MASA PERALIHAN (PROSES MENUJU HINDIA BELANDA)



Wulan Asih Novianti/B/SI3
1.      Masa Pemerintahan Daendels
Peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintah Belanda sendiri tidak membawa dampak yang cukup berarti bagi wilayah Hindia Timur. Hal ini antara lain karena di Negeri Belanda sendiri masih terjadi kekacauan setelah Napoleon Bonaparte dari Perancis menyingkirkan Raja Willem van Oranje dan mendudukkan saudaranya, Louis Napoleon, sebagai raja baru Belanda.
Pada tahun 1808 Louis Napoleon mengirimkan Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menempati posnya sebagai gubernur jenderal di Hindia Timur. Daendels (yang berkuasa antara tahun 1808-1811) dapat dikatakan sebagai gubernur jenderal pertama yang mewakili raja Belanda dan sekaligus pula sebagai pemerintahan kolonial pertama di Hindia. Sementara, VOC hanya merupakan kongsi dagang yang berada di bawah Heeren XVII.
Tugas utama Daendels adalah melakukan reorganisasi pemerintahan serta mempertahankan wilayah Hindia Timur dari kemungkinan datangnya serangan Inggris.
Pada masa Daendels, pemerintahan di Jawa dipusatkan dan langsung berada di bawah kekuasaannya. Salah satu tuntutan Daendels yang paling menyakitkan raja-raja Jawa adalah tuntutan agar penguasa di Surakarta dan Yogyakarta memperlakukan utusan-utusan dari Pemerintah Hindia Timur sebagai wakil pemerintahan Eropa sehingga mereka harus diperlakukan sederajat dengan raja-raja Jawa sendiri. Tentu saja hal itu merupakan pelanggaran terhadap tradisi yang ada, yang telah disepakati pula oleh VOC. Pada masa VOC, para utusannya diperlakukan sebagai duta-duta dari sekutu kepada sekutu lainnya, yang berarti kedudukannya tidak sederajat dengan raja. Meskipun Susuhunan Pakubuwono IV menerima perubahan ini, namun Sultan Hamengkubuwono II menolaknya.
Daendels bertindak tegas terhadap pembangkangan ini. Pada bulan DEsember 1810, dia membawa 3.200 serdadu ke Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwono II turun dari tahtanya. Dengan dukungan Patih Danureja II, Daendels kemudian menunjuk putera mahkota sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811,1812-1814). Selain itu, Daendels memperoleh 500.000 gulden sebagai rampasan dari Yogyakarta.
Daendels sendiri pada dasarnya hanya memprioritaskan pertahanan di Pulau Jawa. Untuk keperluan mobilitas pasukannya, dia membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan, yang terkenal sebagai jalan pos besar (De grootpost weg). Namun sebelum serangan Inggris tiba, Daendels ditarik ke Eropa dan kedudukannya sebagai gubernur jenderal digantikan oleh Jan Willem Janssens.
Sebenarnya, Janssens memiliki reputasi yang payah dalam peperangan, yaitu pernah dikalahkan Inggris di Tanjung Harapan pada tahun 1806. Pemerintahannya di Hindia sendiri hanya bertahan beberapa bulan saja. Pada bulan Agustus 1811, sebuah armada Inggris mendaratkan pasukan di Batavia. Janssens mundur ke Semarang untuk bergabung dengan Legian Mangkunegara dan prajurit Yogyakarta serta Surakarta. Namun akibat pembangkangan anak buahnya, akhirnya pada tanggal 18 September, Janssens menyerah kepada pihak Inggris di Kalituntang, Salatiga.
2.      Masa Pemerintahan Raffles
Setelah Janssens menyerah, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto, menunjuk Thomas Stanford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa (1811-1816). Pada awalnya, raja-raja Jawa menaruh harapan dan merasa senang atas perubahan pemerintahan dari Belanda ke Inggris.
Tidak lama setelah memerintah, Raffles segera menganggap Sultan Hamengkubuwono II sangat berbahaya dan sulit diajak untuk bekerja sama. Oleh karena itu, pada bulan Juni 1812, Raffles mengirimkan pasukan ke Yogyakarta yang terdiri dari 1.200 prajurit Legiun Mangkunegara. Istana Yogyakarta digempur dan dirampok oleh Inggris. Perpustakaan dan arsip-arsip kerajaan itu dirampas, disamping sejumlah besar uang. Hamengkubuwono II kembali diturunkan dari tahtanya dan kemudian dibuang ke Pulau Penang. Kedudukannya sendiri digantikan kembali oleh putranya, Sultan Hamengkubuwono III.
Selama pemerintahannya, Raffles masih sempat memperkenalkan satu sistem perpajakan baru, khususnya pajak tanah (landrent). Di samping itu, Raffles yang menyukai sejarah dan budaya, berhasil menulis sebuah buku tentang Jawa yang berjudul History of Java.
Namun masa pemerintahan Inggris di Hindia Timur tidak berlangsung lama. Sesuai Perjanjian London bulan Maret 1814 yang disepakati Pemerintah Inggris dengan Raja Willem van Oranje dari Belanda, pada tahun 1816 wilayah Hindia Timur dikembalikan kepada Belanda.
3.      Lahirnya Hindia Belanda
Setelah Napoleon dikalahkan oleh pasukan koalisi, Willem van Oranje kembali menjadi raja di negerinya. Naik tahta sebagai Souverein vorst (1814), kemudian sebagai raja (1815). Berdasarkan Groundwet (konstitusi Kerajaan Belanda), kekuasaan tertinggi atas wilayah jajahan berada di tangan raja. Demikian pula kekuasaan undang-undang. Staten Generaal (parlemen) sama sekali tidak diikutsertakan di dalamnya.
Dengan kekuasaannya itu Raja menunjuk tiga orang Commissaris Generaal, yaitu C.Th.Elout, G.A.G. Ph. Baron van der Capellen dan A.A. Buyskes, untuk mengambilalih jajahan Belanda di Asia dari tangan Inggris. Mereka diberikan kekuasaan besar mewakili Pemerintahan Agung (Raja). Sejak masa Commissaris Generaal inilah, sebutan Oostindische, atau Hindia Timur, berganti menjadi Nederlandsch Oost Indie (Hindia Belanda Timur). Akan tetapi, tidak lama kemudian nama tersebut berubah kembali menjadi Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) seperti terlihat dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1816.
Tugas pokok yang dibebankan kepada van der Capellen dan kawan-kawan adalah membangun kembali sistem pemerintahan yang baik di Hindia. Tujuannya agar daerah koloni ini segera dapat memberikan keuntungan kepada negeri induknya, yang sudah banyak terlibat utang, termasuk utang-utang VOC. Akan tetapi kondisi politik di Hindia Belanda belum sepenuhnya aman sejak ditinggalkan Daendels.
Perlu diketahui bahwa wilayah yang tercakup dalam negara kolonial Hindia Belanda itu pada awalnya hanya mencakup wilayah-wilayah taklukkan VOC atau yang diklaim sebagai taklukan VOC. Kerajaan Aceh, Bangka dan Belitung misalnya, tidak termasuk Hindia Belanda, karena bukan taklukan VOC. Akan tetapi, Singapura dan Malaka termasuk Hindia Belanda karena bekas taklukan VOC. Namun, dalam perkembangannya kemudian wilayah Hindia Belanda mengalami banyak perubahan.
Pada saat Commissaris Generaal memulai tugasnya, ada beberapa daerah taklukan VOC yang menyatakan tidak terikat lagi oleh perjanjian dengan VOC yang telah runtuh. Sikap tersebut secara otomatis menyatakan bahwa mereka juga tidak terikat dengan negara kolonial Hindia Belanda. Dalam dua dasawarsa pertama pendirian negara kolonial Hindia Belanda, paling tidak ada tiga perlawanan atau pemberontakan yang dinilai sangat mengganggu kewibawaannya, yaitu perlawanan Pattimura di Maluku; perlawanan Diponegoro (de java oorlog) di Jawa; dan perlawanan Kaum Padri di Sumatera Barat.
a.       Perlawanan Pattimura
Perlawanan rakyat Maluku terjadi pada tahun 1817 di bawah pimpinan Thomas Matulesya (Matulessy), lebih dikenal dengan nama Kapiten Pattimura, mantan sersan mayor pada masa Pemerintahan Inggris. Penyebab pemberontakan adalah karena rakyat Maluku merasa diperlakukan tidak adil oleh Belanda. Selama VOC berkuasa, para petingginya tidak sedikitpun berupaya memajukan budaya setempat. Yang terjadi justeru perusakan tata ekonomi dan niaga setempat yang berakibat semakin merosotnya kesejahteraan penduduk.
Kondisi ini berbeda sewaktu Maluku berada di bawah kekuasaan Inggris. Meskipun Raffles pada dasarnya melanjutkan kebijakan monopoli VOC, tetapi pemerintahannya lebih lunak dan bijaksana, dalam arti mereka tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi juga memperbaiki keadaan setempat.
Ketika Belanda kembali berkuasa, kondisi yang sudah baik itu kembali dirusak, dan rakyat kembali dibebani berbagai kewajiban yang dinilai memberatkan sehingga rakyat Maluku menjadi tidak puas. Ketidakpuasan itu akhirnya meledak menjadi perlawanan bersenjata. Dalam satu pertemuan yang terjadi atas inisiatif dari tokoh-tokoh di Saparua pada bulan Mei 1817, Pattimura diangkat secara aklamasi untuk memimpin perlawanan. Awal perlawanan terjadi dengan perampasan perahu pos yang ada di pelabuhan Porto. Keesokan harinya Pattimura memimpin para pengikutnya menyerbu Benteng Duurstede, di mana Residen Saparua Van den Berg beserta keluarganya (kecuali seorang anak kecil) dibunuh, sehingga menimbulkan kemarahan pihak Belanda. Setelah kabar jatuhnya Benteng Duurstede itu sampai ke Batavia, pemerintah kolonial segera mengirimkan bala bantuan ke Saparua. Pada tanggal 1 Agustus 1817, 45 kapal perang Belanda membuang sauh di teluk di depan Benteng Duurstede. Tapi sewaktu detasemen Belanda memasuki benteng tersebut, ternyata benteng itu telah ditinggalkan oleh Pattimura.
Dengan maksud agar masyarakat di Saparua pada khususnya mau membantu Belanda, maka pihak Belanda menjanjikan akan memberi hadiah sebesar 1.000 gulden bagi siapa saja yang berhasil menyerahkan Pattimura dan 500 gulden lagi bagi setiap kepala para pimpinan di bawahnya. Akhirnya pemberontakan Pattimura dapat diatasi. Pada bulan Desember 1817, Pattimura dihukum gantung bersama tiga orang lainnya.
b.      Perlawanan Diponegoro (1825-1830)
Ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1816 terjadi kericuhan di mana Yogyakarta berkenaan dengan masalah penggantinya. Putra tertua Sultan, Pangeran Diponegoro, tidak terpilih untuk menggantikannya karena dia anak dari istri samping. Ketika putra mahkota kemudian wafat juga, ternyata tahta jatuh ke tangan anak laki-laki putra mahkota yang masih berusia dua tahun. Pangeran Diponegoro amat marah dengan kebijakan tersebut. Namun dia kemudian disingkirkan dari istana oleh para bangsawan yang pro-Belanda dan akhirnya menetap di Tegalrejo.
Kegeramannya atas perlakuan di atas akhirnya meledak saat tanahnya di Tegalrejo dipatok untuk dijadikan jalan umum oleh orang-orang suruhan Patih Danureja (1813-1847) yang pro-Belanda, tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu. Konflik pun terjadi antara para pengikut Diponegoro dengan pengikut Danureja yang didukung Belanda. Ketika perundingan antara kedua belah pihak menghadapi jalan buntu, residen Belanda mengirim pasukan untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Akan tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri dan kemudian mencanangkan panji pemberontakan. Sejak itu Perang Jawa (1825-1830) pun dimulai.
Pada awalnya, Diponegoro berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jendral H.M. de Kock dengan taktik pukul lari dan menjadikan daerah Surakarta sebagai 'perangkap' bagi lawannya. Akhirnya salah seorang perwira de Kock menemukan cara untuk menghadapi Diponegoro, yaitu dengan menerapkan sistem benteng (bentengstelsel). Taktik ini banyak dipengaruhi kemenangan Prancis dalam menghadapi pemberontakan petani di Vende (Prancis Selatan). Adapun penerapan sistem benteng ini adalah dengan cara membangun rangkaian benteng kecil  yang saling berhubungan, di mana diadakan patroli secara teratur untuk mencegah dan mempersempit ruang gerak gerilyawan Diponegoro.
Taktik sistem benteng segera membawa hasil. Satu per satu daerah pertahanan Diponegoro jatuh ke tangan de Kock. Kedudukan Diponegoro semakin lemah ketika dia ditinggalkan oleh pembantunya, baik karena gugur maupun menyerah kepada Belanda. Di antara pembantunya yang menyerah terdapat Kyai Maja, Pangeran Notoprojo, Pangeran Mangkubumi, dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo.
Pihak Belanda kemudian menawarkan satu perundingan dengan mengirimkan dua orang utusan yang sebelumnya adalah orang kepercayaan Diponegoro. Pihak Diponegoro setuju untuk mengadakan perundingan walaupun dia mengetahui banyak dari pengikutnya yang tidak setuju. Sebagai langkah awal pada 16 Februari, Diponegoro bertemu dengan Kolonel Cleerens yang mewakili de Kock di Remokawal. Di tempat itu disetujui bahwa pertemuan dengan Jenderal de Kock akan diadakan di Magelang.
Rombongan Diponegoro tiba di Magelang pada 25 Februari 1830, menjelang masuknya bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu, Diponegoro menolak untuk mengadakan perundingan selama bulan puasa. Kondisi ini dilaporkan oleh de Kock kepada Gubernur Jenderal dengan sengaja memanipulasi penolakan Diponegoro itu sebagai unsur penting untuk menangkap tokoh tersebut. Dengan restu dari gubernur jenderal, de Kock akhirnya menipu Diponegoro. Di saat pembicaraan berlangsung, pihak Belanda melucuti para pengawal Diponegoro dan melarang Diponegoro meninggalkan tempat.
Menyadari bahwa dirinya ditipu, Diponegoro sempat emosional dan hendak membunuh de Kock di tempat perundingan. Akan tetapi, setelah mempertimbangkan akibatnya lebih jauh, akhirnya Diponegoro pasrah terhadap takdir. Kesadaran ini pula yang mendorongnya untuk meninggalkan Tanah Jawa (Diponegoro dibuang ke Makassar dan meninggal dunia di kota itu pada 8 Januari 1855). Pertama, karena menurutnya tidak ada lagi yang memilikinya. Kedua, untuk menghormati mereka yang gugur dalam peperangan karena membela dan melaksanakan perintahnya.
c.       Perlawanan Padri (1821-1838)
Awal perlawanan Kaum Padri sebenarnya adalah pertentangan paham antara kaum Adat dan kaum Padri dalam masalah praktek keagamaan. Gerakan kaum Padri ini sebenarnya sudah ada sejak awal abad ke-19, yang bertujuan untuk memurnikan Islam dari praktek-praktek sinkretisme, yaitu adat istiadat setempat yang justru bertentangan dengan ajaran Islam. Istilah kaum Padri kemungkinan berasal dari kata Padre (bahasa Portugis) suatu istilah untuk menyebut orang suci atau ulama yang berpakaian putih. Dalam kenyataannya para ulama Padri, seperti Tuanku Kota Tua (daerah Cangking, Empat Angkat), Tuanku nan Renceh (muridnya), Haji Sumanik (dari Delapan kota), Haji Miskin (dari Pandai Sikat), dan Piobang (dari Tanah Datar), semuanya suka berpakaian serba putih. Keadaan ini sangat kontras dengan pakaian kaum Adat yang berpakaian serba hitam. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa gerakan itu disebut Padri karena pimpinannya adalah orang Pidari (orang-orang dari Pedir, pelabuhan Aceh).
Pada masa itu di Sumatera Barat masih berdiri Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Raja ini dibantu oleh empat pembantu yang disebut Basa Ampek Balai. Sebagai lambang Kerajaan Minangkabau, raja dihormati namun dalam prakteknya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan para penghulu (kepala suku), yang membentuk Dewan Penghulu atau Dewan Nagari inilah yang menjalankan peranan penting dalam pemerintahan adat.
Di bawah pemerintahan Adat, banyak kekuasaan yang bertentangan dengan hukum Islam dibiarkan begitu saja, bahkan seperti dilegalisasi dengan banyaknya para pembesar yang ikut dalam kebiasaan buruk tersebut. Adapun kebiasaan-kebiasaan yang ditentang kaum Padri ini meliputi masalah perjudian, sabung ayam, dan beberapa hukum yang didasarkan garis ibu (matrilineal). Perbedaan pendapat itu akhirnya pecah menjadi konflik bersenjata ketika Haji Miskin membakar balai tempat menyabung ayam di Pandai Sikat setelah seruannya tidak digubris oleh penduduk.
Kekuatan kaum Padri semakin kuat terutama setelah mendapat dukungan dari pimpinan adat tertinggi di Alahan Panjang, yaitu Datuk Bandaro. Kemudian kaum Padri mendirikan benteng pertahanan di Bonjol. Sewaktu Datuk Bandaro meninggal, pimpinan digantikan oleh Peto Syarif yang kemudian bergelar Tuanku Imam Bonjol.
Pada masa awal munculnya gerakan pembaruan Islam oleh kaum Padri, sebenarnya kaum Adat pernah meminta bantuan Inggris yang membuka kantor di Air Bangis, Padang dan Pulau Cinkuk. Dan pada bulan Juli 1818, Raffles sempat mengunjungi Padang Darat dan bertemu dengan kedua belah pihak yang bertikai. Namun Inggris tidak bisa berbuat banyak karena harus menyerahkan kembali semua berkas taklukan VOC kepada Belanda. Akhirnya pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso dan 14 penghulu yang mewakili kerajaan Mingakabau (kaum Adat) datang menghadap Residen Padang Du Puy untuk mengadakan perjanjian.
Seminggu kemudian Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua buah meriam dan seratus orang serdadu. Sejak 18 Februari 1821, mulailah babak baru Perang Padri, yaitu berperang melawan Belanda. Dalam perang yang berlangsung antara tahun 1821 hingga 1825 itu, kaum Padri berperang bukan hanya untuk mematahkan kekuasaan kaum Adat, melainkan juga untuk mengusir Belanda yang akan menjajah mereka. Bagi mereka kaum Adat hanya sekedar anjing pesuruh Belanda saja.
Pada mulanya, ekspedisi militer Belanda berhasil menembus kawasan pegunungan Sumatera Barat, yang menjadi basis kaum Padri, dan membangun benteng Fort Van der Cappelen di Batusangkar. Namun kemudian gerakan mereka tersendat dan perang menjadi berlarut-larut. Akhirnya, pada tanggal 26 Januari 1824, Letnal Kolonel Raaff yang menggantikan Du Puy sebagai Residen Padang, mengajak kaum Padri untuk berunding dan diterima baik oleh kaum Padri di Alahan Panjang dan Bonjol meskipun isi perjanjian itu banyak merugikan kaum Padri.
Akan tetapi baru, sebulan setelah perjanjian itu ditandatangani pihak Belanda telah menyerang Guguk Sigundang dan Kota Lawas. Dengan penyerangan Kota Lawas itu, kaum Padri, terutama kaum Padri Bonjol tidak lagi percaya kepada Belanda. Demikian pula kaum Adat yang meminta bantuan untuk mengalahkan kaum Padri menjadi kecewa. Mereka melihat kepentingan Belanda lebih dikedepankan daripada kepentingan kaum Adat. Apalagi setelah mereka melihat perilaku Belanda yang menyakitkan melalui beberapa kerja paksa, penarikan cukai yang dirasakan memberatkan rakyat. Simpati kaum Adat pun banyak yang berpindah kepada kaum Padri, sehingga perlawanan di Sumatra Barat tidak lagi sebagai perlawanan Padri semata, melainkan perlawanan rakyat.
Dalam kampanye militernya, Belanda menerapkan sistem benteng dalam menghadapi kaum Padri sehingga membuat musuhnya kesulitan bergerak. Pada 16 Agustus 1837 kota Bonjol yang berbenteng akhirnya dapat direbut pihak Belanda. Pada bulan Oktober 1837 Belanda mengundang Imam Bonjol untuk berunding di Palupuh. Pemimpin kaum Padri itu menerimanya dan datang ke Palupuh. Namun, sama halnya seperti Pangeran Diponegoro, dia ditangkap ketika perundingan mengalami jalan buntu. Imam Bonjol kemudian dibuang ke luar tanah kelahirannya, di mana dia meninggal di Manado pada tahun 1864.
Setelah tertangkapnya Imam Bonjol, sejumlah pemimpin Padri masih melakukan perlawanan terhadap Belanda. Di antara mereka terdapat Haji Saleh dan Tuanku Tambusai. Pihak Belanda sendiri terus berusaha menaklukkan kubu-kubu kaum Padri. Akhirnya, pada tanggal 28 Desember 1838, pertahanan terakhir kaum Padri jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi Haji Saleh dan Tuanku Tambusai tidak bisa ditangkap. Kedua tokoh itu menghilang ke dalam hutan.
Daftar Pustaka :
Iskandar, Mohammad dkk. 2007.  Sejarah : Indonesia dalam Perkembangan Zaman untuk SMA Program IPS.  Jakarta : Ganeca Exact.

No comments:

Post a Comment