Perkawinan Adat Sakai Badongkang


Zurryati Syahputri / PBM
 
1.      Asal usul
Umur Saat Menikah Masyarakat Sakai yang menikah pada umur 19 tahun mendominasi, yaitu ada 127 jiwa (24,8 %). Pada umur seperti itu masyarakat Sakai biasanya baru menamatkan pendidikan SMA nya dan setelah itu langsung melangsungkan perkawinan. Setiap kebudayaan memiliki tata caranya masing-masing dalam menyelenggarakan sebuah tradisi perkawinan, tidak terkecuali suku Sakai di Riau. Dalam kebudayaan Sakai, setiap orang diperbolehkan menikahi siapa saja kecuali dengan anggota keluarganya. Yang dimaksud dengan anggota keluarga di sini adalah ibu, ibu angkat, ibu tiri, bapak, bapak angkat, bapak tiri, saudara sekandung, anak, dan saudara sepupu (Suparlan, 1995: 177).

Uniknya, perkawinan yang terjadi di masyarakat Sakai biasanya hanya dilakukan oleh seorang perjaka dengan seorang gadis dan seorang duda dengan seorang janda. Jarang ditemukan perkawinan antara seorang laki-laki beristri dengan perempuan lain alias poligami. Meskipun masyarakat Sakai secara tegas tidak melarang praktek poligami, namun sangat jarang di antara mereka yang mempraktekkannya. Alasan di balik keputusan tersebut semata-mata didasarkan atas pertimbangan praktis, yaitu menghindari pembiayaan hidup yang mahal karena menanggung kehidupan lebih dari satu istri (Suparlan, 1993:18-19).

Perkawinan dalam masyarakat Sakai biasanya didahului oleh sebuah hubungan personal yang dekat dan mendalam. Hubungan ini lahir dari interaksi sosial yang intensif di antara keduanya, yang biasanya terjalin melalui kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang melibatkan keduanya. Namun, hubungan ini selalu melibatkan pran kedua orang tua, terutama dalam konteks pengawasan dan kontrol agar hubungan tersebut tidak berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya hamil di luar nikah. Pengawasan yang ketat biasanya berasal dari pihak orang tua dan keluarga besar si gadis. Bahkan, masyarakat pun turut serta mengontrol hubungan tersebut, karena secara adat hubungan seks di luar nikah juga merupakan sebuah larangan (Suparlan, 1995:178).
Ketika kedua belah pihak merasa hubungan antara si perjaka dan si gadis sudah nampak semakin serius dan mendalam, maka biasanya orang tua si perjaka menyuruh anaknya untuk segera melamar si gadis. Jika lamaran tersebut diterima, maka kedua orang tua sepakat mencari hari yang tepat untuk melangsungkan upacar perkawinan tersebut. Biasanya upacara perkawinan diselenggarakan setelah satu bulan hingga dua bulan semenjak prosesi lamaran
. 2. Bahan-bahan Disini akan dibedakan bahan-bahan yang dibutuhkan saat prosesi lamaran dan saat upacara perkawinan berlangsung. Bahan-bahan tersebut merupakan pemberian dari pihak calon mempelai laki-laki untuk calon mempelai perempuan (Ibid:179-181).
 a. Bahan untuk melamar Terdapat perbedaan antara masyarakat Sakai dahulu dan sekarang dalam mempersiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk keperluan lamaran. Pada zaman dulu, bahan-bahan yang dibutuhkan meliputi :
1. Sirih pinang selengkapnya
 2. Kain dan baju sepersalinan
3. Gelang dan cincin yang terbuat dari perak
4. Sebuah mata uang riyal yang terbuat dari perak
5. Sebuah beling
6. Sebuah mata tombak
            Sementara bahan-bahan yang biasanya diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan pada masa sekarang ini meliputi :
1. Ranjang yang terbuat dari besi yang dilengkapi dengan kasur, seprai, bantal guling, serta kelambu
2. Gelang dan cincin yang terbuat dari perak
3. Radio atau tape recorder Beliung, tombak, dan mata uang riyal, tidak menjadi keharusan dalam prosesi lamaran saat ini.
Beliung bagi orang Sakai saat ini sudah dianggap sebagai abarang biasa dan mudah dibeli di pasar. Mata tombak juga dianggap tidak bernilai tinggi karena pada masa sekarang fungsinya tidak sepenting pada masa dulu sebagai alat pertahanan diri dari serangan hewan-hewan buas. Sedangkan uang riyal sudah sulit ditemukan pada saat ini.
b. Bahan-bahan untuk upacara perkawinan Barang-barang yang diberikan oleh keluarga mempelai laki-laki adalah seperangkat mas kawin yang terdiri dari :
1. Sebuah mata uang riyal (jika dalam lamaran pemberian mata uang ini tidak bersifat wajib maka untuk keperluan mas kawin sifatnya wajib)
 2. Baju sepersalinan lengkap
3. Sepotong pakaian untuk dipakai sehari-hari
4. Sebuah cincin dan gelang yang terbuat dari perak
5. Sejumlah uang (sudah dalam satuan rupiah) tergantung kesepakatan.
3. Tempat pelaksanaan Upacara perkawinan diselenggarakan di rumah "batin".
4. Tata laksana Menurut Suparlan (1995:179-183) bahwa perkawinan pada masyarakat Sakai dapat dikatakan sah ketika memenuhi tahapan-tahapan sebagai berikut :
 a. Prosesi lamaran Dalam adat masyarakat Sakai, pihak yang menyerahkan barang-barang lamaran bukanlah orang tua atau anggota keluarga besar pihak laki-laki, melainkan seorang batin, perempuan tua yang dipercayai oleh orang tua pihak laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga. Sebelum barang-barang lamaran diserahkan oleh batin, dia terlebih dahulu memberikan daun sirih pinang sebagai simbol pinangan. Setelah pinangan diterima, barang-barang lamaran tersebut kemudian diserahkan kepada keluarga si gadis, yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan hari yang tepat untuk melangsungkan perkawinan.
b. Penyerahan mas kawin Penyerahan mas kawin merupakan tahap paling awal dari upacara perkawinan. Persis sebelum upacara perkawinan disahkan, batin selaku wakil dari keluarga laki-laki menyerahkan barang-barang yang dikelompokkan sebagai mas kawin. Penyerahan mas kawin dilakukan di rumah batin tempat dilangsungkan upacara perkawinan.
 c. Upacara pengesahan perkawinan Upacar pengesahan perkawinan dilakukan di rumah batin setelah penyelesaian penyerahan mas kawin oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Upacara didahului dengan dibuatnya gambar orang-orangan, seorang laki-laki dan seorang perempuan di tiang rumah si batin dengan menggunakan kapur sirih. Setelah batin menyelesaikan gambarnya, dia kemudian bertanya kepada mempelai laki-laki dan mempelai perempuan apakah telah bersedia dan siap untuk dikawinkan. Setelah kedua mempelai menyatakan kesedian dan kesiapannya, selanjutnya batin bertanya kepada mereka yang hadir untuk bersedia sebagai saksi perkawinan. Setelah para saksi menyatakan sah perkawinan tersebut, maka kedua mempelai secara resmi dinyatakan sebagai sepasang suami-istri denagn segala hak-hak dan kewajibannya. Suami adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menafkahi istri dan anaknya kelak, sementara istri bertanggung jawab terhadap pekerjaan sehari-hari rumah tangga dan mengurus anak
(Suparlan, 1993:25).
Selain itu, perkawinan adat juga dapat disalahartikan sebagai perkawinan di bawah tangan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga unsur-unsur penting dalam perkawinan dikhawatirkan akan hilang, seperti :
 1. Perkawinan itu harus diumumkan (diketahui halayak ramai, termasuk petugas pencatatan sipil), maksudnya agar orang-orang mengetahui bahwa antara A dengan B telah terikat sebagai suami-istri yang sah. Sehingga orang lain dilarang untuk melamar A atau B, tetapi dalam perkawinan di bawah tangan ada potensi untuk menyembunyikan kepada orang lain.
 2. Adanya perlindungan hak untuk wanita. Dalam perkawinan di bawah tangan pihak wanita banyak dirugikan hak-haknya karena kalau terjadi perceraian pihak wanita tidak mendapatkan apa-apa dari mantan suaminya.
3. Untuk kemaslahatan manusia, dalam perkawinan di bawah tangan lebih banyak madlaratnya dari pada maslahatnya, seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan dibawah tangan lebih tidak terurus, sulit untuk bersekolah atau untuk mencari pekerjaan karena orang tuanya tidak mempunyai surat nikah dan seandainya ayahnya meninggal dunia atau cerai, anak yang lahir dari perkawinan dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menuntut harta warisan dari ayahnya.
(Abdullah, 1991 : 187-188).
d. Pesta perkawinan Setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka kemudian ditabuhkan kendang secara bertalu-talu yang menandai bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai. Pesta perkawinan dapat berlangsung selama tiga hari tiga malam yang diisi dengan acara makan-makan,minum-minuman, dan berjudi dengan dihibur oleh tari-tarian.
5. doa-doa dan mantera Dalam proses pengumpulan data.

6. nilai-nilai Dalam tradisi perkawinan masyarakat Sakai terkandung nilai-nilai sebagai berikut
1. Nilai prokreasi, artinya lembaga perkawinan merupakan sarana yang paling tepat dan sah untuk melakukan aktivitas prokreasi bagi lahirnya generasi-generasi baru.
2. Nilai kepatutan, artinya untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, maka syarat utama yang harus dipenuhi keduanya adalah kemampuan untuk saling mengenal dan memahami satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, masyarakat Sakai memberikan peluang kepada calon pengantin untuk mengenal terlebih dahulu secara mendalam satu sama lain agar kelak tidak muncul perasaan menyesal setelah menikah. Meskipun perceraian dalam adat masyarakat Sakai itu tidak dilarang, namun sangat sedikit di antara mereka yang melakukannya karena mereka menganggap bahwa hal itu sebenarnya dapat diantisipasi ketika sepasang kekasih masih dalam tahap perkenalan (Ibid :185-186).
 Dengan kata lain, masyarakat Sakai menganggap bahwa hanya hubungan yang serius dan mendalam saja yang akan berujung pada perkawinan, sementara hubungan yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak akan berujung pada perkawinan.
3. Nilai tanggung jawab, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan secara serius dan mendalam dituntut mampu mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah agar martabat dirinya dan keluarganya tetap terjaga. Setelah keduanya sudah menikah, suami-istri juga memerankan tanggung jawabnya masing-masing, suami bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga sementara istri bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehari-hari.




 DAFTAR PUSTAKA

 Abdullah, Abdul Gani. 1991. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama. Jakarta: PT. Intermasa.
 Suparlan, Parsudi. 1993. "Masyarakat Sakai di Riau" Dalam Masyarakat Terasing di Riau. Jakarta: Gramedia.
 Suparlan, Parsudi. 1995. "Orang Sakai di Riau" Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

No comments:

Post a Comment