RODEARNI S
Sistem ekonomi kolonial antara tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Maksudnya adalah bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Selama masa ini pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula dan kina. Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini kemungkinan oleh undang-undang agraria (Agrarische wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak undang-undang ini melindungi hak milik petani Indonesia atas tanah mereka. Di lain pihak undang-undang agraria membuka peluang bagi orang-orang asing, artinya orang-orang bukan pribumi Indonesia, untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia. Zaman liberal menyaksikan penetrasi ekonomi uang yang lebih mendalam lagi kedalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat jawa. Hal ini terutama disebabkan oleh penyewaan tanah penduduk oleh
perusahaan-perusahaan swasta Belanda untuk di jadikan perkebunan-perkebunan tersebut. Tanah yang disewakan tidak terbatas pada tanah-tanah kosong, tetapi meliputi juga areal persawahan. Seperti telah diterangkan dalam bagian terdahulu, tebu pula ditanam silimusim. Hal ini juga disebabkan oleh kesempatan yang di berikan kepada petani di Jawa untuk bekerja di perkebunan-perkebunan besar sebagai buruh harian maupun buruh musiman. Meluasnya pengaruh ekonomi barat dalam masyarakat Indonesia selama zaman liberal tidak saja terbatas pada penanaman tanaman-tanaman perdagangan di perkebunan-perkebunan besar, akan tetapi juga meliputi impor barang-barang jadi yang di hasilkan oleh industri-industri yang sedang berkembang di negeri Belanda. Impor barang-barang jadi, yang untuk sebagian besar terdiri atas barang-barang konsumsi ringan, mempunyai akibat-akibat yang buruk bagi usaha-usaha kerajinan rakyat Indonesia, karena pada umumnya hasil-hasil produksi mereka, baik dalam harga maupun mutu tidak dapat bersaing dengan barang jadi hasil industri barat itu. Misalnya, impor-impor bahan tekstil dari daerah industri Twente di negeri Belanda mengakibatkan matinya usaha-usaha penenunan dari penduduk di Pulau Jawa. Akibat dari perkembangan yang menyedihkan ini penduduk pulai jawa makin didorong kedalam ekonomi uang, karena hilangnya mata pencarian mereka yang tradisional memaksanya mencari pekerjaan pada perkebnan-perkebunan besar yang dimiliki oleh Belanda dan lain-lain orang eropa. Namun pada umumnya respon penduduk di Jawa terhadap meluasnya ekonomi uang adalah pasif; artinya untuk sebagian besar mereka tetap tergantung dari mata pencarian di bidang pertanian, dan menjadi buruh pertanian hanya untuk melengkapi pendapatannya yang diproleh dari hasil-hasil pertanian jika pendapatan tidak mencukupi. Jika para petani ini terpaksa mencari pekerjaan di perkebunan-perkebuan besar untuk melengkapi pendapatannya, mereka senantiasa berusaha untuk meninggalkan pekerjaan tambahan itu jika tidak di rasakan perlu lagi.
Perluasan produksi tanaman dagangan untuk ekspor dari perkebunan-perkebunan swasta tersebut serta impor barang-barang konsumsi ringan dari negara-negara industri barat yang meningkatkan, mengakibatkan perdagangan Internasional makin ramai antara Indonesia dan negara-negara lain. Perkembangan perdagangan internasional juga mendorong perkembangan perdagangan perantara didaerah pedalaman di pulau Jawa. Perdagangan perantara itu pada umumnya terdiri atas dua fungsi yaitu perdagangan distribusi dan perdagangan koleksi. Perdagangan distribusi terutama menyebarkan barang konsumsi yang di impor dari luar negeri diantara penduduk di daerah pedesaan, sedangkan perdagangan koleksi terutama mengumpulkan hasil-hasil tanaman-tanaman dagang dari pada petani dan meneruskannya kepada para pedagang besar. Kesempatan-kesempatan ekonomi yang baru terbuka itu pada umumnya tidak di manfaatkan oleh penduduk di Jawa, jika tetapi orang-orang yang termasuk golongan timur asing, khususnya orang-orang China. Seperti telah dikatakan oleh Wertheim, sebagai orang-orang yang berasal dari negara lain atau keturunan orang pendatang, golongan ini tidak begitu terikat pada tradisi dan norma agraris yang masih di anut oleh penduduk di Jawa, sehingga mereka berada di dalam kedudukan yang lebih baik untuk memenuhi fungsi perdagangan antara. Seperti telah di kemukakan diatas, para petani di Jawa juga mulai mencari pekerjaan diluar bidang pertanian, akan tetapi hal ini hanya mereka lakukan jika di perlukan, misalnya untuk membayar pajak tanah atau untuk membeli barang-barang konsumsi impor. Akan tetapi pada umumnya sistem para petani tersebut terhadap meluasnya eonomi uang adalah pasif; artinya mereka tidak secara aktif memanfaatkan kesempatan ekonomi yang baru untuk keuntungan material mereka sendiri dan untuk meningkatkan taraf hidup mereka, akan tetapi mereka hanya menyesuaikan diri secara pasif dengan keadaan yang baru dan hanya berusaha untuk memperoleh sekedar tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang minimal. Salah satu akibat lain yang penting dari penetrasi barat yang makin mendalam di jawah adalah pertumbuhan penduduk yang makin pesat. Pertumbuhan penduduk yang pesat ini di sebabkan menurunnya angka kematian sedangkan angka kelahiran tetap tinggi. Faktor-faktor yang turut mengakibatkan menurunnya angka kematian adalah tindakan-tindakan dalam bidang kesehatan rakyat yang di ambil oleh pemerintah Hindia-Belanda, seperti Vaksinasi terhadap penyakit menular, perbaikan dalam sistem distribusi bahan makanan kepada rakyat antara lain melalui perbaikan jalan raya dan lain-lainnya.
Azas – Azas Liberalisme
Sama halnya dengan negara-negara lain, dinegri belanda para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa Negara (pemerintah) sepatutnya tidak campur tangan dalam kehidupan ekonomi, tetapi membiarkannya kepada kekuatan kekuatan pasar. Mengikuti Adam Smith, para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa satu-satunya tugas Negara adalah memelihara ketertiban umum menegakkan hukum, agar jangan demikian kehidupan ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Agar hal ini dapat diwujudkan, para pengikut aliran liberalisme menghendaki agar segala rintangannya yang sebelumnya telah dibuat oleh Negara dihapuskan. Rintangan-rintangan ini menghambat kelancaran kehidupan ekonomi dan oleh karena itu perlu disingkirkan. Ketika orang-orang liberal mencapai kemenangan politik di negeri Belanda (setelah tahun 1850) mereka mencoba menerapkan azas-azas liberalisme di koloni-koloni Belanda khsusunya di Indonesia, sedikit-dikitnya di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka. Mereka berpendapat ekonomi Hindia-Belanda akan berkembang dengan sendirinya jika diberi peluang sepenuhnya kepada kekuatan-kekuatan pasar untuk bekerja sebagaimana mestinya. Dalam praktek hal ini berarti kebebasan berusaha, yang dalam konteks Hindia-Belanda khususnya berarti kebebasan sepenuhnya bagi usaha dan modal swasta Belanda untuk mengembangkan sayapnya di Hindia-Belanda dalam berbagai usaha kegiatan ekonomi. Usaha kegiatan ekonomi yang mengalami perkembangan yang paling pesat selama zaman liberalisme di Hindia-Belanda adalah industry-industri ekspor, yang terdiri atas perkebunan-perkebunan besar dan tambang-tambang. Industri-industri ekspor merupakan motor penggerak utama bagi kehidupan ekonomi liberal di Hindia-Belanda sangat mempengaruhi pola perkembangan sector-sektor lainnya. Perkembangan pesat dari industry-industry ekspor dicetuskan oleh permintaan yang meningkat di pasaran dunia akan hasil-hasil pertanian dan pertambangan dari Hindia-Belanda, seperti gula, kopi, tembakau, dll. Perkembangan makin pesat lagi dengan munculnya kapal-kapal uap yang sangat menurunkan biaya pengangkutan antara daerah-daerah produksi dan pasaran dunia. Disamping itu pembukaan Terusan Suez dalam tahun 1869 amat mempersingkat jarak antara negara-negara penghasil bahan mentah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dengan negara-negara konsumen di Eropa, suatu hal yang menurunkan biaya pengangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lindblad, J. Thomas. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. PSS Asia Tenggara UGM dan Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. 2002
2. Poesponegoro, Marwati Djoenoed. Sejarah Nasional Indonesiavi ke-IV. Balai Pustaka. Jakarta. 1993
3. Van Der Meulen,W. J,. Indonesia di Ambang Sejarah. Kanisius. Yogyakarta. 1998
No comments:
Post a Comment