MAKASSAR DIBAWAH VOC


MUHAMMAD FIKRI MUZAKI  /  SI  3  /  B

Kedudukan politik dan ekonomi Kerajaan Makassar yang kuat menjadi ancaman besarbagi VOC, yang menjalankan kebijakan monopoli. Pertentangan dan permusuhan yang terjadi diantara mereka, yang berlangsung sejak 1615, menjadi puncaknya dalam bentuk Perang Makassar pada Desember 1666sampai 18 November 1667. VOC unggul dan berhasil memaksa Makassar untuk menandatangani Perjanjanjain Bungaya atau Bongoya ( Het Bongaais Verdrag ). Perjanjian perdamaian ini sangat menguntungkan VOC. Kerajaan Makassar diwajibkan membayar kerugian perang ( pasal 13 ), melepaskan seluruh tawanan pegawai VOC ( pasal 2 ) ,meyerahkan barang VOC yang disita (pasal 3), melepaskan koloni-koloninya (pasal 14 dan 16 hingga 21), membongkar benteng-benteng pertahananya (pasal 10) mengusirsemua bangsa Eropayangberdagang di Makassar (pasal 6), melarang orang Makassar berlayar ke Maluku (pasal 9) hanya membolehkan VOC yang berdagang di Makassar tanpa macam-macam kewajiban (pasal 8), dan menyerahkan Bentang Ujung Pandang berikut perkampungan dan lingkunganya kepada VOC (pasal 11).
Perjanjian tersebut tidak menjadikan sikap Kerajaan Makassar untuk tetap menjalankan perdagangan bebas pudar. Sikap ini terwujud dalam bentuk perlawanan pada 1668, namun Makassar dapat dipaksa kembali untuk mengakui sepenuhnya Perjanjian Bungaya dan menandatangani ulang pada 28 Juli 1669 di Binanga ( dekat Benteng Panakkukang).
Sehubungan dengan perlawanan itu, Gubernur Jenderal Spellman, berusaha untuk mematikan perdagangan Kerajaan Makassar. Dia menghapus kan peran kerjaan sebagai pengawas Bandar niaga-sebagai-mana dinyatakan dalam perjanjian dan memperkecil wilayah kerajaan hingga tidak memiliki batas perairan yang dimanfaatkan sebagai pelabuhan. Spellman tampil dengan program untuk menjadikan wilayah Benteng Ujung Pandang dan daerah sekitarnya sebagai kota baru, yang terdiri dari benteng pertahanan, kota dagang,dan kampung. Nama benteng Ujung Pandang diganti menjadi "Fort Rotterdam"atau benteng roterrdamdan menjadikan markas tentara dan kantor perwakilan. Wilayah di sebelah utara benteng dijadikan kota dagang, yang dikenal dengan nama Vlaardingen.sementara di sekitar Vlaardingen terdapat perkampungan yang ditata menurut kelompok pendatang. Salah seorang dari masing-masing kelompok diangkat menjadi pemimpin seperti Kampung Melayu diutara Vlaardingen. Heather Sutherland menggambarkan keadaan kota yang dibangun Spellman itu sebagai berikut:
"Setiap wilyah ditentukan dengan jelas; bentengn memiliki tembok batu yang besar, kubu-kubu, dan pintu gerbang, sementara Vlaardingen dikelilingi oleh sebuah stockade yang lebih sederhana. Di Vlaardingen dan kampung, di mana tinggal banyak penduduk, terdapat pagar halaman tertutup yang terdiri dari beberapa rumah".
Perubahan wajah dan kedudukan Makassar berkaitan erat dengan usaha VOC untuk menguasai kota tersebut untuk menjamin monopoli di Maluku. Tak mengherankan bila Makassarlantas dijadikan pos pengawasan bagi pelayaran ke timur. Para pegawai yang ditempatkan di kota ini diberi tugas utama mengawasi pwlayaran ke Maluku.masa keemasan Makassar pun sirna.
Kegiatan niaga yang masih ada adalah perdagangan beras di pesisir. Beras terutama berasal dari daerah sebelah utara,Maros dan Pangkaje, yang disebut provinsi bagian utara ( Noorder Provincie), dan daerah bagian selatan dan timur, meliputi Takalar hingga Banteang dan Bulukumba, yang disebut dengan propinsi bagian selatan ( Zuider Provincie). Sebelum ditaklukan oleh VOC, daerah-daerah ini merupakan lumbung padi Kerajaan Makassar karena memiliki areal pertanian yang luas disertai system irigasi.
Beras dari daerah-daerah tersebut diperoleh VOC melalui pajak penghasilan (pajak perpuluhan tanaman padi), penyerahan wajib kerjaan ditaklukan, dan transaksi niaga dengan pedagang Melayu dan Bumiputra lainya, yang dikelola oleh perwakilan VOC di Makassar. Hasil transaksi ini selanjutnya diekspor ke Maluku dengan menggunakan kapal VOC, yang melakukan pelayaran niaga dari Batavia ke Maluku melalui Makassar.
Selain beras diperdagangkan pula hasil penyerahan wajib dari Kepulauan Selayar berupa kain selayar, katun dan ayam. Sementara dari Sanrabone berupa budak serta barang dagangan lainya yang didatangkan dari Batavia, khususnya tekstil serta produk pertanian dan kerajinan dari wilayah VOC. Menurut laporan Petrus Theodorus Chasse, sebelum 1795 diekspor ke Maluku sekitar 3.000-4.000 last beras (sekitar 6.000-8.000 ton) setiap tahun. Harga satu last  (kira-kira dua ton) beras limabelas ringgit atau f37,50.
VOC tampak benar-benar mengabaikan kepentingan penduduk  diwilayah Sulawesi Selatan,yang mencari nafkah dengan sebagai pedagang dan pelaut. Selain itu VOC tidak berusaha untuk memperbaiki dan menjalin hubungan politik dengan kerajaan yang berdaulat. Bahkan dalam konteks ini, raja Bone Arung Palakka (1627-1696), dibiarkan memperluas kekuasaanya.
Kebijakan VOC tersebut mengakibatkan pedagang dan pelaut dari wilayah yang diduduki mengalihkan kegiatan kepusat –pusat perdagangan lain, seperti di Sulu, Kutai, Banjarmasin, Riau dan Semenanjung Malaka. Mereka bahkan melanggar aturan VOC untuk tidak memasuki Maluku. Menurut James Francis Warren, sebelum 1760, tercatat sekitar empatbelas hingga limabelas perahu-perahu dagang bugis mengunjungi Sulu setiap tahunya. Perahu-perahu dagang ini datang dari Maluku dengan membawa rempah-rempah, sarang burung, gula, beras, kain tenun untuk pakaian , dan lontar. Barang dagangan yang utama adalah mesiu.
Banyak pedagang Bugis yang pindah dan menetap di Kutai (Bandar niaga pesisir timur Kalimantan) sejak 1668; sebagaian besar dari Wojo, Bone, dan Soppeng. Atas persetujuan Sultan Kutai mereka mendirikan kota dagang Samarinda pada akhir abad ke-17. Di kota Pasir, yang terletak di tepi Sungai Kendilo, sekitar 45 mil dari pantai, terdapat pula permukiman orang Bugis. Thomas Forrest, yang mengunjungi kota ini pada 1772, mengatakan, Kota Pasir merupakan tempat perdagangan besar dengan sekitar 300 rumah; kebanyakn didiami oleh pedagang Bugis dan penduduk Kesultanan Melayu. Pedagang Bugis biasanya melakukan Hubungan Dagang dengan orang Berau dan Bulungan, bahkan ada yang pindah kawin dengan penduduk setempat. Banyak pula diantara mereka yang migrasi ke wilayah Semenanjung Malaka, Sumatera, dan Jawa.


DAFTAR PUSTAKA
Arsip Pemerintah
Asip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta
Arsip Daerah, Makassar
Kamaruddin , H.D Mangemba, P. Parawangsa, dan M. Mappaseleng, pengkajian (Transiletelasi dan Terjemahan) Lontarak bilang Raja Gowa dan Tallo (Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1986).
Koloniaal Verslag ( 1848-1905 )

No comments:

Post a Comment