Sejarah Kamboja atau Kampuchhea

DEVI ANGGRAEINI/SAT

KAMBOJA atau Kampuchea merupakan negara di Asia Tenggara yang semula berbentuk Kerajaan di bawah kekuasaan Dinasti Khmer di Semenanjung Indo-China antara Abad Ke-11 dan Abad Ke-14. Rakyat Kamboja biasanya dikenal dengan sebutan Cambodian atau Khmer, yang mengacu pada etnis Khmer di negara tersebut. Negara anggota ASEAN yang terkenal dengan pagoda Angkor Wat ini berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Vietnam. Sebagian besar rakyat Kamboja beragama Buddha Theravada, yang turun-temurun dianut oleh etnis Khmer. Namun, sebagian warganya juga ada yang beragama Islam dari keturunan muslim Cham.

Kamboja menghebohkan dunia ketika komunis radikal Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berkuasa pada tahun 1975. Saat itu, Pol Pot memproklamirkan Kamboja sebagai sebuah negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Tanggal 17 April 1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja.[1]

Merdeka dari Perancis
Pada tanggal 9 November 1953, Perancis mengakhiri penjajahannya di Kamboja yang telah berlangsung sejak tahun 1863 dan Kamboja pun menjadi sebuah negara berdaulat. Setahun kemudian mantan pemimpin negara kawasan Indo-China itu, Raja Norodom Sihanouk, kembali dari pengasingannya di Thailand. Sihanouk kemudian membentuk partai politik dan menggelar pemilihan umum (pemilu). Setelah memenangkan pemilu ia berhasil mengusir orang-orang komunis dan memperoleh seluruh kursi pemerintahan.
Pada tahun 1955, untuk melepaskan diri dari segala bentuk pelarangan yang dibuat untuk raja oleh perundang-undangan Kamboja, Norodom Sihanouk mengembalikan tahta kepada ayahnya, Norodom Suramarit. Ia kemudian memasuki dunia politik. Selama pemilihan berturut-turut, pada tahun 1955,1958, 1962 dan 1966, partai bentukan Norodom Sihanouk selalu memenangkan kursi mayoritas di parlemen.
Pada bulan Maret 1969, Pesawat Amerika mulai mengebom Kamboja untuk menghalangi jejak dan penyusupan dari tentara Vietkong. Pengeboman tersebut berakhir sampai tahun 1973.
Pada tahun 1970, ketika Sihanouk sedang berada di Moskow dalam sebuah kunjungan kenegaraan, Marsekal Lon Nol melakukan kudeta di Phnom Penh. Lon Nol lalu menghapus bentuk kerajaan dan menyatakan Kamboja sebagai sebuah negara republik. Sihanouk tidak kembali ke negaranya dan memilih menetap di Peking, China. Ia memimpin pemerintahan dalam pelarian dan Khmer Merah merupakan bagian dari pemerintahan tersebut.[2]
Dosa di Negara Kamboja
Pada saat Perang Vietnam tahun 1960-an, Kerajaan Kamboja memilih untuk netral. Hal ini tidak dibiarkan oleh petinggi militer, yaitu Jendral Lon Nol dan Pangeran Sirik Matak yang merupakan aliansi pro-AS untuk menyingkirkan Norodom Sihanouk dari kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom Sihanouk memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menguasai kembali tahtanya yang direbut oleh Lon Nol. Hal inilah yang memicu perang saudara timbul di Kamboja.
Peperangan di kamboja terus berlangsung, kendati penyelesaian politik diupayakan lewat jakarta informal meeting. khmer merah di bawah pol pot dan vietnam menanggung dosa, membantai jutaan rakyat.
Dosa itu terletak pada kepemimpinan Khmer Merah di bawah Pol Pot, yang selama tiga tahun (1975 sampai 1978) membantai 1,6 juta orang Kamboja secara sistematis atas nama "kemurnian" bangsa Khmer baru karena Pol Pot yakin bangsa Khmer yang "bersih, murni, baru" hanya bisa dibangun atas dasar perhitungan tentang zaman baru yang dimulai dengan tahun nol. Ideologi totalisme inilah biang keladi permasalahan pokok mengenai Kamboja selang beberapa tahun terakhir.
Dari semula, dosa Pol Pot dan kliknya dibantu RRC dan Amerika Serikat yang menfaatkan argumen hukum internasional (yang kebetulan juga didukung rumus politik Gerakan Nonblok) tentang tak layaknya suatu negara mencampuri urusan dalam negeri bangsa lain. Di balik itu adalah rangkaian dendam kesumat yang tersimpan dalam dada pemimpin RRC mengenai "kekuranganajaran" Vietnam memperlakukan orang-orang Cina selama 1975- 1978.
Fakta-fakta korban perang kamboja
Nyaris tiga dasawarsa berlalu sejak rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot digulingkan. Tetapi, sejarah kelam kebrutalan rezim komunis yang berkuasa pada 1975-1979 itu belum bisa sepenuhnya dihapus dari ingatan rakyat Kamboja maupun dunia internasional. Tidak heran, bagi wisatawan yang singgah di Kamboja, lokasi-lokasi bekas peninggalan rezim Khmer Merah sangat diminati untuk disinggahi. Kamp penyiksaan Tuol Sleng serta "ladang pembantaian" (killing field) Choeung Ek adalah dua dari segudang bukti kekejaman Pol Pot yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Choeung Ek adalah 'ladang pembantaian' yang digunakan rezim Khmer Merah selama empat tahun, sebagai lokasi eksekusi orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom Penh.
Ada sekitar 20.000 orang dieksekusi di situ. "Sebagian besar korban yang dieksekusi adalah dokter, pengacara, insinyur, guru, diplomat tinggi, serta kalangan profesional lain," kata Kosal, lulusan Cambodia Mekong University. Mereka yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol, yakni pemerintah dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup. Tanpa pandang bulu, mereka yang diketahui punya ide dan pandangan politik berbeda dengan Pol Pot, ditangkap dan dieksekusi. Penangkapan bahkan kerap terjadi pada orang yang hanya karena berpenampilan intelektual, antara lain dapat berbahasa asing, punya telapak tangan halus, berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh, petani, atau pekerjaan-pekerjaan kasar lain.
Choeung Ek, yang awalnya lokasi pemakaman warga Tionghoa, berada di kawasan seluas sekitar 2,5 hektare. Sebetulnya, "ladang pembantaian" Choeung Ek berada di sebuah lahan terbuka yang sangat luas. Tetapi setelah dilakukan penggalian kuburan massal, Pemerintah Kamboja menetapkan bahwa ladang pembantaian itu berada di lokasi seluas 2,5 hektare. Setelah jatuhnya rezim Pol Pot pada 1979, ada 86 dari total 129 kuburan massal di Choeung Ek berhasil digali. Sebanyak 8.985 mayat ditemukan di lokasi kuburan massal tersebut.
Cabikan pakaian korban pembantaian hingga kini masih tampak menyembul di sela-sela tanah. Rumput-rumput liar menyelimuti permukaan tanah yang dipenuhi cerukan-cerukan bekas kuburan. Serpihan tulang mudah ditemukan, bertebaran di seantero lahan. Pakaian para korban eksekusi yang lusuh dan lapuk dibiarkan teronggok di bawah pepohonan. Situasi memang tidak diubah agar pengunjung dapat menangkap atmosfer yang memilukan. anak-anak juga menjadi korban.[3]
 Anak-anak juga menjadi korban
Dari kondisi tengkorak para korban, setidaknya bisa diketahui eksekusi dilakukan sangat brutal. "Eksekusi dilakukan tidak dengan ditembak atau cara-cara lain yang dapat menimbulkan kegaduhan. Korban secara berkelompok digiring ke pinggir lobang kuburan massal lalu dieksekusi dengan alat-alat pertanian, misalnya cangkul atau pacul, yang dihantamkan ke bagian kepala," tutur Kosal.
Musik diputar keras-keras dari megafon yang digantung di "pohon ajaib", untuk meredam lolongan kesakitan. Korban tidak bisa melarikan diri karena tangan dan kaki dibelenggu, sementara mata ditutup rapat.
Fakta pembantaian intelektual Kamboja terbilang mengherankan. Tidak kurang Donna Baker, diplomat dari Kementerian Luar Negeri Australia yang ikut bersama para wartawan ke Tuol Sleng dan Choeung Ek, juga mempertanyakan hal itu. "Di Rusia, yang juga negara komunis, para intelektual tetap diperkenankan hidup. Mengapa di Kamboja mereka semua dibantai? Apa karena mereka sebelumnya bekerja di bawah rezim Lon Nol?" kata Donna.
Dari penyelidikan pascajatuhnya Pol Pot, yang bernama asli Saloth Sar, diyakini dia ingin mengembangkan komunisme ekstrem. Rezim Pol Pot ingin membangun segala sesuatunya dari awal. Maka, pada 17 April 1975, Kamboja diproklamasikan Pol Pot sebagai negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Pol Pot memproklamasikan 17 April 1975 sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja
Banyak tentara Khmer Merah akhirnya menyadari ada yang salah dari ideologi komunis ala Pol Pot. Mereka melarikan diri dari Kamboja dan bergabung dengan pasukan Vietnam untuk menggulingkan rezim brutal itu. Pol Pot jatuh di tangan tentaranya sendiri yang membelot ke Vietnam. 7 Januari 1979 adalah hari pembebasan dari cengkeraman rezim Khmer Merah. Banyak tentara Khmer Merah yang diperkenankan bergabung dengan pemerintahan Kamboja pasca Pol Pot. PM Hun Sen, misalnya, dulu adalah deputi komandan resimen Khmer Merah. Tetapi, ia kabur ke Vietnam pada 1977.
Penegakan hukum tetap diberlakukan ke sejumlah pemimpin papan atas Khmer Merah yang berwatak kriminal, khususnya Deuch yang bernama asli Kaing Khek Iev. Pada 1975-1979, Deuch menjabat sebagai Direktur S-21. Sejak 1999, Deuch mendekam di tahanan menanti persidangan atas pelanggaran HAM.
Harus diakui, menapaki jejak peninggalan rezim Khmer Merah sungguh tidak nyaman. Perut terasa mual. Tetapi, wisata ke Tuol Sleng dan "ladang pembantaian" Choeung Ek setidaknya bisa mengingatkan kita pada sejarah kebrutalan pada masa lalu, yang seharusnya tidak terulangkembali.[4]

Daftar Pustaka
[1] Nordholt, Nico S,Visser, Leontine, Ilmu Sosial di Asia Tenggara, Jakarta LP3ES: 1997

No comments:

Post a Comment