SISKA MAULANA PUTRI/SI 3
Pemerintah Inggris mulai menguasai Indonesia sejak tahun 1811 ketika pemerintah Belanda menyerah berdasarkan Kapitulasi Tuntang. Kapitulasi Tuntang adalah perjanjian penyerahan kekuasaan di Nusantara atau Indonesia dari pemerintah Hindia-Belanda kepada Pemerintah Britania-Raya ( kerajaan inggris ) pada tahun 1811, disebut perjajian tuntang di karenakan perjajian tersebut dilaksakan di sebuah desa yang bernama tuntang yang sekarang berada dibawa kecamatan tuntang kabupaten semarang. Tempat
ini dipilih karena merupakan tempat peristirahatan para pembesar Hindia-Belanda, terletak di tepi danau Rawa Pening dan mengalir sungai Tuntang yang bermuara ke Laut Jawa di Demak dan terdapat barak-barak tentara.
Berikut ini adalah isi dari perjanjian tuntang yang di tanda tangani oleh janssens sebagai gubernur jendral hindia belanda pada waktu itu :
- Pemerintah Belanda menyerahkan Indonesia kepada Inggris di Kalkuta (India)
- Semua tentara Belanda menjadi tawanan perang Inggris
- Orang Belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris.
- Hutang Belanda tidak menjadi tanggungan Inggris.[1]
Namun sebelum perjanjian Tuntang terjadi, sebelumnya Inggris telah pernah datang ke Indonesia jauh sebelumnya. Perhatian terhadap Indonesia dimulai sewaktu penjelajah F. Drake singgah di Ternate pada tahun 1579. Selanjutnya ekspedisi lainnya dikirim pada akhir abad ke-16 melalui kongsi dagang yang diberi nama East Indies Company ( EIC ). EIC mengemban misi untuk hubungan dagang dengan Indonesia. Pada tahun 1602, armada Inggris sampai di Banten dan berhasil mendirikan Loji disana.
Pada tahun 1904, Inggris mengadakan perdagangan dengan Ambon dan Banda, tahun 1909 mendirikan pos di Sukadana Kalimantan, tahun 1613 berdagang dengan Makassar (kerajaan Gowa), dan pada tahun 1614 mendirikan loji di Batavia ( Jakarta ). Dalam usaha perdagangan itu, Inggris mendapat perlawanan kuat dari Belanda. Belanda tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mengusir orang Inggris dari Indonesia. Setelah terjadi tragedi Ambon Massacre, EIC mengundurkan diri dari Indonesia dan mengarahkan perhatiannya ke daerah lainnya di Asia tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam sampai memperoleh kesuksesan.[2]
Agar penjajahan di indonesia bisa dikendalikan dengan baik pemerintahan inggris menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia, Raflles adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda terbesar. Ia juga dikenal sebagai pendiri Kota dan Negara Singapura, raffles lahir di Port morant, Jamaika pada Juli 1781. Ayahnya bernama Benjamin Raffles yang meninggal mendadak pada saat Raffles berusia 15 tahun. Sejak saat itulah Raffles langsung bekerja di sebuah perusahaan dagang di London yang berperan banyak dalam penaklukan negara-neagara lain. Termasuk pada 1805, ia dikirim ke Pulau Penang, Malaysia. Sejak saat itulah hubungannya dengan Asia Tenggara dimulai. Raffles lalu menikah dengan Olivia Mariannr yang wafat pada 26 November 1814 di Buitenzorg, Bandung dan dimakamkan di Batavia.[3]
Kebijakan-kebijakan thomas stamford raflles selama menjadi gubernur jendral di hindia belanda adalah sebagai berikut ini :
1. Bidang pemerintahan
- Membagi Pulau Jawa menjadi 18 karesidenan
- Mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaj
- Mempraktekan sistem yuri dalam pengadilan seperti di Inggris
- Melarang adanya perbudakan
- Membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor
2. Bidang perekonomian dan keuangan
Melaksanakan sistem sewa tanah ( Land rente ), Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada. Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Peter Boomgard menyatakan bahwa Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebih tepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode kolonial, dan landrente sebagai suatu sistem, yang berlaku antara tahun 1813 sampai 1830. Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur Jenderal Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.
Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai
Libertie (kebebasan)
Egaliie (persamaan)
Franternitie (persaudaraan)
Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.
Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan kolonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan kolonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah adalah sebagai berikut ini :
1. Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern, Pergantian dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa. Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
- Pelaksanaan pemungutan sewa, Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.
- Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport, Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.
Pada pelaksanaan sistem sewa tanah yang di belakukan oleh raffles memiliki banyak kelemahan sehingga menyebabkan sisiem sewa tanah yang dilaksanakan raffles mengalami kegagalan berikut ini adalah faktor penyebab kegagalan sewa tanah :
- Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian.
- Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.
- Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.
- Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul.
- Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan tidak dapat menurunkan produksifitas hasil pertanian.
- Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.
- Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.
Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana Raffles memberlakukan sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masi cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self suffcient.[4]
Tindakan yang dilakukan Raffles antara lain :
1. Membangun gedung Harmoni di jalan Majapahit Jakarta untuk Lembaga Ilmu pengetahuan yang berdiri sejak tahun 1778 bernama Bataviaasch Genootschap.
2. Menyusun sejarah Jawa berjudul Histori of Jawa yang terbit tahun 1817.
3. Namanya diabadikan pada nama bunga Bangkai raksasa yang ditemukan seorang ahli Botani bernama Arnold di Bengkulu dan Raffles adalah Gubernur Jenderal di daerah tersebut.
4. Isteri Raffles bernama Olivia Marianne merintis pembuatan kebun Raya Bogor.
5. Tindakan yang merugikan Indonesia adalah pada masa Raffles, benda-benda purbakala di boyang untuk memperkaya musium Calcutta di India di antaranya prasasti Airlangga tahun 1042 yang sering disebut Batu Calcutta
Pemerintahaan Raffles hanya bertahan sampai tahun 1816, Keadaan di negeri jajahan rupanya sangat bergantung pada keadaan di negeri Eropa. Pada tahun 1814 Napoleon Bonaparte kalah melawan raja–raja di Eropa dalam perang koalisi. Untuk memulihkan kembali keadaan Eropa maka diadakan konggres Wina 1814 sedangkan antara Inggris dan Belanda di tindak lanjuti
Convention of London 1814 yang berisi :
1. belanda menerima kembali jajahan yang di serahkan kepada inggris dalam perjanjian kapitulasi tuntang.
2. ingris menperoleh tanjung harapan dan srilangka dari inggris Konsekuensi dari perjanjian tersebut maka Inggris meninggalkan Pulau Jawa. Raffles kemudian menduduki pos di Bengkulu. Pada tahun 1819 Inggris berhasil memperoleh Singapura dari Sultan Johor. Pada Tahun 1824 Inggris dan Belanda kembali berunding melalui [5]
DAFTAR PUSTAKA
[3] sudirman, adi.2014.sejarah lengkap indonesia.jogjakarta. penerbit diva press.
[4] Poesponegoro, marwati djoned dan nugroho notosusanto. 1984.sejarah nasional indonesia IV.jakarta.balai pustaka
No comments:
Post a Comment