TENUN SIAK, TENUNAN KERAJAAN


MAHARANI/PBM
 
Songket merupakan sejenis kain yang biasanya ditenun tangan, dan mempunyai corak rumit benang emas atau perak. Kata songket berarti membawa keluar atau menarik benang dari kain atau menenun menggunakan benang emas dan perak. Tenun Songket merupakan seni budaya yang berasal dari daratan Cina, keberadaannya lebih kurang sejak 1000 tahun yang lalu. Songket sudah dikenal Malaysia dan Indonesia sejak abad ke-13 yang lampau. Dalam kisah perjalanannya yang cukup panjang. Tenun Songket kemudian menyebar ke Negeri Siam (Thailand), kemudian menyebar ke beberapa negara bagian di Semenanjung Negeri Jiran Malaysia, seperti ke Selangor, Kelantan, Trengganu dan Brunei Darussalam kemudian menyeberang ke Sumatra yaitu ke Silungkang, Siak dan Palembang. Songket Silungkang berasal dari Negara Bagian Selangor, sedangkan Songket Pandai Sikek berasal dari Silungkang dan Songket Payakumbuh berasal dari Pandai Sikek. Baginda Ali adalah orang yang membawa ilmu songket dari Selangor ke Silungkang pada abad ke-16 atau kurang lebih 400 tahun yang lalu.


Ragam jenis kain songket yang biasa digunakan antara lain: songket motif bunga, motif awan, motif tunggal, motif daun tunggal, motif tabir bintang, motif mata panah, motif pucuk rebung, motif siku kaluang, dan motif kuntum bunga. Kain songket ini merupakan kain khas bumi Melayu yang tetap harus dijaga kelestariannya. Kain songket umumnya banyak digunakan pada pakaian adat orang Melayu Riau. Kain tenun songket memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang menjadi nilai jual lebih dan menjadi salah satu jenis kerajinan tangan khas di Provinsi Riau yang kaya akan keindahan dan estetika sebagai wujud budaya Provinsi Riau yang melambangkan corak, pemikiran dan pandangan masyarakat Melayu.
(Asril; 2015)
Dari kapas menjadi benang
Pilin benang menjadi kain
Bidal tua Melayu diatas merupakan tugu pengingat dan simbol kreatifitas masyarakat Siak dalam mengubah kapas menjadi tenunan nan eksotik yang menjadi simbol keagungan, yaitu Tenun Siak. Tenun Siak, sebagaimana namanya, merupakan tenunan tradisional yang dihasilkan oleh masyarakat Siak, Provinsi Riau. Tenunan ini sudah ada sejak Siak masih berupa kesultanan dengan Tengku Said Ali, bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810) sebagai sultannya atau tenunan ini telah berumur lebih dari dua abad. Semasa dahulu pekerjaan menenun hanya dikenal dilingkungan istana saja sebagai pekerjaan sambilan. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, pekerjaan menenun merembes keluar tembok istana.
(Ahmad Salehudin; 2009)
Orang pertama yang memperkenalkan tenun ini ialah seorang pengrajin yang didatangkan dari kerajaan Trengganu Malaysia pada masa kerajaan Siak diperintah oleh Sultan Sayid Ali seorang wanita bernama Wan Siti Binti Wan Karim dibawa ke Siak Sri Indra Pura. Beliau adalah seorang yang cakap dan terampil dalam bertenun dan beliau mengajarkan bagaimana bertenun kain songket. Karena pada saat itu hubungan kenegerian kesultanan Siak dengan negeri-negeri melayu di Semananjung sangatlah erat, terutama juga dalam hal seni dan budaya Melayu yang satu. Jadi menenun kain tenunan Siak telah lama digeluti oleh masyarakat semenjak tahun 1747. Anak-anak gadis diajar menenun setiap kapan acara dirumahnya sudah selesai dikerjakan. Dia mulai bertenun utnuk keperluan sendiri maupun untuk menambah kehidupan keluarga. Kalau di Malaysia dikenal tenun Trengganu maka di Siak dikenal tenunan Siak. Dari pusat kerajaan Siak tenunan ini dibina dan dikembangkan kemudian merata diseluruh kerajaan Siak.
Tokoh wanita Melayu Riau yang sangat berperan dalam mengembangkan kerajinan kain tenun songket Melayu Siak di Riau adalah Tengku Maharatu. Tengku Maharatu adalah permaisuri Sultan Syarif Kasim II yang kedua, setelah permaisuri pertama, Tengku Agung meninggal dunia. Dia melanjutkan perjuangan kakaknya dalam meningkatkan kedudukan kaum perempuan di Siak dan sekitarnya, yaitu dengan mengajarkan cara bertenun yang kemudian dikenal dengan nama tenun Siak. Tenun Siak yang merupakan hasil karya kaum perempuan telah menjadi pakaian adat Melayu Riau yang dipergunakan dalam pakaian adat pernikahan dan upacara lainnya. Berkat perjuangan permaisuri pertama yang dilanjutkan oleh permaisuri kedua, perempuan yang tamat dari Sekolah Madrasahtun Nisak dapat menjadi mubaligat dan member dakwah terutama kepada kaum perempuan.
(Suwardi dkk; 2006)
Pada awalnya tenun yang diajarkan adalah merupakan tenun tumpu dan kemudian bertukar ganti dengan menggunakan alat yang dinamakan dengan "Kik", dan kain yang dihasilkan disebut dengan kain tenun Siak. Pada awalnya kain tenun Siak ini dibuat terbatas bagi kalangan bangsawan saja terutama Sultan dan para keluarga serta para pembesar kerajaan di kalangan Istana Siak. Kik adalah alat tenun yang cukup sederhana dari bahan kayu berukuran sekitar 1 x 2 meter. Sesuai dengan ukuran alatnya, maka lebar kain yang dihasilkan tidaklah lebar sehingga tidak cukup untuk satu kain sarung, maka haruslah di sambung dua yang disebut dengan kain "Berkampuh". Akibatnya untuk mendapatkan sehelai kain, terpaksa harus ditenun dua kali dan kemudian hasilnya disambung untuk bagian atas dan bagian bawah yang sudah barang tentu memakan waktu yang lama. Dalam bertenun memerlukan bahan baku benang, baik sutera ataupun katun berwarna yang dipadukan dengan benang emas sebagai ornamen ( motif ) atau hiasan. Dikarenakan benag sutera sudah susah didapat, maka lama kelamaan orang hanya menggunakan benang katun.


Tenun Siak memiki motif dan corak yang banyak. Motif dan corak tenun Siak merupakan hasil dari sterilisasi flora, fauna, dan alam sekitar. Proses sterilisasi terhadap apa yang dilihat di lingkungan sekitar menunjukkan betapa para pengrajin tenun Siak tidak saja memiliki pemahaman mendalam terhadap alam sekitarnya tetapi juga imajinasi yang tinggi untuk melukiskan apa yang dialaminya dalam selembar tenunan dalam "Kazana Kerajinan Riau".

Ada beberapa motif dan corak tenun Siak:
-                 Hasil dari sterilisasi flora : ampuk manggis, bunga tratai, bunga kenanga, bunga kundur, akar berjalin, pucuk dara, bunga melur, bunga tnajung bunga hutan, kaluk paku, daun pandan, tampuk pedade, bunga cina, daun sirih.
-                 Hasil dari sterilisasi fauna : semut beriring, siku keluang, ayam-ayaman, itik sekawan, balam dua, naga-nagaan, ikan-ikanan, ulat. · Hasil dari stilirisasi alam sekitar : potong wajid, bingtang-bintang, jalur-jalur, pelangi-pelangi, awan larat, perahu, sikat-sikat bulan sabit
 (Dekranasda Riau; 2008)

Dalam pemanfaatannya beragam motif diatas digunakan secara kombinasi, yatiu dengan menggabungkan beberapa motif. Dari hasil kombinasi tersebut dihasilkan beragam motif baru yang unik dan menarik seperti tampuk manggis berpetak wajid, tampuk manggis kelopak empat, tampuk manggis bersilang, siku keluang bunga tabor, siku keluang beragi, kaluk paku bersela kuntum
(Ardila Suwarno; 2005)
Dari segi sejarah, songket hanya dipakai oleh golongan bangsawan dan keluarga kerabat raja dan orang besar negeri. Kahalusan tenunan dan kerumitan motif corak songket menggambarkan pangkat dan kedudukan tinggi seseorang pembesar. Songket mempunyai nilai sejarah yang tinggi sebagai salah satu warisan agung, selain mengangkat martabat si pemakai, motif dan warna tenunnan songket melambangkan kedudukan seseorang.
Tenun Songket Siak telah melalui sejarah yang panjang dan banyak melahirkan beragam jenis motif yang mengandung makna dan falsafah tertentu. Motif-motif yang lazimnya dipakai adalah motif tumbuh-tumbuhan dan hewan (sebagian kecil). Orang-orang tua dulu menjelaskan bahwa kearifan orang Melayu dalam menyimak ajaran Islam dan alam sekitarnya telah memberikan mereka peluang besar dalam memilih atau menciptakan motif. Bunga-bungaan yang indah, wangi dan segar melahirkan motif-motif bunga yang mengandung nilai dan filsafah keluhuran dan kehalusan budi, keakraban dan kedamaian seperti corak bunga setaman, bunga berseluk daun dan lain-lain. Burung balam, yang selalu hidup rukun dengan pasangannya, melahirkan motif balam dua setengger sebagai cermin dari kerukunan hidup suami istri dan persahabatan. Ular naga, yang di mitoskan menjadi hewan perkasa penguasa samudera, melahirkan motif naga berjuang serindit mencerminkan sifat kearifan dan kebijakan, motif itik pulang petang atau itik sekawan, motif semut beriring dan motif lebah bergantung atau lebah bergayut. Motif puncak rebung dikaitkan dengan kesuburan dan kesabaran. Motif awan larat dikaitkan dengan kelemah-lembutan budi, kekreatifan, dan sebagainya. Motif-motif tersebut kemudian diabadikan menjadi variasi-variasi yang sarat dengan simbol-simbol yang mencerminkan nilai-nilai asas kepercayaan dan budaya melayu. Ada sebagian adat istiadat daerah setempat yang mengatur penempatan dan pemakaian motif-motif yang di maksud, serta siapa saja yang berhak memakainya.
Dahulu setiap pengrajin diharuskan untuk memahami makna dan falsafah yang terkandung di dalam setiap motif. Keharusan itu dimaksudkan agar mereka pribadi mampu menyerap dan menghayati nilai-nilai yang dimaksud, mampu menyebarluaskan, dan mampu pula menempatkan motif itu sesuai menurut alur dan patutnya. Karena budaya melayu sangat ber-sebati dengan ajaran islam, inti sari ajaran itu terpateri pula dengan corak seperti bentuk segi empat dikaitkan dengan sahabat Nabi Muhammad SWT yang berempat, bentuk segi lima dikaitkan dengan rukun islam, bentuk segi enam dikaitkan dengan rukun iman, bentuk wajik dikaitkan dengan sifat Allah yang maha pemurah, bentuk bulat dikaitkan dengan sifat Allah yang maha mengetahui dan penguasa alam semesta, dan sekitarnya. Menurut orang tua melayu Riau, makna dan falsafah di dalam setiap motif, selain dapat meningkatkan minat-minat orang untuk menggunakan motif tersebut, juga dapat menyebar-luaskan nilai-nilai ajaran agama Islam yang mereka anut, itulah sebabnya dahulu pengrajin diajarkan membuat atau meniru corak.
Orang-orang melayu sangat menggemari pantun. Orang-orang tua mengatakan bahwa dengan berpantun orang lebih cepat menyimak dan mengingatkan sehingga lebih mudah mewariskannya. Ungkapan adat mengatakan: "di dalam pantun banyak penuntun". selanjutnya di katakannya:
"Bertuah orang berkain songket
Coraknya banyak bukan kepalang
Petuahnya banyak bukan sedikit
Hidup mati di pegang orang"
"Kain songket tenun melayu
Mengandung makna serta ibarat
Hidup rukun berbilang suku
Seberang kerja boleh di buat"
"Bila memakai songket bergelas
Di dalamnya ada tunjuk dan ajar
Bila berteman tulus dan ikhlas
Kemana pergi tak akan terlantar"
Khasanah songket Melayu amatlah kaya dengan motif dan sarat dengan makna dan falsafahnya, yang dahulu dimanfaatkan untuk mewariskan nilai-nilai asas adat dan budaya tempatan. Seorang pemakai songket tidak hanya sekedar memakai untuk hiasan tetapi juga untuk memakai dengan simbol-simbol dan memudahkannya untuk mencerna dan menghayati falsafah yang terkandung di dalamnya. Kearifan itulah yang menyebabkan songket terus hidup dan berkembang, serta memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan mereka sehari-hari.

KESIMPULAN
Tenun Siak merupakan kesenian yang berasal dan berkembang di Siak. Tenun Siak adalah manifestasi nilai-nilai yang diyakini, hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat Siak. Tenunan ini juga menjadi media untuk mewariskan nilai-nilai tersebut, sehingga dapat menjadi landasan generasi sesudahnya untuk hidup dan membangun kebudayaan yang lebih baik tanpa tercabut dari akar lokalitasnya. Tenun siak sudah mempunyai hak paten sejak pada zaman kerajaan berdiri pada abad 17 Masehi, mempunyai motif-motif yang baku yang tidak dapat diciplak semaunya. Dalam perkembangan tenunan Siak di Provinsi Riau sudah menampakkan keberhasilan dari masyarakat yang menggelutinya. Tetapi bagaimanapun modern pembuatannya, namun namanya tetap tenun siak, walaupun dibuat dikampong, di desa maupun di kota.

DAFTAR PUSTAKA

Asril. 2015. Pendidikan Budaya Melayu. Universitas Riau : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjung Pinang. 2014. "Sejarah Kerajinan Tenun Songket Siak". Http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbtanjungpinang/2014/06/08/sejarah-kerajinan-tenun-songket-siak/. Diakses Tanggal 3 Juni 2016.

Dekranasda Riau. 2008. Khazanah Kerajaan Melayu Riau. Yogyakarta: Dekranasda Riau bekerjasama dengan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

Salehudin, Ahmad. 2009. "Tenun Siak Kain Tradisional Riau". Http://melayuonline.com/ind/culture/dig/551/tenun-siak-kain-tradisional-riau. Diakses tanggal 3 Juni 2016.

Suwardi dkk. 2006. Pemetaan Adat Masyarakat Melayu Riau Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau. Pekanbaru : Lembaga Adat Melayu Riau

Suwarno, Adila. 2005. "melayuonline". Http://www.melayuonline.com. Diakses pada tanggal 3 Juni 2016.

No comments:

Post a Comment