Pendidikan Pada Masa Pembaruan di Mesir

Kiki Amalia/SP
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam kemajuan suatu negara. Pendidikan yang baik akan menghasilkan generasi yang baik sehingga akan berdampak bagi negara dan bangsa lebih maju. Setiap negara menyelenggarakan pendidikan sebagai upaya untuk membangun bangsa. Mesir terletak di bagian timur laut benua Afrika dan semenanjung sinai di Barat Daya benua Asia merupakan negara yang fokus pada sektor pendidikan untuk memajukan negaranya.
Mesir memiliki sistem pendidikan secara keseluruhan terbesar di Timur Tengah dan telah berkembang dengan pesat sejak awal 1990-an. Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Mesir telahdiberikan prioritas yang besar dalam memperbaiki sistem pendidikan. Menurut Indek Pembangunan Manusia (IPM), Mesir menempati peringkat ke 116 di IPM. Dengan bantuan Bank Dunia dan organisasi-organisasi multilateral lainnya Mesir bertujuan untuk meningkatkan akses pada perawatan anak usia dini dan pendidikan serta masuknya ITC di semua tingkat pendidikan, terutama pada tingkat tersier.[1]
Mesir terkenal dengan peradaban kuno dan beberapa monumen kuno termegah di dunia, misalnya Piramid Giza, Kuil Karnak dan Lembah Raja serta Kuil Ramses. Mesir diakui secara luas sebagai pusat budaya dan politikal utama di wilayah Arab dan Timur Tengah. Secara histori, modernisasi pendidikan Mesir berawal dari oengenalan kemajuan ilmu oengetahuan dan teknologi Napoleon Bonaparte pada saat penaklukan Mesir. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai Napoleon Bonaparte yangberkabangsaan Perancis ini memberikan inspirasi yang kuat bagi para pembaharuan Mesir untuk melakukan modernisasi pendidikan di Mesir yang dianggapnya stagnam. Diantara tokoh-tokoh tersebut Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afgany, Ali Mubarak, dan Thaha Husain. [2]
1.                       Muhammad Ali Pasya
Setelah ekspedisi Napoleon Bonaparte, muncul dua kekuatan basar di Mesir yakni kubu Khursyid Pasya dan kubu Mamluk Muhammd Ali mengadu domba kadua kubu tersebut dan akhirnya berhasil menguasai Mesir. Rakyat semakin simpatik dan mengangkat sebagai wali di Mesir. Posisi inilah kemudian memungkinkan beliau melakukan perubahan yang berguna bagi masyarakat Mesir.
Salah satu bidang yang menjadi sentral pembaharuanya adalah bidang militer dan bidan-bidang yang bersangkutan dengan bidang militer termasuk pendidikan. Kemajuan dibidang ini tidak mungkin dicapai tanpa dukungan ilmu pengetahuan modern. Atas dasar ini lah sehingga perhatian di bidang mendapatkan prioritas utama. Muhammad Ali Pasya tidak pandai bacatulis, tetapi ia memahami betapa pantingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan suatu negara. Ini terbukti dengan dibentuknya Kementerian Pendidikan untuk pertama kalinya di Mesir dibuka sekolah militer (1815), sekolah teknik (1816), dan sekolah penerjemahan (1836). Selain mendirikan sekolah beliau juga mengirim pelajar-pelajar ke Eropa terutama ke Paris ±300 orang. Setelah mereka kembali ke Mesir diberi tugas menerjemahkan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Arab di samping mengajar di sekolah-sekolah yang ada di Mesir.
Philip K.Hitty mengemukakan bahwa Muhammad Ali Pasya tidak hanya menerapkan corak dan model pendidikan Barat, tapi juga mempercayakan pendidikan kepada orang Barat, bahkan gurunya kebanyakan didatangkan dari Eropa.
Keberhasilan di bidang militer telah merubah Mesir menjadi negara modern yang kekuatannya mampu menandingi kekuatan militer  Kerajaan Usmani serta bermunculanlah para tokoh intelektual diMesir yangkelak melanjutkan gagasan-gagasan beliau khususnya dalam bidang pendidikan.
2.                        Al-Tahtawi
Beliau sangat berjasa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan di Mesir karena menguasai berbagai bahasa asing dan berhasil mendirikan sekolah penerjemahan dan menjadikan bahasaasing tertentu sebagai pelajaran wajib di sekolah.
Diantara pendapat baru yang dikemukakannya adalah pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya terutama ditunjukan kepada pemberian kesempatanyang sama antara laki-laki dan perempuan di tengahmasyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan memberikan kesempatan belajar yangsama antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang posisi yang menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan putra-putri yang cerdas.
Bagi al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada anak-anak dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Qur'an, agama, dan matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap III, adalah pendidikan tinggi yang tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai disiplin ilmu.
Dalam proses belajar mengajar, al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab merusak perkembangan anak didik. Dengan demikian, dipahami bahwa al-Tahtawi sangat memperhatikan metode mengajar dengan pendekatan psikologi belajar. [3]
3.                       Muhammad Abduh
Abduh adalah salah satu seorang murid Afgani. Beliau aangat terkenal khussunya dalam bidang pemikiran rasional sehingga digelar New Muttazilah. Namun demikian, beliau tidak ketinggalan dalam bidang pendidikan bahkan setelah menamatkan studinya di al-Azhar pada tahun 1877, beliau mengajar di berbagai tempat termasuk almamaternya sendiri.
Menurut Abduh, pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial secara sistematis. Gagasannya yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah bahwa ia sangat menentang sistem dualisme. Menurutnya, dalam lembaga-lembaga pendidikan umum harus diajarkan agama. Sebaliknya, dalam lembaga-lembaga pendidikan agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.
Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam mewujudkan gagasan pembaharuannya adalah melalui Universitas al-Azhar. Menurutnya, seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan kembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di al-Azhar. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya, dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern. [4]
4.                       Rasyid Ridha
Rasyid Ridha sangat terkenal bersama denan Abduh (gurunya) menerbitkan majalah al-Manar yang kemudian menjadi sebuah tafsir modern yang bernama Tafsir al-Manar.
Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridha memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, peradaban Barat modern harus dipelajari oleh umat Islam. Hal ini relevan dengan pendapat gurunya (Muhammad Abduh) bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk kemajuan mereka. Beliau juga berpendapat bahwa mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
Usaha yang dilakukan di bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader Muballig yang tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Kairo dengan nama Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad. Dalam lembaga tersebut Ridha memadukan antara kurikulum Barat dan kurikulum yang biasa diberikan madrasah tradisional.
5.                       Jamaluddin al-Afgany
Afgany terkenal sebgai mubalig kondang dan suka berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya untuk membangkitkan semangat umat Islam untuk bangkit melawan penjajahan Barat secara bersatu. Salah satu idenya yang sangat terkenal adalah Pan Islamisme. Oleh karena itu beliau lebih dikenal sebagai tokoh pembaharuan di bidang politik dibandingkan pembaharuan di bidang pendidikan.
Menurut Afgany, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan suatu bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang kadangkala berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang mengembangkan pertanian, industri, dan perdagangan, yang menyebabkan penumpukan kekayaan dan harta. Tetapi filsafat menurutnya merupakan ilmu yang laping teratas kedudukannya di antara ilmu-ilmu yang lain.
Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika situasi menginginkan.
Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas utama agar umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam hal menuntut ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja melainkan perempuan pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut. [5]
6.                       Ali Mubarak
Beliau dipandang sebagai pelopor pendidikan modern di Mesir karena mampu memadukan antara pendidikan yang berazaskan Islam dengan pendidikan Barat yang diperolehnya ketika belajar di Perancis.
Ali Mubarak dipandang sebagai peletak dasar dari Laihah Rajab, semacam rencana pendidikan yang terpadu bagi bangsa Mesir yang berdasarkan kerakyatan dengan sasaran pengembangan lembaga pendidikan, penelitian lembaga pendidikan di daerah dan penerbitan administrasi pendidikan yang dipusatkan di kantor pemerintah daerah.
Sebagai hasil dari Laihah Rajab itu, lembaga-lembaga pendidikan berkembang dengan pesat, baik kualitas maupun kuantitas, tetapi keasliannya tetap terpelihara. Pada perkembangan selanjutnya mendapat pengakuan yang wajar dari pemerintah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
7.                       Thaha Husain
Beliau sangat berhasil dalam pendidikan. Terbukti setelah selesai di al-Azhar, kemudian ke Perancis untuk memperdalam ilmu pengetahuannya. Dan sekembalinya di Mesir, beliau diangkat menjadi pejabat penting dalam pemerintahan khususnya dalam urusan kementerian pendidikan.
Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga ahli yang diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang dapat memajukan Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang memprihatinkan dan terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, di banding dengan Dunia Barat.
Menurut beliau, universitas tersebut mencerminkan intelektual, keilmiahan, dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan intelektual.
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya.
Gagasan Thaha Husain ini memiliki arti penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan di Mesir karena mampu melahirkan inovasi-inovasi baru dalam bidang pendidikan dan di sinilah muncul kemampuan belajar efektif dalam belajar yang sesungguhnya.[6]
Sistem pendidikan di mesir terdapat dua sistem yaitu Sistem Pendidikan Kebangsaan dan Sistem Pendidikan Al-Azhar.
1.                       Sistem Pendidikan Kebangsaan
Di bawah sistem ini, persekolahan peringkat rendah dan menengah ditadbir oleh Kementerian Pelajaran dan peringkat persekolahan tinggi ditadbir oleh Kementerian Pelajaran Tinggi. Tempo pengajian di bawah sistem ini adalah seperti berikut:
1.              Peringkat rendah (ibtadai)                  : 6 tahun
2.              Peringkat menengah rendah (i'dadi)   : 3 tahun
3.              Peringkat menengah atas (thanawi)    : 3 tahun
4.              Peringkat universitas (jamiah) : 4-6 tahun
Terdapat 11 universitas dibawah Sistem Pendidikan Kebangsaan yaitu:
1.             Universitas Kaherah
2.             Universitas Ain Shams
3.             Universitas Al-Menia
4.             Universitas Mansourah
5.             Universitas Helwan
6.             Universitas Terusan Suez
7.             Universitas Iskandariah
8.             Universitas Asyut
9.             Universitas Tanta
10.         Universitas Zaqaziq
11.         Universitas Al-Manoufia
2.                       Sistem Pendidikan Al-Azhar
Semua pusat pengajian Al-Azhar daaripeirngkta rendah hingga peringkat tinggi terletak di bawah pentadbiran Majelis Tertinggi Al-Azhar yang dipengerusikan oleh Syeikh Al-Azhar. Tempoh pengajian di bawah sistem ini adalah seperti berikut:
1.             Peringkat rendah (ibtadai)                   : 6 tahun
2.             Peringkat menengah rendah (i'dadi)   : 3 tahun
3.             Peringkat menengah atas (thanawi)    : 4 tahun
4.             Peringkat universitas (jamiah)             : 4-6 tahun
Mulai sesi 1992/1993, pihak Universitas Al-Azhar mula menghantar sebahagian pelajar-pelajar Malaysia ke tujuh buah cawangannya di luar Kaherah yaitu Iskandariah, Damanhur, Tanta, Mansourah, Zaqazik, Shibin El-Kom, dan Dumyat. Pihak universitas ini turut mengadakan fakulti yang berasingan di antara pelajar lelaki dan pelajar perempuan.
Sistem pendidikan di Mesir, baik disekolah negeri maupun Al-Azhar, dan pendidikan swasta lainnya, memang mewajibkan pelajar Muslim untuk menghafal Al-Quran. Selain itu, pengajian di mesjid-mesjid bagi jamaah, khususnya anak-anak sekolah juga berperan penting untuk mendorong warga mnghafal Al-Quran.
Sistem pendidikan di Mesir, sejak taman kanak-kanak sudah diwajibkan menghafal Al-Quran. Di Universitas Al-Azhar, misalnya bagi mahasiswaMesir program S-1 diwajibkan menghafal 15 juz (setengah) Al-Quran, program S-2 diwajibkan menghafal seluruh Al-Quran. Adapun program S-3 tinggal diuji hafalan sebelumnya.
Kewajiban menghafal Al-Quran  ini tidak berlaku bagi mahasiswa asing non-Arab, di mana program S-1 di ringankan, yaitu hanya diwajibkan hafalan delapan juz Al-Quran, dan program S-2 sebanyak 15 juz Al-Quran, sementara program S-3 baru diwajibkan hafal  seluruh Al-Quran.
Sementara itu, pemerintah Mesir dilaporkan setiap tahun mengalokasikan dana khusus sebesar 25 juta dolar AS (1,2 miliyar pound Mesir) untuk penghargaan bagi penghafalan Al-Quran. Penghargaan itu diberikan setiap peringatan hari-hari besar Islam bagi pemenang hifzul (penghafal) Al-Quran, berupa uang tunai maupun dalam bentuk beasiswa dan tunjangan hidup. Sudah menjadi tradisi di negeri Seribu Menara itu, perlombaan hafal Al-Quran di setiap hari-hari besar Islam dilakukan secara serentak dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah.[7]
Notes:
[1]          George Ienczowski. Timur Tengah di Tengah Kanca Dunia. Bandung: Sinar Baru Algen Sindo.
[2]          Drs. Abd. Rachman Assegaf, M.A. Internasionalisasi Pendidikan, Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat. Gama Media. Yogyakarta. 2003.

No comments:

Post a Comment