STRUKTUR BIROKRASI PEMERINTAHAN KOLONIAL


Wulan Asih Novianti/B/SI3

1.      Pemerintahan VOC
Pada masa VOC, gubernur jenderal merupakan penguasa tertinggi di Hindia. Dalam hal ini, kekuasaannya menjadi sangat tak terbatas karena tidak ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan kewajibannya. Demikian pula dengan struktur pemerintahannya di Asia, khususnya Hindia Timur, nyaris tidak ditentukan pula. Salah satu pasal yang penting dari octroi VOC adalah hak monopolinya, sehingga dengan haknya itu VOC merupakan salah-satunya badan dari Belanda yang boleh mengirimkan kapal-kapal ke daerah sebelah timur Tanjung Harapan.
Dalam melaksanakan pemerintahannya, gubernur jenderal didampingi oleh Raad van Indie (Dewan Hindia yang dalam prinsipnya terdiri atas enam orang anggota dan dua anggota luar biasa, di mana gubernur jenderal merangkap sebagai ketua). Laporan-laporan mengenai aktivitas VOC secara berkala dikirimkan ke Heeren XVII, yang merupakan pimpinan pusat VOC yang berkedudukan di Amsterdam.
Dalam menangani wilayah kekuasaannya, VOC lebih banyak melakukannya melalui pemerintahan tidak langsung. Hanya daerah-daerah tertentu saja, seperti Batavia, yang diperintah secara langsung oleh VOC. Dalam sistem seperti ini, kaum bumiputera nyaris tidak terlibat dalam struktur kepegawaian VOC. Artinya, meskipun kaum elit bumiputera terlibat dalam pemerintahan, tetapi status mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap ooleh kongsi dagang tersebur. Kedudukan kaum elit bumiputera itu sendiri lebih banyak diperlakukan sebagai mitra yang bekerja demi kepentingan VOC. Hal ini terlihat jelas di daerah-daerah yang diperintah secara tidak langsung. Di daerah-daerah semacam ini, VOC membiarkan struktur lama (tradisional) tetap berdiri seperti semula. Melalui para pemimpin tradisional inilah kepentingan VOC disalurkan, antara lain dalam hal penarikan-penarikan wajib hasil produksi serta pajak-pajak yang dikenal dengan sistem leverantie dan contingenten.
2.      Pemerintahan Kolonial
Sejak masa Daendels, gubernur jenderal merupakan wakil langsung raja Belanda. Dalam melaksanakan tugasnya, gubernur jenderal masih tetap didampingi oleh Raad van Indie (Dewan Hindia). Namun berbeda dengan masa VOC, pada masa Daendels kedudukan gubernur jenderal tidak berada dalam Raad melainkan di luar lembaga tersebut (tidak lagi sebagai ketua). Selain itu, kekuasaan lembaga tersebut juga dikurangi sehingga lembaga tersebut praktis hanya sebagai dewan penasehat saja.
Salah satu perubahan penting yang dilakukan pada masa Daendels dalam hal struktur birokrasi pemerintahan adalah dimasukannya para bupati bumiputera sebagai pegawai negeri. Selain itu, Daendels juga membentuk badan peradilan dan kontrol keuangan. Akan tetapi karena keterbatasan wilayah yang dikuasainya, maka pembaharuan yang dilakukan Daendels ini boleh dikatakan hanya terpusat di Jawa saja.
Ketika Inggris berkuasa, boleh dikatakan tidak ada perubahan dalam hal birokrasi pemerintahan. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya Raffles dan Daendels adalah pengikut paham liberal yang tidak suka pada hal-hal yang berbau feodal. Oleh karena itu, program menjadikan para bupati sebagai bagian dari birokrasi pemerintah kolonial tetap dipertahankan.
Setelah Hindia Timur diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda, landasan operasional di Hindia Belanda diatur berdasarkan Regeering Reglement (Peraturan Pemerintah, disingkat RR). Menurut peraturan ini, dalam menjalankan tugasnya gubernur jenderal (anggota Commisaris Generaal) didampingi oleh Raad van Indie yang beranggotakan empat orang. Gubernur Jenderal bersama Raad van Indie inilah yang disebut sebagai Pemerintahan Agung di Hindia Belanda. Sejak tahun 1816, ada dua instansi yang membantu pekerjaan Pemerintahan Agung di Batavia ini, yaitu Generale Secretarie (sekretaris umum) untuk membantu Commisaris General dan Gouvernement Secretarie (sekretaris pemerintahan) untuk membantu gubernur jenderal. Namun kedua lembaga itu berumur pendek dan dihapuskan pada tahun 1819. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Algemene Secretarie, yang bertugas membantu gubernur jenderal (terutama memberikan pertimbangan keputusan).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam hal-hal tertentu struktur birokrasi pemerintahan Hindia Belanda sama dengan pemerintahan VOC. Adapun perbedaan yang cukup mencolok di antara keduanya berkaitan dengan kewenangan gubernur jenderal . Apabila pada masa VOC tidak ada aturan khusus yang mengatur kewenangan gubernur jenderal sehingga dai dapat berimprovisasi sendiri dalam menjalankan pemerintahannya, maka pada masa Hindia Belanda terdapat peraturan yang mengatur kewenangan gubernur jenderal yang tertuang dalam RR. Begitu pula dalam hal pertanggung jawaban, apabila pada masa VOC gubernur jenderal memberikan laporannya kepada Heeren XVII,  maka pada masa Hindia Belanda dia bertanggung jawab langsung kepada raja melalui menteri jajahan.
Meskipun ada upaya untuk melakukan modernisasi struktur birokrasi pemerintahan Hindia Belanda, namun dalam batas-batas tertentu struktur sebelumnya masih tetap dipertahankan. Adapun dasar pertimbangannya adalah demi kepentingan praktis dan untuk mempertahankan loyalitas, khususnya loyalitas para elit bumiputera. Hal ini terlihat jelas dari struktur dan jabatan dalam organisasi pemerintahannya. Jabatan-jabatan teritorial di atas tingkat kabupaten tetap dipegang oleh orang-orang Eropa atau Belanda.
Jabatan tertinggi yang dipegang oleh orang Bumiputera adalah kepala kabupaten, yaitu bupati. Bupati ini dibantu oleh seorang patih. Di bawah tingkat kabupaten terdapat kewedanaan yang dijabat oleh seorang wedana. Kecamatan, yang dikepalai seorang camat, merupakan wilayah di bawah kewedanaan. Sedangkan jabatan kepala desa pada dasarnya tidak termasuk dalam struktur birokrasi pemerintah kolonial sehingga bukan merupakan anggota korp pegawai dalam negeri Hindia Belanda.
Korps pegawai dalam negeri Hindia Belanda, atau departemen dalam negeri (Departemen van Binnenland Bestuur, disingkat BB), terdiri atas pegawai bangsa Eropa dan bumiputera. Korp pegawai Eropa disebut Eropees bestuur sementara korps pegawai negeri bumiputera disebut inland bestuur. Kedua korp pegawai ini secara umum disebut binnenland bestuur (BB).  Dalam bahasa bumiputera BB ini disebut Pangreh Praja (Pemangku Kerajaan). Para pejabat bumiputera inilah yang disebut kaum priyayi, suatu istilah yang sebelumnya dipakai dalam kerajaan Jawa.
Meskipun jabatan teritorial dari tingkat kabupaten ke bawah masih tetap dipegang kaum bumiputera, namun dengan alasan untuk mendampingi para pejabat itu maka diadakan jabatan-jabatan non-teritorial setingkat kabupaten, kewedanaan dan akhirnya juga kecamatan. Apabila di tingkat kabupaten ada jabatan asisten residen, maka untuk tingkat kecamatan ada jabatan controleur, sementara di bawahnya lagi ada jabatan aspirant controleur.
Daftar Pustaka :
Iskandar, Mohammad dkk. 2007.  Sejarah : Indonesia dalam Perkembangan Zaman untuk SMA Program IPS.  Jakarta : Ganeca Exact.

No comments:

Post a Comment