Mara Anjani/A/SI3
Ciri lain sistem perdagangan VOC adalah yang dinamakan partnership (kemitraan). VOC mengupayakan suatu sistem monopoli atas rempah-rempah dengan cara membina kemitraan dengan para penguasa lokal. Sampai sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu berhasil dibangun karena para penguasa lokal membutuhkan VOC untuk memerangi bangsa asing selain Belanda. Pihak VOC juga berkepentingan secara ekonomis (dagang) maupun secara politis untuk memerangi bangsa lain tersebut. Hal ini disebabkan adanya kepentingan bersama dalam menghadapi bangsa lain itu, walau pada pihak VOC ada tambahan kepentingan dagang sedangkan pada pihak penguasa lokal praktis unsur ekonomi itu tidak ada.
Setelah dominasi Portugis lenyap dari Nusantara karena dilawan VOC, sejak sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu dibangun oleh VOC dengan salah satu pihak yang bertikai dalam suatu kerajaan tertentu. Sistem kemitraan itu didukung oleh sistem perbentengan dan armada.
Contoh-contoh yang baik dari kemitraan jenis pertama tersebut adalah antara VOC dengan Ambon. Seperti yang kita ketahui, VOC lebih dahulu berkuasa di Ambon daripada di Ternate. Persaingan Hitu dengan Portugis yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-16 itu makin meruncing menjelang akhir abad itu. Sejak itu pula kapal-kapal dagang Belanda mulai muncul di Hitu dengan tujuan mengambil keuntungan yang maksimal dari perdagangan cengkeh. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Hitu mencoba menggalang persahabatan dengan Belanda untuk menghadapi Portugis. Ketika di Hitu muncul berita bahwa di Banten telah muncul armada Belanda yang sangat kuat, dikirimlah utusan-utusan untuk meminta agar Belanda bersama Hitu menghadapi Portugis. Laksamana Steven van der Hagen yang memimpin armada VOC tersebut segera memanfaatkan kesempatan baik itu karena ditawari monopoli cengkeh sebagai imbalan kerja sama. Pada tahun 1606 armada VOC dengan dibantu oleh pihak Hitu merebut benteng Portugis di Ambon itu dan mengganti namanya menjadi Fort Victoria.
Keinginan VOC di Ambon untuk menjalankan sistem perdagangan monopoli cengkeh di kepulauan ini mendapat perlawanan dari wakil Ternate yang berkedudukan di Luhu, Hoamoal. Perlawanan itu menjalar juga ke negeri-negeri (desa-desa) yang penduduknya beragama Islam di Pulau Haruku dan Pulau Saparua. Tidak lama kemudian, Hitu, sekutu VOC juga mengangkat senjata melawan VOC di Ambon.
Perjanjian VOC dengan Sultan Mandar Syah pada tahun 1652 tersebut mengakhiri perlawanan Hoamoal dan Hitu. Namun, pertarungan untuk menguasai perdagangan cengkeh di kepulauan Ambon itu terus berlangsung hingga 1658. VOC akhirnya unggul karena teknologi perangnya jauh lebih baik daripada teknologi perang penduduk lokal. Bantuan dari Makassar dan dari Jawa tidak berhaasil menahan armada yang sangat kuat dari Batavia dengan pimpinan seorang laksamana kawakan, yaitu Arnold de Vlaming.
Dengan demikian, VOC di Ambon bebas membangun suatu sistem monopoli cengkeh di Maluku. Sudah sejak tahun 1652 Gubernur VOC di Ambon memerintahkan penduduk untuk menanam cengkeh. Namun, kebun-kebun cengkeh itu hanya dibatasi pada empat pulau, yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut. Di pulau-pulau lainnya yang pernah menghasilkan cengkeh ketika masih dikuasai Ternate, yaitu di Jazirah Hoamoal dan pulau-pulau kecil di sekitarnya berlaku pelarangan seperti tertera dalam perjanjian dengan Sultan Mandar Syah (extierpatie dan hongitochten).
Pada umumnya setiap keluarga diharuskan menanam sejumlah pohon cengkeh yang setiap tahunnya dipanen menjelang akhir tahun. Akan tetapi, ketika jumlah produksi cengkeh berlebihan di pasar Eropa sehingga harganya merosot, VOC di Ambon mengadakan hongitochtendan menebas (extierpatie) sejumlah pohon cengkeh di setiap negeri. Hal itu terjadi pertama kali pada tahun 1692. Ketika pasar dunia kekurangan persediaan cengkeh, pada tahun 1727 VOC memerintahkan penduduk untuk menambah lagi jumlah pohon cengkeh. Pada tahun 1770 muncul lagi perintah untuk mengurangi produksi cengkeh. Selama pendudukan Inggris di Ambon antara 1796 dan 1817 penanaman dan produksi cengkeh sangat mundur karena Inggris tidak mementingkannya.
Cengkeh yang ditanam masyarakat keempat pulau tersebut di atas dijual kepada VOC di benteng-benteng mereka seharga 56 ringgit setiap bahar (di Maluku sama dengan sekitar 110 kg) atau f168. Diperkirakan bahwa sekitar 1680-an setiap tahun setiap dati (keluarga) dengan panen yang normal dapat menjual kepada VOC kurang dari 1 bahar dan memperoleh rata-rata 25,2 realen (ringgit atau uang Spanyol). Namun, dari jumlah itu masih ada berbagai potongan, di antaranya bagian yang terbesar untuk para penguasa desa belum lagi manipulasi alat timbang oleh pegawai VOC (menambahkan batu pada cengkeh yang ditimbang). Dalam masa jatuhnya harga cengkeh seperti dalam abad-abad berikut, dengan sendirinya pendapatan penduduk menjadi jauh lebih rendah.
Uang yang diterima penduduk itu digunakan untuk membeli barang-barang "mewah", seperti berbagai macam kain cita (chitzen) yang diimpor VOC dari India, perabot yang terbuat dari besi dan beras yang dijual para pedagang Makassar, dan lain sebagainya. Kemewahan itu tidak dapat dinikmati oleh penduduk yang dilarang menanam cengkeh, seperti di Pulau Seram dan Pulau Buru.
Sistem monopoli cengkeh VOC di keempat pulau tersebut sesungguhnya tidak benar-benar terkendali. Lautan yang luas dan demikian banyaknya pulau-pulau kecil yang dapat digunakan oleh perahu-perahu dagang itu untuk bersembunyi menyebabkan banyak terjadi kebocoran. Para pedagang dari Makassar dan Jawa berlomba-lomba menerobos blokade kapal-kapal VOC untuk mendapatkan cengkeh. Makassar ketika itu (sampai tahun 1667) merupakan pelabuhan bebas yang masih tetap dikunjungi para pedagang dari Eropa dan Asia Tenggara yang membeli cengkeh yang berhasil diperoleh para pedagang tersebut.
Pengelolaan wilayah perkebunan cengkeh yang meliputi empat pulau itu (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut) membuat VOC membangun suatu birokrasi yang berpusat di kota Ambon yang direbutnya dari Portugis pada tahun 1606. Pusat administrasi yang dipimpin oleh seorang gubernur itu terdapat dalam Fort Victoria. Di sekitar benteng itu muncul sebuah kota yang hingga kini dinamakan kota Ambon. Wilayah administrasi keempat pulau tersebut, ditambah dengan pulau-pulau Seram dan Buru dalam masa VOC, dinamakan Gouvernement van Amboina (Pemerintah Amboina).
Di pulau-pulau Haruku dan Saparua ditempatkan residen, masing-masing bertempat di benteng-benteng pula. Seperti dikemukakan diatas, di setiap pulau terdapat paling kurang dua benteng yang masng-masing dikawal oleh tentara VOC yang terdiri dari orang Belanda. Di Pulau Ambon terdapat empat benteng besar (fort), yaitu Victoria (di Ambon), Amsterdam (di Hila), Leiden (di Hitulama), dan Rotterdam (di Larike), dan lima benteng kecil (vestiging), yaitu Haarlem (di Negerilima), Vlisseingen (di Pulau Tiga), Hoek van Hulung (di Seit), Amesfoort (di Waai), dan Middelburg (di Baguala). Di Pulau Haruku terdapat dua benteng besar (fort), yaitu Zeelandia (di Haruku) dan Hoorn (di Kariu); di Pulau Saparua terdapat satu benteng besar, yaitu Fort Duurstede (di Saparua), dan empat benteng kecil (vestiging) Delft (di Porto), Huis te Velzen (di Itawaka), dan Hollandia (di Sirisori); di Pulau Nusalaut terdapat satu benteng kecil (vestiging), yaitu Beverwijk. Di Hoamoal terdapat tiga benteng besar (fort), yaitu Overburg (Luhu), dan Dwingland (di Loki) dan du benten kecil (vestiging), yaitu Wentelberg (di Nuahatu) dan Kalenberg (di Lesidi).
Untuk menjamin produksi monopoli, VOC menata negeri-negeri (desa-desa) di keempat Pulau kecil itu (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut). Pemukiman yang sebelumnya terletak di pegunungan, terutama yang memberi perlawanan kepada VOC selama bagian pertama abad ke-17, diharuskan membangun negerinya di pesisir. Dalam abad ke-17 jumlah penduduk keempat pulau tersebut diperkirakan sekitar 100.000 jiwa.
Dalam keempat pulau tersebut pemisahan negeri-negeri Islam dan Kristen mengikuti pola budaya tertentu. Di wilayah yang pola budayanya dikategorikan sebagai Patalima pada umumnya terdapat negeri-negeri Islam, seperti di bagian utama Pulau Ambon (Hitu), di bagian utama pulau-pulau Haruku dan Saparua. Di wilayah yang pola budayanya dikategorikan sebagai Patasiwa terdapat negeri-negeri yang penduduknya menganut Kristen. Hanya Nusalaut yang seluruh penduduknya beragama Kristen. Pola itu tetap bertahan di masa VOC, dan terus bertahan hingga kini. Hanya satu desa yang dalam abad ke-17 beralih dari Islam ke Kristen, yaitu negeri Hulaliu di Pulau Haruku.
Negeri-negeri diatur sedemikian rupa agar produksi cengkeh berjalan lancar. Pemimpin negeri berasal dari keluarga-keluarga tertentu secara turun temurun. Para pemimpin negeri itu dianggap sakral dan memiliki karisma. Bahkan para pemimpin negeri dianggap mewakili suatu alam pikiran kosmologis-tradisional yang membagi alam raya dalam dua bagian atau empat bagian yang berada dalam keseimbangan.
Penduduk negeri dibagi lagi dalam beberapa bagian (soa) masing-masing dengan pemimpinnya sendiri (kepala soa), dan soa dibagi dalam famili (keluarga) yang melaksanakan produksi cengkeh. VOC yang menguasai kepulauan itu berdasarkan kemenangan dalam perang, membagi lahan-lahan terbaik bagi penduduk untuk ditanami cengkeh (tanah dati). Setiap keluarga wajib menanam 80 pohon cengkeh.
Selain lahan perkebunan cengkeh dan lahan tanaman konsumtif, terbentang hutan yang luas dan tidak berpenghuni. Hutan yang tidak berpenghuni itu merupakan bagian integral dari negeri yang dinamakan "pertuanan negeri". Hutan luas yang tidak berpenghuni, tetapi merupakan sumber makanan itu menjadi tanggung jawab "kepala kewang" (kepala hutan) dan anggotanya.
Pelaksanaaan pengelolaan negeri-negeri produsen cengkeh itu dapat dipelajari dalam laporan-laporan para residen dan gubernur serta para pemimpin negeri dari abad ke-17 dan ke-18. Dokumen-dokumen yang demikian banyak itu kini menjadi sumber sejarah yang tidak terbatas nilainya bagi penelitian sejarah lokal.
DAFTAR PUSTAKA
· Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajah di Indonesia(1700-1900). Jakarta: Balai Pustaka
· Aziz, Dra. Maleha dan Asril S.Pd. (2006), Sejarah Indonesia III, Pekanbaru: Cendikia Insani
No comments:
Post a Comment