DELIMA CITRA
A. Kedatangan Bangsa Belanda di Banten
Berbeda dari abad sebelumnya, pada abad XIV kekuasaan Kesultanan Turki tidak lagi menguasai sebagian besar Eropa dan Asia Timur. Daerah-daerah itu kini dikuasai negara-negara Kristen terutama Portugis, sehingga Lisabon kembali menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa.Pedagang-pedagang Inggris, Belanda dan sebagainya membeli rempah-rempah dari Lisabon. Apalagi daerah-daerah penghasil rempah-rempah itu hanya diketahui Portugis.
Pengangkutan rempah-rempah dari Lisabon mendatang-kan keuntungan banyak bagi pedagang-pedagang Belanda; yaitu menyalurkannya kembali ke Jerman dan negara-negara lain di Eropa Timur. Tetapi karena pecahnya perang antara Nederland dengan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan "Perang Delapan Puluh Tahun" mengakibatkan perdagangan Belanda di Eropa Selatan menjadi tidak lancar, lebih-lebih sesudah Spanyol berhasil menduduki Portugal pada tahun 1580.
Raja Spanyol, Phillipos II, yang mengetahui bahwa kemakmuran Nederland sebagian besar didapat dari perdagangan di Portugal, memukul Nederland dengan melarang kapal-kapal dagang Belanda mengunjungi bandar-bandar di daerah kekuasaannya. Akibat tindakan itu, perdagangan rempah-rempah Belanda terhenti, kemajuan Lisabon terhambat dan harga rempah-rempah di Eropa menjadi tinggi, karena persediaan berkurang.
Situasi perang antara Spanyol dan Belanda itu banyak membuat pedagang-pedagang Belanda mengalami kesukaran, apalagi sering terjadi perampokan kapal-kapal dagangnya oleh pelaut Inggris dan juga penangkapan oleh armada Spanyol. Hal-hal semacam inilah yang mendorong pedagang-pedagang Belanda untuk dapat langsung berhubungan dengan negara-negara di Asia sebagai peng-hasil cengkeh dan lada, tanpa diketahui patroli Spanyol. Gagasan untuk mencari sumber rempah-rempah di Asia itu dilaksanakan melalui persiapan dan perencanaan yang cukup baik. Ahli-ahli ilmu bumi seperti Pancius, seorang pendeta di Amsterdam dan Mercator di Nederland Selatan diserahi menyusun peta dunia dan dimintai pandangan-pandangannya. Ketika itu (1593) terbitlah sebuah buku Itineratio dalam bahasa Belanda karya Jan Huygen van Linschoten yang menceritakan tentang benua Asia dan mengenai Hindia (Indonesia), lengkap dengan adat istiadat, agama, barang dagangan yang disenangi penduduk, dan sebagainya mengenai daerah Asia itu. Pengarang buku ini pernah ikut dalam expedisi Portugis ke Asia dan pernah tinggal beberapa lama di Goa, India.
Untuk menghindari pengejaran tentara Portugis, beberapa pedagang Belanda, dibantu oleh pemerintah, dengan kapal yang dirancang khusus mencoba mengarungi Laut Es, sebelah utara benua Eropa dengan perhitungan akan memperoleh jalan tersingkat menuju Asia, tanpa melalui Tanjung Harapan. Tiga kali percobaan ekspedisi ini dilaksanakan, namun ketiga-tiganya mengalami kegagalan. Kapal mereka terjepit di tengah-tengah lautan es di dekat pulau Nova Zembla, sehingga separoh anak buah kapalnya meninggal karena kedinginan.
Kedatangan kapal dagang Belanda itu disambut ramah oleh penduduk negeri dan seperti biasanya apabila ada kapal asing merapat, banyak penduduk pribumi yang naik ke kapal untuk menawarkan makanan ataupun dagangan lainnya. Hal ini disalah artikan oleh awak kapal, sehingga mereka bertindak kasar dan angkuh. Walau pun demikian, penduduk negri yang terkenal ramah itu masih menawarkan lada yang memang mereka butuhkan. Bertepatan dengan kedatangan kapal dagang Belanda itu, Banten sedang bersiap-siap untuk mengadakan penyerangan ke Palembang. Oleh karenanya Banten minta orang Belanda itu meminjamkan kapalnya guna pengangkutan prajurit dengan sewa yang memadai. Permintaan itu ditolak dengan alasan mereka datang ke Banten hanya untuk berdagang dan setelah selesai akan cepat kembali pulang takut ada kapal Portugis yang datang.
Tapi sampai pasukan Banten kembali dari Palembang, mereka masih tetap belum pergi, karena menunggu panen lada yang tidak lama lagi; waktu panen lada harga akan jauh lebih murah. Alasan demikian membuat Mangkubumi Jayanegara marah. Lebih parah lagi, orang-orang Belanda itu pada suatu malam, menyeret dua buah kapal dari Jawa yang penuh dengan lada ke kapalnya dan memindahkan semua isinya. Dan dengan membawa muatan hasil rampokan itu mereka pergi sambil menembaki kota Banten. Melihat kelakuan orang Belanda ini, rakyat Banten yang baru saja kehilangan sultannya sangat marah. Beberapa tentara Banten menyerbu ke kapal Belanda dan menangkap Houtman beserta delapan anak kapal. Dengan tebusan 45.000 gulden sebagai ganti kerugian, barulah de Houtman dilepaskan dan diusir dari Banten (2 Oktober 1596).
Pada tanggal 1 Mei 1598 rombongan baru pedagang Belanda berangkat dari Nederland menuju Indonesia dengan delapan buah kapal yang di pimpin oleh Jacob van Neck dibantu oleh van Waerwijk dan van Heemskerck. Pada tanggal 28 Nopember 1598 rombongan kedua ini tiba di Banten. Mereka diterima baik oleh rakyat Banten karena tingkah lakunya berbeda dengan pendahulunya. Pengalaman pertama yang merugikan itu rupanya dijadikan pelajaran.
Mereka pandai membawa diri dan sanggup menahan hati bila berhadapan dengan Mangkubumi, bahkan permohonan untuk menghadap Sultan pun dikabulkan. Dengan membawa hadiah sebuah piala berkaki emas sebagai tanda persahabatan, van Neck menghadap kepada Sultan Abdul Mafakhir. Mangkubumi Jayanagara membujuk van Neck untuk membantu tentara Banten dalam penyerangan ke Palembangsebagai pembalasan atas kematian Sultan Muhammaddengan imbalan lada sebanyak dua kapal penuh. Semula van Neck menyetujui usul Mangkubumi ini, tapi karena van Neck minta dibayar di muka satu kapal dan sisanya sesudahnya, sedangkan Mangkubumi menghendaki pembayaran sekaligus setelah penyerangan selesai, maka penyerangan ke Palembang tidak diteruskan. Van Neck kembali ke Belanda dengan tiga kapal yang penuh muatan, sedangkan van Waerwijk dan van Heemskerck melanjutkan perjalanannya ke Maluku dengan lima buah kapal.
Dengan keberhasilan dua ekspedisi dagang ke Indonesia ini akhirnya berduyun-duyunlah orang-orang Belanda untuk berdagang. Tercatat pada tahun 1598 saja ada 22 kapal milik perorangan dan perikatan dagang dari Nederland menuju Indonesia. Bahkan tahun 1602 ada 65 kapal yang kembali dari kepulauan Indonesia dengan muatan penuh. Suatu hari datanglah utusan khusus pemerintah Portugis dari Malaka dengan membawa hadiah uang 10.000 rial dan berbagai perhiasan yang bagus dan mahal. Mereka minta supaya Banten memutuskan hubungan dagang dengan Belanda dan apabila orang-orang Belanda itu datang supaya kapal-kapalnya dirusak atau diusir.
Dikatakan pula, bahwa nanti akan datang armada Portugis yang akan mengadakan pembersihan terhadap kapal Belanda di perairan Banten dan negeri timur lainnya. Mendengar berita itu, kapal dagang Belanda pun segera meninggalkan Banten. Tidak lama kemudian pada tahun 1598 sampailah angkatan laut Portugis dipimpim oleh Laurenco de Brito dari pangkalannya di Goa. Setelah dilihatnya tidak ada satu pun kapal Belanda yang berlabuh di Banten, marahlah mereka. Mangkubumi dituduh telah berhianat dan bersekongkol dengan Belanda karena membocorkan rahasia, dan menuntut supaya Mangkubumi mengembalikan semua hadiah yang sudah diberikan. Sudah tentu Mangkubumi tidak mau menuruti kemauan mereka, karena Portugis tidak ada hak dan wewenang untuk mengusir kapal-kapal asing yang sedang berlabuh di Banten. Dengan kemarahan yang amat sangat, diserangnya pelabuhan Banten, barang-barang yang ada di sana dirampas dan diangkut ke kapalnya, bahkan lada kepunyaan pedagang dari Cina pun dirampasnya pula.
Melihat kejadian itu, tentara Banten, yang memang sudah dipersiapkan, menyerang kapal-kapal Portugis itu, sehingga tiga buah kapal Portugis dapat dirampas dan seorang laksamananya tewas; sedangkan yang lainnya melarikan diri, setelah meninggalkan barang hasil rampasannya. Karena persaingan ketat antar sesama pedagang Belanda yang berlomba-lomba untuk mendapat rempah-rempah dari negeri timur, maka keuntungan mereka pun sedikit, dan bahkan rugi — dari data-data yang dikumpulkan. Melihat kenyataan ini maka pada tahun 1602 dibentuknya persatuan dagang yang kemudian diberi nama "VereenigdeOost Indische Compagnie (VOC) dengan modal pertama 6,5 juta gulden dan berkedudukan di Amsterdam; dan tujuannya adalah mencari laba sebanyak-banyaknya, di samping untuk memperkuat kedudukan Belanda melawan kekuasaan Portugis dan Spanyol.
B. Kesultanan Banten Pada Masa Sultan Ageng Tirtayasa Dalam Menghadapi Belanda
Penobatan Pangeran Surya terjadi pada tanggal 10 Maret 1651, seperti tanggal surat ucapan selamat Gubernur Kompeni Belanda Kepada Sultan. Untuk memperlancar roda pemerintahan, sultan mengangkat beberapa orang untuk membantu dirinya. Jabatan Patih Mangkubumi diserahkan kepada Pangeran Mandura dengan wakilnya Tubagus Wiraatmaja, Sebagai Kadhi atau Hakim Agung Negara diserahkan kepada Pangeran Jaya Sentika. Tapi Pangeran Jayasentika tidak lama menjabat sebagai kadhi, beliau wafat dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol Kawista yang kemudian dikenal dengan nama Faqih Najmudin. Faqih Najmudin adalah menantu dari Sultan Abul Mafakhir yang menikah dengan Ratu Lor.
Untuk mempermudah pengawasan daerah kekuasaan, Sultan mengangkat beberapa Ponggawa atau Nayaka. Mereka berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab Mangkubumi. Selain itu Mangkubumi juga mengawasi keadaan para prajurit kerajaan. Senjata-senjata di tambah. Rumah para Senoptai diatur sedemikian rupa, agar mudah mengontrol para prajurit.Pangeran Surya yang kemudian bergelar Pangeran Ratu Ing Banten adalah seorang ahli strategi perang. Hal ini sudah dibuktikannya sejak beliau menjadi putera mahkota. beliau lah yang mengatur strategi perang gerilya saat menyerbu belanda di Batavia.
Seperti juga kakeknya, Pangeran Surya pun tidak melepaskan dari Kekhalifahan Islam di Makkah. hubungan ini keharusan untuk memperkuat kekuatan umat Islam dalam menentang segala macam kesewenangan. Dari dari Kekhalifahan pulalah Pangeran mendapatkan gelar Sultan 'Abulfath Abdulfattah. Dari hubungan ini Sultan mengharapkan bantuan dari Khalifah untuk mengirimkan guru agama ke Banten. Selain itu Sultan pun tidak setuju dengan pendudukan bangsa Asing atas negaranya, dan untuk memperkuat pertahanan (terutama dari serbuan Belanda di Batavia), sultan memperkuat pasukanya di Tangerang yang telah menjadi benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan Belanda.
Dari tangerang ini pulalah pada tahun 1652 Banten menyerbu Batavia. Melihat situasi yang semakin memanas, pihak kompeni mengajukan usul perdamaian. Namun sultan bertekad untuk menghapuskan para penjajah di bumi Nusantara, sultan melihat berbagai kecurangan pada setiap perjanjian yang diajukan oleh pihak Belanda, sehingga Sultan pun menolaknya.
Pada tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke dan Tangerang melakukan gerilya besar-besaran. Perusakan dan sabotase yang dilakukan para prajurit Banten banyak merugikan pihak Kompeni. Untuk menghadapi serangan Belanda yang lebih besar, Sultan mempernaiki hubungan dengan Cirebon dana Mataram, bahkan dari Inggris, Prancis dan Denmark, Sultan mendapat kemudahan memperoleh senjata api untuk peperangan. Daerah kekuasaan Banten (Lampung, Bangka, Solebar, Indragiri dan daerah lainnya) diminta mengirimkan prajuritnya untuk bergabung dengan para prajurit yang berada di Surosowan. Rakyat pun mendukung langkah Sultan untuk mengusir Penjajah. Mereka bertekad lebih baik mati daripada berdamai dnegan penjajah. Sedangkan kompeni mempekuat pasukkannya dengan prajurit-prajurit sewaan yang berasal dari Kalasi, ternate, Bandan, kejawan, Melayu, Bali, Makasar dan Bugis.
Pada tanggal 29 April 1658 datang utusan Belanda ke Banten membawa surat dari Gubernur Jendral Kompeni yang berisi rancangan perjanjian perdamaian, namun Sultan kembali melihat kecurangan dibalik naskah perjanjian tersebut, pihak kompeni hanya mengharapkan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658 Sultan mengirimkan utusan ke Batavia untuk melakukan perubahan perjanjian. Namun perubahan dari Sultan di tolak oleh Belanda. Kompeni hanya menginginkan Banten membeli rempah-rempah dari Belanda dan itupun harus ditambah pajak. Penolakan tersebut membuat Sultan sadar, bahwa tidaklah mungkin ada persesuaian pendapat antara dua musuh yang saling berbeda kepentingan. Maka pada tanggal 11 Mei 1658 Sultan mengirim surat balasan yang menyatakan bahwa "BANTEN dan KOMPENI TIDAK AKAN MUNGKIN BISA BERDAMAI. Maka terjadilah pertempuran hebat di darat dan di laut. Pertempuran ini berlangsung tanpa henti sejak bulan Juli 1658 hingga tanggal 10 juli 1659.
Selain di Tangerang, Sultan juga membuat kampung para prajurit di Tirtayasa, bahkan akhirnya sultan pun menyuruh mendirikan istana di kampung tersebut. Yang nantinya digunakan sebagai pusat kontrol kegiatan di Tangerang dan Batavia disamping untuk tempat peristirahatan. Maka dengan demikian Tirtayasa dijadikan penghubung antara Istana di Surosowan dengan Benteng pertahanan di Tangerang. Hal ini akan mempersingat jalur komunikasi sultan. Disamping jalan darat yang sudah ada, juga dibuat jalan laut yang menghubungkan Surosowan-Tirtayasa-Tangerang. Maka dibuatlah saluran tembus dari Pontang-Tanara-Sungai Untung Jawa menyusuri jalan darat - melalaui sungai Cikande sampai pantai Pasiliyan.
Saluran ini dibuat cukup besar, hingga mampu dilewati kapal perang ukuran sedang. Saluran ini dibuat dari tahun 1660 hingga sekitar tahun 1678. Selain di Tirtayasa Sultan pun berusaha menyempurnakan dan memperbaiki keadaan didalam ibukota kerajaan. Dengan bantuan beberapa ahli bangunan dari Portugis dan Belanda yang sudah masuk Islam, diantaranya adalah Hendrik Lucasz Cardeel kemudian dikenal dengan Pangeran Wiraguna diperbaikilah bangunan istana Surosowan. Benteng istana diperkuat dengan diberi Bastion, disetiap penjuru mata angin dan dilengkapi dengan 66 buah meriam yang diarahkan ke segala penjuru.
Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin, Belanda juga menyerang benteng Tirtayasa dan dapat menaklukkannya meski menderita kerugian besar. Akan tetapi sebelum Belanda memasuki benteng tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa sempat terlebih dulu membakar seluruh isi benteng dan lantas melarikan diri bersama Pangeran Purbaya dan pengikutnya. Walau pertahanan terakhir Sultan Ageng sudah jatuh, namun Belanda tidak otomatis dapat memadamkan perlawanan rakyat Banten. Sultan Ageng masih mengadakan perjuangan secara gerilya. Akan tetapi, lama kelamaan Belanda dapat mendesak mereka ke wilayah selatan. Hingga kemudian di tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap melalui tipu muslihat Belanda dan Sultan Haji. Beliau akhirnya dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun1692.
C. Mataram Menghadapi Belanda
Pendiri dinasti Kerajaam Mataram Islam pertama adalah Sutowijoyo. Karena atas jasanya dalam mengatasi konflik yang terjadi di kerajaan Islam Demak, beliau diberi hadiah tanah di Mataram Yogyakarta oleh Joko Tingkir. Kerajaan Mataram sendiri mencapai puncak kejayaan pada pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokesumo. Sultan Agung (nama yang masyhur) sangat menentang dan memusuhi Kompeni Belanda (VOC). Ia merupakan raja ketiga dari Mataram. Ia memerintah tahun 1613 sampai tahun 1645. Pada waktu itu kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat. Selanjutnya wilayah tersebut dibagi menjadi beberapa daerah. Urutannya Istana negara berada di Keraton sebagai pusat pemerintahan. Selanjutnya wilayah yang mengintari ibukota disebut Kutanegara, dengan beberapa pimpinan Birokrat. Seperti Senopati, Demang dan sebagainya. Setelah Sultan Agung wafat, tidak ada lagi raja Mataram yang seperti beliau. Bahkan putranya Susuhunan Amangkurat I (1645 sampai 1677) justru bersekutu dengan Kompeni Belanda. Demikian juga putra Amangkurat I yaitu Susuhunan Amangkurat II juga bersekutu dengan Kompeni Belanda.
Raden Mas yang menjadi Susuhunan Amangkurat III mencoba untuk melawan Kompeni Belanda, tapi akhirnya ia disingkirkan juga oleh Kompeni Belanda. Akhirnya kerajaan Mataram diberikan kepada Pangeran Puger (ayah dari pangeranMangkubumi). Pangeran Puger inilah yang bergelar Susuhunan Pakubuwana I. Pakubuwana I (PB I) juga berkerja sama dengan Kompeni Belanda. Akibat dari kerjasama ini, berangsur-angsur wilayah Mataram semakin menyempit. Sebabnya adalah wilayah tersebut diambil oleh VOC, atas imbalan atas jasa-jasanya yang menyelesaikan pemberontakan-pemberontakan intern di Mataram. Seperti Pemberontakan Trunojoyo yang berakhir tahun 1678. Akibatnya Mataram harus melepaskan daerah Karawang, Semarang dan sebagian daerah Priangan. Bantuan pemadaman pemberontakan terhadap Untung Suropati yang berakhir tahun 1705. Mataram juga melepaskan kembali daerah Cirebon, sisa daerah Priangan dan separoh bagian timur Madura kepada VOC Belanda.
Selanjutnya Perang China berakhir tahun 1743, juga tidak lepas dari bantuan VOC Belanda. Seluruh daerah pantai utara jawa dan seluruh pulau Madura menjadi milik VOC Belanda. Wilayah Mataram semakin sempit dengan berakhirnya perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dimana Mataram dipecah menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1757 dan 1813 wilayah tersebut pecah lagi dengan munculnya Mangkunegaran dan Pakualaman. Perpecahan Mataram Islam menjadi beberapa wilayah (karisidenan) kecil tidak terlepas dari pengaruh VOC Belanda.
Setelah dilakukan perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam konversi London tahun 1814. Daerah jajahan Hindia Belanda (Indonesia) dikembalikan pada Belanda, bukan Prancis. Untuk mengurusi daerah jajahan tersebut dikirim komisi jendral yang terdiri dari Van der Capellen, Elout dan Buyskes. Ketika Pulau Jawa dikembalikan pada Belanda, raja-raja Jawa berharap bisa memulihkan keadaan Kerajaan. Tetapi ternyata Belanda memperbarui kebijakan-kebijakan yang dilakukan Inggris. Puncaknya di Yogyakarta, terjadi peperangan yang besar yaitu perang diponegoro (Perang Jawa) yang terjadi tahun 1825 sampai tahun1830.
Disebut Perang Jawa, karena peperangan ini melanda hampir di seluruh Jawa. Peperangan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (putra mahkota Pangeran Adipati Anom). Penyebab perang adalah kerena Belanda selalu ikut campur permasalahan di Mataram. Perang ini merupakan puncak kebencian kerajaan sejak awal kedatangan Belanda di Jawa Tengah, yang menyebabkan kemerosotan di Mataram. Wilayah Mataram makin sempit karena banyak dianeksi oleh Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Selain itu juga penyebabnya adalah terjadinya pembagian Mataram menjadi empat wilayah yaitu, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Dan penderitaan rakyat yang semakin berat, dengan adanya kerja Rodi dan pajak tanah.
Selain sebab-sebab tersebut, terdapat sebab khusus mengapa Pangeran Diponegoro melakukan peperangan. Yaitu adanya proyek pembuatan jalan yang melalui makam makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danuharjo (kaki tangan Belanda) memerintah pemasangan patok-patok di jalur itu. Pangeran Diponegoro memerintah untuk mencabutnya, tetapi di pasang kembali. Hal tersebut terjadi berulang kali, sehingga patok-patok tersebut diganti dengan tombak oleh Pangeran Diponegoro untuk berperang melawan Belanda.
Dalam peperangan tersebut Pangeran Diponegoro tidak sendirian. Selain dengan pasukannya, beliau juga dibantu oleh Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasa Prawiradiraja, dan Kiayi Mojo dari Surakarta. Kiayi Mojo berhasil mengobarkan jihad di daerah Yogyakarta, Surakarta, Bagelen dan sekitarnya. Tahun 1826, Pangeran Diponegoro memperoleh kemenangan gemilang di Ngalengkong. Kemenangan ini merupakan kemenangan terbesar dalam peperangan Gerilya (bawah tanah) yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Rakyat menobatkan Pangeran Diponegoro dengan gelar "Sultan Abdul Hamid Herutjokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa". Penobatan ini dilakukan di desa Dekso.Selain kemenangan gemilang, dalam perang gerilya selanjutnya terjadi konflik intrnal antara Pangeran Diponegoro dengan Kiayi Mojo. Yaitu mengenai permasalahan pemerintahan dan keagamaan. Dalam perselisihan tersebut Kiayi Mojo berpendapat bahwa kedua masalah tersebut harus dipegang secara terpisah, bukan dipegang oleh satu tangan.
Seperti pendapat Pangeran Diponegoro. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena usulan perang terbuka yang diusulkan Kiayi Mojo tidak diterima oleh Pangeran Diponegoro.Tidak hanya dengan Kiayi Mojo. Sentot Alibasa juga meninggalkan pangeran Diponegoro. Alasannya karena Sentot alibasa mengingginkan perang terbuka, bukan perang gerilya. 1829 merupakan tahun yang kritis bagi Pangeran Diponegoro. Kerena satu demi satu pengikutnya mulai meninggalkannya. Anehnya Sentot Alibasa menyerah kepada Belanda dengan berbagai syarat diantaranya pemberian pinjaman sebesar 10.000 Ringgit, diberikan senapan dan tetap memeluk Islam. Hal tersebut disambut gembira oleh belanda.
Sentot diangkat menjadi Letnan Kolonel dan langsung dibawah pimpinan Jendral De Kock.Setelah kehilangan para pengikutnya, perang gerilya yang dilakukannya selama ini agak menjadi lemah. Hingga pada akhirnya pada bulan februari tahun 1830 terjadi perundiang antara Belanda dan Pangeran Diponegoro. Dari pihak Belanda diwakili oleh Jendral De Kock. Dalam perundinga tersebut Pangeran diponegoro meminta agar berdirinya negara yang merdeka dibawah pimpinan Sultan dan juga ingin menjadi Amirulmukminin diseluruh tanah jawa. Melihat sikap beliau yang teguh, Belanda tidak dapat memenuhi permintaannya. Kemudian Pangeran diponegoro ditangkap dan ditawan di Batavia, kemudian dipindahkan ke Menado. Selanjutnya dipindahkan ke Makasar di Benteng Rotterdam. Dengan ditangkapnya Pangeran diponegoro, maka berakhirlah perang Jawa.
Dalam perang ini belanda banyak sekali mengeluarkan biaya untuk peperangan. Tidak hanya itu, pada waktu yang bersamaan Belanda juga menghadapi "Perang Paderi" di sumatra Barat. Belanda mengakui Perang Diponegoro merupakan perang yang paling berat yang pernah dihadapi. Pangeran Diponegoro meninggal di Makasar tanggal 8 Januari 1855.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono 1987 Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Dari Emporium sampai Imperium, Gramedia, Jakarta.
Nugroho, Notosusanto.dkk.1993.Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta; Balai Pustaka
Ricklefs, M.C 2005 Sejarah Indonesia Modern, GadjahMada University Press, Yogyakarta.
Sartono, Kartodirjo. 1998. Dari Imperium sampai Emporium Jilid II. Jakarta: Gramedia
No comments:
Post a Comment