RUSIA BARU MENUJU DEMOKRASI


PUTRI AMELIA / PIS

Revolusi di akhir dekade abad XX membawa kehancuran Uni Soviet yang dibangun lebih kurang tujuh dasawarsa. Uni Soviet resmi berakhir tanggal 25 Desember 1991 ketika Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev mengumumkan pengunduran diri menyusul kemelut politik sebagai lanjutan kudeta yang gagal pada pertengahan bulan Agustus 1991.
Runtuhnya Uni Soviet yang sebagian besar dianggap sebagai kegagalan kebijakan Glasnot dan Perestroika  akibat semangat keterbukaan dan demokratisasi yang menjadi inti dari kebijakan tersebut,  kini memperlihatkan Arah Rusia yang secara jelas meninggalkan Soviet yang komunis  menuju Rusia yang demokrasi liberal. Gagalnya Glasnot dan Perestroika dapat dikatakan sebagai jalan awal Rusia menuju pemerintahan yang demokratis, meskipun dalam kebijakan Soviet tersebut terdapat nilai-nilai demokrasi yang dijalankan.
Jika merujuk pada esensi dasar dari ide demokrasi, sebenarnya Soviet telah menjalakan demokrasi, keberhasilan Lenin dalam mencetuskan revolusi soviet yang menumbangkan rezim Tsar pada 1917, sehingga mampu mendirikan negara demokrasi komunis pertama didasarkan pada doktrin-doktrin leninisme dan Marxisme.
Konsep demokrasi Marx, adalah negara demokrasi berdasarkan kelas (Class Democracy), sementara Lenin membentuk negara Vanguard. Letak perbedaan keduanya adalah demokrasi berdasarkan kelas menempatkan kelas proletariat yang merupakan mayoritas penduduk negara sebagai sebagai penguasa tunggal, menjadi aktor nyata pelaksanaan kekuasaan negara pada fase transformasi sosial dari sistem kapitalisme ke sistem sosialisme. Sedangkan konsep negara Vanguard merujuk pada sistem pemerintahan oleh segelintir elite penguasa yang tergabung dalam partai. Elit ini dalam istilah komunis dinamakan politbiro. Politbiro inilah yang sebenarnya merupakan penguasa dominan dalam demokrasi komunis.
Kehancuran Uni Soviet mengembalikan Rusia pada pertanyaan abadi menyangkut eksistensi bangsa. Masa transisi yang dihadapi sekarang, diyakini sebagai proses menuju kelahiran kembali Rusia sebagaimana kejayaan masa Imperium Rusia. Sebagian lagi pesimis dengan masa depan Rusia dan menilai bahwa Rusia sedang menuju jurang kehancuran. Hancurnya Uni Soviet adalah titik awal dari kehancuran yang tak terhindarkan. Hancurnya Uni Soviet adalah titik awal dari kehancuran total Rusia yang hingga saat ini masih digerogoti gejala-gejala disintegrasi.
Bubarnya fakta Warsawa pada tahun 1991, bertepatan dengan kebijakan Michael Gorbachev untuk merombak Uni Soviet secara keseluruhan. Rusia pada awalnya merupakan negara komunis, sedangakan Gorbachev ingin merubahnya menjadi negara demokratis. Pada  awal misi tersebut, seluruh dunia seakan yakin bahwa Uni Soviet dapat berubah menjadi negara yang terbuka serta demokratis. Namun pada pelaksanaannya, Misi tersebut tidak berjalan mulus. Niat awal Gorbachev untuk membentuk Uni soviet dalam sistem yang berbeda, justru menjadi bumerang baginya. Akibatnya cukup fatal. Uni Soviet yang merupakan negara terbesar di Dunia saat itu, pecah menjadi negara negara yang lebih kecil. Wilayah wilayah yang dulu tuduk pada kekuasaan Uni Soviet di pusat mulai memberanikan diri melawan dan akhirnya melepaskan diri. Kejadian tersebut tidak diperkirakan oleh Gorbachev dan sudah tentu sangat sulit untuk menyatukannya kembali. Sehingga yang tersisa hanyalah Federasi Rusia.
Kegagalan Gorbachev dalam membangun demokrasi Soviet, tidak terlepas dari cara beliau memainkan perannya. Rusia merupakan negara yang berbeda dari negara negara lain di Dunia. Rusia telah terbiasa selama puluhan tahun dalam belenggu komunisme dan keotoritarian. Sehingga rakyat Rusia pun tidak terlalu bergairah dengan perubahan. Kalaupun ada perubahan, yang diinginkan adalah lepas dari Uni Soviet dan membentuk negara sendiri. Cara yang dilakukan gorbachev terlalu gegabah dan frontal. Merubah seseorang menjadi pribadi yang berbeda saja membutuhkan cara yang halus dan mungkin dalam waktu yang lama. Apalagi untuk taraf negara yang terdiri dari banyak pihak dengan keinginan dan pemikiran berbeda – beda. Perlu diingat bahwa Soviet-Rusia dalam sejarahnya tidak pernah mengenal sistem demokrasi dan kebebasan.
Setelah Gorbachev lengser, pucuk kepemimpinan Rusia jatuh ke tangan Yeltsin. Pada awalnya Gorbachev terlihat sangat percaya dengan Yeltsin yang notabene akan meneruskan perjuangan – perjuangannya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Yeltsin mulai membangkang dan memimpin Rusia berdasar kemauannya sendiri. Yeltsin menerapkan suprapresidensial yang dibalut kata 'Republik Presidensial'. Dalam sistem tersebut, kekuasaan presiden sangat absolut. Sesungguhnya didalam sistem tersebut ada Duma atau parlemen negara, akan tetapi kekuasaannya sangat terbatas karena besarnya kekuasaan dan pengaruh presiden atas parlemen. Pada awalnya, Yeltsin berkeyakinan bahwa kekuasaan eksekutif yang terpusat dan otonom akan mewujudkan reformasi ekonomi dan politik radikal dengan lebih bijaksana dari pada sistem parlementer. Tetapi keyakinan itu sama sekali tidak terwujud, karena ekonomi Rusia justru semakin hancur. Pada masa jabatan Yeltsin terlihat sekali bahwa demokrasi yang diimpikan di Rusia masih hanya sekedar bayangan.
Yeltsin mengundurkan diri pada tahun 1999, dan digantikan oleh Putin. Putin menang dalam pemilu karena partainya memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam negara. Sesungguhnya banyak terdapat partai – partai lain, akan tetapi tidak cukup kokoh untuk menandingi partai besar. Partai politik di Rusia sangat lemah. Hal tersebut dikarenakan rakyat Rusia sangat asing dengan sistem partai, serta susahnya mentransformasi baik politik maupun ekonomi negara secara bersamaan. Seperti yang telah disebutkan, rakyat Rusia tidak pernah mengenal demokrasi. Selain itu, kekuasaan presiden terlalu besar, serta munculnya 2 kekuatan politik yang dominan akan tetapi landasan partainya sangat bertentangan. Model kepemimpinan Putin tidak berbeda dengan Yeltsin. Ditangan Putin demokrasi masih saja hanya mimpi dan bahkan mungkin hanya harapan. Oleh Putin, Rusia seperti dikembalikan ke jaman abad 18 dan 19. Terkadang dapat disimpulkan bahwa Putin hanyalah Yeltsin dalam wujud lain dan bahkan lebih kejam.
Putin meneruskan misi terselubung Yeltsin, yang tentu tidak diketahui oleh Gorbachev, untuk mengutamakan kepentingan Rusia. Bagi mereka, Rusia harus kembali ke masa kejayaannya. Putin percaya bahwa Rusia memang ditakdirkan untuk menjadi kekuatan yang besar, tidak peduli dengan sistem pemerintahan apa ia dijalankan. Putin lebih percaya pada keyakinannya untuk menjalankan Rusia sesuai caranya, dari pada terus mendengar rongrongan dunia Internasional untuk membentuk negara yang demokrasi. Dia merasa bahwa dirinya lebih tahu tentang Rusia dari pada orang lain. Itulah kenapa, ditangan Putin, Rusia mulai terlihat percaya diri dan tidak mau seenaknya saja tunduk pada Amerika Serikat.
Kebangkitan kembali Rusia dicapai dengan 3 alternatif. Pertama, dengan kembalinya Rusia pada  sistem pra-Bolshevik dengan mengadopsi elemen-elemen imperium  ini Rusia. Dengan cara ini diharapkan Rusia dapat meraih kembali kehormatan dan kejayaan Rusia pada masa lampau. Kedua, sistem sosialisme Soviet yang diyakini bisa mengangkat kembali Rusia keposisinya sebagai negara adikuasa ( Derzhava ) yang disegani. Ketiga, jalan demokratisasi dengan mengadopsi nilai-nilai demokrasi Barat.
Ketiga pandangan ini merupakan alternatif jawaban Rusia dalam pencaharian jalan menuju masa depannya. Hal ini terlihat dari berbagai aktivitas social politik yang terjadi setelah runtuhnya system sosialisme Uni Soviet.
Alternatif kedua dan ketiga menemukan bentuknya dalam berbagai pergulatan politik yang tajam hingga berakhirnya pemerintahan presiden pertama Boris Yeltsin. Pada masa ini terjadi berbagai upaya golongan sosialis untuk kembali membawa negara ke system yang menjadi inti perjuangan.
Aspirasi politik yang biasanya hanya boleh disalurkan lewat partai komunis, kini boleh disuarakan oleh kekuatan politik lain. Sejak tahun 1989 hingga 1993 muncul 36 partai politik dan organisasi masa, yang siap menjadi corong aspirasi Rusia.
Langkah reformasi dan liberalisasi pasar yang dikedepankan oleh presiden Yeltsin memperlihatkan pergulatan versi ketiga arah perkembangan bangsa. Demokratisasi yang merupakan pilar perestropika, dan dilanjutkan pada masa pasca-komunis.
Komunisme yang selama 7 dasawarsa mempengaruhi masyarakat Rusia, kini kehilangan makna eksistensinya. Dalam dua kali pemilihan presiden, pemimpin Partai Komunis Federasi Rusia ( KPRF ) Gennady Zyuganov, selalu kalah oleh Boris Yeltsin.
Di era kepemimpinan Vladimir Putin partai komunis selalu ditinggalkan. Pemilu parlemen terakhir ( 2003 ), Partai Komunis hanya memperoleh suara 12,7 persen. Suara mayoritas di Duma dikuasai partai-partai pro-Kremlin seperti: Yedinaya Rossia (Rusia Bersatu), Rodina (Tanah Air) dan LDPR (Partai Liberal Demokrat)
Rusia telah memilih satu jalan baru, menyusul disintegrasi Uni Soviet. Berbagai langkah telah politik baik nasional maupun internasional telah dilakukan untuk menegaskan sosok " Rusia Baru " vang telah menggantikan Rusia Soviet yang bercirikan komunisme dan  system ekonomi sosialis yang terpusat ( ekonomi komando ).
Berbagai atribut Soviet diganti dengan atribut baru, yang sebagian besar, merupakan revitalisasi atribut- atribut lama pra-bolshevik.
Secara resmi kemerdekaan Rusia diproklamasikan tanggal 12 Juni 1990 dalam sidang I Majelis Perwakilan Rakyat Soviet Rusia, disaat masih berdirinya Uni Soviet. Lembaga Legislatif kemudian diubah nama menjadi Duma Negara.
Daftar Pustaka :
Fahrurodji,A.2005.Rusia Baru Menuju Demokrasi.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
http://kampekique.wordpress.com/2011/11/18/demokrasi-rusia/

No comments:

Post a Comment