PERKEMBANGAN MASYARAKAT DI HINDIA BELANDA


Wulan Asih Novianti/B/SI3
1.      Pertumbuhan Penduduk
Pada masa pemerintahan Raffles, jumlah penduduk Jawa dilaporkan berjumlah sekitar empat setengah juta jiwa dan merupakan daerah terpadat di Hindia Timur pada masa itu. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa itu sendiri tidak terlalu mengherankan karena daerah ini sejak lama sudah menjadi pusat kegiatan politis dan perdagangan.
Menurut sensus penduduk tahun 1930, jumlah penduduk Jawa berkisar 40 juta jiwa. Hal ini berarti dalam waktu sekitar 130 tahun, penduduk Jawa meningkat sepuluh kali lipat. Adanya pertumbuhan yang demikian pesat ini sedikit banyak menimbulkan banyak pertanyaan: apakah hal itu terjadi karena adanya perbaikan kualitas kehidupan, termasuk di dalamnya jaminan kesehatan dan keamanan?
Menurut Widjojo Nitisastro, masalah utama dalam kependudukan bukanlah perkiraan yang hebat itu melainkan bagaimana cara perkiraan itu bisa didapatkan. Hal ini dikarenakan seringkali pencacahan dilakukan oleh pamong desa yang tidak mengerti tentang pencacahan itu, di mana mereka tidak mencatat kelahiran dan kematian bayi. Alasannya, mereka berpikir 'bayi-bayi' itu belum sempat menjadi orang. Oleh karena itu perkiraan jumlah penduduk Jawa pada abad ke-18, 19 dan awal abad ke- 20 kemungkinan besar jauh lebih rendah dari pada keadaan sesungguhnya. Dengan demikian, tahap kecepatan pertumbuhan penduduk barangkali juga tidak sehebat yang dibayangkan.
            Sejak tahun 1905 sampai 1920, ketika sensus yang lebih baik diadakan, perkiraan pertambahan penduduk Pulau Jawa adalah kira-kira 10 per 1000 jiwa. Kecepatan pertambahan penduduk agak tersendat karena masih tingginya angka kematian, yaitu kira-kira 32,5 sampai 35 per seribu jiwa. Angka kematian teertinggi terjadi di tahun 1918, yaitu saat terjadi wabah penyakit yang membunuh puluhan ribu jiwa. Malahan di beberapa daerah terjadi pengurangan jumlah penduduk.
            Pertambahan penduduk yang pesat terjadi sesudah tahun 1920. Hal itu antara lain dikarenakan tidak terjadi lagi wabah-wabah seperti sebelumnya. Dilaporkan bahwa pada saat itu sebagian besar daerah Hindia Belanda telah terbebas dari epidemi cacar dan sesudah tahun 1928 terbebas pula dari wabah kolera. Menurut catatan, antara tahun 1920 sampai 1930 pertumbuhan penduduk Pulau Jawa kira-kira 17,6 per seribu jiwa. Meskipun demikian, diakui bahwa angka itu adalah angka rata-rata karena dalam kenyataannya pertumbuhan di setiap  daerah tidaklah sama.
            Daerah-daerah di luar jawa yang mengalami pertumbuhan pesat dalam kurun waktu 1905-1920 adalah di Sulawesi dan Nusa Tenggara (termasuk Bali). Di kedua daerah ini, perkiraan pertumbuhan penduduk tiap tahunnya masing-masing sekitar 86,8 dan 78,7 per seribu jiwa. Akan tetapi dalam kurun waktu 1920-1930 di Nusa Tenggara terjadi gejala agak aneh, karena laju pertumbuhan penduduknya mengalami hambatan, hanya 24,4 per seribu jiwa. Sebaliknya, daerah Maluku tampil sebagai daerah yang memiliki angka pertuumbuhan penduduk tercepat, yaitu sekitar 28 per seribu jiwa. Ketika sensus tahun 1930 dilakukan, penduduk Hindia Belanda (Indonesia) berjumlah 60,7 juta jiwa, dimana 41,7% di antaranya berdiam di Pulau Jawa.
            Sejak tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk mengadakan sensus per sepuluh tahun. Namun akibat pecahnya Perang Dunia II, perhatian pemerrintah lebih tertuju pada masalah pertahanan sehingga sensus tahun 1940 tidak terlaksana. Meskipun demikian, menurut perkiraan yang didasarkan pada hasil proyeksi, jumlah penduduk Hindia Belanda pada tahun 1940 diperkirakan sebesar 70,4 juta jiwa. Di Pulau Jawa diperkirakan berjumlah 48,4 juta jiwa, sedangkan penduduk di luar Jawa berjumlah sekitar 22 juta jiwa.
2.      Gerakan Sosial
Sejak zaman Ekonomi Liberal, penetrasi sekaligus dominasi ekonomi Barat masuk hingga ke tingkat desa. Akibatnya, hal tersebut tidak saja membawa perubahan dalam masalah ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial budaya. Penetrasi tersebut banyak menimbulkan kekacauan pada pranata dan struktur sosial setempat, baik dari segi nilai, norma ataupun fungsinya. Bahkan, banyak lembaga-lembaga atau pranata sosial yang sebelumnya sering dijadikan tempat untuk menyalurkan perasaan ketidakpuasan, tidak berfungsi lagi.
Daerah yang paling banyak terjadi huru-hara atau pemberontakan adalah daerah tanah partikelir, yang banyak terdapat di wilayah bagian barat Jawa. Hal ini dikarenakan para pemiliknya yang disebut sebagai tuan tanah, tidak hanya diberi kekuasaan untuk memiliki bidang tanahnya saja melainkan juga penduduk yang ada di atasnya. Di samping itu para tuan tanah diberikan hak istimewa yang dilindungi undang-undang. Dengan hak istimewanya itu para tuan tanah mempunyai keleluasaan dalam mengeksploitasi tanah miliknya. Banyak di antara mereka yang kemudian melakukan eksploitasi secara berlebihan sehingga menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk setempat. Adapun pemberontakan petani yang terjadi di daerah ini antara lain : di Cirebon (1811), Ciomas, Bogor (1866), Bekasi (1913) dan Tanjung Oost, Condet (di kalangan masyarakat Betawi dikenal dengan sebutan pemberontakan Entong Gendut tahun 1916).
Setelah munculnya organisasi-organisasi sosial dan politik yang didirikan orang-orang bumiputera, pengaruhnya terlihat pula dalam beberapa gerakan sosial. Sebagai contoh pada tahun 1918 terjadi suatu gerakan pembangkangan oleh keluarga Haji Hasan dari Cimareme, Garut (Keresidenan Priangan) terhadap tuntutan pemerintah kolonial. Haji Hasan menolak menjual padinya kepada pihak pemerintah dengan jumlah dan harga yang telah ditentukan pihak pemerintah. Akhirnya, polisi menyerbu rumahnya sehingga Haji Hasan beserta sebagian besar keluarganya tewas di tempat. Menurut pihak pemerintah, Haji Hasan adalah anggota Sarekat Islam (SI) afdeling-B. Pada tahun yang sama, di Toil-toli juga terjadi pembangkangan petani terhadap tuntutan pihak pemerintah kolonial, yang juga oleh pihak pemerintah dikatakan dihasut oleh SI afdeling-B.
Di samping itu, penetrasi ekonomi kapitalisme juga telah mendorong munculnya beberapa gerakan sektarian. Adapun yang dimaksud dengan gerakan sektarian di sini adalah beberapa gerakan keagamaan yang muncul sebagai reaksi terhadap kepercayaan atau agama besar yang ada, yang dinilai sudah tidak mampu menjawab tantangan zaman atau menjadi penyebab terpuruknya kesejahteraan mereka. Contoh dari gerakan ini adalah Syahadat Kalimusada, Mad Rais, dan Kaum Wira-i.
3.      Kontrol Pemerintah Terhadap Kehidupan Beragama
Menurut artikel 119 Regeeringsreglement Tahun 1854 (dan artikel 173 Staatsregeling) pemerintah mengakui kemerdekaan beragama dan bersikap netral terhadapnya, kecuali bila praktek keagamaan itu berlawanan dengan hokum yang berlaku atau merusak ketenangan dan ketentraman. Untuk mempertahankan ketenangan dan ketentraman ini, maka para pendeta dan misionaris harus memperoleh izin khusus dari gubernur jenderal untuk memasuki suatu wilayah tertentu di Hindia Belanda (Indonesia) dan melarang aktivitas penyebaran agama Kristen di daerah yang dihuni oleh penduduk muslim.
      Keluarnya undang-undang tersebut di atas pada dasarnya bukan karena pemerintah kolonial bertindak liberal dan ingin bertindak adil dalam masalah agama, akan tetapi untuk menghindari pertikaian antarkelompok dalam agama Kristen sendiri (baik Protestan maupun Katolik). Persaingan dan pertikaian antara kelompok Kristen itu sendiri membuat kesukaran bagi pemerintah untuk memberikan sokongan bagi kelompok tertentu. Meskipun demikian, pada tahun 1854 muncul keputusan raja Willem 1 yang mengemukakan bahwa administrasi gereja mempunyai tugas untuk menegakkan ajaran Injil. Oleh karena itu, gereja dan kelompok misisonaris  menikmati sejumlahh kemudahan melalui peraturan-peraturan pemerintah, termasuk kebebasan dari berbagai macam pajak dan bea, subsidi untuk pembangunan gereja, biaya bagi misionaris untuk pergi ked an kembali pulang dari Hindia Belanda, serta subsidi untuk sekolah, rumah sakit, dan rumah yatim piatu.
Sementara itu, bagi agama lain, khususnya agama Islam yang menjadi agama mayoritas kaum pribumi waktu itu,  pemerintah justeru mengeluarkan berbagai peraturan yang bersifat membatasi ruang gerak mereka. Hal itu sendiri didasarkan pada nasehat Snouck Hurgronje yang menyatakan agar pemerintah kebebasan keapada kuam muslimin selama kegiatannya berhubungan agama (kultural) namun membatasi kegiatan Islam yang mengarah ke politik. Misalnya, pada tahun 1905 keluar Goeroe Ordonnantie (Staatsblad 1905, No.550) yang isinya mewajibkan setiap penyelenggaraan pendidikan Islam harus mendapat izin tertulis dari bupati atau pejabat yang setara kedudukannya. Di samping itu, setiap guru diwajibkan untuk membuat daftar nama murid-muridnya lengkap dengan segala keterangannya, yang harus dikirimkan secara periodic kepada pejabat yang bersangkutan.
Peraturan tahun 1905 itu dinilai oleh kaum muslim sebagai sikap diskriminatif dari pemerintah kolonial. Setelah terjadi protes dalam kongres Al-Islam tahun 1922, peraturan itu dicabut oleh pemerintah kolonial dan diganti dengan peraturan tahun 1925 (Staatsblad 1925 No.219) yang juga disebut "ordonansi guru". Pada dasarnya peraturan baru itu tidak jauh berbeda dengan peraturan sebelumnya. Perbedaannya hanyalah terletak dalam masalah izin, di mana izin dari bupati tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu dalam Kongres Al-Islam tahun 1926 diambil keputusan untuk menolak bentuk pengawasan pemerintah kolonial seperti itu sekaligus menuntut agar pemerintah segera mencabutnya. Akan tetapi pihak pemerintah tidak menggubrisnya. Sebaliknya, sejak bulan Januari 1927 peraturan itu diperluas ke luar Jawa, dan diberlakukan di Aceh, Sumatera Timur, Palembang, Tapanuli, Manado, Lombok, dan Bengkulu.
Di beberapa daerah seperti di Sumatera Barat, reaksi juga bermunculan sehingga pada bulan Agustus 1928 di Bukittinggi diadakan pertemuan untuk membicarakan peraturan tersebut yang dinilai jelas-jelas mengancam kemerdekaan agama yang telah tertanam dalam hati sanubari mereka. Lebih dari 800 orang ulama, baik dari kalangan tradisional maupun reformis atau modernis, hadir dalam pertemuan itu, yang sekaligus menunjukkan betapa risaunya mereka terhadap peraturan tersebut. Hadir pula dalam pertemuan itu L. De Vries dari kantor Inlansche Zaken (masalah-masalah bumiputera).
Akhirnya pemerintah kolonial mencabut ordonansi guru. Namun para ulama dan pengelola pendidikan Islam kembali harus berhadapan dengan peraturan lain, yaitu De Wilde Schoolen Ordonnantie, yang meskipun sebenarnya ditujukan untuk membatasi penyebaran paham kebangsaan Indonesia namun ternyata efektif pula bagi pembatasan ruang gerak penyebaran Islam.
Pengurus besar Muhammadiyah mulanya memperlihatkan sikap ragu terhadap ordonansi guru itu. Hal ini mungkin disebabkan sebagian sekolahnya menerima subsidi dari pemerintah kolonial. Namun akhirnya dalam suatu konferensi darurat antara para konsulnya di Yogyakarta, secara tegas diambil satu keputusan untuk menolak ordonansi tersebut. Demikian pula organisasi-organisasi Islam lainnya seperti Permi menyelenggarakan rapat-rapat umum untuk menjelaskan kepada masyarakat ramai, betapa buruk akibat yang ditimbulkan oleh Wilde Schoolen Ordonnantie. Bahkan Permi beserta Taman Siswa kemudian bergabung dalam perlawanan pasif menolak ordonansi tersebut.
Perlawanan terhadap ordonansi itu dari tahun ke tahun ternyata semakin meluas. Marah Sutan, seorang pendidik dari Minangkabau yang tidak pernah ikut kegiatan politik menagatakan dalam rapat Komite Penyokong Perguruan Indonesia di Yogyakarta , bahwa seluruh daerah Minangkabau sepakat dengan aksi perlawanan pasif yang dilancarkan Taman Siswa. Kemudian pada bulan Desember 1932 dibentuk panitia khusus di bawah pimpinan Haji Rasul yang mengeluarkan manifesto untuk menggagalkan Wilde Schoolen Ordonnantie. Namun manifestonya disita pihak pemerintah.
Rupanya pemerintah tidak menduga akan muncul perlawanan dari rakyat Indonesia yang demikian tegas dan pasti sehingga pada Februari 1933 pemerintah kolonial memutuskan untuk mencabut Wilde Schoolen Ordonnantie beserta penggantinya. Walaupun demikian, pengawasan terhadap pengajaran, khususnya pengajaran agama Islam, masih terus berlangsung dalam bentuk-bentuk tertentu yang sifatnya represif.
Daftar Pustaka :
Iskandar, Mohammad dkk. 2007.  Sejarah : Indonesia dalam Perkembangan Zaman untuk SMA Program IPS.  Jakarta : Ganeca Exact.

No comments:

Post a Comment