Perkembangan Partai Gerindo

Yulia Sari/ SIV
GERINDO atau Gerakan Rakyat Indonesia merupakan salah satu dari organisasi pergerakan atau partai yang didirikan oleh Sartono. Gerindo berdiri di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1937 sebagai akibat bubarnya Partindo. Tokoh-tokoh yang bergabung dengan Gerindo, selain Mr. Sartono yang lain nya yaitu, Adam Malik, A.M. Sipahutar, Sanusi Pane, Sarmidi Mangoensarkoro, Dr Adnan Kapau (A.K) Ghani, Mr. Amir Sjarifoedin, Mr. Mohammad Yamin dan lainnya. Kongres pertama Gerindo dilaksanakan pada bulan Juli 1938 di Jakarta, sedangkan kongres kedua dilaksanakan di Palembang pada bulan Agustus 1939. Pada kongres kedua ini Gerindo memutuskan menerima kaum peranakan (Indo-Eropa), (Indo-Tionghoa dan Indo-Arab) sebagai anggota.
Gerindo mempunyai tujuan utama yaitu terbentuknya parlemen penuh bagi Indonesia, tercapainya Indonesia merdeka, mencapai bentuk pemerintahan berdasarkan kemerdekaan lapangan politik, ekonomi dan sosial. Selain dari itu, Gerindo ini juga mempunyai tujuan diantaranya untuk memperkuat perekonomian Indonesia agar kehidupan masyarakat Indonesia berpindah ke taraf kehidupan yang lebih baik, mengangkat kesejahteraan kaum buruh serta memberi bantuan kepada kaum pengangguran. Tujuan dari Gerindo itu pada dasarnya yaitu untuk menimbulkan rasa nasionalisme didalam hati masyarakat Indonesia.
Pembentukan Gerindo pada Mei 1937 merupakan respon terhadap bahaya fasisme yang mengancam demokrasi. Fasisme yang didasarkan pada ikatan darah, kebudayaan dan keturunan melalui sistem partai tunggal sehingga akhirnya dapat menimbulkan kekacauan situasi dan mengambil alih kekuasaan politik. Menurut analisis Gerindo, para diktator di Eropa berkaitan dengan fanatisme militer di Jepang, dan bersama-sama mereka merupakan hasil wajar dari evolusi kapitalisme. Oleh sebab itu mereka mengancam demokrasi diseluruh dunia. Dan dalam situasi krisis global seperti itu, perlawanan terhadap fasisme lebih penting dari pada perlawanan terhadap kejahatan pemerintahan Kolonial Belanda.
Dengan lahirnya Gerindo, partai sayap kiri Pergerakan Nasional dengan wajahnya yang baru, yaitu kooperasi. Asas Gerindo yaitu kebangsaan kerakyatan. Gerindo berjuang untuk mencapai kemerdekaan Nasional. Asas kebangsaan Gerindo tidak didasarkan atas dasar satu darah, satu turunan. Asas kerakyatan yaitu demokrasi dalam berbagai lapangan masyarakat yaitu demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Menurut Gerindo, yang menjadi pedoman partai adalah asas dan tujuan partai, setiap anggota harus tunduk pada aturan partai.
Aktivitas  pertama kali ditunjukkan dengan sikapnya terhadap Petisi Sutarjo, Gerindo menyokong bagian Petisi yang menuju konferensi imperial, dimana utusan-utusan Belanda dan Indonesia yang mempunyai hak sama untuk memusyawarakan kedudukan Indonesia. Kemudian, sehubungan dengan pecahnya perang antara Jepang dan Tiongkok, umumnya untuk membantu bangsa Tionghoa di Indonesia. Gerindo dalam manifesnya menyatakan sikapnya yang antifasisme. Partai ini juga menyusun kekuatan dalam dewan-dewan, sehingga mengikutsertakan wakil-wakilnya dalam dewan-dewan untuk menjalankan kewajiban sesuai keinginan rakyat. (Warwati Djioened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2009:378-379).
Mengenai dewan-dewan, Gerindo mempergunakan dewan-dewan sebagai alat perjuangan dan tempat menyusun kekuatannya untuk mempengaruhi kemajuan rakyat. Partai ini tidak puas terhadap susunan dan kekuasaan dewan-dewan yang ada. Gerindo menuntut parlemen yang sejati, penuh dan bertanggung jawab terhadap rakyat. Untuk itu Gerindo menuntut hak untuk memilih umum dan langsung. Partai ini akan menyusun kekuatannya dalam dewan-dewan. Ditetapkan agar semua wakilnya dalam dewan-dewan menjalankan kewajiban sesuai dengan keinginan rakyat. Gerindo menetapkan syarat-syarat dalam mengajukan wakil-wakilnya di dewan-dewan, dan menetapkan disiplin (apa yang harus dilakukan) terhadap anggotanya yang duduk di dewan-dewan.
Sebagai suatu organisasi pergerakan yang baru, Gerindo yang mempunyai tujuan untuk kesejahteraan masyarakat di bidang politik sosial dan ekonomi tentu harus memiliki suatu program kerja agar organisasi itu benar-benar menjadi sebuah organisasi yang peduli akan nasib bangsa untuk kehidupan yang lebih baik.
Gerindo yang didirikan pada tanggal 24 Mei 1937, melaksanakan program kerjanya yaitu mengadakan kongres pertama pada tanggal 20-24 Juli 1938 di Jakarta, kongres itu dilaksanakan sebagai bentuk kerja nyata dari suatu organisasi pergerakan yang peduli terhadap perubahan sosial dalam masyarakat pribumi. Dalam kongres pertama itu, menghasilkan pembentukan PERI (Penuntun Ekonomi Rakyat Indonesia) yang merupakan perkumpulan ekonomi berdasarakan demokratis nasionalisme. Program kerja PERI diantaranya adalah memperbaiki harga-harga hasil bumi dan menurunkan harga-harga barang keperluan rakyat dan perluasan kesempatan kerja.
Pada tanggal 1-2 Agustus 1939, setelah kongres yang pertama, kongres kedua dilaksanakan di Palembang, dalam kongres ini diambillah keputusan berupa penerimaan Peranakan (Peranakan Eropa, Peranakan Tionghoa dan Peranakan Arab) untuk menjadi anggota partai itu. Jelas bahwa usaha Gerakan Rakyat Indonesia ialah memperteguh ekonomi Indonesia untuk memperkuat pertahanan negeri.
Dalam kongres yang kedua, Gerakan Rakyat Indonesia juga berusaha untuk mencapai adanya aturan menentukan batas upah yang rendah dan tunjangan bagi para pengangguran. Keputusan lain yang diambil Gerakan Rakyat Indonesia lainnya adalah menyetujui masuknya Gerakan Rakyat Indonesia kedalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Setelah kongres yang kedua tahun 1939, pada tanggal 1 Oktober 1940, dipilih pengurus besar yang baru.
Pemimpin Gerindo pada tahun 1940 dipilih melalui referendum (melalui surat). Tokoh utama Gerindo adalah Dr. Adnan Kapau Gani. Dia dikirim Gerindo pusat untuk mengelola  partai ini di Palembang pada 1941. Bagi A.K. Gani, "Gerindo didirikan sebagai koreksi garis kiri terhadap garis kanan Parindra." [1] Noengtjik A.R., bekas Ketua Partindo, diangkat sebagai Ketua Gerindo Palembang. Samidin, bekas ketua PNI yang kembali ke Palembang pada 1937 dipilih sebagai wakil ketua. A.S. Sumadi, guru-aktivis Yayasan "Perguruan Rakyat" Taman Siswa menduduki jabatan sekretaris. Pengikut Gerindo terdiri dari berbagai berbagai macam latar belakang, sebagian besar pekerja lepas, buruh pelabuhan, dan buruh pasar. Udin Siregar yang sempat dikader Arif Siregar untuk mengembangkan kegiatan politk PARI adalah pekerja perusahaan minyak BPM Plaju. Kgs. Tohir dari Muara Enim dan Mas'oed juga ikut bergabung kedalam Gerindo. [2]
Sampai tingkat tertentu Gerindo Palembang berhasil mempersatukan kembali bekas-bekas PNI lama daerah ini yang sebelumnya terpecah antara Noengtjik A.R. (Partindo) dan Samidin (PNI-Baru). Dalam waktu yang relatif singkat Gerindo tersebar hampir disetiap daerah bahkan sampai kepelosok Muara Rupit, basis SA yang pernah melakukan perlawanan terhadap anasir kolonial pada 1916. Gerindo Palembang memang jauh lebih dinamis ketimbang Parindra.
Kemajuan yang dicapai Gerindo tidak terlepas dari peranan A.K. Gani. Dia belum lama menyelesaikan kuliah kedokteran di Batavia dan memilih karier sebagai dokter swasta di Kota Palembang. Kepindahan tokoh yang berpengalaman dalam dunia pergerakan ke Palembang membuat daya gerak Gerindo Palembang semakin hidup dan sedikit banyak menjadi avantgarde pergerakan nasionalis sekuler daerah ini. Walaupun posisinya "turun" dari pimpinan pusat menjadi pimpinan daerah, Wibawa Gani sebagai bekas pimpinan pusat amat terasa di cabang-cabang Gerindo seluruh Sumatera.
Tidak sampai setahun setelah Gerindo menyelenggarakan Kongres Nasional, PSII mengadakan kongres nasional pada tanggal 20-25 Januari 1940. Mereka menyelenggarakan nya di 4 Ulu, tidak jauh dari 10 Ulu. Tempat Kongres dibuat lebih semarak dengan pemandangan yang amat mencolok. Perkemahan dibangun disekitar pekarangan sekolah yang dapat menampung peserta berjumlah 1.000-2.000 orang. Berbagai perhiasan dipasang di pinggir-pinggir jalan. Mereka juga memancangkan bendera merah-putih serta spanduk besar bertuliskan Parlemen Indonesia. [3]  Semua dikerjakan oleh tenaga sukarelawan SIAP yang didatangkan dari cabang-cabang PSII pedalaman. Pidato-pidato yang disampaikan tidak kalah seru. Namun manuver yang dipertontonkan dalam acara akbar tersebut berbalik menjadi bumerang bagi panitia kongres.
Tanda-tanda perubahan zaman semakin tampak nyata pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia. Penguasa kolonial Hindia Belanda di Palembang kian sulit menutup sikap bimbangnya terhadap tuntutan kaum pergerakan yang semakin lantang. Beruntung perpecahan dan persaingan dalam tubuh partai-partai politik pergerakan dapat diredam oleh GAPPI (Gabungan partai-partai politik Indonesia) yang menghimpun hampir semua partai politik di Hindia Belanda (PSII, Gerindo, Parindra, PII dan PAI). [4]
Dalam kondisi genting menjelang Perang Dunia II, kerja sama yang dilakukan antara Gerindo dengan Parindra mampu mengatasi perbedaan diantara kedua partai. Sebagian besar kaum pergerakan yang mengambil posisi "Co" juga memiliki sebuah keyakinan bahwa Belanda akhirnya harus angkat kaki. Kini hanya tinggal soal waktu saja. Gerindo tampil sebagai partai politik yang banyak melakukan kegiatan dan barangkali paling efektif dalam kelompok intelektual perkotaan meski jumlah masanya lebih sedikit ketimbang PSII. Sebaliknya PSII tetap bersikukuh dengan pendirian "berdiri diatas kaki sendiri", sebuah sikap yang mencerminkan ketegaran partai ini pada masa sebelumnya tetapi mungkin ketegaran partai ini pada masa sebelumnya, tetapi mungkin tidak lagi relevan dengan zaman yang tengah berubah.
Seandainya PSII mengambil sikap lebih lentur dan cermat membaca tanda-tanda zaman, suara mereka pasti akan lebih menentukan ketimbang partai manapun di dalam Raad. Sesungguhnya PSII memiliki peluang yang lebih besar dengan menggunakan saluran resmi tersebut demi kepentingan partai. Lembaran baru masa pendudukan Jepang akan menyambut arus yang mengalir sebelumnya dan menentukan bagaimana arus ini dan kekuatan lain di sekelilingnya bertemu dalam situasi dan kondisi yang berbeda dari zaman sebelumnya.
Notes :
[1]. Zed Mestika (2003). Kepialangan politik dan revolusi Palembang 1900-1950. Jakarta. Pustaka LP3S. Hal: 179
[2]. Zed Mestika (2003). Kepialangan politik dan revolusi Palembang 1900-1950. Jakarta. Pustaka LP3S. Hal: 179
[3]. Zed Mestika (2003). Kepialangan politik dan revolusi Palembang 1900-1950. Jakarta. Pustaka LP3S. Hal: 182
[4]. Zed Mestika (2003). Kepialangan politik dan revolusi Palembang 1900-1950. Jakarta. Pustaka LP3S. Hal: 188
DAFTAR PUSTAKA
http://triseptyo.blogspot.com/2012/04/gerakan-rakyat-indonesia.html
Onghokham, 1987. Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta, PT Gramedia
Zed, Mestika. 2003. Kepialangan Politik dan Revolusi. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia
Poesponegoro, Marwati Djoned. Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta, Balai Pustaka, 1992

No comments:

Post a Comment