PERLAWANAN RAKYAT MALUKU


ESAPNIAR / SI3

            Sejak lama perdagangan di Maluku telah berlangsung secara bebas. Kedatangan bangsa Barat, di mulai dengan Portugis dan Spanyol kemudian Belanda menimbulkan corak perdagangan lain. Mereka itu memaksakan sistem monopoli.
            Rakyat Hitu menentang sistem monopoli yang di paksakan VOC. Sejak tahun 1618 VOC memaksakan monopoli. Namun demikian pedagang-pedagang Jawa dan Makasar masih tetap dapat mengadakan hubungan dagang ini berkat keterampilannya melewati pengawasan Belanda di Maluku. Belanda menggunakan cara-cara yang sangat kejam. Mereka melakukan pelayaran Hongi. Banyak pohon cengkeh penduduk di musnahkan dan pengawasan perdagang. Rempah-rempah di hancurkan dengan apa yang di sebut  "Pelayaran Hongi". Pelayaran Hongi pada waktu itu di artikan sebagai pelayaran tahunan yang di lakukan VOC untuk memelihara monopoli dengan memusnahkan pohon-pohon cengkeh penduduk, yang dapat mengganggu kelancaran monopoli VOC. Kapal-kapalnya harus di sediakan penduduk dan juga mereka harus siap melakukan pekerjaan mendayung kapal-kapal tersebut. (Dalam Maliha Aziz dan Asril, 2006:81).
Karena tindakan kasar dari VOC menimbulkan pemberontakan, sehingga raja Ternate yang biasanya menjadi sekutunya sekarang memusuhinya dan penduduk dari Irian sampai Jawa telah di mobilisasi atau di minta bantuannya untuk mengusir orang-orang Portugis dan orang asing lainnya.  (Nugroho Notosusanto, 60: 1993).
            Pada tahun 1635-1646 rakyat Hitu bangkit melawan VOC. Perlawanan rakyat Hitu itu kemudian di bantu oleh Ternate dan daerah Ambon. Kegentengan ini memaksa Gubernur Jenderal Van Diemen dua kali memimpin sendiri ekspedisi militer ke Maluku pada tahun 1637 dan 1638. Dengan taktik yang licin VOC berhasil meredakan situasi. VOC mengakui kedaulatan Sultan Ternate atas daerah Ambon. Kakiali dapat di tangkap, tetapi perlawanan tetap dilanjutkan rakyat Hitu di bawah pimpinan Pattimura. Kakiali di lepas oleh VOC di harapkan agar perlawanan terhenti. Sementara itu VOC berdamai dengan Ternate. Namun demikian Hitu tetap melawan dengan bantuan pelaut dari Makasar. Belanda megerahkan segala kekuatannya untuk menumpas perlawanan Hitu ini. Hanya dengan cara –cara yang licik dan politik "Devide et impera" akhirnya mereka dapat mengatasi perlawanan. Kakiali terbunuh oleh penasehatnya yang sebagai hasil kelicikan Belanda. Pemimpin lainnya di bunuh secara kejam, termasuk keluarganya, ibu serta saudara-saudaranya di pancung dan di pertontonkan kepada umum.( Dalam Maliha Aziz dan Asril, 2006:82).
            Hitu yang berdasarkan adat dihapus. Hitu di perintahkan langsung oleh VOC. Perlawanan ternyata masih terus berkobar di pimpin oleh Telukabasi. Hitu baru dapat di tundukkan pada tahun 1646, setelah Telukabesi menyerah dan kemudian di hukum pancung di halaman benteng Victoria. Peperangan meluas ke Ternate dan Ambon, Sultan Ternate yang bersahabat dengan VOC diusir rakyat, pada tahun 1650. Laksamana Saidi memimpin perlawanan, VOC dengan kelebihan persenjataan akhirnya dapat mengalahkan pemberontakan. Saidi gugur secara tragis di bunuh oleh panglima tentara VOC di Maluku, de Viamingh. Perlawanan paling lama dan sangat mengesankan di perlihatkan oleh perjuangan Sultan Nuku dari Tidore. Perang antara Nuku dan Belanda (VOC) mulai berkobar sejak tahun 1780. Perang terus berlangsung sampai tahun 1805, sampai beliau wafat. (Dalam Maliha Aziz dan Asril, 2006:82).
MALUKU TENGAH
Sejak VOC menguasai Maluku dalam abad ke 17, timbul pemukiman-pemukiman baru dengan nama "negeri" di daerah kepulauan Maluku Tengah. Berangsur-angsur muncul suatu struktur sosial di negeri-negeri yang merupakan gabungan antara unsur-unsur dari sistem budaya lama dengan unsur-unsur baru yang di masukkan oleh VOC. Masyarakat negeri di pantai kepulauan Ambon-Uliase mendapat hak atas tanah (dati) untuk perkebunan-perkebunan cengkeh, di samping tanah-tanah pusaka-pusaka milik keluarga masing-masing. Hasil cengkeh dari setiap dati di jual pada VOC dengan harga tertentu, sedangkan hasil dari tanah pusaka berupa bahan makanan di pakai oleh keluarga (famili) yang mengerjakannya. Selain itu VOC juga mengembangkan suatu sistem pemerintah desa (negeri) serta sistem pendidikan desa. Bila para penguasa desa mempunyai ikatan kekerabatan dalam desa masing-masing, maka para guru desa selalu di pindah-pindahkan dari suatu desa ke desa lainnya.
            Sistem perkebunan cengkeh, serta pemerintahan desa, dan sistem pendidikan desa, merupakan unsur-unsur yang mengikat kehidupan penduduk Ambon-Lease dengan serasi. Namun di samping itu terasa pula kepincangan-kepincangan yang di timbulkan sistem-sistem itu. Ekspidisi Hongi yang diorganisir VOC setiap tahun, umpamanya lebih banyak merupakan tragedi dalam sejarah Maluku. Ekspedisi yang terdiri dari kora-kora (perahu perang) milik masing-masing negeri di kepulauan Ambon-Uliase, di maksudkan untuk mengawasi pulau-pulau seram, Buru dan Manipa, dan lain-lain, yang di larang menghasilkan cengkeh. Setiap pohon cengkeh di pulau-pulau tersebut di tebang oleh serdadu-serdadu VOC yang di angkut armada kora-kora tersebut. Selama berlangsungnya ekspedisi itu banyak pemuda-pemuda negeri yang menjadi pendayung kora-kora meninggal karena kekurangan makanan, atau di bunuh musuh. Selain itu waktu yang di gunakan sering melebihi waktu yang telah di sepakati, yaitu tiga bulan dan kebetulan jatuh pada masa panen cengkeh (akhir tahun) tatkala tenaga mereka justru di butuhkan di dati masing-masing.  
            Kepincangan lain sistem yang di bangun VOC di Maluku Tengah adalah korupsi. Terutama sejak bagian kedua abad ke-18,penyakit ini mulai menjalar di kalangan pejabat-pejabat Belanda. Mental pedagang yang merupakan ciri bekas pejabat-pejabat Belanda pada abad ke-7, mulai berganti dengan mental pegawai pemerintah dalam abad ke-18 sehingga untung-rugi perusahaan sebagai dorongan utama, berganti dengan usaha memperkaya diri masing-masing. Rencana-rencana mereka mengelisahkan rakyat. Penyederhanaan sistem pendidikan dengan menghapuskan sekolah-sekolah desa dan memusatkannya ke satu atau dua negeri di setiap pulau, di desas-desuskan oleh orang-orang Ambon sebagai usaha menhapuskan seluruh sistem itu. Kemudian ada beberapa tindakan lain yang oleh penduduk di anggap tidak pantas. Pemerintah Gubernur van Middelkoop pada penduduk Ambon-Lease untuk membuat garam dan ikan asin bagi keperluan kapal-kapal perang Belanda yang sedang berlabuh di Ambon, di anggap perbuatan sewenang-wenang. Perintah ini di angga[p memberatkan karena kerja rodi lain tidak di kurangi, bayaran yang kecil jumlahnya untuk hasil ikan asin dan garam terutama di tolak oleh penduduk Saparua.
            Sejak awal bulan maret 1817 pelbagai kelompok penduduk Maluku Tengah sudah mulai mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan situasi baru akibat adanya rencana-rencana pemindahan kekuasaan dari tangan Inggris kepada Belanda. Pada pertemuan pada tanggal 14 Mei di pulau Saparua para pemuda dan penguasa-penguasa desa (raja atau patih dan orang kaya) memutuskan untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial di benteng Duurstede yang terletak di pulau Saparua. Keputusan yang sangat di rahasiakan ini di teruskan pada setiap negeri di pulau itu. Selain itu dalam musyawarah di tempat itu mereka juga memilih Thomas Matulesy sebagai pemimpin perang dengan julukan Pattimura.
            Nyaris rencana penyerbuan Duustede buyar karena beberapa golongan pemuda dari desa Proto tidak sabar. Pada malam hari tanggal 14 kelompok pemuda ini mendatangi dan membongkar orambay pos (perahu milik pemerintah) yang sedianya akan mengangkut kayu bahan bangunan dari Porto ke Ambon. Keesokan harinya Residen van den Berg berkuda dari benteng Duurstede ke Porto dengan maksud membereskan masalah itu. Tetapi para pemuda menangkapnya di Porto. Hanya karena Kapitan Pattimura berhasil menengahi persoalan ini, Residen van den Berg lolos dari tangan para pemuda dan berhasilkan di pulangkan di Duurstede.
            Pada malam hari juga para pemuda mulai berdatangan ke sekitar benteng Duurstede dan pagi harinya tanggal 15 Mei tembakan-tembakan mulai di lancarkan. Tidak lama kemudian Kapitan Pattimurapun tiba untuk memimpin penyerbuan ke arah Duurstede. Dua kali pernyerbuan di lakukan tanpa hasil. Tembakan-tembakan mariam dari arah benteng tak dapat di tandingi para pemuda yang hanya bersenjata beberapa bedil, pedang, tombak, dan lain-lain. Namun karena tembakan-tembakan tesebut mesiu benteng habis dan akhirnya tentara terpaksa menyerahkan diri. Setiap penghuni benteng tersebut, termasuk Residen Van den Berg beserta keluarganya musnah, kecuali seorang putranya yang berumur lima tahun.
            Jatuhnya Duurstede bagi Belanda merupakan suatu pukulan besar. Sebab itu tidak lama kemudian mereka menyusun suatu kekuatan untuk merebutnya kembali. Pasukan yang di pimpin Mayor Beetjes itu tiba di Saparua pada tanggal 20 Mei.perjalanan mereka memang sangat menyedihkan. Di pulau Ambon tidak ada desa yang bersedia menyerahkan perahu-perahunya untuk mengangkut pasukan Beetjes. Suatu tempat di hutan-hutan. Setelah bersusah payah mereka sampai ke pulau Haruku di mana terdapat benteng Zeelandia. Di sinipun tidak ada yang bersedia menyerahkan perahu-perahu untuk mengangkut mereka ke Saparua. Dengan susah payah akhirnya Residen Uitenbroek berhasil memperoleh suatu kruisarombai (rembaya perang) dan 6 arombay biasa untuk mengangkut sekitar 100 orang pasukan Beetjes ke Saparua.
            Pasukan Beetjes tiba sekitar pukul 11.00, Angin musim Barat, yang terkenal dengan ombaknyayang dahsyat dari arah laut Banda, menyebabkan Beerjes tidak mudah mencari tempat pendaratan. Akhirnya di pilihlah pantai Waisisil di sebelah Barat Duurstede. Namun tempat itu justru menjadi tempat yang ideal untuk menahan suatu pendaratan.
            Sejak Armada Arombay Beetjet memasuki teluk Saparua, Kapitan Pattimura sudah bersiap-siap dengan strateginya. Seluruh pasukannya sudah di atur sepanjang pantai, setiap gerakan armada di ikuti oleh pasukan itu dengan cermat. Sekitar 1000 orang yang sebagian yang bersenjata bedil dan sebagian lagi bersenjatakan pedang dan tombak segera di konsentrasikan di tempat pendaratan. Para pengayuh Armobay yang terdiri dari penduduk desa berusaha menyelamatkan dirisetelah nampak, bahwa pasukan-pasukan Pattimura mulai menyerbu ke pantai. Dengan demikian hampir seluruh pasukan Betjes musnah di Waisisil, termasuk Betjes sendiri. Kekealahan yang ke dua kalinya ini lebih lagi menimbulkan kegemparan di kalangan pemerintah belanda.
            Dan terjadi perlawanan yang tidak kunjung reda di Saparua, Haruku, dan Ambon dengan bantuan pasukan-pasukan alifuru dari seram itu berlansung terus dalam bulan Agustus sampai November. Sekalipun persenjataan Pattimura tidak lengkap, namun siasat-siasat penyergapan terhadap benteng atau patroli musuh, sering cukup efektif.
            Sebelum pasukan Meyer di seberangkan ke pulau Saparua dari Hulaliu, desa Porto dan desa Haria di mana mereka akan di daratkan di tembaki oleh mariam-mariam kapal-kapal perang. Hal ini menyebabkan para pemuda Porto dan Hariaa yang berjaga-jaga di belakang tembok-tembok benteng mereka terpaksa mengundurkan diri. Para wanita dan anak-anak sudah terlebih dahulu diungsikan di pegunungan. Kapitan Pattimura pun memindahkan markasnya dari Haria ke wilayah pegunungan Boy. Setelah Porto dan Haria musnah terbakar, pasukan Meyer mendarat tanpa perlawanan. Sementara itu pasukan-pasukan Pattimura tidak memahami benar siasat yang di gunakan Buyskes, karena beberapa kapal perang dan kapal pengangkut mengambil tempat di berbagai sudut pulau itu, sehingga orang tidak mudah menduga di mana tempat pendaratan itu di lakukan. Pendaratan Meyer di Porto-Haria dengan Duurstede, mereka mengalami perlawanan yang gigih di Paperu. Perbentangan yang sangat kompleks di sini di pertahankan tidak saja oleh pemuda-pemuda Paperu, tetapi juga di perkuat oleh pemuda-pemuda Porto dan Haria. Namun keunggulan teknologi perang menentukan di sini pula. Kapal-kapal perang musuh segera mengambil kedudukan di perairan Paperu dan memuntahkan peluru-peluru mariamnya ke arah perbentengan Paperu. Wanita dan anak-anak diungsikan sementara pasukan Meyer menyerbu dari arah Barat(Porto-Haria), pasukan-pasukan dari benteng Duurstede di kerahkan pula dari arah Timur untuk memberi bantuan. Dari segala sudut desa Paperu di sergap. Pasukan Meyer yang terlebih dahulu menerjunkan diri ke dalam perbentengan Paperu. Perang tanding menyusul, dan pemuda-pemuda mulai terdesak oleh gelombang pasukan musuh yang terus-menerus berdatangan. Korban-korban berjatuhan dalam jumlah yang banyak. Menghadapi tekanan-tekanan ini para pemuda mengundurkan diri kearah hutan-hutan Paperu. Meyer dan pasukannya merayakan hari kemenangan didesa Paperu sementara pasukan Pattimura mulai merosot semangatnya. Ketika pasukan Meyer tiba di Boi, seorang musuh Kapitan Patti mura menghianatinya dengan cara menunjukkan tempat persembunyiannya. Beberapa panglima lainnya juga tertangkap dengan cara yang sama. Pertempuran kemudian berkobar lagi didesa-desa Sirisory, Ulat dan Ouw. Siasat yang dugunakan Buykas di Paperu diulangi lagi disini. Namun pertempuran di Ouw termasuk yang mengesankan karena pada ketika itu komandan ternyata meninggal. Kapiten Vermeulen-Kruger, yang juga luka-parah, mengambil alih pimpinannya. Namun para pemuda tidak bisa menandingi siasat musuh yang terus menerus mengirimkan gelombang demi gelombang pasukan untuk diterjunkan ketengah-tengah perbentengan Ouw. Mereka terkepung dan terpaksa mengundurkan diri. Dalam salah satu pertempuran ini Kapitan Paulus Tiahahu dari nisa laut tertangkap bersama putrinya Marta Kristina Tiahahu. Kapitan yang telah mendekati umur 80 tahun itu selama pertempuran-pertempuran juga senantiasa di usung oleh pengikut-pengikutnya.
            Dalam bulan Desember 1817 Kapitan Pattimura bersama 3 orang panglimanya dijatuhi hukuman mati yang dijalankan dibenteng Niuew Victoria di Ambon. Beberapa orang pemimpin lainnya mengalami nasib yang sama seperti kapitan Paulus Tiahahu yang dihukum pancung di nusa laut dan kapitan Ulu paha yang diangkat dari luhu untuk digantung diambon. Pelaksanaan hukum mati dilakukan atas pemimpin-pemimpin yang lebih rendah. Sejumlah pasukan yang tertangkap dikenakan hukuman buang ke Cianjur. Sebgian besar dikenakan Amnesti. 
           
DAFTAR PUSTAKA
Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Azis, Maliha dan Asril. 2006. Sejarah Indonesia III. Pekanbaru: Cendikia Insani.
             

No comments:

Post a Comment