ARMINAL HABLI
Sejarah Berdirinya Sarekat Islam
Seperti yang telah dipaparkan pada pendahuluan di atas Sarekat Islam adalah sebuah organisasi yang berdiri di awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1912. Mulanya organissai ini berama Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi dengan tujuan awalnya adalah untuk membantu dan menyelamatkan para pengusaha batik pribumi dari para pedagang tionghoa saat itu yang memonopoli perdagangan batik pribumi. Sejak semula organisasi ini memang didirikan dengan diarahkan khusus bagi kepentingan rakyat jelata. Berikut beberapa alasan lainnya yang mendorong berdirinya organisasi Sarekat Islam (SI):
- kemajuan gerak langkah penyebaran agama Kristen
- hinaan parlemen Negeri Belanda tentang tipisnya kepercayaan beragama bangsa Indonesia
Menurut Deliar Noer, ada dua alasan organisasi ini berdiri, pertama kompetisi tinggi pada bidang perdagangan batik, terutama dengan golongan Cina dan sikap superioritas orang Cina terhadap orang pribumi sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina dalam tahun 1911. Hal ini
sebagai akibat dari digantinya tekstil pribumi dengan bahan-bahan yang diimpor dan dibeli oleh para pembatik dari pedagang perantara Cina, maka seluruh industri batik beralih ke tangan orang Cina. Untuk mempertahankan diri terhadap praktek-praktek orang Cina, para pedagang batik Jawa akhirnya bersatu pada tahun 1911 dan mendirikan SI, hal ini dikemukakan oleh Van Niel. Meskipun demikian ada beberapa fakta yang menyangkal, pertama konstatasi bahwa orang Cina telah mengeluarkan para pengusaha batik Jawa, setidaknya di Surakarta tidaklah benar. Memang ada tapi hanya sebagian kecil dan itu juga di daerah Kudus, Lasem, dan Banyumas. Kedua, orang Cina menguasai perdagangan dalam bahan baku cat sudah ada jauh sejak tahun 1890-an. Jadi, peralihan bahan baku dari cat alami ke cat kimiawi pada abad ini hampir tidak membawa perubahan. Ketiga, dalam kerajinan batik Solo yang dilakukan pada tahun 1920-an pada umumnya terjalin hubungan yang baik antara bahan baku orang Cina dan produsen orang Indonesia. Karena visi utamanya berkaitan dengan perlawanan menghadapi para pedagang tionghoa, maka lahirlah sikap permusuhan rakyat terhadap bangsa Tionghoa. Berbagai perkelahian sering terjadi, yang mengakibatkan rasa khawatir di dalam pemerintahan kolonial. Permusuhan yang sering terjadi membuat pemerintah bersikap represif terhadap Sarekat Dagang Islam yang berada di Surakarta. Tindakan tersebut mengakibatkan pada tanggal 12 Agustus 1912, SDI diskors selama 4 hari oleh residen Surakarta tidak boleh menerima anggota baru dan mengadakan rapat-rapat. Keputusan pengubahan nama dari Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam berdasarkan pada keinginan memperluas perkumpulan, tidak hanya lagi berorientasi pada kegiatan perdagangan, namun telah merambah berbagai bidang kehidupan yang tujuan pendiriannya tetap sama, yaitu mencapai kemajuan rakyat yang nyata dengan jalan persaudaraan, persatuan dan tolong-menolong di antara kaum Muslimin semuanya. Satu hal yang menjadi sangatpenting adalah di mana anggota dari Sarekat Islam ini TIDAK boleh berasal dari kalangan pegawai negeri atau pejabat pemeritahan kolonial Hindia-Belanda.
Tujuan Anggaran Dasar SI lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:
- Memajukan pertanian, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan pengajaran
- Memajukan hidup menurut perintah agama dan menghilangkan faham-faham keliru tentang Islam
- Mempertebal rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong di antara anggotanya.
Meskipun Sarekat Islam didirikan sebagai organisasi modern, lengkap dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, namun persepsi masyarakat mengenai SI sering berbeda sekali dengan yang dimaksud oleh para pimpinan, SI lebih sering dianggap sebagai lambang dari identitas golongan. Untuk mengatur rakyat Indonesia ke arah emansipasi dalam menghadapai sistem kolonial dengan segala ketimpangannya, SI berurusan dengan berbagai kelompok dan golongan sosial dan subkultur. Kalau di kota orientasi tujuan pembangunnanya sudah bersifat realistik, apa yang terjadi di pedesaan bersifat kebalikannya, lebih kepada aspek religius. Dapat dilihat dari upaya menegakkan moralitas agama, mengusahakan kesejahteraan serta meningkatkan kedudukan dan peranan sosial ekonomi, sekaligus bersamaan dengan penggalangan kesadaran sosial rakyat. Di kalangan SI, kesadaran sosial tidak terpisah dari kesadaran religius. Keduanya saling memperkuat, sehingga sensitivitas meningkat dalam menghadapi masalah-masalah melalui kompetisi dengan para pengusaha asing, diskriminasi menurut garis warna dan proses dekadensi moral. Pada perkembangannya perluasan perkumpulan ini terwujud dalam pengadaan pembukaan cabang di berbagai daerah dengan minimal anggotanya terdiri dari 50 orang. Namun di pihak lain, pemerintah Hindia-Belanda kurang sependapat bila diadakan perluasan, pemerintah ingin perkumpulan SI hanya ada di Surakarta saja karena tidak ingin sampai menjalar ke pelosok Nusantara. Usaha tersebut mengalami kegagalan, terbukti pada 10 September 1912 berhasil disusun peraturan baru di daerah Surabaya, bahwa pembukaan cabang-cabang baru akan mungkin tetap berlanjut dengan Haji Samanhudi menjadi Ketua Pengurus Besar dan H.O.S Tjokroaminoto sebagai komisarisnya. Penetapan Anggaran Dasar juga dilakukan dengan tujuan memajukan semangat dagang bangsa Indonesia, memajukan kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama serta menghilangkan faham-faham yang keliru tentang agama Islam. Pada masa itu dalam penetapan Anggaran Dasar tidak disertakan tujuan politik, karena pendirian organisasi yang bersifat politik sangat dilarang dan membahayakan. Gubernur Idenburg secara hati-hati mendukung organisasi ini, baru pada tahun 1913 SI diakui oleh pemerintah kolonial secara resmi. Namun tetap saja, ia tidak akan mengakui Central Sarekat Islam sebagai markas besar SI yang mengendalikan segala kegiatan yang bersifat nasional. Akibatnya, CSI semakin sulit melakukan pengawasan yang terorganisir terhadap cabang-cabang SI yang berada di daerah.
Sarekat Islam dan Perkembangannya
Pada perkembangan selanjutnya tumbuhlah cabang-cabang SI di berbagai daerah, seperti SI Semarang, SI Yogyakarta, SI Surakarta serta SI Surabaya dan tidak lupa dibentuk pula semacam SI pusat atau CSI dengan struktur modern. Salah satu faktor berkembangnya SI secara pesat dengan memiliki basis massa yang besar adalah karena diperbolehkannya kartu keanggotaan rangkap. Akibatnya, mayoritas anggota SI merupakan anggota dari organisasi lain, seperti ISDV, PKI, ataupun serikat-serikat kerja/buruh. Walaupun perkembangan SI sampai ke luar Jawa, namun tetap mempertahankan Jawa sebagai pusat kegiatannya. Pemerintah kolonial semakin tidak senang melihat kekuatan SI yang semakin besar dilihat dari jumlah massanya saat itu, melebihi massa dari organisasi-organisasi lainnya. Walaupun para pengikut Sarekat Islam begitu banyak, tetapi tidak semuanya mempunyai pengertian dan pemahaman atas tujuan dan kegiatan organisasi tersebut, sehingga terjadi berbagai penyimpangan yang mengatasnamakan organisasi Sarekat Islam. Di beberapa tempat yang menjadi cabang Sarekat Islam timbul berbagai gerakan anti-Cina, dikarenakan golongan Tionghoa dianggap sebagai penghalang usaha ekonomi pribumi. Daerah tersebut antara lain: Sala, Bangil, Tuban, Rembang, Cirebon, Tuban, Kudus (1918). Hal itu juga diperkuat karena adanya perbedaan agama. Di Batavia saat itu juga banyak terjadi bentrokan yang mengatasnamakan Sarekat Islam dengan para pengusaha pelacuran dan perjudian. Bukanlah suatu kebetulan bahwa insiden itu bersifat lokal dan berumur pendek. Hal tersebut dikarenakan oleh kenyataan bahwa cabang-cabang Sarekat Islam di daerah tadi berdiri sendiri atau otonom, yang menyebabkan pimpinan pusat Sarekat Islam (CSI) tak berdaya. Sikap berani para SI daerah tersebut juga memancing pemerintah kolonial untuk mengeluarkan peraturan baru yang menetapkan bahwa cabang-cabang harus berdiri sendiri untuk daerahnya masing-masing (SI daerah). Namun pemerintah tetap tidak berkeberatan bila antar SI daerah saling bekerja sama melalui badan-badan perwakilan. Hal ini dilakukan guna menghindari adanya kepemimpinan pusat di tubuh SI yang dapat mengorganisir SI di daerah-daerah untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Hingga tahun 1915 saja telah berdiri lebih dari 50 cabang Sarekat Islam di daerah, dan untuk menyikapi hal tersebut di Surabaya didirikanlah Central Sarekat Islam (CSI) dengan tujuan untuk memajukan dan membantu SI daerah dalam mengadakan perhubungan dan pekerjaan bersama di antaranya. Dengan jumlah massa yang banyak, mendorong organisasi-organisasi lainnya untuk melirik dan mendapat pengaruh dalam tubuh SI. Sebut saja seperti ISDV (Indisch Sociaal Democratische Vereniging), NIP (National Indische Partij). ISDV di bawah Sneevliet, P. Bergsma, J. A. Braadsteder dan H. W. Dekker yang sebenarnya berhaluan radikal, secara mengejutkan mampu melakukan penyusupan atau propaganda secara halus dalam tubuh SI. Mereka berhasil masuk menyebarkan pengaruhnya pada anggota-anggota SI, sebut saja seperti Semaoen (wakil SI Surabaya dan pemimpin SI Semarang), Darsono, H. Misbach, Tan Malaka, Alimin Prawirodirdjo dan Marco (SI Surakarta) yang berhasil menentang tokoh-tokoh SI yang tulen dan kolot. Marco awalnya adalah seorang jurnalistik yang keras mengkritik pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Ia berkali-kali dikenakan pressdelict karena berita-berita yang dituliskannya. Sewaktu ditahan di penjara, Marco mendapatkan tekanan kuat dari pengurus SI, ia tidak mendapatkan dukungan penuh. Justru ia dibela oleh Sneevliet dan inilah awal mula Marco terjun dalan haluan sosialis di dalam SI. Marco yang sempat mundur dari pentas pergerakan dan lebih memilih melanjutkan serta fokus dalam kegiatan jurnalistiknya, akhirnya memutuskan untuk kembali ke Surakarta karena hidup baginya adalah "pergerakan dan pengorbanan". Kaum sosialis tersebut datang ke Indonesia, karena melihat bangsa ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat melakukan gerakan-gerakan massa melawan pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh perpecahan yang terjadi pada kaum sosialis Belanda yang melahirkan kubu revisionis dan kubu ortodoks revolusioner. Seperti yang dituliskan oleh Munasichin berikut: Kubu revisionis tetap bertahan dan mengembangkan partai sosialis sebelum-nya Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) yang lebih moderat. Se-dangkan kelompok ortodoks mendirikan partai baru yang kemudian dikenal dengan nama Sociaal Democratische Partij (SDP). SDP dikenal sebagai partai berhaluan Marxisme ortodoks, yang mengembangkan perjuangan revolusioner daripada perjuangan parlementer, seperti yang dilakukan oleh SDAP. Pada tahun 1914 Sneevliet dan kawan-kawan berhasil mendirikan organisasi ISDV yang kental dengan haluan Marxisme-nya. Setelah berhasil mendirikan organisasi tersebut, Sneevliet berusaha mencetak tokoh-tokoh sosialis pribumi yang sangat berpengaruh pada masa awal kebangkitan nasional, terutama yang mampu menggerakkan rakyat dalam melakukan perlawanan terhadap segala kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menyengsarakan mereka. Hasil cetakan ISDV tersebut seperti Semaoen, Darsono dan Marco tak lain adalah anggota SI daerah. Pada tahun 1916 sampai tahun 1921 SI mulai memliki struktur organisasi yang stabil. SI memberikan perhatian pada hampir semua masalah, mulai dari masalah politik sampai dengan masalah agama. Selain itu juga untuk menyebarkan dan menegakkan cita-cita nasionalisme dengan Islam sebagai dasar pemikirannya. Sifat politik dari organisasi ini dirumuskan dalam Asas dan Program kerja yang disetujui oleh kongres yang diadakan pada tahun 1917.
Kongres-Kongres Sarekat Islam
Kongres Pertama Sarekat Islam diadakan pada 26 Januari 1913 di Surabaya. Kongres tersebut dipimpin oleh Tjokroaminoto yang menjelaskan dengan tegas bahwa SI bukanlah partai politik dan tidak memiliki maksud serta tujuan untuk melakukan perlawanan pada pemerintah Hindia-Belanda. Kongres pertama ini berhasil menyedot kemauan dan minat rakyat untuk masuk menjadi anggota SI, dengan Islam sebagai lambang persatuannya dan tujuan untuk mempertinggi derajat dan martabat rakyat. Akibatnya di beberapa tempat di Pulau Jawa mulai berdiri cabang-cabang SI, contohnya saja di daerah Jakarta SI telah memiliki anggota sebanyak 12.000 orang.
Kongres Kedua diadakan di Surakarta (Solo sekarang) dengan hasil keputusannya adalah SI hanya akan menerima keanggotaan rakyat yang berkebangsaan Indonesia saja (rakyat pribumi saja). Tujuannya adalah agar corak dan karakteristik SI sebagai organisasi rakyat tidak akan berubah.
Kongres Ketiga (17-24 Juni 1916) diadakan di Bandung. Kongres ini merupakan Kongres Nasional SI yang Pertama dengan peserta sebanyak 360.000 orang sebagai perwakilan dari 80 SI daerah yang total anggotanya mecapai 800.000 orang. Kongres ini dipimpin oleh Tjokroaminoto dengan harapan agar SI dapat menuju ke arah persatuan yang teguh antar-golongan bangsa Indonesia.
Kongres Nasional SI Kedua pada 20-27 Oktober 1917 di Jakarta, di mana CSI semakin memperlihatkan semangat politiknya, dengan merumuskan perjuangan pergerakan politiknya adalah untuk merebut kemerdekaan dari tangan Belanda dan para kapitalis dengan membentuk pemerintahan sendiri atau Zelf-Bestuur dan mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat yang sosialistis. Sejak saat itu mulai terjadi pergolakan-pergolakan politik dalam tubuh SI yang sebenarnya merupakan bom waktu yang telah tertanam sejak ISDV memainkan perannya dalam tubuh SI melalui orang-orang kepercayaannyadan mulailah SI mengarah atau bergeser ke haluan kiri. Kongres Nasional SI Ketiga adalah pada 29 September-6 Oktober 1918 di Surabaya dengan hasil keputusannya adalah menentang segala kebijakan pemerintah yang tetap melindungi praktik kapitalisme yang berdampak pada aksi penindasan kaum buruh. Kongres Nasional SI Keempat pada 26 Oktober-2 November 1919 di Surabaya memfokuskan tentang serikat kerja yang bertujuan melakukan gerakan perlawanan menentang kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat. Kongres SI, Oktober 1921 mengambil keputusan gerakan Disiplin Partai dengan mengeluarkan anggota PKI. Kongres SI Merah, 24-25 Desember 1921 di Semarang, dan dipimpin oleh Tan Malaka dan wakilnya adalah Semaoen, sementara Darsono merapatkan hubungan dengan poros Moskow dan pergi ke sana pada Oktober 1921. Dalam kongres ini mereka berterus terang menyatakan dirinya sebagai KOMUNIS dengan mengakui pemimpin-pemimpin Komunis Uni Soviet seperti Trotsky dan Lenin sebagai pahlawan mereka. Yang dihadiri oleh Kongres SI Putih, 17-20 Februari 1923 di Madiun, menghasilkan keputusan pembentukan partai SI. Langkah yang sulit untuk membangun kembali citra SI dengan Pan-Islamisme nya, oleh karena itu Agus Salim memohon bantuan pada Muhammadiyah. Sedangkan Kongres SI Merah, 4 Maret 1923 yang bertempat di Bandung yang dihadiri oleh 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah dan perkumpulan serikat kerja komunis. Dalam kongres mereka menyerang SI Putih dengan tuduhan SI telah terbentuk untuk lebih mementingkan kaum pemilik modal dan melakukan pemborosan uang rakyat. Dari sini mulai terjadi kongres-kongres balasan antara SI Putih dan SI Merah yang saling mempropagandakan dan memperdebatkan pemikiran dan ideologi masing-masing. Kongres SI, 8-11 Agustus 1924 di Surabaya, mengambil keputusan non-kooperasi terhadap pemerintah dan Volksraad serta keputusan menentang kaum komunis secara giat.Kemudian Kongres CSI 21-27 Agustus 1925 di Yogya bertujuan untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penindasan dan penjajahan melalui pembukaan sekolah-sekolah guna mencetak pribadi yang tangguh dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi berdasarkan syariat-syariat Islam. Dan yang terakhir adalah Kongres SI 14-17 Januari 1927 yang mengeluarkan pernyataan terbuka untuk menuju kemerdekaan kebangsaan yang berdasarkan agama Islam.
Perpecahan dalam Tubuh Sarekat Islam
SI yang semakin condong ke kiri ini pada gilirannya menggabungkan dirinya pada Radicale Concentratie pada 16 November 1918. Dari sini, sikap kontroversial SI mulai nampak saat terjadi peristiwa Afdeeling B di Garut pada Juni 1919. Dampaknya Tjokroaminoto pada 1921 ditangkap pemerintah kolonial atas tuduhan memberikan sumpah palsu atas kasus tersebut. Antara tahun 1918-1921, hubungan SI terjalin baik dengan PKI dan berhasil memberikan kontribusi penting terhadap serikat-serikat buruh dalam meningkatkan kondisi dan upah para anggotanya. Sempat SI dan PKI membentuk semacam federasi pada tahun 1919, namun pemimpin serikat kerja dari CSI (Surjopranoto) yang menjabat wakil federasi, menggugat kepemimpinan Semaoen dalam federasi tersebut melalui berbagai pemogokan. Sejak saat itu, munculah pertikaian terbuka SI dan PKI. Untuk menyikapi hal tersebut, dilakukanlah gerakan Disiplin Partai dalam Kongres SI pada bulan Oktober 1921. Hal ini berdampak pada seorang anggota SI tidak mungkin lagi menjadi anggota partai atau organisasi lain (terkecuali anggota Muhammadiyah). Selain itupun anggota-anggota PKI yang ada dalam tubuh CSI dikeluarkan. SI kemudian terpecah menjadi dua, yaitu SI Putih (dengan gerakan Pan-Islamisme di bawah pimpinan H. Agus Salim serta Abdul Muis dan dukungan Tjokroaminoto setelah dibebaskan dari penjara pada Mei 1922). Sedangkan SI Merah berada di bawah pimpinan Semaoen sejak 1922, setelah ia pulang mengasingkan diri ke Uni Soviet dan mulai membangun kembali serikat-serikat kerja PKI serta meningkatkan pengaruhnya pada cabang-cabang dan sekolah-sekolah SI. Atas inisiatifnya untuk melepaskan diri selama-lamanya dari PKI, pada Kongres SI bulan Februari 1923 Tjokroaminoto mendirikan Partai Sarekat Islam yang mendukung gerakan disiplin partai. Ia pun berusaha mendirikan cabang-cabang PSI di daerah yang terdapat cabang SI Merah-nya yang kemudian oleh Semaoen diganti menjadi Sarekat Rakyat. Pengaruh Agus Salim dalam CSI menjadikan SI Putih menempuh kebijakan non-kooperasi (mundur dari keanggotaan Volksraad) dan menjauhkan diri dari aksi-aksi penting politik. Semenjak itu, PKI-lah yang banyak terlibat melancarkan kampanye-kampanye pergerakan rakyat yang nyaris padam akibat konflik terbuka SI dan PKI. Jika ditilik dalam hal agam, SI juga telah terpecah sejak 1916 di Minangkabau akibat perbedaan doktrin kaum modernis dan kaum tradisional serta adat. Akibatnya berkembang pesatlah paham komunisme-Islam di ranah Minang ini. Sedangkan di Jawa perpecahan anggota SI terjadi antara kalangan modernis dengan kaum adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan pra-Islam atau kebudayaan masa Majapahit.
DAFTAR PUSTAKA
- Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid II. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
- Korver, A. P. E. Van. Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil. Jakarta: PT. Grafitipers, 1985.
- Munasichin, Zainul. Berebut Kiri: Pergulatan Marxisme awal di Indonesia, 1912-1926. Yogyakarta: LKIS, 2005.
- Noer, Deliaar. Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996.
Great rreading this
ReplyDelete