BERKEMBANGNYA PEMIKIRAN LIBERALISME DAN KONDISI EKONOMI INDONESIA PADA SAAT DEMOKRASI LIBERAL

Febby Indri R/ SI V

 

Liberalisme ialah falsafah yang meletakkan kebebasan individu sebagai nilai politik tertinggi. Liberalisme menekankan hak-hak peribadi serta kesamarataan peluang. Dalam fahaman liberalisme, aliran dengan nama "liberal" mungkin mempunyai dasar dan pandangan yang berlainan, tetapi secara umumnya aliran-aliran ini bersetuju dengan prinsip-prinsip berikut termasuk kebebasan berfikir dan kebebasan bersuara, batasan kepada kuasa kerajaan, kedaulatan undang-undang, hak individu ke atas harta persendirian, pasaran bebas dan ketelusan sistem pemerintahan. Mereka yang liberal menyokong sistem kerajaan demokrasi liberal dengan pengundian yang adil dan terbuka, di mana semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di bawah undang-undang.

Fahaman liberalisme moden berakar umbi dari Zaman Kesedaran Barat dan kini mengandungi pemikiran politik yang luas dan kaya dari segi sumber. Liberalisme menolak kebanyakan tanggapan asas dalam hampir semua teori pembentukan kerajaan awal seperti seperti hak-hak raja yang diberikan

oleh tuhan, status yang berasaskan keturunan dan institusi-institusi agama. Liberal beranggapan sistem ekonomi pasaran bebas lebih cekap dan menjana lebih banyak kemakmuran. [1]

Negara liberal modern awal adalah Amerika Syarikat yang didirikan di bawah prinsip "setiap manusia diciptakan sama taraf, bahawa mereka diberi pencipta mereka hak-hak yang tidak boleh dinafikan. bahawa antara ini adalah kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan, bahawa untuk melindungi hak-hak ini, kerajaan dibuat oleh manusia, yang menggunakan kuasa mereka secara adil dengan izin mereka yang diperintah."

Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular. Revolusi ini tak ubahnya seperti Revolusi Amerika tahun 1776, ketika Amerika memproklamirkan kemerdekaannya dari kolonialisasi Inggris. Amerika yang semula dijajah lantas merdeka secara politik dari Inggris, meski sesungguhnya Amerika dan Inggris sama-sama sekular.

Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, dan M. Yamin telah memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso, Jadilah Indonesia sebagai negara sekular.

Karena sudah sekular, dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit).

Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. Dalam bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat.

Kondisi Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal

Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.

Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut :

·         Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.

·         Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.

·         Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.

·         Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh Belanda.

·         Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.

·         Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.

·         Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.

·         Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.

·         Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.

·         Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.[2]

Masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :

·         Mengurangi jumlah uang yang beredar

·         Mengatasi Kenaikan biaya hidup.

Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah :

·         Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.

Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Masalah Ekonomi Masa Liberal

Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.[3]

1. Gunting Syafruddin

Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.

Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950

Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.

Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.

2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng

Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya :

·         Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.

·         Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.

·         Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.

·         Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :

·         Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.

·         Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.

·         Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.

·         Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.

·         Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.

·         Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.

Dampaknya program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.

3. Nasionalisasi De Javasche Bank

Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.

Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.[4]

4. Sistem Ekonomi Ali-Baba

Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah

·         Untuk memajukan pengusaha pribumi.

·         Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.

·         Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

·         Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.

Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina.

Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:

·         Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.

·         Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.

·         Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.

5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi :

·         Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.

·         Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.

·         Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.

Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB.

Dampaknya : Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.

6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.

RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :

·         Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.

·         Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.

·         Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.[5]

7. Musyawarah Nasional Pembangunan

Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena :

·         Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.

·         Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.

·         Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.

·         Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.

·         Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.

Perekonomian Masa Demokrasi Liberal Dengan Hubungan Internasional

Pada masa perekonomian demokrasi liberal banyak masalah maslah dalam ekonomi Indonesia.Sehingga hubungan internasional pada maa cabinet nasir adanya depresi dari amerika dan eropa sehingga harga ekspor bahan mentah mengalami kemerosotan.Sedangkan pada tahun 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan oleh menurunnya volume perdagangan internasional.Terjadinya instabilitas tidak semata-mata terletak pada perluasan program tapi di pengaruhi oleh dua factor.Hal ini akibat dari politik colonial belanda.Karena pemerintah belanda tidak mewariskan ahli yang cukup sehingga mengubah system ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak manghasilkan perubahan yang drastis.[6]

Kabinet ali II menghadapi kesulitan adalah korban anti-cina di masyarakat dan adanya kekacawan daerah. Permasalahan baru tentang nasib modal pengusaha belanda di Indonesia.Banyak pengusaha belanda yang menjual perusahannya kepada orang cina karena merekalah yang kuat ekonominya.

Pada masa pemerintahan cabinet burhanudin harahap dikirimkan masalah finensial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak belanda, hubungan Indonesia-belanda didasarkan atas hubungan bilateral. Sejak masa demokrasi liberal, Indonesia aktif dalam menggalang solidaritas dan kerja sama antar bangsa seperti konferensi Asia Afrika, koferensi LONDON Deklarasi Djuanda.

NOTE :

[1] id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_liberal

[2] Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007)

[3] Deliar Noer. Pemikiran Politik di Negeri Barat. (Jakarta: Penerbit Mizan, 1998)

[4] arkohley.blogspot.co.id/2010/07/sejarah.

[5] Asril,M.Pd . sejarah Indonesia Kotemporer. 245 hal.

[6] Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007)

No comments:

Post a Comment