagi menutur asal daerahnya masing-masing. Setelah satu hari perjalanan sampailah mereka di Angke berhadapan dengan pasukan Banten.

Tujuh hari tujuh malam mereka berhadap-hadapan tanpa salah satunya mendahului menyerbu. Barulah seltelah Raden Senapati Ing Ngalaga memberi aba-aba bahwa hari ini akan diadakan penyerangan, bersiap-siaplah semuanya. Pagi-pagi sekali tanda untuk itu dibunyikan, penyerbuan akan segera dimulai.

Raden Senapati Ing Ngalaga berkeliling naik kuda sambil menantang musuh. Pemimpin kedua Ki Rangga Wirapatra berjalan memohon perlindungan Allah untuk menghancurkan orang kafir penindas, berangkatlah pasukan ke medan laga. Sepanjang hari [ertempuran berlangsung hebat tanpa henti-hentinya. Tidak dapat dipastikan siapa yang paling hebat. Baru setelah senja hari, pertempuran itu mulai reda. Kedua belah pihak menarik diri dari garis perang dan kembali ke kubunya masing-masing.

Selama tiga hari tidak terjadi pertempuran. Masing-masing pihak beristirahat sambil mengatur taktik penyerangan selanjutnya. Raden Senapati Ing Ngalaga memanggil para ponngawa untuk merundingkan taktik perangdan instruksi lainnya. Diusulkan supaya diadakan penyerangan dengan formasi perang burung dadali (format penyerangan menyebar), karena musuh memakai formasi papak (saf tempur bundar disatukan).

Keesokan harinya setekah tanda penyerangan di abakan mulailah mereka menjalankan tugasnya masing-masing. Ngabehi Wira Angun-angun dan Prayakarti dengan serdadu pilihan secara diam-diam membakar kampung-kampung, tanaman tebu dan pabrik penggilingan tebu serta melakukan penghancuran segala tempat yang nanti mungkin menjadi sarang musuh. Sedangkan Raden Senapari Ing Ngalaga dengan 500 tentara pilihan menuju kearah Timur dengan tujuan menyerang musuh dari belakang. Adapun prajurit lainnya dipimpin oleh ponggawa dan senapati yang gagah beranai menyerang dari depan. Formasi penyerangan diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap prajurit berperang tanding satu lawan satu. Paasukan yang dipimpin Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa banyak menimbulkan kerugian jiwa dipihak kompeni. Banyak pemimpin mereka yang dapat dibinasakan diantaranya : Kapitan Drasti, Kapitan Prancis, Kapitan Terus, dan Kapitan Darus.

Pertempuran pada hari itu berlangsung begitu hebat, sehingga banyak mengambil korban dari kedua pihak. Baru setelah senja tiba, pertempuran dihentikan. Keesokan harinya Raden Senapati memanggil Prayakarti untuk menyampaikan berita tentang keadaan medan perang sambil menyerahkan barang-barang rampasan perang kepada Sultan di Surosowan. Maka dengan 40 orang pengawal berangkatlah Prayaarti ke Ibu Kota Banten. Pembaca surat dari Raden Senapati itu terlihatlah wajah Sultan mencerminkan perasaan gembira bercapur sedih dan gemas. Sultan sangat mengharapkan kehancuran Kompeni secepatnya.  Kemudian Sultan berdiri dan memberikan maklumat : "barang siapa yang dapat menyerahkan satu kepala Kompeni Belanda akan diberi hadiah 10 real dan barang siapa yang dapat mnyerahkan satu telinga Belanda akan diberi hadiah 5 real." (Djajadiningrat, 1983:73-75). Kepada Prayakarti atas jasa-jasanya, Sultan menjanjikan hadiah sebuah desa dan sebuah lampik dengan kotak. Demikian juga ke 40 pengawalnya, merekanpun mendapat hadiah dari Sultan.

Dalam pada itu di lautpun telah terjadi pertempuran hebat. Diceritakan Ratu Bagus Wangsakusuma sedang melakukan patroli diperairan dekat Pontang. Dilihatnya sebuah kapal besar milik Kompeni diselat Pulo Pamujan yang sedang menurunkan sebuah selup penuh berisi senjata menuju ke pantai. Ratu Bagus Wangsakusuma dan pasukannya bersemnbunyi di belakang Pulau Dua dan kemudian menyerang kapal itu. Terjadilah pertempuran di laut yang akhirnya semua serdadu Kompeni dapat dibinasakan dan senjatanya dapat di rampas. Berita inipun disampaikannya kepada Sultan berikut dengan senjata rampasannya.

Ponggawa lainnya, Sarantaka dan Sacantaka bersama dua Pacalang dapat menghancurkan sebuah kapal Kompeni di Tanjung Balukbuk. Pangeran Ratu Bagus Singandaru dapat menghancurkan sebuah kapal Jung besar milik Kompeni yang baru datang dari Malaka di dekat Tanjung Barangbang. Demikian juga dengan pasukan Ki Haji Abbas, mereka dapat mengalahkan kapal Kompeni di dekat perairan Gosong Gugang. Berita kemenangan ini beserta barang rampasannya diserahkan kepada Sultan.

Diperairan yang jauhpun armada-armada Banten ini mencatat kemenangan yang menggembirakan. Pasukan yang dipimpin oleh Rangga Natajiwa, Surantaka dan Wiraprana dapat menghancurkan armada Kompeni di Krawang yang mengangkut pasukan dari Jawa Timur. Sedangkan di perairan Pelabuhan Ratu, pasukan Saranurbaya dapat menghancurkan kapal Kompeni walaupun Saranurbaya sendiri luka parah yang lima hari kemudian meninggal dunia.

Disamping daerah-daerah yang disebutkan di atas, di perairan Teluk Banten Kota Surosowan pun terjadi pertempuran seru. Diceritakan, pada suatu hari datanglah 11 kapal pasukan Kompeni di dekat perairan Pelabuhan Banten. Kapal-kapal itu menyusun dirinya dalam suatu barisan dari Pulau Lima di Timur sampai ke Pulau Dua. Maka disiapkannya barisan meriam yang kesemuanya diarahkan dikapal-kapal itu. Terjadilah tembak-menembak yang seru dari kedua pasukan. Dari kapal Kompeni di tembakkan ke arah benteng pertahanan Banten, demikian juga pasukan Banten membalasnya. (djajadiningrat, 1983 : 75-76).

Dari beberapa meriam Banten banyak yang tepat menemui sasaran. Si Jaka Pekik, si Muntab dan si Kalantaka selalu tepat mengenai sasaran kapal-kapal Kompeni itu. Karena tembakan-tembakan meriam inilah maka akhirnya armada penyerang melarikan diri  dan kemblali ke Batavia dengan meninggalkan kapal-kapal yang rusak dan tenggelam. Demikianlah pertempuran di darat dan di laut terus-menerus berlangsung sampai 17 bulan lamanya.

Pada suatu malam yang sunyi tapi tegang itu Arya Mangunjaya datang menghadap Sultan tanpa melalui prosedur biasa. Arya Mangunjaya adalah salah satu ponggawa yang memimpin pasukan perang di fron Tangerang-Angke. Semalam suntuk Sultan mendengarkan laporan Arya Mangunjaya tentang keadaan medan perang. Dilaporkan bahwa keadaan prajurit dan pongawa-ponggawanya masih dalam kondisi baik dan mereka siap untuk bertempur. Tapi perlu diperhatikan, bahwa mereka sudah lebih satu tahun berperang tanpa henti. Oleh karenanya alangkah lebih baik apabila Sultan mengganti mereka dengan pasukan yang masih segar. Setelah Sultan berunding dengan pembesar lainnya, diperintahkannya Mangkubumi untuk menyiapkan pasukan pengganti.

Keesokan harinya Mangkubumi Pangeran Mandura menyiapkan prajuit-prajurit Banten untuk di berangkatkan ke Tangerang dan Angke. Dan sebagai panglima perang diangkatlah Arya Mangunjaya dengan wakilnya Arya Wiratmaja. Sedangkan Pangeran Senapati dipanggil pulang ke Surosowan bersama seluruh pasukannya.

Pada tahun Mantri Kunjaga Tataning Jurit atau pada tahun 1581 saka/1659 Masehi, berangkatlah pasukan pengganti itu ke Angke dan Tangerang. Bersama pasukan itu ikut pula Sayyid Ali utusan dari Mekkah untuk menggantikan Ki Haji Wangsaraja yang bertugas untuk memelihara keyakinan agama prajurit. Kedatangan pasukan pengganti ini diketahui oleh Kompeni Belanda. Dan untuk mengimbangi kekuatan, dikirimnya lagi pasukan tambahan dari Batavia.

Pada hari berikutnya setelah kedua pasukan saling berhadapan, di tentukanlah hari penyerangan. Mula-mula diadakan perang tanding antara pmpinan kedua pasukan. Arya Mangunjaya ditantang oleh seorang kapten. Sayyid Ali ingin ikut dalam pertempuran itu, tapi kudanya ditahan orang karena tugasnya bukan untuk itu. Prayakarti ketika hendak memenggal kepala kapten musuh yang sudah dibinuhnya, tiba-tiba dibokong oleh empat orang musuh sehingga gugur. Barulah setelah itu perang besar antara kedua pasukan dimulai. Pertempuran ini berjalan sampai senja hari. Pada keesokan harinya Arya Mangunjaya memerintahkan beberapa orang prajurit untuk pergi ke Surosowan melaporkan jalannya perang. Bersama rombongan ini disertakan pula prajurit-prajurit yang terluka, tawanan perang dan juga harta rampasan.

Beberapa hari setelah itu tidak terjadi pertempuran. Baru kemudian pertempuran dilkaukuan dalam selang waktu tertentu. Banyak dari mereka yang gugur dan terluka. Prajurit yang terluka segera di kirimkan ke Surosowan. Tapi banyak diantara mereka yang meninggal diperjalanan karena luka yang parah.

Demikian juga dengan pihak Kompeni. Karena penyerangan pasukan Banten dilakukan terus-menerus dan tanpa mengenal takut, akhrnya kedudukan Kompeni semakin terdesak sampai mendekati atas kota Batavia. Banyak penduduk dan pejabat Kompeni yang mengungsi ke daerah lain. Mereka khawatir kalau-kalau pasukan Banten dapat menembus benteng pertahanan kota, sedangkan bantuan tidak mungkin diharapkan. Karena pada waktu itu Kompeni sedang sibuk berperang dengan Makassar. Sebab itulah Kompeni berusaha mengadakan perdamaian dengan Sultan Abdulfattah di Surosowan. Usul tersebut ditolaknya mentah-mentah.

Utnuk melunakkan hati Sultan, Kompeni minta tolong kepada Sultan Jambi untuk mengatur adanya perjanjian persahabatan. Sultan Jambi mengirimkan utusannya Kiyai Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana ke Surosowan. Akhirnya pada tanggal 10 Juni 1659, ditandatanganinya perjanjian antara Sultan 'Abulfath Abdulfattah dengan Gubernur Jenderal Joan Matsuiyker. Dengan ditandatanganinya perjanjian genjatan senjata ini, maka berakhirlah untuk sementara perang besar antara Banten dan Batavia.

Dengan diadakannya perjanjian tanggal 10 Juni 1659 itu, Sultan berkesempatan untuk membenahi diri sebagai persiapan menghadapi Kompeni. Untuk tujuan itulah mulai diadakan pembangunan-pembangunan dalam segala bidang yang pada waktu sebelumnya tertund karena perang.

Untuk mencukupi kebutuhan senjata api dan senjata berat lainya, maka Sultan mengadakan hubungan dengan Negara lain yang bersedia menjualnya. Pada masa itu sedang terjadi persaingan keras antara pedagang dari Inggris, Portugis dengan Kompeni Belanda. Oleh karenanya pedagang Inggris, Portugis dan Perancis bersedia menjual senjata-senjata yang dperlukan Banten. Disamping itu hubungan Banten dengan kerajaan Islam di Turki berjalan baik. Sehingga orang-orang Banten yang pergi haji, pulangnya dapat membawa senjata-senjata yang dibelinya dari Negara itu.

Selain senjata-senjata yng di beli dari luar negeri, Sultan pun memerintahkan supaya Banten dapat membuatnya sendiri. Hal ini terbukti dari hasil penggalaian di Situs kampong Sukadiri dan Kepandean. Di sana ditemukan seperangkat alat-alat pengecoran logam dan juga wadah pencetak senjata. (mundardjito, 1977:546).

Itulah sebabnya mengapa Banen mampu mengirimkan meriam dan senjata api lainnya lengkap dengan peluru dan mesinnya beberapa kapal kepada pasukan Trunojoyo di Jawa Timur. (sanusipane, 1950:212).

Demikian juga dengan pengadaan kapal perang. Kapal-kapal ini dipesan dari beberapa daerah di Jawa seperti Jepara dan lainnya. Sedangkan kapal-kapal perang besar dibuat di galangan Banten sendiri dengan bantuan orng-orang portugis dan Belanda yang sudah Islam.

Untuk memperkuat angkatn perangnya, Sultan juga mengangkat prajurit-prajurit muda yang lesemuanya dilatih untuk menhadapi medan perang yang berat. Mereka dipersiapkan untuk menempati pos terdepan di Tangerang dan Angke. Karena memang pada tahun 1660 Sultan memerintahkan membuat perkampungan prajurit di sebalah Barat Untung Jawa yang diperkirakan mampu menampung 5000-6000 prajurit.

Selain di Tangerang, Sultan juga membuat perkampungan prajurit pilihan di Tirtayasa. Bahkan akhirnya Sultan menyuruh membuat Istana yang nantinya digunakan sebagai pusat pengontrol kegiatan di Tangerang dan Batavia di samping unttuk tempat peristirahatan. Maka dengan demikian Tirtayasa di jadikan penghubung antara Surosowan dengan benteng pertahanan di Tangerang. Dengan demikan juga jalur komunikasi dari medan perang akan lebih singkat.

Disamping jalan darat yang sudah ada, juga dibuatlah jalan laut yang menghubungkan Surosowan-Tirtayasa-Tangerang. Maka dibuatlah saluran tembus dari pontang-Tanahara-Sungai Untung Jawa menyusuri jalan darat-melalau sungai Cikande sampai ke pantai Pasilian. Saluran ini dibuat cukup lebar sehingga bisa dilayari kapal perang ukuran sedang.

Proyek pembuatan saluran ini dimulai pada tahun 1660 dan selesai sekitar tahun 1678. melalui sungai buatan ini Sultan dapat segera mengirimkan bantuan ke Tangerang baik dari pos tirtayasa maupun dari surosowan. Sungai buatan yang pasti dikerjakan dengan kemauan dan biaya raksasa ini rupanya bukan saja berfungsi militen tetapi juga untuk pertanian. Dengan dibuatnya saluran tembus itu, dibuat pula sawah-sawah disekitarnya. Maka tumbuhlah daaerah sekitar pontang dan tirtayasa menjadi daerah penghasil padi yang dapat diandalkan untuk daerah banten.

Rupanya inilah yang dituju oleh Sultan yaitu mempersiapkan daerah strategis untuk pos pembantu penyerangan keBatavia. Di samping juga menjadi daerah kantong atau penyedia bahan makanan untuk perajurit di medan perang.

Selain di Tirtayasa Sultan pun  menyempurnakan dan memperbaiki keadaan di Ibukota kerajaan. Dengan bantuan bebrapa ahli bangunan dari Portugis dan Belanda yang sudah masuk Islam di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel diperbaikilah bangnan-bangunan istana Surosowan. Benteng istana diperkuat dan diberi bastion di setiap mata angin dan dilengkapi dengan 66 buah meriam yang diarahkan ke segenap penjuru.

Demikian juga dengan sungai di sekeliling benteng. Irigasi di sekitar Ibukota pun diperbaiki dan diperluas daya jangkauannya sehingga area sawah yang mendapat pengairan semakin luas. Daerah yang tadinya  selalu kekurangan air menjadi subur.

Munculnya Kembali Perlawanan Banten dan Politik Adu Domba VOC

Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut untukmempersulit kedudukan Banten. Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan kerjasama dengan kesultanan Cirebon dan kesultanan Mataram. Puncaknya adalah ketika Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada di bawah kekuasaan VOC pada tahun 1681. Dengan Mataram dan Cirebon dibawah kendali VOC, maka posisi Banten semakin terjepit karena Mataram dan Cirebon merupakan kesultanan yang memiliki hubungan baik dengan Banten.

Posisi tersebut makin sulit dengan terjadinya perpecahan di dalam kesultanan Banten sendiri.Putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Pangeran Gusti dan Pangeran Arya Purbaya mendapatkan kekuasaan, masing-masing untuk mengurusi kedaulatan ke dalam kesultanan. Sementara kedaulatan keluar kesultanan masih dikendalikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Pemisahan kekuasaan ini diketahui oleh wakil Belanda di Banten, yaitu W. Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Pangeran Gusti untuk mencurigai ayahnya dan saudaranya sendiri.

Pada saat itu, Pangeran Gusti pergi ke Mekkah dengan meninggalkan kekuasaannya untuk sementara waktu dan kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada adiknya yaitu Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya Pangeran Gusti yang bergelar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji dari Mekah, kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran Purbaya semakin meluas sehingga membuat Sultan Haji iri. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-domba antara Sultan Haji dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan adiknya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Konflik ini dimanfaatkan oleh VOC untuk memadamkan dan memperlemah kekuatan Banten.

Akhir Perlawanan Banten Terhadap VOC

Rasa iri dan kekhawatiran Sultan Haji akan kekuasaannya melahirkan persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. VOC bersedia membantu Sultan Haji dengan mengajukan empat syarat, yaitu menyerahkan Cirebon kepada VOC, monopoli lada dikendalikan oleh VOC, membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan menarik pasukan Banten yang berada di daerah pesisir pantai dan pedalaman Priangan. Syarat tersebut dipenuhi oleh Sultan haji. Pada tanggal 27 Februari 1682, pecahlah perang antara Sultan Haji dengan dibantu VOC melawan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah akhir dari kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di kesultanan Banten.

Namun, pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga berhasil mengepung VOC bersama dengan Sultan Haji. VOC segera memberikan perlindungan kepada Sultan Haji dibawah pimpinan Jacob de Roy. Bersama dengan Kapten Sloot dan W. Caeff, Sultan Haji mepertahankan loji tempatnya berlindung. Kekuatan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa membuat  bantuan dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk mengadakan perjanjian baru dengan VOC yaitu memberikan hak monopoli VOC di Banten. Setelah perjanjian tersebut, tanggal 7 April 1682, datanglah bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Francois Tack dan De Sant Martin, dibantu oleh Jonker, tokoh yang memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pasukan ini berhasil membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.

Setelah itu, pemberontakan terus terjadi meskipun VOC telah beberapa kali meminta Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerah. Untuk menyelesaikan perlawanan tersebut, Sultan Haji mengutus 52 orang keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil dibujuk, Sultan Haji dan VOC menerapkan tipu muslihat dengan mengepung iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa menuju ke istana Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya Purbaya berhasil lolos. Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai meninggal pada tahun 1692. Sultan Haji sendiri akhirnya naik tahta dengan restu VOC, memerintah dari tahun 1682 sampai dengan 1687. Pada tanggal 17 April 1684, ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi 10 pasal. Perjanjian inilah yang menandai berakhirnya kekuasaan kesultanan Banten, dan dimulainya monopoli VOC atas Banten. Dengan demikian berakhirlah perlawanan Sultan Ageng Tirtayasasetelah dikhianati oleh anaknya sendiri.

 

DAFTAR PUSTAKA

1.    Guillot, Claude,Banten Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008.

2.    Notosusanto, Nugroho,Sejarah Nasional Indonesia jilid III, Balai Pustaka, Jakarta, 2010.

3.    Djajadiningrat, Hoesein,Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1983.

4.    http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/88/Banten-Perlawanan

5.    http://dindaputribalqie.blogspot.co.id/2013/01/perlawanan-rakyat-banten-terhadap-voc_1020.html

No comments:

Post a Comment