PERJUANGAN RAKYAT CIREBON DALAM PERANG KEDONGDONG (1802-1818)

DUDY AKBAR / SI IV / 14A

 

Sejarah Perang Kedongdong

Sebuah pertempuran besar luput dari catatan sejarah nasional. Pertempuran tersebut terjadi di Kedongdong (1793-1808), tujuh belas tahun sebelum pecahnya perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan Perang Jawa.  Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan. Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Pergolakan melawan belanda bertambah hebat, Setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah kolonial Belanda. Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama rakyat untuk melakukan perlawanan.  Di bawah pimpinan sang pangeran, semangat rakyat semakin membara sehingga pemberontakan sengit terjadi di mana-mana. Pasukan Belanda pun semakin terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan ribuan nyawa prajuritnya, tapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk mendanai perang tersebut.

Dalam keadaan putus asa menghadapi perlawanan rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan pasukan, bahkan Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang berada di Malaka, untuk membantu mereka meredam perlawanan rakyat Cirebon. Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan Belanda, yang di dukung oleh kekuatan tentara Portugis di Pelabuhan Muara Jati, tidak membuat ciut perlawanan rakyat. Justru sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin menjadi. Salah satu perang besar sekaligus monumental ialah Perang Kedondong, terjadi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.

Setelah menjalani pertempuran cukup lama (1793-1808), akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi perlawanan rakyat secara frontal. Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan semangat perlawanan rakyat. Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar.  Dalam pemberontakan itu, melalui siasat licik Belanda, Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria, di Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di Keraton Kanoman.  Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai Perang Jawa.

"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro. Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.  Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Kota Cirebon.

Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.  Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.

Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.  Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon, Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang bergelar Pangeran Raja Madenda I.

Walaupun luput dari catatan sejarah nasional, Perang Kedongdong ternyata memiliki arti tersendiri bagi Belanda. Pertempuran yang memakan kerugian besar bagi Belanda, baik harta maupun nyawa. Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.  Perlawanan yang diberikan oleh Pangeran Suryanegara beserta rakyat Cirebon dalam Perang Kedongdong, dapat kita setarakan dengan sengitnya perlawanan yang di berikan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun Cut Nyak Dien. Karena itu sudah sepantasnya pertempuran tersebut dicatat dalam sejarah sebagai pertempuran yang bersifat nasional bukan hanya sekedar pertempuran masyarakat lokal.

Dalam salah satu catatan sejarah Kisah Heroik perjuangan Putra Keraton Kanoman, rakyat, santri, dan kiyai di wilayah Cirebon terjadi dalam rentang waktu 20 tahun (1753-1773), sementara dalam catatan yang lain terjadi dalam rentang waktu 16 tahun (1802-1818). Kerancuan yang terjadi akibat kurangnya perhatian pemerintah dalam menggali sejarah perjuangan rakyat dalam membela kemerdekaan mereka dari cengkraman penjajah. Perang Kedongdong nyaris tak dikenal oleh generasi muda masyarakat Cirebon dan sekitarnya, namun masih melekat dalam daya ingat para sesepuh dan ahli sejarah lokal.

Detik-Detik Terjadinya Perang Kedongdong

Sekitar akhir abad 18-an, kedua Putra Panembahan Sepuh Jaenuddin II, yang baru datang dari Pondok Pesantren itu merasakan ketidak nyamanan hidup dan tinggal di dalam Istana. Menurut mereka sekarang Keraton itu sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan kehidupannya dulu sewaktu mereka masih kecil dan tinggal di dalamnya. Hampir setiap hari sekarang selalu dipenuhi dan didominasi orang- orang bule atau inlander yang pro terhadap Pemerintah Kolonial Belanda.

Banyak Para Pinangeran yang tidak senang dengan aturan yang sekarang, dimana Kedudukan Sultan sebagai penguasa politik itu dihapus, Sultan hanya diberikan kedudukan sebagai pengelola kesenian dan adat istiadat yang berjalan selama ini. Sultan tidak mempunyai kewenangan apa-apa, bahkan sampai pengangkatan Pangeranpun praktis tidak bisa, semuanya diatur oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai gantinya Sultan mendapatkan subsidi atau gaji dan mendapatkan pensiun dari Pemerintah Kolonial Belanda.

Adanya aturan seperti itu praktis banyak para Pangeran yang tidak diperkenankan mendapatkan Gelar kebangsawanan dari Pemerintah Kolonial Belanda, dan Belanda mewajibkan para pinangeran yang tidak mendapatkan Besluit (SK) diharuskan menjadi Abdi Dalem yang ditugaskan Pemerintah dan Sultan untuk terjun ke masyarakat dalam rangka menangani masalah-masalah sosial, namun mereka tidak mendapatkan gaji dari Pemerintah. Termasuk diantara para pinangeran yang tidak mendapatkan SK itu adalah kedua putra Gusti Panembahan Sepuh Jaenuddin yakni Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus Surya kusuma Jayanegara atau Pangeran Aryajanegara (Gelar Pangeran itu pemberian langsung dari ayahandanya saat mereka usianya masih kecil-kecil).

Sekitar akhir abad 18-an kedua putra mahkota itu memilih pergi meninggalkan kehidupan Keraton untuk menemui seorang ulama sufi yang sudah masyhur di daerah Cirebon dan sekitarnya: Kiyai Abdul Mukhyi namanya yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Buyut Muji. Selang beberapa tahun kemudian mereka berdua dinikahkan dengan anak-anak gadisnya Ki Buyut Muji.

Pangeran Suryanegara dinikahkan dengan Nyai Layyinah, dan  kemudian menurunkan anak cucunya di daerah Mertasinga, sementara Pangeran Jayanegara dinikahkan dengan adiknya yaitu Nyai Jamaliyah, dan menurunkan anak cucunya yang kebanyakan tinggal di daerah Plered Cirebon, dan sebagian ada yang di Ciwaringin.

Pangeran Suryanegara pada saat belajar/nyantri dulu adalah ahli dalam bidang ilmu alat (Nahwu, Shorof, Manthiq, Balaghoh, Ma'ani, Bayan) atau ilmu yang dijadikan salah satu syarat berijtihad dalam menentukan hukum-hukum Islam, karena yang dapat menguasai ilmu tersebut sudah mampu untuk menafsiri Al-Quran dengan benar. Sementara Pangeran Jayanegara adalah ahli dalam bidang ilmu fiqih, sehingga beliau selalu berpesan kepada anak cucunya, harus menguasai ilmu fiqih, paling tidak salah satu kitab fiqih Taqrib namanya itu harus bisa dan menguasainya, agar wasiat eyang Gusti Sinuhun Kanjeng Sunan Gunung Jati "Ingsun Titip Tajug lan Faqir Miskin" itu bisa dilaksanakan dengan benar. Disamping itu juga Pangeran Jayanegara adalah seorang ahli dalam bidang penyusunan setrategi, sementara Pangeran Suryanegara ahli dalam membuat Natijah atau kesimpulan/keputusan. Klop sudah keahlian kedua putra Panembahan Sepuh itu untuk menyusun apa saja, hasilnya sangat bagus.

Keahlian kedua Pangeran itu rupanya didengar oleh kalangan Istana Keraton Kanoman. Begitu mendengar ada seseorang yang sangat piawai dalam hal menyusun setrategi dan masih dari kalangan Keraton yang pergi meninggalkan Istananya, maka oleh Putra Mahkota Keraton Kanoman yang sudah sangat tidak cocok dengan semua aturan yang ada, segera dimanfaatkan. Dengan membawa tekad yang bulat iapun pergi menemui kedua Pangeran itu, untuk membicarakan semua unek-uneknya.

Kehadiran Putra Mahkota ditempat kediaman Kedua Pangeran secara tiba-tiba itu sangat mengejutkan Kiyai Abdul Muhyi mertuanya. Namun sebagai ulama sufi Kiyai itu lebih baik diam dan menyimak saja pembicaraan mereka. Dalam pertemuan itu obrolan mereka sangat menarik, karena ketiganya sama-sama ahli dalam bidang Syari'at Islam dan sama-sama anti Kolonial Belanda yang telah menyusahkan Cirebon.

Kesimpulan obrolan dalam pertemuan tersebut antara lain:

Pertama: sepakat perlu diadakan perlawanan, dengan alasan untuk mengembalikan kedudukan Cirebon sebagai penguasa politik dan penentu kebijakan tradisi yang bersendikan syariat Islam.

Kedua: sepakat hal ini akan dikonsolidasikan dengan teman-teman nyantrinya dulu, seperti mbah Muqoyyim, Jamaluddin Bukhori, Raden Atasangin, Sya'roni, Pangeran Arya Sukmadiningrat, Syarif Abdur Rahman warga keturunan Arab yang mengadakan kegiatan da'wahnya di wilayah Cirebon bagian Timur, dan lainnya.

Ketiga: semua nama asli akan diganti dengan nama sandi, agar gerak-geriknya tidak di ketahui baik oleh pihak keraton yang pro Belanda, maupun oleh pihak Pemerintah Kolonial.

Hasil kesepakatan itu tidak disia-siakan dan langsung diberitahukan kepada teman-teman dan saudara, secara diam-diam. Setelah mereka berhasil dihubungi kemudian mereka berkumpul lagi ditempat yang sama yaitu ditempat kediaman Kedua Pangeran tersebut. Dan sekaligus malam itu juga (27 Maret 1801) tempat pertemuan itu dikukuhkan sebagai Keraton Perjuangan atau Bayangan, kemudian tersusunlah sebuah rancangan yang sangat bagus. Yakni Putra Mahkota Raja Kanoman ditunjuk sebagai Panglima tertingginya, untuk Koordinator lapangan ditunjuk Pangeran Suryanegara, untuk Penyusun setrategi ditunjuk Pangeran Jayanegara, untuk Pimpinan Daerah ditunjuk mbah Muqoyyim dan dibantu teman-temannya seperti Jamaludin Bukhori, Sya'roni, Pangeran Aryasukma Diningrat, Syarif Abdur Rahman. Sebagai pendahuluan didalam perjuangan itu koordinator daerah ditugaskan sebagai pengganggu setabilitas keamanan daerah.

Pada hari itu juga mereka langsung merubah namanya, Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus Suryakusumah Jayanegara namanya dijadikan satu menjadi Suryajanegara, Jamaludin Bukhori diganti menjadi Bagus Jabin, Raden Atasangin diganti menjadi nama panggilan atau singkatan pada saat nyantri dulu yaitu Rangin artinya Raden Atasangin, kemudian dilengkapi dengan Bagus Rangin, dan ada juga yang memanggil Raden Serangin, itu sebenarnya sama sebagai nama julukan atau wadanan (Bahasa Cirebon), dan kemudian untuk Sya'roni sendiri dirubah menjadi Serit atau Bagus Serit, karena Sya'roni itu artinya dua rambut, sehingga dulu dijuluki pada saat nyantrinya dulu dengan nama Serit (Sisir lembut untuk mencari kutu/Tuma). Sementara Aryasukma Diningrat dirubah menjadi Arsitem. Syarif Abdur Rahman diganti menjadi Bagus Sidong.

Landasan setrategi mereka dalam perjuangannya disusun dalam sebuah buku yang diberi Judul "Mujarobat" (kepanjangan dari "Mujahidin poro Ahlul bait/ahli Keraton") dan agar buku itu tidak diketahui orang lain maka penulisnya ditulis dengan nama "Arsiqum".  Di dalam kitab itu banyak berisi sandi-sandi yang hanya dimengerti kalangan sendiri. 

Markas Besar pertama kali untuk menyusun setrategi perang melawan Belanda dan Pihak Keraton itu berada di Desa Tengahtani tempat tinggalnya kedua Pangeran tersebut, sekaligus dikukuhkan menjadi Keraton perjuangan (sampai saat ini nama itu masih melekat dimasyarakat, dan dijadikan sebuah nama blok yaitu blok Keraton, adanya dikomplek masjid Tengahtani).

Untuk lebih memudahkan dalam berkomunikasi dengan kedua Pangeran itu, akhirnya sepakat nama Suryajanegara itu untuk Pangeran Suryanegara, dan untuk Pangeran Jayanegaranya sendiri lebih tepat diberi nama Rancang, sesuai dengan keahliannya yaitu merancang, sehingga sampai sekarang nama itu dikenal oleh masyarakatnya yaitu Buyut Rancang.

Kehidupan mereka sehari-harinya adalah sebagai tokoh masyarakat yang disegani, punya santri, punya pengajian, dan dakwah kedaerah-daerah. Seperti Jamaludin Bukhori atau Bagus Jabin, dia punya santri jumlahnya ribuan. Raden Atasangin atau Rangin punya santrinya juga ribuan, Sya'roni atau Serit juga mempunyai ribuan santri, mbah Muqoyyim sama, begitu juga ke dua Pangeran, masing-masing punya santri yang jumlahnya ribuan, sementara Raja Kanoman punya pengaruh sangat besar. Dan hal ini dapat dibuktikan, melalui kerusuhan yang bersifat kecil-kecilan di daerah-daerah, seperti di Kerawang atau daerah Pantura, Majalengka, Bandung, Sumedang, Cimanuk dan beberapa daerah Cirebon.

Meski satu persatu pemimpin pemberontakan itu tertangkap, namun tidak menyurutkan perlawanan atau pemberontakan terhadap tindakan Pemerintah Kolonial Belanda, seperti yang di alami pewaris takhta Kesultanan Keraton Kanoman yang diangkat sebagai pemimpin tertinggi dalam pemberontakan karena menolak pajak yang diterapkan Belanda, yang dapat memicu pemberontakan di beberapa tempat. Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke benteng Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut haknya sebagai Sultan Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat Cirebon tidak juga reda, Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dalam upaya mengakhiri pemberontakan. Status kebangsawanan Pangeran Raja Kanoman pun dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman tetap dicabut. Sekembalinya ke Cirebon, pada 1808, Pangeran Raja Kanoman tinggal di kompleks Gua Sunyaragi dan bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau Sultan Carbon, walaupun tidak memiliki keraton. Sampai wafat nya pada 1814, Sultan Carbon tetap konsisten dengan sikapnya dengan menolak uang pensiun dari Belanda.

Begitu juga Bagus Rangin tokoh masyarakat dari Bantarjati Majalengka, yang menentang dan memimpin pemberontakan melawan Belanda pada Perang Cirebon tahun 1805-1812. Pada 1805 pertempuran pecah di daerah Pangumbahan, juga terjadi lagi di daerah Karesidenan Cirebon dan pantai utara Jawa. Pasukan Bagus Rangin yang berkekuatan ± 10.000 orang kalah dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda. Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Cimanuk dekat Karangsembung Cirebon. Nama Bagus Rangin saat ini diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Bandung dan Cirebon.

Strategi Perang Yang Digunakan Dalam Perang Kedondong

Dalam menghadapi musuh, Ki Bagus Rangin dan pasukan santri menggunakan strategi atau gelar perang. Ada dua jenis perang yang dihadapi oleh lasykar Bagus Rangin atau lasykar santri. Jenis perang yang pertama adalah perang gerilya. Dalam perang gerilya gelar yang digunakan adalah gelar Gasiran. Gelar Gasiran ini dalam cerita perangjaya pernah digunakan oleh Senopatih Aswatama putra Mahadwija Dornacharya. Strategi Gasiran adalah dengan cara menyusup ke pusat pertahanan lawan dengan cara menunggu kelengahan lawan, kemudian lawan diserang dengan cara mendadak, setelah itu pelaku serangan menghilang.

Para pejuang Cirebon sering menggunakan gelar Gasiran ini untuk melemahkan sistem pertahanan kompeni Belanda. Sasaran yang diserang adalah gudang penyimpanan harta benda dan makanan. Harta benda dan makanan yang dicuri dari pemerintahan kolonial Belanda dengan sistem culture stelsel-nya diambil kembali oleh para pejuang untuk dibagikan kepada rakyat yang sengsara akibat ulah kompeni ini. Pelaku dari gelar gasiran ini sering disebut oleh musuh dan masyarakat dengan sebutan maling durjana. Ki Bagus Rangin sendiri tidak luput dari julukan itu. Sebagaimana disebutkan dalam naskah sejarah Wiralodra (Dermayu) yang mengatakan bahwa, "anggene jaya durjana // kadang wismanipun // putrane purwadinata // saking susah ribute wong Negara // wenten malih ingkang warta // tiang ngeraman sampun siyagi // makumpulaken tiyang wong desa // bantarjati // anang pernahe biawak jatitujuh // tiang kulincar lan panca ripis // sesek katahipun tiang // sangking pitungatus // juragane bagus kandar bagus rangin // surapersanda niki // bagus seja lan bagus sena//.

Jenis perang yang kedua adalah perang terbuka. Dalam perang terbuka ada beberapa gelar perang yang pernah diterapkan. Diantaranya adalah:

1) Buaya Mangap

Gelar perang yang pertama adalah gelar perang Buaya Mangap. Gelar ini pernah digunakan di Bantarjati ketika melawan pasukan kompeni Belanda dan pasukan dari Indramayu. Disetiap janur kuning yang menuju tenda disiapkan tiga orang prajurit. Jumlah janur kuning yang menuju tenda ada dua puluh janur. Disetiap sasaknya dijaga lima puluh orang prajurit. Disekeliling tenda disiapkan parjurit inti yang bersembunyi dan akan keluar menunggu perintah komando. Jebakan bentuk buaya mangap ini dapat menghancurkan seluruh musuh.

2) Tutup Kembu

Tutup kembu adalah wadah ikan hasil tangkapan memancing. Gelar perang tutup kembu adalah gelar perang untuk menjebak musuh, pintu masuk (penutup) adalah sungai Ciwaringin, lingkaran jebakan ada disekitar tegalan yang sekarang disebut Palebon (kebon) Tiang.

Ki Bagus Serit, Ki Kuwu Sarman, Buyut Bala Ngantong dan anak buahnya berada di barisan timur menghadapi pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Mulder.

Ki Bagus Rangin, Ki Kuwu Berong dan Ki Buyut Beber Layar beserta anak buahnya berada di lingkar utara menghadapi devisi pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Le Couvreur.

Ki Bagus Arsitem, Ki Kuwu Raksa Penanga, Ki Buyut Salimudin berserta anak buahnya berada di lingkar selatan berperang melawan pasukan yang dipimpin Kapten Van Bent.

Ki Buyut Kinten, Ki Kuwu Ganisem, Ki Buyut Singanala dan pasukannya berada dipintu masuk / tutup kembu yang berada disekitar sungai Ciwaringin. Pasukan yang dihadapinya dipimpin oleh Letnan Van Steenis.

Menurut KH Zamzami Amin, gelar perang tutup kembu ini sangat efektif menghadapi lawan. Musuh masuk dalam lingkaran jebakan tutup kembu ini dan tidak ada yang berhasil keluar dengan selamat. Lokasi perang tersebut sekarang berada di sekitar Palebon Tiang, Palebon tiang artinya tempat masuknya tentara musuh. Disekitar Palebon ini berdiri suatu monument yang ditumbuhi dua buah pohon jati atau dalam bahasa Cirebon disebut Jatiro (jati loro). Jatiro atau jatira juga berarti sejatinya darah.

Gelar Perang Cakravayu yang digunakan Senopati Kurawa Mahadwija Dornacharya untuk menjebak Abimayu ditiru oleh para pejuang Cirebon dalam menjebak pasukan Kompeni di Palebon Tiang (dalam bahasa Cirebon gelar itu disebut dengan gelar perang tutup kembu)

3) Gelar Suluhan

Gelar perang suluhan adalah gelar perang yang dilakukan pada waktu malam hari. Gelar ini pernah dicatat oleh Ki Konjem dan Ki Siti Siwan (1896 – 1946) dalam naskah Brahmakawi Perang Jaya. Pada episode Perang Jaya Suluhan. R. Gatotkaca merupakan inisiator dari gelar perang ini. Dalam gelar perang suluhan Raden Gatotkaca diperintahkan untuk memancing senopati kurawa, yaitu Adipati Karna untuk menggunakan senjata pamungkasnya. Senjata Panah Konta wijayadanu dilepaskan Adipati Karna untuk mengakhiri perlawanan Gatotkaca. Kemenangan atas gugurnya Gatotkaca disambut gembira oleh pasukan kurawa. Namun Adipati Karna sangat sedih dengan kemenangannya, sebab keesokan harinya ketika berhadapan dengan Arjuna, yaitu musuh yang lebih penting yang harus dihadapinya, Karna tidak memiliki senjata sakti yang dapat melawan Pasopati. Pasopati adalah senjata milik Arjuna. Didalam lakon jaya tandingan ini senopati karna tewas ditangan Arjuna.

Petikan adegan perang diatas yang menggunakan gelar perang jaya suluhan, juga digunakan oleh para pejuang untuk melawan Belanda. Pada awal Januari 1818 Residen Servatius menugaskan Letnan Veerden berjaga di jembatan Ciwaringin untuk menahan gerakan pemberontak pimpinan Ki Bagus Serit. Pada waktu itu gelap gulita para pejuang menyalakan obor pertama di situs Pedamaran, kemudian dari arah tegalan muncul ribuan kunang-kunang. Kunang-kunang ini terlihat oleh pasukan oleh pasukan kolonial pimpinan Letnan Veerden seperti titik-titik api. Mereka menduga itu adalah segerombolan pasukan pemberontak yang akan menyerang. Letnan Veerden memerintahkan pasukannya untuk menembak dengan meriam sebanyak 4 kali setelah dentuman meriam itu disusul dengan tembakan, dalam keadaan panik pasukan kompeni terus menembakkan peluru sampai habis. Ketika peluru mereka habis dari arah selatan datang pasukan pejuang yang menyerang mereka dari arah belakang, pasukan kompeni berhamburan lari menuju arah utara, ke arah timur dan barat. Kebetulan tempat itu banyak ditumbuhi pohon tebu. Kemudian para pejuang yang berada di arah tempat pelarian kompeni membakar kebun tebu itu. Tidak ada satupun pasukan kompeni yang selamat dari jebakan para pejuang Cirebon.

Kejadian pertempuran di Pedamaran ini masih dikenang oleh keluarga besar Martasinga, Ciwaringin, dan penduduk sekitar desa Kedongdong. Tempat penyalaan obor pertama disebut Pedamaran dan  diabadikan menjadi situs Pedamaran. Para pejuang Cirebon seperti Ki Bagus Rangin dan lain-lainnya sangat menguasai medan perang dan strategi perang yang dipelajarinya dari literatur Perang Parit (Khandaq) Prakarsa Salman Al Farisi seorang sahabat Nabi Muhammad.

Selain itu juga para pemimpin perjuangan di Cirebon juga mempelajari strategi perang yang digunakan dalam Perang Jaya (Bharatayudha). Ki Konjem dan Ki Gedog dan tokoh dalang-dalang lainnya adalah seniman yang aktif mensosialisasikan propaganda anti kolonialisme. Pemerintah kolonial juga pernah memberlakukan larangan para dalang untuk melakokan episode Bharatayudha atau lakon Perang Jaya.

Adegan perang dalam lakon Jayasuluhan dalam naskah Brahmakawi Perang Jaya, berhadapan antara Raden Gatot Kaca dengan Adipati Karna, dalam perang dimalam hari itu, Gatot Kaca memancing agar Adipati Karna mengeluarkan senjata pusakanya. Akhirnya Adipati Karna melepaskan senjata Kontawijayandanu untuk membunuh Gatot Kaca. Gelar perang ini ditiru oleh pasukan Cirebon ketika menyalakan lampu di Situs Pedamaran, kemudian diikuti oleh ribuan kunang-kunang dari kejauhan pemandangan ini dianggap sebagai pasukan obor. Pasukan Kolonial Belanda menghabiskan semua amunisinya untuk menyerang kunang-kunang yang dikiranya pasukan obor. Peristiwa yang terjadi di Padamaran itu, kemudian diabadikan oleh Ki Siti Siwan atas perintah Ki Dalang Konjem. Ki Dalang Konjem sendiri adalah salah satu anak buah Ki Bagus Rangin yang ikut dalam pertempuran di Kedongdong. Naskah berilustrasi itu, ditulis oleh Ki Siti Siwan pada sekitar Tahun 1896 – 1946 M.

Cerita Rakyat Tentang Bagus Rangin

Diceritakan oleh informan bahwa ada seorang dalang dari Beber yang bernama Sabdani, yang mendalang dengan lakon cerita Bagus Rangin. Informan itu mendengar pada saat mereka menonton wayang ketika waktu kecil di klenteng-klenteng di daerah Jatiwangi. Tokoh Bagus Rangin muncul dalam cerita wayang Babad Bantar Jati, yang menceritakan Pangeran Kornel yang membantu.Belanda dalam memberantas kaum pemberontak yang dikepalai Bagus Rangin. Bagus Rangin adalah pemberontak yang memihak kepada rakyat. Bagus Rangin memusatkan strateginya di Jati Tujuh di Bantar Jati yang sekarang sudah menjadi kecamatan. Desa itu dinamakan Jati Tujuh karena memang disana ada pohon jati berjumlah tujuh. Karena memihak rakyat inilah Bagus Rangin dianggap sebagai pemberontak.

Pangeran Kornel memihak kepada Belanda berhadapan dengan Bagus Rangin. Karena terdesak, Bagus Rangin mundur dari Bantar Jati menuju Panongan, Wanasalam, Salawana, Cibogo dan sebagainya. Karena terdesak, ada salah satu pengikut Bagus Rangin yang tertangkap dan dipenggal kepalanya oleh pasukan Pangeran Kornel. Namun, yang terjadi adalah kepala pengikut Bagus Rangin berubah menjadi kepala ikan Odong (ikan gabus). Bagus Rangin terus mundur tetapi tidak pernah tertangkap dan tidak pernah menyerah. Bagus Rangin selalu mendapat dukungan dari masyarakat yang dilaluinya. Bahkan masyarakat dengan sukarela menyembunyikannya apabila terjadi bahaya. Perlindungan yang diberikan Bagus Rangin bahkan sampai ke Indramayu. Akan tetapi atas perintah dari Belanda, Sultan-Sultan Cirebon beserta Pangeran Kornel mencari dan melawan Bagus Rangin, bahkan sempat dikepung. Namun karena saktinya Bagus Rangin selalu bisa mengelak dan luput dari pengejarannya. Pertempuran besar pernah pula terjadi di daerah Kadongdong, di daerah Indramayu. Alasan Bagus Rangin memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda karena rakyat kelaparan dan pemerintah Hindia Belanda bertindak sewenang-wenang. Rakyat marah dan berontak. Bagus Rangin dianggap pemimpinnya. Jadi sebenarnya yang memberontak bukan Bagus Rangin, tetapi rakyat Cirebonlah yang memberontak. Pada saat timbul paceklik dan tidak ada yang membela rakyat inilah muncul seorang pemimpin yang mendapat dukungan dari rakyat. Dimana pun Bagus Rangin berada selalu mendapat dukungan dari rakyat. Bahkan rakyat pun melindunginya ketika dilakukan pengejaran untuk menangkapnya. Wajarlah bila Bagus Rangin ini tidak dapat ditangkap dan tidak mau menyerah. Menurut dongeng orang-orang Bantar Jati, Bagus Rangin wafat dan dimakamkan di makam di desa Depok di Jatiwangi. ( daendels dalam naskah dan cerita rakyat : Cerita yang berkaitan dengan Daendels di Pantai Utara Jawa ) Oleh : Djoko Marihandono

selama ini, kebanyakan masyarakat Cirebon hanya mengetahui adanya Perang Diponegoro (1925-1930), Perang Padri (1803-1838) ataupun perang lainnya yang terjadi di daerah lain. Akan tetapi, jarang orang tahu bahwa rakyat Cirebon pernah melakukan perlawanan terhadap penjajah. Saya pun menelusuri peristiwa bersejarah yang puncaknya terjadi di tahun 1818 itu. Berbekal wawancara dengan beberapa narasumber dan data dari beberapa buku, inilah sekelumit sejarah Perang Kedongdong.

Perlawanan rakyat Cirebon terhadap penjajah terjadi karena Belanda menerapkan peraturan yang sewenang-wenang. Beberapa catatan menyebutkan, pemicu meletusnya perang tersebut adalah karena penangkapan Pangeran Raja Kanoman dan penerapan sistem landrente (pajak tanah) yang menyengsarakan rakyat.

Seperti diketahui, pada tahun 1798, Sultan Anom IV wafat. Terjadilah pergolakan tentang penggantinya. Kompeni pun turut campur dalam menentukan penggantinya. Kebanyakan rakyat menghendaki sang putra mahkota, Pangeran Suryanegara (Pangeran Raja Kanoman) menjadi sultan. Tapi Kompeni lebih memilih adiknya, Pangeran Surantaka. Peristiwa tersebut telah mengobarkan api dalam sekam. Di saat VOC dilikuidasi oleh Belanda pada 31 Desember 1799, huru-hara sebagai bentuk perlawanan rakyat pun terjadi di mana-mana, puncaknya terjadi pada tahun 1802.

Tahun 1805, Pangeran Raja Kanoman pun diundang untuk datang ke Batavia (pusat kekuasaan Kompeni) untuk berunding. Tetapi, setibanya di Batavia, dia ditangkap dan diasingkan ke benteng Viktoria, Ambon.  Rakyat Cirebon tidak terima. Sekitar 1.000-an orang melakukan aksi long march dari Cirebon ke Batavia dengan beberapa tuntutan, salah satunya agar Pangeran Raja Kanoman dibebaskan. Aksi yang diceritakan dikomandoi para kyai tersebut bisa diredam oleh Belanda dengan beberapa kesepakatan. Diantaranya mengembalikan Pangeran Raja Kanoman dan mengangkatnya menjadi sultan. Dengan catatan, dia harus membuat keraton baru, tidak boleh menempati Keraton Kanoman.

Meskipun demikian, api perlawanan rakyat Cirebon tidak sepenuhnya padam, bahkan semakin membara. Setahun kemudian, 1806, menurut laporan Residen Cirebon, Servatius, terjadi pemberontakan rakyat dengan membakar semua pabrik gula dan tanaman tebu. Pergolakan dipicu oleh kebijakan persewaan desa yang menyebabkan penderitaan dan beban berat rakyat. Dalam praktik persewaan desa, para tuan tanah yang membebankan pajak. Tuan tanah itu adalah mereka para pengusaha swasta kaya yang diberikan hak menyewa desa. Disebutkan kebanyakan mereka adalah orang-orang Cina.

Perlu diketahui bahwa di tahun-tahun itu, menurut Pramoedya Ananta Toer, di negaranya sendiri, Belanda sedang menghadapi masalah pelik. Belanda berada di tengah pusaran perang di tanah Eropa. Pun akhirnya, Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak 1795. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaparte -Sang Penguasa Prancis- mengangkat adiknya, Louis Bonaparte sebagai penguasa Belanda pada tahun 1806. Dan pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi gubernur jendral (1808-1811).

Sejarawan Inggris, Ricklefs, mengatakan bahwa Daendels datang ke Jawa dengan membawa semangat pembaharuan dan kediktatoran yang sebenarnya membawa pada sedikit hasil dan banyak perlawanan. Dia memiliki perasaan tidak suka terhadap gaya feodal para penguasa Jawa di daerah yang dikuasai Belanda. Baginya, mereka bukan pemimpin melainkan pegawai administrasi Belanda. 

Bulan Februari 1809, pemberontakan memuncak karena Daendels mengeluarkan peraturan tentang pengaturan tanah-tanah Cirebon. Dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa sultan ditempatkan sebagai pegawai Belanda. Pelawanan rakyat melawan kolonial terjadi di Palimanan dan sekitarnya, Kandanghaur, Distrik Blandong, Kedongdong dan Majalengka. Pemimpin perlawanan tersebut yang dikenal yakni Bagus Rangin, Bagus Jabin, Nairem dan Bagus Serit.

Pemberontakan yang dipimpin Bagus Rangin dan pemberontakan lainnya yang dilakukan di daerah-daerah terhadap penjajah pun berlanjut hingga Daendels (Belanda-Prancis) mengakhiri jabatannya sebagai gubernur jendral di tahun 1811 dan digantikan oleh Gubernur Jendral Raffles (Inggris). Pergantian dilakukan beberapa saat setelah di Eropa, Inggris berhasil mengalahkan Belanda-Prancis. Setahun kemudian, tahun 1812, Bagus Rangin dan pengikutnya diberitakan ditangkap. Tapi banyak juga yang mengatakan bahwa kabar tersebut tidak benar, Bagus Rangin tidak pernah tertangkap dan terus melancarkan gerilyanya.

Tahun 1813, sebagaimana disebutkan dalam buku Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20, Raffles menghapus Kesultanan Cirebon. Dia beranggapan, perlawanan rakyat Cirebon kepada kolonial karena merosotnya kedudukan sultan-sultan Cirebon akibat tindakan kolonial. Kebijakan tersebut malah menjadi faktor tambahan yang mendorong rakyat Cirebon terus melakukan perlawanan. Tahun 1816, Bagus Jabin memimpin gerakan perlawanan di Indramayu dengan pusat gerakan di Kandanghaur. Kemudian dia bergerak ke Launmalang Desa Lagun. Kelompok ini disebut pemerintah kolonial sebagai kelompok Begal Jabin. Bagus Jabin juga membuat kerusuhan di Distrik Blandong.

Gerakan perlawanan yang dilakukan rakyat Cirebon tersebut dilakukan secara terus-menerus dengan strategi gerilya. Strategi tersebut terbukti ampuh dan memporak-porandakan pemerintahan kolonial di atas bumi Cirebon. Puncaknya, pada tahun 1818, gerakan perlawanan rakyat Cirebon berada di pusat simpulnya yakni di Kedongdong Kecamatan Susukan. Perlawanan terjadi di Januari-Februari dan Juli-Agustus 1818. Dalam buku Bâban Kâna disebutkan bahwa banyak perwira dari pihak kolonial yang tewas saat perang yang melibatkan para kyai dan santri tersebut. Di antara mereka yang tewas adalah Letnan van Hooorn, Letnan Wessel dan Kapten Kalberg. Assisten Residen Cirebon, Heydenreich pun turut menjadi korban dalam peperangan tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

1.    Sobana Hardjasaputra, dkk., Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20, Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011.

2.    KH Zamzami Amin, Bâban Kâna, Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2014.

3.    Pramoedya Ananta Toer, Jalan raya Pos, Jalan Daendels, cetakan IX, Jakarta: Lentera Dipantara, 2012.

4.    Syatori, Gerakan Sosial Rakyat Cirebon tahun 1818.

5.http://www.fajarmuda.com/opini/post/399955883/perang.kedongdong.gerakan.perlawanan.rakyat.cirebon.1818

6.    http://nurussyahid.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-perang-kedongdong-perang-rakyat.html

No comments:

Post a Comment