Zhila Tahta Arzyka/SIV
Partai-partai komunis yang ada di dunia ini pada dasarnya mempunyai garis politik yang sama. Tujuan mereka dalam rangka menciptakan Diktatur Proletar, yakni merebut kekuasaan pemerintah dengan jalan apapun. Garis politik PKI, usaha mencapai tujuannya telah tampak jelas sejak Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan perkembangannya setelah tahun 1950 sampai dengan meletusnya Pemberontakan G-30-S/PKI.
Dengan terpilihnya D.N. Aidit sebagai ketua pada tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI yang kacau balau pada tahun 1948 yang lalu. Usaha itupun berhasil dengan baik, terbukti pada Pemilihan Umum tahun 1955 PKI berhasil menjadi salah satu diantara empat partai besar di Indonesia. Sepuluh tahun selanjutnya, setidaknya sejak tahun 1964, PKI merasa bahwa dirinya sebagai partai terkuat dan mulai meningkatkan persiapannya untuk melaksanakan perebutan kekuasaan. Pada tahun 1964 dibentuklah Biro Khusus langsung di bawah pimpinan D.N Aidit. Orang pertama dalam organisasi itu adalah Sjam Kamaruzaman, orang yang kedua adalah Soepono Marsudidjojo (Pono), dan orang ketiga yakni Walujo (Bono). Biro Khusus ini aktif dalam melaksanakan pematangan situasi bagi perebutan kekuasaan dan melakukan infiltrasi ke dalam tubuh ABRI dan usaha penyusunan kekuatan dengan menggunakan tenaga-tenaga yang sudah terlatih dalam militer dari kalangan anggota PKI maupun Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Menjelang akhir Agustus 1965, pimpinan Biro Khusus PKI terus menerus mengadakan pertemuan-pertemuan, yang kesimpulannya dilaporkan kepada ketua CC PKI D.N. Aidit. Kemudian diputuskan oleh Aidit bahwa gerakan perebutan kekuasaan akan dipimpin langsung oleh D.N Aidit, sebagai pemimpin tertinggi gerakan. Sjam Kamaruzaman ditetapkan sebagai pimpinan pelaksana gerakan, Pono sebagai wakil pimpinan gerakan, dan Bono ditetapkan sebagai pimpinan bagian observasi. Selanjutnya kepada Sjam selaku pimpinan pelaksana gerakan diinstruksikan untuk mengadakan persiapan-persiapan terakhir menjelang pelaksanaan gerakan. [1]
Sejak tanggal 6 September 1965 pimpinan Biro Khusus PKI berturut-turut mengadakan rapat-rapat rahasia, dengan beberapa orang oknum ABRI yang telah lama dibina untuk membicarakan persiapan pelaksanaan gerakan. Rapat pertama dilakukan di rumah Kapten Wahjudi jalan Sindanglaya 5, Jakarta, dihadiri oleh Sjam, Soepono, Letnan Kolonel Untung Sutopo (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa), Kolonel A. Latif (Komandan Brigade Infantri I Kodam V/Jaya), Mayor Udara Suyono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim), Mayor A. Sigit (Komandan Batalyon 203 Brigade Infantri I Kodam V/Jaya), dan Kapten Wahjudi (Komandan Kompi Artileri Sasaran Udara). Dalam rapat tersebut dibicarakan tentang situasi umum dan sakitnya Presiden Soekarno. Selanjutnya, Sjam melontarkan isu adanya Dewan Jenderal yang akan mengadakan perebutan kekuasaan pemerintahan, dan menyampaikan instruksi Aidit untuk mengadakan gerakan mendahului kudeta Dewan Jenderal. Rapat kedua diselenggarakan tanggal 9 September 1965 di tempat yang sama, membicarakan kesepakatan bersama untuk turut serta dalam gerakan dan mengadakan tukar pikiran tentang taktik pelaksanaan gerakan, terutama masalah organisasi dan pengendalian kesatuan-kesatuan yang akan digunakan dalam gerakan serta pembagian tugas dan calon pimpinannya. Rapat ketiga pada tanggal 13 September 1965 di rumah Kolonel A. Latif, jalan Cawang I Kavling 524/525, Jatinegara. Rapat keempat tanggal 15 September 1965 dan kelima tanggal 17 September 1965 juga di rumah Kolonel A. Latif. Rapat keenam tanggal 19 September 1965 bertempat di rumah Sjam, jalan Salemba Tengah Jatibuntu Jakarta.
Dalam rapat ini Mayor A. Sigit tidak hadir karena sejak dalam diskusi-diskusi yang terdahulu ia tidak dapat diyakinkan tentang adanya Dewan Jenderal, oleh karena itu ia tidak menyetujui gerakan yang akan dilancarkan. Sebagai akibat dari sikapnya itu ia disisihkan serta untuk selanjutnya tidak diikutsertakan lagi. Rapat ketujuh tanggal 22 September 1965 juga diselenggarakan di Sjam, Kapten Wahjudi tidak ikut hadir dan sejak itu tidak muncul-muncul lagi di dalam rapat-rapat selanjutnya.
Dalam rapat itu ditetapkan penentuan sasaran gerakan bagi masing-masing pasukan. Yang akan bergerak menculik atau membunuh para Jenderal Angkatan Darat diberi nama pasukan Pasopati. Pasukan territorial dengan tugas utama menduduki gedung RRI dan gedung Telekomunikasi diberi nama Pasukan Bimasakti, dan pasukan yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan di Lubang Buaya diberi nama pasukan Gatotkaca. Rapat kedelapan tanggal 24 September 1965, dan terakhir tanggal 29 September 1965 kesemuanya dilakukan di rumah Sjam. [2]
Setelah persiapan terakhir menjelang pelaksanaan kudeta dibicarakan dalam rapar-rapat rahasia oleh tokoh-tokoh pelaksana utama di bawah pimpinan Sjam, ditetapkan bahwa gerakan akan dimulai pada hari Kamis malam tanggal 30 September 1965. Sesuai dengan keputusan rapat terakhir tanggal 29 September 1965 di rumah Sjam, gerakan itu diberi nama Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal G-30-S/PKI ataupun Gestapu/PKI. Disamping mengadakan rapat-rapat rahasia dengan beberapa orang oknum ABRI yang memangku jabatan di Jakarta tersebut, Sjam selaku Kepala Biro Khusus PKI berturur-turut mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala Biro Khusus daerah yang diselenggarakan di rumahnya. Di dalam rapat-rapat itu dibicarakan tugas-tugas yang harus dijalankan oleh Biro Khusus daerah dalam rangka gerakan yang akan dilancarkan. Pertemuan dengan Biro Khusus Daerah Jawa Barat tanggal 4 September 1965, dengan Biro Khusus Daerah Jawa Barat tanggal 8 September, dengan Biro Sumatra Barat tanggal 17 September, dan daerah Biro Khusus Daerah Jawa Tengah 15 September, dengan Biro Khusus Daerah Sumatra Barat tanggal 17 September, dan daerah Biro Khusus Daerah Sumatra lainnya tanggal 20 September 1965.
Secara fisik-militer gerakan akan dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) selaku pimpinan formal seluruh gerakan. Mereka mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965, didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa ke desa Lubang Buaya sebelah selatan Pangkalan Udara Utama Halim Perdana Kusuma. Secara kejam mereka dianiaya dan akhirnya dibunuh oleh anggota-anggota Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain organisasi satelit PKI. Setelah puas dengan segala kekejamannya, semua jenazah dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua lalu ditimbun dengan sampah dan tanah. Keenam perwira tinggi tersebut adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani, Deputi II Pangad (Mayor Jenderal R. Soeprapto), Deputi III Pangad (Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo), Asisten I Pangad (Mayor Jenderal Siswondo Parman), Asisten IV Pangad (Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan), Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo).
Jenderal Abdul Haris Nasution, Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) berhasil meloloskan diri dari bahaya penculikan, tapi putri beliau Adik Irma Suryani tewas akibat tembakan penculik. Ajudannya, letnan Satu Pierre Andries Tendean menjadi sasaran penculikan karena sepintas lalu dalam kegelapan wajahnya mirip Jenderal Nasution. Telah tewas juga Brigadir Polisi (Pembantu Letnan) Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah Jenderal A.H. Nasution. Bersama pengawal lainnya Satsuit Tubun mengadakan perlawanan ketika mereka akan dilucuti oleh penculik yang akan masuk ke rumah Jenderal A.H. Nasution. Bersama dengan gerakan penculikan, mereka juga menguasai dua buah sarana komunikasi yang vital yaitu Studio RRI Pusat di jalan Medan Merdeka Barat, dan gedung PN Telekomunikasi di jalan Medan Merdeka Selatan. Melalui RRI yang telah mereka kuasai, pada pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 Letnan Kolonel Untung menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September. Antara lain diumumkan bahwa gerakan mereka ditujukan kepada jendral-jendral anggota Dewan Jendral yang akan mengadakan kudeta (perebutan kekuasaan).
Untuk menutupi tujuan yang sebenarnya, fitnah dilancarkan terhadap tokoh-tokoh pimpinan Angkatan darat. Mereka mengumumkan bahwa G-30-S/PKI dilancarkan oleh perwira-perwira yang berfikiran maju, menentang rencana kudeta Dewan Jenderal. Tapi kedok yang dilapisi fitnah tersebut terbuka sendiri pada hari itu. Pada pukul 13.00 disiarkan sebuah dekrit tentang pembentukan Dewan Revolusi, dan Kabinet Dwikora dinyatakan demisioner. Diumumkan pula bahwa Dewan Revolusi merupakan sumber kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia. Dengan adanya hal tersebut maka terbukalah tabir yang menyelubungi tujuan G-30-S yang sebenarnya, bahwa mereka adalah gerakan merebut kekuasaan yang didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan pimpinan Angkatan Darat, karena mereka dinilai sebagai penghalang utamanya.
Gerakan yang mendadak, dilaksanakan pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 oleh G-30-S/PKI yang berhasil membuat masyarakat kebingungan. Akan tetapi, pada hari itu, Panglima Komandan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto setelah menerima laporan mengenai terjadinya penculikan dan pembunuhan segera betindak cepat untuk menguasai keadaan. Hal tersebut sesuai dengan tata cara yang berlaku bahwa apabila Menteri/Panglima Angkatan Darat berhalangan, Pangkostrad yang ditunjuk mewakilinya. Sambil menunggu pengaturan lebih lanjut dari Presiden/Panglima tertinggi ABRI, untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegangnya, lalu dengan segera ia mengambil langkah-langkah mengadakan koordinasi di antara kesatuan-kesatuan ABRI, khususnya yang ada di Jakarta, melalui Panglima masing-masing yang semuanya berhasil dihubungi kecuali Menteri/Panglima Angkatan Udara yang ternyata mendukung G-30-S/PKI. Lalu diambil kesimpulan bahwa penculikan dan pembunuhan terhadap perwira tinggi Angkatan Darat adalah merupakan bagian dari usaha perebutan kekuasaan pemerintahan, bahwa pimpinan Angkatan Udara membantu gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September, bahwa Batalyon 454/Diponegoro dan 530/Brawijaya yang berada disekitar Medan Merdeka disalah gunakan oleh G-30-S/PKI.
Hubungan dengan Presiden Soekarno tidak dapat dilakukan karena ia berada di Pangkalan Udara Utama Halim Perdana Kusuma yang dikuasai oleh G-30-S/PKI, sehingga tidak dapat dimintai petunjukknya untuk menghadapi keadaan tersebut. Maka Pangkostrad dengan berpegang kepada Saptamarga memutuskan untuk segera melancarkan operasi menumpas G-30-S/PKI dengan keyakinan bahwa gerakan tersebut adalah suatu pemberontakan untuk merebut kekuasaan pemerintahan, yang tampak jelas setelah mereka mengumumkan dekrit pembentukan Dewan Revolusi dan Pendimisioneran Kabinet Dwikora. Dengan menggunakan unsur-unsur Kostrad yang sedang berada di Jakarta dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun ABRI (Batalyon 328 Kujang/Siliwangi, Batalyon 2 Kavaleri, dan Batalyon 1 Resimen Para Komando Angkatan Darat), maka gerakan penumpasan segera dimulai.
1. Penumpasan di Jakarta
Penumpasan G-30-S/PKI yang dilancarkan tanggal 1 Oktober itu juga, diusahakan sedapat mungkin terjadi tanpa adanya bentrokan senjata. Pertama kali yang dilakukan adalah diusahakannya penetralisasian para pasukan yang ada di sekitar Medan Merdeka yang digunakan oleh pemberontak. Anggota-anggota pasukan Batalyon 530/Brawijaya minus 1 kompi, berhasil diamankan dari keterlibatan dalam pemberontakan, dan berhasil di tarik ke markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan anggota-anggota Batalyon 545/Diponegoro sekitar pukul 17.00 ditarik mundur oleh pihak pemberontak ke Lanuma Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer mulai digerakkan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965, dan pukul 19.15 pasukan RPKAD telah berhasil menduduki gedung RRI Pusat dan geung Telekomunikasi serta mengamankan seluruh Medan Merdeka tanpa terjadinya bentrokan senjata. Batalyon 328 Kujang/Siliwangi telah menguasai Lapangan Banteng untuk pengamanan Markas Kodam V/Jaya dan sekitarnya. Lalu, Batalyon I Kavaleri berhasil mengamankan BNI Unit I dan Percetakan Uang Kebayoran. Maka dalam waktu yang sangat cepat tanggal 1 Oktober itu juga kota Jakarta telah dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan gerakan para pemberontak berhasil dikalahkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menginsafkan pasukan-pasukan yang terlibat dalam pemberontakan, melalui RRI pada pukul 20.00, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan tentang adanya usaha perebutan kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan Tiga Puluh September. Diumumkan pula tentang penculikan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat. Presiden dan Menko/KASAB dalam keadaan aman dan sehat juga dinyatakan bahwa antara Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Kepolisian telah terdapat saling pengertian untuk bekerja sama serta terdapat kebulatan tekad untuk menumpas G-30-S. Kepada rakyat dianjurkan supaya tetap tenang dan waspada. [3]
Ketika berada di Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno telah mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh Angkatan Bersenjata untuk mempertinggi kesiap siagaan dan untuk tetap di pos masing-masing dan hanya bergerak atas perintah. Seluruh rakyat supaya tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan dan memelihara kesatuan dan persatuan nasional. Diumumkan pula bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu berada langsung dalam tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI, dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra, Asisten III/Men/Pangad. [4]
Perintah tersebut tidak segera diketahui oleh para anggota ABRI yang berada di luar daerah Halim, oleh karena pada hari yang sama sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan bahwa untuk sementara ia memegang pimpinan Angkatan Darat. Langkah berikutnya adalah membebaskan Pangkalan Udara Halim. Kepada Presiden Soekarno telah disampaikan pesan melalui kurir khusus supaya meninggalkan daerah tersebut. Setelah meninggalkan Halim menuju Istana Bogor, diperintahkan supaya pasukan RPKAD, Batalyon 328 Kujang/Siliwangi, dan Batalyon 1 Kavaleri bergerak menuju sasaran. Bantuan kekuatan sebanyak tiga kompi tempur Kavaleri Pengintai dari Bandung dipimpin langsung oleh Komandan Kesenjataan Kavaleri (Dansenkav) Kolonel Subiantoro telah tiba di Cijantung, langsung diikut sertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpang tiga daerah Cililitan, Kramatjati dan simpang tiga Lanuma Halim, Lubang Buaya. Tanpa menemui kesulitan, pada pukul 06.10 tanggal 2 Oktober 1965, Pangkalan Udara Halim telah dikuasai. Tetapi terjadi bentrokan senjata yang tidak terlalu besar dari pasukan Batalyon 454, ketika gerakan pembersihan dilanjutkan ke kampung Lubang Buaya yang sebelumnya dijadikan tempat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Agar masalah ini dapat diselesaikan, maka pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua Panglima Angkatan ke Istana Bogor. Ia memutuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung berada dalam tangan Presiden. Untuk menyelesaikan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat tetap ditunjuk Mayor Jenderal Pranoto, dan kepada Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan peristiwa 30 September. Keputusan tersebut diumumkan melalui RRI Pusat pukul 01.30 pada tanggal 3 Oktober 1965. Hal ini merupakan awal eksistensi Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Pada tanggal 3 Oktober 1965, ditemukannya tempat jenazah para perwira Angkatan Darat yang dikuburkan dalam sebuah lubang sumur tua. Penggalian dan usaha dalam pengangkatan jenazah pada saat itu ditunda, karena hari sudah gelap dan mengalami kesulitan tekhnis karena lubang sumur bergaris tengah kurang dari 1 meter kedalaman 12 meter. Keesokan harinya tanggal 4 Oktober, pengangkatan berhasil diselesaikan oleh para anggota RPKAD dan KKO-AL. Seluruh jenazah di bawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (Rumah Sakit Gatot Subroto) untuk dibersihkan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. 5 Oktober 1965, bertepatan Hari Ulang Tahun ABRI. Para jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.
Kebijaksanaan Presiden Soekarno mengenai penyelesaian masalah G-30-S dinyatakan dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor, bahwa Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno menandaskan bahwa ia mengutuk pembunuhan-pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualang-petualang kontra- revolusi dari apa yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Presiden tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan Dewan Revolusi. Hanya Bung Karno sajalah yang bisa mendemisioner kabinet, bukan orang lain. Setelah keluarnya pernyataan Presiden tersebut dan semakin tersingkapnya mengenai fakta bahwa PKI yang mendalangi G-30-S, kemarahan rakyat kepada PKI semakin bertambah, terbukti dengan dibakarnya gedung kantor pusat PKI di jalan Kramat Jaya. Rumah-rumah para tokoh PKI dan kantor-kantor mereka menjadi sasaran kemarahan rakyat, aksi-aksi corat-coret menuntut supaya pimpinan PKI diadili dan demonstrasi menuntut pembubaran PKI yang dipelopori oleh mahasiswa, pelajar, dan ormas-ormas yang setia kepada Pancasila. Gerakan operasi pembersihan sisa-sisa G-30-S terus ditingkatkan, antara lain telah berhasil ditangkap Kolonel A. Latief komandan yang telah dipecat dari Brigade Infanteri I/Kodam V Jaya tanggal 9 Oktober 1965. Bekas Letnan Kolonel Untung tertangkap ada tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal dalam perjalanan melarikan diri ke Jawa Tengah.
Dengan adanya kejadian tersebut, Presiden Soekarno masih belum mengambil langkah-langkah kearah penyelesaian politik daripada masalah G-30-S/PKI. Sementara itu D.N. Aidit dalam pelariannya, tanggal 6 Oktober 1965 dari Blitar mengirim surat kepada Presiden, ia mengusulkan supaya melarang adanya tuduh menuduh dan salah menyalahkan. Dengan hal seperti itu diharapkan kemarahan Rakyat kepada PKI reda. Akan tetapi, aksi-aksi rakyat tetap berjalan terus. Pepelrada-pepelrada (Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah) yakni Komando Daerah Militer (Kodam) berutut-turut membekukan PKI dan ormas-ormasnya.
2. Penumpasan Di Jawa Tengah
Di seluruh wilayah Indonesia, daerah yang paling gawat dalam Pemberontakan G-30-S/PKI adalah Jakarta dan Jawa Tengah. Di kedua tempat tersebut pemberontakan sempat menggunakan kekuatan senjata, sedangkan di daerah-daerah yang lain secara umum pihak G-30-S/PKI tidak dapat beraksi menggunakan senjata. Kodam VII/Diponegoro memiliki 3 Brigade, yakni Brigade 4, 5, dan 6. Sebagai hasil dari garapan oleh Biro Khusus PKI anggota-anggota Brigade 6 dipergunakan oleh G-30-S/PKI dan para anggota Brigade 5 minimal dipengaruhi. Hanya anggota-anggota Brigade 6 yang tidak terpengaruh. Batalyon-batalyon yang aktif dipergunakan oleh G-30-S/PKI yakni Batalyon K dan M berkedudukan di Solo, Batalyon L dan C berkedudukan di Yogya, dan Batalyon D berkedudukan di Salatiga.
Pada pukul 13.00 tanggal 1 Oktober 1965 melalui RRI Semarang, Asisten I Kodam VII/Diponegoro Kolonel Sahirman mengumumkan dukungannya terhadap G-30-S/PKI Daerah Tingkat I Jawa Tengah. Lalu mereka menguasai Markas Kodam VII/Diponegoro yang kemudian dijadikan pusat gerakannya, untuk meluaskannya ke seluruh Korem dan Brigade di dalam lingkungan Kodam VII/Diponegoro. Pasukan pelindung yang dipergunakannya telah didatangkan dari Solo, yakni Batalyon K pimpinan Mayor Kadri dan dua kompi Batalyon D dari Salatiga pimpinan Mayor Soepardi. Pasukan-pasukan itu terutama ditempatkan di Makodam, RRI, Telekomunikasi, dan tempat-tempat strategis lainnya. Kolonel Sahirman mengumumkan bahwa Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto mengambil alih pimpinan Kodam VII/Diponegoro.
Dewan Revolusi di Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Dengan menggunakan Batalyon L mereka menguasai Makorem 072 dan menculik Kepala Staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugijono. Setelah itu mereka mengeluarkan perintah kepada segenap Komando Distrik Militer supaya mendukung G-30-S, dan membagikan senjata kepada anggota Legiun Veteran setempat. Pada tanggal 2 Oktober 1965 terjadi demonstrasi anggota-anggota PKI dan ormas-ormasnya di depan Makorem 072 untuk menyatakan dukungan kepada G-30-S. Pada hari itu juga Kolonel Katamso diculik dari rumahnya dan dibawa ke komplek Batalyon L di desa Kentungan, utara Yogyakarta. Selanjutnya bersama Letnan Kolonel Sugijono ia dibunuh dengan memukul kepalanya hingga pecah dengan tangkai mortar.
Setelah ada siaran RRI Jakarta bahwa Jakarta telah dikuasai kembali oleh ABRI, maka pasukan-pasukan yang dipergunakan G-30-S mulai tidak kompak. Sehingga kota Semarang pada pukul 10.00 telah berhasil dikuasai kembali tanpa adanya letusan senjata. Kolonel Sahirman dan kawan-kawan melarikan diri ke luar kota dikawal oleh 2 kompi anggota Batalyon K pimpinan Mayor Kadri. Sedangkan 2 kompi anggota Batalyon K lainnya dan 2 kompi anggota Batalyon D dapat disadarkan kembali dari keterlibatan G-30-S/PKI. Selanjutnya berturut-turut kota demi kota yang pernah dikuasai G-30-S berhasil direbut kembali. Daerah Jawa Tengah merupakan basis PKI yang kuat, itulah alas an mengapa D.N Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah, menggunakan pesawat terbang yang telah dipersiapkan oleh Menteri/Panglima Angkatan Udara Omar Dani, setelah Jakarta dikuasai kembali oleh ABRI.
Dalam mengatasi kekacauan dan menegakkan ketertiban umum, Pangdam VII/Diponegoro mendapat bantuan pasukan RPKAD dan Kavaleri yang diberangkatkan dari Jakarta tanggal 16 Oktober dan tiba di Semarang tanggal 19 Oktober 1965. Untuk melancarkan gerakan pembersihan terhadap sisa-sisa G-30-S/PKI, tanggal 1 Desember 1965 dibentuk Komando Operasi Merapi yang dipimpin langsung Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Dalam operasi ini ditembak matinya bekas Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, Letnan Kolonel Usman, Mayor Samadi, Mayor R.W. Sakirno, dan Kapten Sukarno. Operasi penumpasan terhadap PKI gelap dilakukan pula di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur di daerah pegunungan Lawu dan Kendeng, dengan nama operasi KIkis, berhasil menghancurkan kompro-kompro dan menangkap 200 orang kader PKI.
Penyelesaian aspek politik sebagaimana diputuskan dalam siding Kabinet Dwikora 6 Oktober 1965 akan ditangani langsung oleh Presiden Soekarno. Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G-30-S/PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut menuntut penyelesaian politis yang terlibat G-30-S/PKI, dan pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan dalam satu front, yaitu Front Pancasila.
Gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI makin bertambah meluas. Perasaan tidak puas menggugah hati nurani para pemuda, dan tercetuslah Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat atau Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Tanggal 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan (Tritura), yaitu pembubaran PKI, pembersihan cabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI, dan penurunan harga/perbaikan ekonomi. Selanjutnya masalah tuntutan terhadap pembubaran PKI, dilaksanakan oleh Letnan Jenderal Soeharto tanggal 12 Maret 1966 sehari setelah menerima Surat Perintah 11 Maret (SP 11 Maret/Supersemar). Sejak itu dimulailah pengkoreksian atas segela penyelewengan yang dilakukan Orde Lama. Maka dari hal tersebut tanggal 11 Maret 1966 dianggap sebagai awal permulaan Orde Baru [5]
Notes :
[1] Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI), Jakarta, 1978, hal. 100
[2] Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, op. cit., hal 101-105
[3] Komando Operasi Tertinggi, Rangkaian Pidato Dan Pernjataan-pernjataan Resmi Disekitar “Gerakan 30 September”, Djakarta, 1965, No. 2
[4] Komando Operasi Tertinggi, Rangkaian Pidato Dan Pernjataan-pernjataan Resmi Disekitar “Gerakan 30 September”, Djakarta, 1965, No. 1
[5] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan PN Balai Pustaka
No comments:
Post a Comment