PERJUANGAN DIPLOMASI MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN


CYNDI DWI RAHMADANI / PIS

1.      Perundingan Linggarjati
Perang yang terjadi antara para pejuang dengan tentara sekutu yang diboncengi oleh NICA, telah menimbulkan banyak korban. Melihat kondisi tersebut para pemimpin dari kedua pihak berusaha untuk mencari jalan damai dengan melakukan perundingan. Atas dasar prakarsa Lord Killearn pada 10 November 1946 disepakati persetujuan Linggarjati (Cirebon) yang isinya :
a.       Belanda mengakui secara De Facto kekuasaan RI atas Jawa, Sumatra, dan Madura.
b.      Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
c.       Negara Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir sedangkan Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn, Van Poll, dan De Boer. Penandatanganan persetujuan dilakukan pada 25 Maret 1947.
2.      Perundingan Renville
Persetujuan Linggarjati merugikan bangsa Indonesia dan menimbulkan perbedaan penafsiran di antara keduanya. Sementara itu, Belanda dengan berbagai cara berusaha untuk melemahkan kekuatan Republik Indonesia. Pada 27 Mei 1947 Belanda mengeluarkan ultimatum yang ditanggapi dengan penolakan 'gendarmerie' bersama oleh syahrir. Pokok – pokok tuntutan belanda tersebut adalah :
a.       Membentuk pemerintahan ad interin bersama.
b.      Mengeluarkan mata uang bersama.
c.       Indonesia harus mengirimkan beras ke daerah-daerah yang diduduki Belanda.
d.      Adanya "Gendarmerie" yaitu pembentukan pasukan keamanan bersama yang juga dapat masuk ke wilayah RI.
Dengan adanya penolakan gendarmerie pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan agresinya ke wilayah RI, sehingga menimbulkan reaksi keras dari India dan Australia dan menindaklanjuti tindakan Belanda pada Dewan keamanan PBB.
Usaha yang dilakukan antara lain :
a.       Membentuk Komisi Konsuler yang dipimpin Dr. Walter Foote yang bertugas mengawasi gencatan senjata kedua belah pihak disepanjang garis Van Mook.
b.      Membentuk Komisi Tiga Negara (KTN)
Anggotanya Richard Kirby (Australia), Paul Van Zeeland (Belgia), dan Dr. Frank Graham (AS). Hasil usahanya adalah Perundingan Renville.
Pada 8 Desember 1947, delegasi perjanjian renville Indonesia dipimpin PM. Amir Syarifudin, sedangkan Belanda dipimpin R. Abdulkadir Wijoyoatmojo.
            Isi perjanjian Renville :
a.       Belanda tetap berdaulat atas wilayah RI sampai kedaulatannya diserahkan kepada RIS yang segera di bentuk.
b.      RIS sejajar dengan Belanda dalam Uni Indonesia – Belanda.
c.       Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS.
d.      Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah Kantong (Daerah yang berada dibelakang garis Van Mook) harus ditarik ke wilayah RI.
e.       Adanya penghentian tembak-menembak disepanjang garis van mook.
f.       Penghentian tembak-menembak dikuti dengan peletakkan senjata dan pembentukan daerah kosong militer.
Perjanjian Renville menempatkan Republik Indonesia pada kedudukan yang sangat sulit. Wilayah Indonesia semakin sempit karena pendudukan Belanda. Dan dipersulit dengan adanya blokade yang dilancarkan Belanda.
3.      Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Dalam menanggapi agresi militer Belanda, para kabinet berinisiatif membentuk PDRI. Tujuannya untuk menjalankan pemerintahan selama pimpinan nasional ditawan Belanda. PDRI di Bukit Tinggi (Sumatra) di pegang Syafruddin Prawiranegara. Apabila di Sumatra gagal maka dibentuk PDRI di New Dehli (India) diserahkan kepada A.A Maramis, L.N Palar dan Dr. Sudarsono.
Puncak penyerangan adalah serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang dipimpin oleh Letkol Soeharto. Keberhasilan serangan umum 1 Maret 1949 terjadi karena faktor :
a.       Internal
-          Mendukung perjuangan secara diplomasi
-          Menumbuhkan semangat perjuangan rakyat
b.      Eksternal
-          Menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan untuk mengadakan peperangan.
-          Mematahkan moral pasukan Belanda.

4.      Perjanjian Roem – Royen
Agresi militer Belanda II mendapat kecaman dunia Internasional. Birma (Myanmar) dan India memprakarsai diselenggarakannya konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi, India, tanggal 20-23 Januari 1949. Selain itu, Agresi Militer Belanda II dihadapi rakyat Indonesia dengan mengadakan serangan balik terhadap Belanda yaitu serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang dipimpin oleh Letkol Soeharto.
Dewan keamanan PBB membentuk UNCI untuk membantu memperlancar penyelesaian konflik Indonesia-Belanda. UNCI yang dipimpin Merle Cochran mempertemukan dua pihak di meja perundingan pada 7 Mei 1949. Indonesia diwakili Mr. Moh dan Belanda diwakili Dr. J.H. Van Royen.
Isi persetujuannya antara lain :
a.       Pernyataan Republik Indonesia
-          Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik Indonesia yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
-          Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
-          Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
b.      Pernyataan Belanda
-          Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
-          Menjamin penghentian gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
-          Tidak akan mendirikan / mengakui negara-negara yang ada didaerah yang di kuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara / daerah dengan merugikan RI.
-          Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.
-          Berusaha dengan sungguh-sungguh agar KMB segera diadakan setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
Sebagai akibat perjanjian Roem – Royen maka diadakan tindakan-tindakan pelaksanaan kegiatan sebagai berikut :
-          Belanda harus meninggalkan Yogyakarta
-          PDRI mengembalikan mandatnya kepada pemerintah RI di Yogyakarta
-          TNI kembali ke Yogyakarta
-          Panglima Soedirman kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi keduanya dengan menyerbu ibu kota RI, Yogyakarta. Belanda menyerbu Lapangan Udara Maguwoharjo sehingga Yogya mudah dikuasai. Presiden Soekarno dan Moh. Hatta memilih ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke Bangka. Sebelumnya pihak RI mempersiapkan :
-          Membentuk Markas Besar Komando Djawa (MKKD) dipimpin A.H. Nasution.
-          Membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi dengan memberi mandat kepada Syafrudin Prawiranegara sebagai presiden. Tujuannya adalah dalam rangka menjalankan pemerintahan selama pimpinan nasional ditawan Belanda.
-          Jika Syafrudin Prawiranegara tidak berhasil membentuk PDRI, maka AA. Maramis, LN. Palar, dan Dr. Sudarsono diberi kuasa untuk membentuk pemerintahan Republik Indonesia di India.
-          Kesediaan Jendral Soedirman untuk memimpin perang gerilya, walaupun pada agresi militer II Belanda berhasil menguasai ibu kota Yogyakarta dan menawan presiden dan wakil presiden, tetapi pemerintahan republik Indonesia masih berdiri. Dengan serangan umum 1 Maret yang dipimpin Letkol Soeharto, ibu kota Yogyakarta dapat di kuasai kembali selama 6 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Modul Sejarah IPS untuk Semester Gasal. SOLO : CV HAYATI TUMBUH SUBUR.

No comments:

Post a Comment