SISTEM TANAM PAKSA


Khairin Nisa/pis
Berdasarkan Konvensi London tahun 1814, pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah Indonesia meskipun kondisi ekonomi negara Belanda masih sangat lemah karena kas keuangannya dalam keadaan kosong. Lemahnya perekonomian pemerintah Belanda pada saat itu disebabkan oleh banyaknya utang negara Belanda terhadap luar negeri dan besarnya pengeluaran biaya perang di Eropa maupun di beberapa daerah Indonesia.
Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah Belanda untuk menutup kekosongan kas keuangan negara, satu di antaranya adalah dengan menerapkan aturan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia. Istilah tanam paksa berasal dari Bahasa Belanda, yaitu Cultuurstelsel (sistem penanaman atau aturan tanam paksa). Pencetus ide tanam paksa dan sekaligus pelaksana aturan tanam paksa di Indonesia adalah Johannes Van Den Bosch yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
            Selama periode antara tahun 1816-1830,Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan keuangan. Di bawah Gubernur Jenderal Van de Bosch, Pemerintah Hindia Belanda berusaha menutupi kesulitan keuangan itu dengan memberlakukan Cultuur Stelsel (Tanam Paksa). Adapun peraturan Tanam Paksa tersebut adalah sebagai berikut:
a. setiap desa diharuskan menanam 1/5 daritanahnya dengan tanaman seperti kopi, gula,tembakau, dan nila.
b. hasil tanaman itu harus dijual pada pemerintahkolonial dengan harga yang telah ditentukan.
c. tanah garapan untuk tanaman ekspor dibebaskan dari pajak bumi. d. kegagalan panen akan         menjadi tanggung jawab pemerintah.
e. mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama 66 hari/tahun di perkebunan milik pemerintah.Dengan ketentuan tersebut, sistem tanam paksa banyak mendatangkan keuntungan bagi Belanda. Halitu terlihat dari saldo keuntungan antara tahun 1832–1867 diperkirakan mencapai angka 967 juta Gulden. Sehingga kas negara segera terisi kembali, bahkan utang luar negeri Belanda dapat dilunasi dan sisanya dapat digunakan untukmodal usaha-usaha industri di Belanda.Akibat tanam paksa, timbullah reaksi rakyat Indonesia menentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa.
            Pada tahun1833, terjadilah huru-hara di perkebunan tebu di daerah pasuruan. Pada tahun 1848 terjadi pembakaran kebun tembakau seluas tujuh hektar di Jawa Tengah. Reaksi lain terhadap pelaksanaan Sistem Tanam Paksa juga muncul di negeri Belanda. Reaksiitu datang dari golongan humanis, yaitu orang orang yang menjunjung tinggi asas-asas etika dan perikemanusiaan, seperti Douwes Dekker (Multatuli) dalam bukunya Max Havelaar, secara terang terangan mengecam penyimpangan tanam paksadan penindasan terhadap rakyat yang dilakukan oleh pegawai Belanda dan penguasa setempat.
            Baron van Houvel sebagai pendeta melaporkan penderitaan rakyat Indonesia dalam sidang perkebunan di Negeri Belanda. Sejak saat itu banyak orang Belanda yang menentang tanam paksa, terutama anggota parlemen dari golongan liberal. Atas desakan parlemen, pemerintah Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, dan sebagai gantinya dikeluarkanlah Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870.
Pelaksanaan Aturan Tanam Paksa
Pelaksanaan aturan tanam paksa sudah dimulai pada tahun 1830 dan mencapai puncak perkembangannya hingga tahun 1850, yaitu ditandai dengan hasil tanam paksa mampu mencapai jumlah tertinggi. Dengan demikian, keuntungan tinggi dapat diperoleh pemerintah Belanda dari pelaksanaan aturan tanam paksa.
Tekanan-tekanan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia dalam upaya mencari keuntungan dari pelaksanaan aturan tanam paksa tersebut mulai menurun akibat adanya berbagai kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda yang dipandang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan.
Pada tahun 1860, sistem tanam paksa yang diberlakukan untuk menanam lada dihapuskan dan pada tahun 1865 menyusul dihapuskan untuk menanam nila dan teh. Berlanjut hingga tahun 1870, hampir semua jenis tanaman yang ditanam untuk tanam paksa dihapuskan, kecuali tanaman kopi. Akhirnya, pada tahun 1917, tanaman kopi yang diwajibkan untuk ditanam bagi rakyat di daerah Priangan juga dihapuskan.
Sejak VOC dibubarkan tahun 1799, daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda. Kebijakan 'Culture Stelsel' dilaksanakan untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia tanpa mau memperhatikan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Van Den Bosch. Secara teoritis, peraturan yang ditetapkan dalam sistem tanam paksa tidak memberatkan. Akan tetapi dalam prakteknya, banyak sekali penyimpangan yang dilakukan dalam sistem ini. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai berikut:
  1. Dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk 'cultur stelsel' adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga dan bahkan setengah dari sawah milik pribumi.
  2. Tanah petani yang dipilih hanya tanah yang subur, sedangkan rakyat hanya mendapat tanah yang tidak subur.
  3. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian.
  4. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
  5. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
  6. Penduduk yang tidak memiliki tanah dipekerjakan di perkebunan Belanda, dengan waktu 3-6 bulan bahkan lebih.
  7. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam, tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
  8. Kerusakan tanaman tetap ditanggung petani.

A. Penyimpangan sistem tanam paksa

             Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
1.   Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.
2.  Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.
3.  Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
4.    Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
5.  Bahaya kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.
          Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui
parlemen di Negeri Belanda.



B. Tokoh-tokoh penentang tanam paksa

            Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut.


1. Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
             Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.

2. Baron van Hoevell (1812–1870)
             Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.


3. Fransen van der Putte (1822-1902)
             Fransen van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.


4. Golongan Pengusaha

             Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
  • Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
  • Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
  • Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.

              Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal kolonial.

C. Dampak tanam paksa

1. Bagi Belanda
  1. Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
  2. Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
  3. Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
  4. Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
  5. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
  6. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
  7. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.

2. Bagi Indonesia
  1. Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
  2. Beban pajak yang berat.
  3. Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
  4. Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
  5. Pemaksaan bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
  6. Jumlah penduduk Indonesia menurun.
  7. Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
  8. Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
  9. Memperkenalkan teknoligo multicrops dalam pertanian.


D. Pengaruh sistem tanam paksa di masyarakat

1. Bidang Sosial
  1. Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. (Sartono, 1987: 321).
  2. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.Penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
  3. Tanam paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
  4. Peranan bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan penguasa.

2. Bidang Ekonomi
  1. Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
  2. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.(Burger, 1977: 18).

          Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya "kerja rodi" yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.
DAFTAR PUSTAKA
Iwan Setiawan, Wawasan Sosial 1: ilmu pengetahuan sosial untuk Sekolah Menengah
Pertama/MadrasahTsanawiyah, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan
Nasional, 2008.
http://buihkata.blogspot.com/2012/10/sejarah-sistem-tanam-paksa.html

No comments:

Post a Comment