Pengaruh Zionis Israel Terhadap Pendidikan Di Palestina

Khairin Nisa/SP

Pendidikan adalah hak semua anak-anak dan merupakan dasar untuk perkembangan yang baik bagi anak. Hal ini terutama penting di palestina, dengan populasi muda dan ekonomi yang basis sumber daya yang rendah dan berketergantungan pada industri jasa. Pendidikan telah menjabat sebagai sarana pemberdayaan dalam masyarakat Palestina, dan demikian telah memainkan peran penting dalam masyarakat sejak tahun1948.[1] Akibat perang dengan Israel, mesyarakat palestina menjadi terpecah. Sebagian dari mereka mengungsi ke Negara –negara Arab tetangga dan sebagian lainnya bertahan di Palestina. (Israel) persentase mereka yang mengungsi dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Setelah perang 1948, terdapat 37% orang Palestina mengungsi kemudian naik menjadi 50% pada tahun 1967, meningkat lagi menjadi 57,1% 1979 dan 59,5% pada tahun 1982. Pada tahun 1987 jumlah seluruh orang Palestina adalah 4.685.000 jiwa. Dari jumlah itu 2.745.000 jiwa (58,6%) menjadi pengungsi dan 1.940.000 jiwa (41,4%) tinggal di Israel serta daerah pendudukan (Jalur Gaza dan Tepi Barat). [2]

Sejak pendirian secara unilateral Negara Israel, diskriminasi terhadap pendidikan Palestina telah menjadi unsur kunci dalam proyek Israel melawan perjuangan Palestina demi keadilan dan kebebasan di tanah air mereka. Israel melakukan beragam upaya penghancuran infrastruktur pendidikan. sejak tahun 2000, sebanyak 12 kampus dan sekolah telah ditutup Israel lewat instruksi militer, sebanyak 1.125 sekolah dan lembaga pendidikan tinggi dibekukan aktivitasnya, dan sebanyak 316 serangan terhadap lembaga-lembaga pendidikan, pengajaran, sekolah, kampus, kentor departemen, dan kantor pendidikan terjadi, serta sebanyak 43 sekolah diubah menjadi tanksi militer Israel. [3]

Laporan resmi Palestina dari departemen pendidikan dan pengajaran Tepi Barat menyebutkan, Israel telah membunuh tiga mahasiswa selama tahun kemarin dan menangkap tak kurang dari 175 lainnya. Sebagaimana dilaporkan infopalestina, Selasa (4/2), [4] Sementara itu, pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi terhadap sector pendidikan Palestina diTepi barat. Dalam laporannya, departemen pendidikan mengatakan, pihaknya telah kehilangan tiga mahasiswa terbaiknya, gugur menjadi syuhada, sementara 175 lainnya menderita luka-luka. Selain itu, lebih dari 53 siswa, 30 guru serta sopir angkutan siswa hingga kini masih ditahan pemerintah Zionis.

Diantara pelanggaran dan penodaan terhadap undang-undang yang dilakukan Zionis juga adalah kebijakan atau peraturan yang mereka terapkan, berupa larangan keluar dan pembekuan sekolah. Akibatnya, Sembilan sekolah di Tepi Barat tak bias melakukan aktivitas belajar mengajar sebagaimana biasa. Pembekuan sekolah tersebut berlangsung hingga 10 hari. Akibatnya 2045 siswa tak dapat berangkat ke sekolah masing-masing.

Disamping itu, sebanyak 173 guru tak bias berangkat ke tempat kerjanya masing-masing akibat pembekuan sekolah secara bergantian di 34 sekolah di Tepi Barat. Sementara itu, 89 sekolah sering kali mendapat serbuan dari serdadu Zionis, dengan tembakan bom suara ataupun gas air mata. Akibatnya banyak diantara anak-anak yang trauma ketakutan.

Adapun terkait gerbang kota dan pos pemeriksaan mengakibatkan sejumlah sekolah mengalami kekurangan jam pelajaran sebanyak 1581 jam pelajaran tiap bulannya.

Berdasarkan laporan “Palestine”: The education of children at risk”, Save The Children Alliace West Bank and Gaza (2001) [5], kekerasan yang terjadi di Palestina sebagai efek krisis yang terjadi telah membawa kepada berkurangkanya akses pendidikan serta pelayanan-pelayanan dasar lainnya, termasuk perawatan medis darurat. dalam tindak politik awal karena melihat hak-hak mereka tereduksi.

Sulit untuk mencegah anak-anak terlibat dalam konfirmasi ketika hak-hak mereka terus –menerus terkikis, namun system pendidikan Palestina telah berhasil menjaga anak-anak aktif dan focus pada kebutuhan-kebutuhan anak-anak. Hak-hak anak-anak juga dipengaruhi oleh rezim hak yang dilemahkan oleh interprestasi sepihak Israel atas kewajibannya dibawah hukumin ternasional dan implementasi proses perdamaian.

Dalam laporan yang lebih aktual, Palestinian grassroots Anti-Apartheid Wall Campaign (2007) menyebutkan bahwa sejak 1948 warga Palestina di bawah kendali Israel telah menghadapi sistem pendidikan yang rasis dan represif yang merupakan bagian integral dari pendudukan Israel. Sejak September 2000, dengan dimulanya Intifadhah kedua, Israel kembali melancarkan serangan-serangan militer terhadap institusi-institusi pendidikan Palestina. Sejak 2002, dinding yang didirikan Israel yang mengelilingi dan mengisolasi kota-kota dan desa-desa Palestina di Tepi Barat pun menjadi salah satu sarana dskriminasi terhadap pendidikan Palestina, dengan sisitem gerbang dan perizinan yang memenjarakan warga dalam desa-desa tersebut dan memisahkan mereka dari tanah, pekerjaan, pelayanan kesehatan, dan fasilitas pendidikan mereka. Karena kesulitan melewati pos pemeriksaan, kebanyakan pelajar kini harus belajar di universitas yang paling dekat dengan rumah mereka, atau menyewa akomodasi dengan biaya besar. [6]

Peter Buckland (2005) menyebut bahwa konflik kekerasan, dengan serangan berdarah terhadap manusia dan institusi serta akibatnya yang buruk, adalah contoh “kebalikan pembangunan”. Salah satu dampak paling menghancurkan dari konflik kekerasan adalah kerusakan yang diakibatkannya terhadap sistem pendidikan dan anak-anak serta para sisiwa yang dilayani system tersebut. [7] Namun, dalam buku yang sama Buckland menyampaikan bahwa pendidikan memeliki peran kunci baik dalam mencegah konflik maupun membagun kembali  pendidikan menuntut prioritas tinggi baik pada fase humaniter awal respon nasional dan internasional terhadap konflik maupun pada fase pembangunan ppascakonflik. [8]

Situasi di Palestina merefleksikan kebutuhan akan system pendidikan yang seringkali melampaui kapasitas yang ada. Berdasarkan argument Peter Bucklan, empat titik awal sebagai prioritas dalam rekontruksi pendidikan pascakonflik sebagai berikut.
1.   Fokus pada dasar-dasar agar sistem pendidikan dapat berfungsi sehingga anak-anak dan para pemuda yang kembali bersekolah dapat dilihat sebagai “manfaat perdamaian” yang akan membantu menggalang dukungan terhadap ;perdamaian. Hal ini termasuk pembangunan kembali berbagai infrastruktur pendidikan yang dihancurkan Israel, jaminan atas akses pendidikan seluruh warga Palestina tanpa diskriminasi pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Dalam hal ini, kebijakan pendudukan Israel yang represif terhadap system pendidikan Palestina harfus diberangus.

2.   Pengakuan terhadap kepentingan simbolisme dalam pendidikan dan jaminan atas berbagai tindakan simbolik yang tegas, sebagai isyarat bahwa walaupun sebagaian besar sistem tak berubah, rekontruksi pendidikan telah dimulai. Contoh hal ini adalah pembersihan buku-buku pelajaran, yang oleh Israel telah dicetak merancang ulang sejarah dan kenyataan sesuai dengan mitos-mitos Zionisme yang mengklaim hak dari tuhan atas tanah Palestina dan melegitisme pengusiran warga Palestina dan pemberian status kelas dua kepada warga Palestina dalam tanah air mereka. [9]
3.   Pembangunan pengakuan bahwa rekonstruksi pendidikan adalah proses bertahap dan harus dilakukan terus-menerus yang membutuhkan waktu lama dan harus dipimpin dari dalam negeri dengan membangun consensus atas visi pembangunan masyarakat yang lebih luas.

4.   Fokus dari awal pada pembangunan kapasitas untuk rekonstruksi, termasuk mendukung partisipasi masyarakat, otoritas local, dan stakeholder lainnya. Seluruh syarat dan keperluan untuk rekonstruksi sistem pendidikan harus dipenuhi, seperti resources dan sarana yang diperlukan. Motor penyelenggaraan system pendidikan Palestina harus dialihkan dari Israel ke otoritas local yang akuntabel, bertanggung jawab, dan mempraktikkan good governance. Partisipasi masyarakat,terutama kalangan grassroot, harus didukung agar tidak terjadi eksklusi minoritas dalam penyelenggaraan pendidikan.

Berbagai titik awal diatas mengimplikasikan bahwa sisitem pendidikan Palestina tak dapat diserahkan kepada Israel, yang tampaknya berniat menghancurkan Palestina karena pendidikan dapat meningkatkan potensi perlawanan rakyat Palestina. Disini peran komunitas internasional sangat diperlukan. International Court of Justice perlu menyatakan represi Israel terhadap pensisikan Palestina sebagai illegal. PBB diharapkan dapat melakukan intervensi humaniter untuk menjamin kelangsungan rekonstruksi pendidikan yang diperlukan Palestina. Masyarakat dunia, melalui berbagai non-governmental organization (NGO) perlu melakukan berbagai usaha advokasi demi terwujudnya hal ini. Contoh hal ini adalah kampanye internasional untuk memboikot, memutusinvestasi, dan member sanksi terhadap Israel.


NOTE:

[2] Milawati, Manda A. 2000. Intifada, Gelagak Perlawanan Kaum Muda Palestina. Yogyakarta : Avyrous. Hlm. 9
[3] Sofyan Al Bana, Palestine : emang gue pikirin Yogyakarta : Pro You. Hlm. 41-42
[6] Palestinian grassroots Anti-Apartheid Wall Campaign, “Students in Palestine: Education under Occupation and Apartheid”. www.stephewall.org
[7] The World Bank (2005) menyebutkan bahwa lebih dari dua juta anak-anak telah meninggal sebagai akibat langsung konflik bersenjata dalam satu decade terakhir, serta berbagai dampak lain konflik bersenjata terhadap pendidikan. (Washington, D.C.: The World Bank, 2005), hlm.xi-xii
[8] Peter Buckland, Reshaping the Future: Education and Post-Conflict Reconstruction (Washington, D.C.: The World Bank, 2005)
[9] “Students in Palestine: Education under Occupation an Apartheid”, op. cit.

No comments:

Post a Comment