MUHAMMAD FIKRI  MUZAKI /  SI V  / B
Belum puasnya  Belanda dalam mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, Belanda  seakan enggan untuk melepaskan tanah jajahannya ini yang sudah dikuasai ratusan  tahun lamanya. Banyak pertikaian dan perundingan yang dilakukan agar bisa  menyelesaikan dan mendamaikan kedua pihak. Akan tetapi, perundingan selalu  dibumbui oleh pengkianatan dan pelanggaran. Pihak Belanda selalu mencari  kambing hitam jika perundingan tersebut tidak menyenangkan hati mereka. Wajar  jika Indonesia diobok-
obok dalam penindasan berkelanjutan.
Setelah  Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan diakui  oleh beberapa negara lain, Belanda tampaknya masih belum melepaskan Indonesia  begitu saja. Ini tecermin dari pertikian antara militer Belanda dengan pemimpin  sipil Indonesia dalam Agresi Militer I dan Agresi Militer II.  Salah satu  cara yang efektif adalah dengan menyerang Kota Djokja sebagai Ibu Kota Negara  pada saat itu. Jika serangan tersebut berhasil, maka dengan sekali pukul,  pertahanan para pejuang akan bisa dihancurkan, Republik dihapuskan dari peta,  dan sebuah Negara Indonesia Serikat, negara berdaulat tetapi masih tetap diikat  dalam satu Unie dengan Kerajaan Belanda, akan bisa didirikan dibekas wilayah  Hindia-Belanda.
Pemikiran  inilah yang mendorong Letnan Jenderal Simon Spoor, sebagai Panglima KNIL,  merancarang sebuah operasi militer gabungan  pasukan dengan nama sandiKraai.Gagasan  ini mendapat dukungan penuh dari Louis Beel, Wakil Agoeng Mahkota di  Batavia.Sehingga Jenderal Spoor sendiri mendapatkan suntikan mental yang kuat  untuk melancarkan serangan untuk merebut Kota Djokja dengan terlebih dahulu  merebut Lapangan Udara Magoewo yang ada di Desa Magoewoharjo, Djokjakarta.[1]
Magoewo  adalah nama landasan udara, sekitar delapan kilometer di timur Djogyakarta.  Belanda bertekad merebut Magoewo, oleh karena landasan tersebut selama ini  selalu dipakai oleh pemerintah Republik untuk menembus blokade Belanda ,  mendatangkan obat-obatan dan juga sebagai lalu lintas masuknya diplomat asing.  Sesuai perintah Jenderal Spoor, Magoewo harus secepatnya direbut , untuk  dijadikan pijakan kaki oleh pasukannya, dalam mendobrak pertahanan Djogyakarta.  Dalam brifingnya, Letnan Jenderal Spoor mengatakan "Ik stel mijn volle  vertrouwen in uw houding. Moge God ij leiden en behoeden in de komende dagen(Saya  menaruh kepercayaan sepenuhnya. Semoga Tuhan melindungi dan membimbingmu dalam  hari-hari mendatang)," begitu brifing yang disampaikan Panglima KNIL  (Koninlijke Nederlands Indisch Leger) dalam sebuah hangar di Pangkalan Udara  Andir, Bandoeng, sabtu malam tanggal 18 Desenber 1948. [2]
Dalam brifing  ini, Letnan Jenderal Spoor di dampingi Mayor Jenderal Engels, Panglima Divisi C  yang lebih populer dalm sebutan Divisi 7 December dan Kapten Eekhout, Komandan  Kompi Pasukan Para. Pasukan tersbut merupakan bagian dari Grup Tempur M, yakni  dua kompipasukan payung baret merah KST (Korps Speciale Troepen) yang  ditetapkan sebagai ujung tombak Operasi Kraai. Mereka akan didukung oleh  pasukan komado baret hijau, dibawah pimpinan Komando KST, Letnan Kolonel Van  Beek, yang saat itu juga sedang melakukan persiapan akhir di Pangkalan Udara  Kalibanteng, Semarang.
Sebagai  pasukan khusu andalan Kl (Koninlijke Leger/Tentara Kerajaan), KST  memiliki pasukan dengan kualifikasi, para dan komando. Pasukan payung memakai  baret merah, sedangkan pasukan komando memakai baret hijau. Sewaktu Jenderal  Spoor merancang Operatie Kraai (Operasi Burung Gagak) untuk menaklukan  Djokya, dia sebenarnya telah menunjuk Kapten Raymond Westerling, sebagai  pimpinan operasi. Tetapi sebulan sebelumnya, tanggal 21 November, Westerling  dipecat dari dinas militer. Letnan Jenderal Spoor memutuskanya memecatnya  sebagai tanggapan atas meluasnya kritik terhadap peristiwa yang terjadi di Desa  Tjikalong, Tasikmalaja, Jawa Barat, pertengahan bulan Juni 1948. Dalam insiden  tersebut, Westerling memimpin anak buahnya membantai 156 penduduk Tjikalong  serta membakar 165 rumah berikut 800 ton beras yang disimpan dalam lumbung desa  setempat.
Aksi brutal  tersebut dilakukan oleh Westerling dengan alasan, penduduk Tjikalong memberi  bantuan kepada pasukan Siliwangi yang beroperasi disekitar Tasikmalaja. Letnan  Jenderal Spoor menolak alasan Westerling. Masih segar dalam ingatanya, rekam  jejak Westerling selama melakukan operasi pasifikasi di wilayah Sulawesi  Selatan. Operasi yang telah memicu badai protes, akibat kebrutalan yang  dilakukan anak buahnya. Oleh karena itu Jenderal Soopr tidak segan untuk  memecat Kapten Westerling, 29 tahun dari dinas militer. Jabatan Komandan KST,  pasukan para dan komando Tentara Kerajaan, di alihkan kepada seorang perwira  militer dengan pangkat dua tingkat lebih tinggi, Letnan Kolonel WCA Van  Beek.       Persiapan Jenderal Spoor untuk  merebut Magoewo dengan sekali pukul, sangat mengesankan. Kesuksesan serbuan  tersebut bertumpu sepenuhnya pada pasukan pertama, serangan udara secara  mendadak . oleh karena itu, gelar kekuatan pasukan udaranya merupakan terbesar  dari yang pernah dilakukan tentara Belanda.
            Menurut catatan, di Pangkalan Udara Kalidjati, Bogor,  dipersiapkan sebuah pesawat Lockhead L-12 dan enam buah pesawat tempur Harvard.  Kemudian di Tjililitan, Batavia, empat pesawat pengebom Mitchell B-25 bersama  dua pesawat Mustang P-51. Dilandasan Andir Bandoeng, 16 pesawat angkut Dakota  C-47, pesawat pengebom Mitchell B-25 bersama empat pesawat pengintai Piper Cub.  Dalam rencan Operasi Kraai, setelah serangan udara ke Magoewo berlangsung, akan  segera disusul penerjunan pasukan payung baret merah KST yang diterbangkan dari  Andir. Setelah landasan berhasil dikuasai, segera dilanjutkan pembuatan  jembatan udara oleh, yang dipakai pasukan komando baret hijau LST mendarat di  Magoewo sebelum menyerbu masuk ke Kota Djokja
Oleh karena  itu,untuk mendukung rencana tersebut, di Landasan Udara Kalibanteng, Semarang  telah disiapkan 20 pesawat angkut Dakota C-47, sebuah Lockhead L-12, dikawal  sepuluh pesawat pemburu Spitfire, lima buah pengebom B-25 berikut empat pesawat  Auster. Sebagai pendukung operasi,  di Landasan Udara Soerabaja juga  disiapkan empat pesawat Auster, enam pesawat Fireflikes dan tiga pesawat ringan  Catalina. Strategi yang dirancang Jenderal Spoor sebenarnya mengacu pola  serangan Jepang dan Jerman dalam awal Perang Dunia II. Terntara Belanda akan  memulai serangan udaranya pada hari minggu pagi, tanpa terlebih dahulu  menyatakan perang. Persisi yang pernah dilakukan tentara Jepang saat menyerbu  Pangkalan Aangkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii, enam tahun  sebelumnya.
Sedangkan,  pemanfaatan pesawat tempur sebagai pelopor gerakan maju serbuan pasukan udara  sekaligus memicu kekacuan berikut kepanikan terhadap penduduk sipil, meniru  serangan pesawat terbang Nazi semasa menyerbu negeri Belanda awal bulan Mei  tahun 1940. Sebab, kekacuan yang terjadi ketika warga sipil sibuk mengungsi,  dipastikan bakal mengacau mobilitas berikut efektivitas pasukan yang harus  mempertahankan sasaran. Sesuai kualifikasinya, maka dua kompi pasukan baret merah  KST bertugas merebut Magoewo, landasan udara di Djokja. Sedangkan sisa pasukan  KST, pasukan komando baret hijau, bakal didaratkan di Magoewo, sesudah landasan  berhasil dilumpuhkan oleh baret merah.
Dalam   skenario yang telah tersusun cermat, pasukan baret hijau kemudian menyerbu ke  Djokjadengan serentak, menerobos melalui dua buah jalan. Dengan strategi ini,  Jenderal Spoor yakin, bahwa pertahanan pasukan Republik pasti kocar-kacir.  Sehingga misi utama mereka, menyergap sekaligus menaklukan Ibu Kota Republik,  sudah akan bisa mereka tuntaskan sebelum senja mendatang. Sesaat setelah  menghadiri brifingnya, Jnederal Spoor ke mudian berteriak,"....pagi nanti, saya  akan terbang bersama kalian". Tepuk tangan terdengar riuh, menyambut pernyataan  tersebut. [3]
Paratroopers  berbaret merah tersebut kemudian saling mengobarkan semangat tempur dengan  mengepalkan tinju tangan kanan ke atas sambil serentak,".....naar Djokya".
NOTE;
[1]      Mochkardi,Akademi  Militer Yogya di dalam Perjuangan Fisik 1945-1949, PT. Inaltu Jakarta, 1977  Hal. 4
[2]       Abu  Bakar,Kilas Balik Revolusi 1945-1949, Kenangan Pelaku dan Saksi,  Penerbit Universitas Indonesia (UI Press, Jakarta, 1992). Hal. 5
[3]       Pusat  Sejarah Militer AD ,Sedjarah TNI-AD 1945-1949,Mahjuma, Djakarta, 1969  Hal. 7
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, AH,Sekitar  Perang Kemerdekaan Indonesia, Periode KMB, PT Angkasa, Bandung,  1977 Hal.
Soetanto,  Himawan,Yogyakarta, 19 Desember 1948,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta  2006 Hal.
Abdullah,  Taufik,Sejarah Lokal di Indonesia : Kumpulan Tulisan. UGM Press,  Yogyakarta, 1996 Hal.
No comments:
Post a Comment