AKSI-AKSI PERJUANGAN GAPI

AKSI-AKSI PERJUANGAN GAPI 
Siti Khairiah/SIV/B
GAPI (Gabungan Politik Indonesia) lahir ketika perjuangan pergerakan nasional Indonesia mengalami kebuntuan akibat ditolaknya petisi Sutardjo. Mereka yang masuk di dalam Volkstraad atau DPR (kala itu) merasa perjuangan mereka menjadi tiada arti. Apa yang mereka hasilkan, ternyata tidak membuahkan hasil yang berarti penolakan dan upaya mempertahankan status quo di Indonesia. Disebut fase bertahan, karena pemerintah Belanda mulai bersikap keras menghadapi organisasi pergerakan. "Perjuangan radikal yang hendak berkonfrontasi dengan penguasa kolonial pasti menemui kegagalan oleh karena pihak yang terakhir memiliki prasarana kekerasan." [1] Hal ini dimungkinkan dengan adanya Koninklijk Bestuit yang bertanggal; 1 September 1919 (yang memperbarui pasal 111 RR), dimana organisasi pergerakan yang bertentangan dengan law and order dapat dibekukan tanpa proses peradilan. Jadi pergerakan non-koperasi akan dipastikan dibekukan, jadi upaya radikal dalam perjuangan memperoleh kebuntuan. Hanya pergerakan koperasi dan moderat yang bisa tetap terus bertahan. Penangkapan berbagai tokoh perjuangan yang dilakukan Belanda terhadap Soekarno, Hatta, dan Syahrir ini membuat pergerakan menjadi lunak dan koorperatif terhadap pemerintah Belanda. Hal dilakukan agar organisasi pergerakan dapat terus menunjukkan eksistensinya, di samping itu mereka tetap mampu berjuang untuk mewujudkan sebuah negara yang bebas di kemudian hari. Kebijakan ini pun tidak lepas dari perkembangan dunia yang baru saja normal dari krisis, dan terhadap ancaman terhadap ekspansi Jepang ke selatan. Demokrasi yang setelah berakhirnya perang dunia I, membuat Belanda lebih berkompromi dan memberikan izin terhadap perkembangan partai politik yang moderat.
1. Masa Bertahan Pergerakan Nasional
Masa pergerakan nasional di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga masa yaitu masa kooperatif, masa radikal, dan terakhir disebut masa bertahan. Sejarah Indonesia sejak tahun 1908 memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan berdirinya Budi Utomo. Tiga tahun setelah Boedi Oetomo lahir, tahun 1911 berdiri organisasi bagi orang-orang Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh Haji Samanhudi. Lalu namanya dirubah menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota lebih banyak. Selain organisasi yang disebut diatas masih banyak organisasi lain yang didirikan baik bersifat kooperatif maupun radikal. Tetapi tujuan dari organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia walaupun tidak terang-terangan diungkapkan. Banyak sekali organisasi-organisasi radikal yang melakukan aksinya. Tetapi akhirnya, Gubernur Jenderal saat itu sangat reaksioner terhadap pergerakan, maka organisasi-organisasi pada masa ini dinyatakan terlarang dan tokoh-tokohnya diasingkan. PNI merupakan organisasi terakhir yang menandai berakhirnya masa pergerakan radikal. Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisis ekonomi atau malaise yang melanda dunia, memaksa Hindia Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan. Dalam rangka kebijakan itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan beberapa pasal karet dan exorbitante rechten secara lebih efektif. Kedua, diterapkannya pembatasan hak berkumpul dan berserikat yang dilakukan pengawasan ekstra ketat oleh polisi-polisi Hindia Belanda yang diberi hak menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan oleh pattai politik. Selain itu juga dilakukan pelarangan bagi pegawai pemerintah untuk menjadi anggota partai politik. Ketiga, tanpa melalui proses terlebih dahulu Gubernur Jenderal dapat menyatakan suatu organisasi pergerakan atau kegiatan yang dilakukannya bertentangan dengan law and order sesuai dengan Koninklijk Besluit tanggal 1 September 1919. Peraturan itu merupakan modifikasi dari pasal 111 R.R. (Regrering Reglement). Keempat, banyak tokoh pergerakan kebangsaan di Indonesia yang diasingkan, seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir.[2]
Hal diatas menjadi semakin parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif dan reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). . Periode awal 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Tetapi dalam hal ini, Gubernur Jenderal de Jonge secara konsekuen menjalankan politik "purifikasi" atau "pemurnian" artinya menumpas segala kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa dan semua bentuk nonkooperasi . Dengan tangan besinya, Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggunng jawab atas keadaan di Hindia Belanda, dan baginya dibayangkan bahwa dalam masa 300 tahun berikutnya pemerintah itu akan masih tegak berdiri . Politik represifnya berhasil menghentikangerakan politik nonkooperasi sama sekali.
 Pemerintah Hindia Belanda tidak bersedia memulihkan hak politik bagi pergerakan nasional di Indonesia. Tetapi Hindia Belanda masih membiarkan organisasi pergerakan yang moderat untuk hidup. Hal itu juga disebabkan beberapa hal seperti menjamin demokrasi yang makin tumbuh pasca Perang Dunia I, keamanan yang diciptakan organisasi itu, dan sebab-sebab lainnya yang dianggap tidak merugikan pihak Hindia Belanda. Pemerintah Belanda tidak hendak mematikan pergerakan di Indonesia. Mereka tahu bahwa perasaan rakyat yang tidak tersalurkan karena dibungkam oleh pemerintah akan mencari jalan lain yang dapat menimbulkan gerakan-gerakan eksplosif yang tidak diinginkan. Pemerintah Hindia Belanda hanya hendak melemahkan aktivitas pergerakan yang bersifat radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah semacam nasionalisme yang lunak dan kompromis, yang dapat digunakan sebagai alat untuk membendung perasaan rakyat yang membara dan menyalurkan ke arah pergerakan yang tidak membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.[3] Kita lihat bagaimana pemerintah Hindia Belanda tidak menghilangkan pergerakan nasional di Indonesia tetapi dilemahkan dengan mengadakan vergaderverbod (larangan berkumpul). Tokoh-tokoh pergerakan Indonesia banyak yang diasingkan sehingga ruang gerak baginya dan organisasinya semakin sempit. Akan tetapi hal itu tidak membuat pergerakan nasional berhenti.
Sementara itu suasana politik dunia semakin tegang, tambahan pula Jepang dengan pemerintahan militernya menjalankan pula politik ekspansionisme di daerah pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi fasisme tidak adaalternatif lain daripada memihak demokrasi. Maka dari itu perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dilakukan secara mutlak bersikap anti. Ada kebersamaan yang mendekatkan kaum nasionalis dengan penguasa kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul lebih dahulu di kalangan Perhimpunan Indonesia yang mulai melakukan haluan kooperasi. Pergerakan nasional yang berada di Indonesia juga mulai bersikap kooperatif.
2. Aksi GAPI: "Indonesia Berparlemen"
Progam konkret yang dilakukan GAPI terwujud pada rapat 4 Juli 1939, di sini GAPI memutuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib bangsa Indonesia sendiri serta kesatuan dan persatuan Indonesia. Dalam aksi GAPI ini memiliki semboyan "Indonesia berparlemen." Saat Jerman melakukan penyerbuan ke Polandia pada 20 September 1939, GAPI mengeluarkan suatu pernyataan yang dikenal dengan Manifest GAPI. Isinya mengajaknya rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme di mana kerja sama itu akan lebih berhasil apabila kepada rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan. Dalam usaha mencapai tujuannya tersebut, GAPI disokong oleh pers Indonesia yang memberitakan dengan panjang dan lebar, dan sikap beberapa negara di Asia dalam menghadapi bahaya fasisme.
Gapi juga mengadakan rapat umum yang mencapai puncak pada 12 Desember 1939 dimana tidak kurang 100 tempat di Indonesia mengadakan propoganda tujuan GAPI. Jadi, saat itu Indonesia seakan bergemuruh dengan seruan Indonesia Berparlemen. Kongres Rakyat Indonesia (KRI) pertama, 25 Desember 1939 di Jakarta. [4]Tujuannya yaitu Indonesia Raya, bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya dan sasaran pertama yang ingin dicapai adalah Indonesia Berparlemen penuh. KRI  ditetapkan sebagai sebuah badan tetap dengan GAPI sebagai badan eksekutifnya. Keputusan lainnya dari kongres ialah penetapan bendara Merah Putih, dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia. Pada awal Januari datang jawaban dari Menteri Jajahan Welter selaku menteri jajahan mengenai masalah aksi "Indonesia Berparlemen." "Tidak dapat dipenuhi keinginan rakyat Indonesia akan Indonesia Berparlemen, karena rakyat Indonesia umumnya tidak mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup dan perkumpulan-perkumpulan politik hanya mewakili sebagian kecil dari rakyat Indonesia." 23 Februari 1940 GAPI menganjurkan untuk mendirikan pendirian Panitia Perlemen Indonesia untuk meneruskan aksi "Indonesia Berparlemen." Kesempatan bergerak bagi GAPI ternyata tidak ada lagi, sebab Belanda diduduki Jerman pada perang dunia II. Sebab dengan alasan keadaan sedang perang, maka perubahan ketatanegaraan harus ditunda sampai perang selesai. Namun sebuah tuntutan GAPI pada bulan Agustus 1940, "Meminta pemerintah Belanda mempergunakan hukum tatanegara dalam masa genting untuk melangsungkan perubahan-perubahan ketatanegaraan dan diadakan perlemen penuh menggantikan Volkstraad yang ada." Tuntutan ini dijawab oleh Dr. H.J. Levetl pada 23 Agustus 1940, "Bahwa belum waktunya mengadakan suatu rancangan perubahan ketatanegaraan Indonesia, namun pemerintah akan membentuk suatu komisi untuk peninjauan dan pengumpulan alasan-alasan yang terdiri dari cerdik pandai bangsa Indonesia."
3.Terbentuknya Komisi Vishment dan Menyerahnya Belanda ke Jepang
14 September 1940 dibentuk komisi Visman. Tugas panitia adalah mengungkapkan keinginan, cita-cita, serta harapan-harapan politik yang hidup di pelbagai golongan dan lapisan masyarakat mengenai perubahan ketatanegaraan yang menyangkur posisi mereka. Pada umumnya partai politik di Dewan Rakyat, tidak menyetujui pendirian komisi ini. Laporan panitia baru diumumkan lebih dari satu tahun kemudian (Desember 1941) serta kesimpulan yang pokok ialah rakyat ada umumnya puas dengan pemerintahan Belanda.
Keadaan yang semakin genting menuntut kaum pergerakan menginginkan perubahan ketatanegaraan yang cepat dan jelas, pembentukan komisi Visman ini tentunya akan memperlambat sebab akan membutuhkan pembahasan dan perdebatan. Belum banyak yang dilakukan oleh komisi Vissman, keluar pernyataan dari Ratu Wilhelmina pada 10 Mei 1941 dan diperjelas lagi dengan pidato Gubernur Jendral dalam pembukaan sidang Volkstraad, yang intinya mengadakan larangan dan pembatasan tentang rapat-rapat dan konsultasi komite-komite parlemen. 14 Juni 1941 dikeluarkan peraturan pelarangan untuk kegiatan politik dan rapat tertutup, rapat lebih 25 orang dilarang. Pada bulan Juni dan Juli pemerintah HB mengeluarkan peraturan milisi orang-orang bumi putera (inhemse militie) walau tak mendapatkan sambutan oleh kaum pergerakan. Ini dimanfaatkan oleh R.P. Suroso untuk menyatukan semua kalangan yang ada di dalam dan di luar Volkstraad, dalam rangka menuju Indonesia Merdeka. Untuk itu perlu dibentuk badan baru yang merupakan tandingan dari Volkstraad.
Usaha itu menuai hasil ketika terjadi Kongres Rakyat Indonesia pada 13-14 September 1941. badan baru itu dikenal dengan nama Majelis Rakyat Indonesia (MARI), yang menggantikan KRI. 16 November 1941 berhasil memilih pemimpin yaitu Ketua (Mr. Sartono), Penulis (Sukardji Wirjopranoto), dan Bendahara (Atik Suardi). Tidak lama setelah terbentuknya badan baru tersebut, tanggal 7 Desember 1941 Jepang menyerang pakalan militer Aerika Serikat di Pearl Harbour. Mengetahui kejadian ini Mr. Sartono dan Sukardjo Wirjopranoto mengeluarkan anjuran agar rakyat Indonesia berdiri di belakang Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda. Anjuran ini menimbulkan perselisihan, yang menyebabkan Abikusno keluar dari MARI dan GAPI, sebab anjuran itu dikeluarkan tanpa persetujuan dari anggota-anggotanya. Perselisihan ini kemudian tertutup dengan keberhasilan Jepang dalam mengalahkan pasukan sekutu. Kekalahan pasukan A-B-C-D (Amerika, British, China Deutch), hanya menunggu waktu bagi Jepang masuk ke Hindia Belanda. Jepang mampu menghancurkan pertahanan Belanda di Indonesia, lalu pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah kalah. Penyerahan tanpa syarat itu dilakukan oleh Jendral Ter Poorten (Belanda) kepada Jendral Hitoshi Imamura (Jepang) di lapangan terbang dekat Bandung. Sejak saat itu, pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Di mulailah babak baru, pemerintahan Jepang di nusantara.
4. Penyatuan dalam GAPI
Kemunduran PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia) yang dipelopori oleh oleh-oleh Parindra tersebut. Terutama ketika para tokohnya ditangkap dan di asingkan. PPPKI pun mengalami kemunduran, sebagai organisasi yang menyatukan kaum perjuangan, PPPKI dinilai gagal. Kegagalan dari Petisi Sutardjo, dan kemunduran dari PPPKI menjadi alasan langsung untuk membentuk sebuah organisasi yang menyatukan semua organasisasi nasional ini dalam sebuah wadah. Sebelum di bentuk GAPI, ada sebuah badan yang dikenal dengan BAPEPI (Badan Perantara Partai-Partai Politik Indonesia) yang bertujuan untuk memberi wadah bagi kerja sama partai-partai politik Indonesia memberi wadah bagi kerja sama partai-partai politik Indonesia yang mempunyai cita-cita memajukan Indonesia. Namun, nasib badan ini kurang beruntung, berdasarkan pendiriannya saja sudah mengalami kontroversi, dan banyak alasan untuk organisasi lainnya untuk tidak masuk.
Lalu, datang inisiatif dari Thamrin, tokoh Parindra untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Hal ini didukung oleh keadaan dunia ketika itu yang semakin genting, serta kemungkinan Indonesia terlibat langsung dalam perang. 19 Maret 1939 usul THamrin ini disetujui  dan secara umum mendapatkan persetujuan dari organisasi lainnya. Dua bulan kemudian pada 21 Mei 1939, panitia persiapan menyelenggarakan persiapan menyelenggarakan rapat umum di Gedung Permufakatan. Di sini Thamrin menerangkan bahwa, tujuannya adalah membentuk suatu badan persatuan yang akan mempelajari dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam pelaksanaan tiap-tiap organisasi tetap bebas untuk melakukan programnya sendiri.
Pada hari itu, pendirian GAPI disetujui dan diresmikan. Dalam anggaran dasarnya, tujuan pendirian GAPI ialah mengusahakan kerja sama antara partai-partai politik Indonesia serta menjalankan aksi bersama. Asas yang digunakan ialah penentuan nasib sendiri, kesatuan, dan persatuan nasional serta demokrasi dalam segi politik, sosial dan ekonomi. Di sini juga disetujui untuk mengadakan Kongres Rakyat, di kemudian waktu.Dalam pengurusan sehari-hari dibentuklah kesekretariatan bersama yang diketuai oleh Abikusno (PSII) dan di bantu M.H Thamrin (Parindra) dan Amir Syarifudin (Gerindo). Di dalam anggaran dasarnya GAPI berdasarkan pada:
1.Hak untuk menentukan nasib diri sendiri.
2.Persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasarkan kerakyatan dalam Paham politik, ekonomi, dan sosial.
3.persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.
Notes :
[1]Sartono Kartodirdjo.  1993. Pengantar  Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama. Hal: 180
[2]
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan, IKIP Semarang Press, Semarang, 1955, hal. 149-150
[3]Cahyo, op.cit, hal.157
[4]
Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal.145-150.
Daftar Pustaka
Kartodirdjo, Sartono. (1990). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia
Notosusanto, Nugroho. (1993). Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka
Utomo, Cahyo Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
"Gabungan Politik Indonesia" diperoleh dari:
www.wikipedia.co.id diakses pada: Thursday, March 11, 2010, 4:12:29 PM.
 

No comments:

Post a Comment