Abdurrahman / SR 3A
Riwayat suku hutan
Suku hutan merupakan pecahan dari puak melayu rakyat kerajaan gasib. Raja gasib pertama yang diislamkan oleh kerajaan malaka Sultan Mansyur Syah bernama Megat Kudu kemudian bergelar sultan Ibrahim. Sejak itu gasib menjadi pusat agama islam dibelahan pantai timur sumatera. Kemudian gasib mundur karena serangan aceh, lalu digantikan oleh kerajaan siak yang mulai sejak 1723 dengan rajanya raja kecil dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah. Dalam masa awal kerjaan siak inilah suku hutan mengasingkan diri kehutan, karena mungkin sekali tidak suka mengikuti agama islam yang makin kuat dalam kerajaan itu. Atau oleh kehadiran belanda yang mulai memperlakukan blasting (pajak) atas rakyat Siak.
Dalam perjalanan mengasingkan diri itu mereka sampai ke pulau bengkalis dan pulau rangsang. Karena mereka membuat kampong didalam hutan, maka mereka terkenallah dengan nama suku hutan. Padahal mereka lebih suka menyebutnya suku asli.
Dewasa ini disamping mereka mendiami selat baru dan jangkang dibengkalis, juga membuat desa sokop pulau rangsang kecamatan tebing tinggi, disamping mendiami Merbau, sungai apit dan kuala Kampar.
Masyarakat suku hutan
Suku hutan atau suku asli sebagaimana masyarakat terasing lainya suka mendiami belantara, dan memilih tempat-tempat yang dekat dengan sungai dan laut. Di pulau rangsang mereka telah mendiami aliran sungai sodor, ongkoi dan mering.
Para tokoh yang memainkan peranan dalam memegang teraju kehidupan masyarakat suku hutan ialah batin dengan para pembantunnya yang disebut dengan antan (sama dengan pengulu pada talang mamak) tongkat (sama dengan Dubalang) dan monti.
Batin adalah pemimpin formal dalam tiap desa. Dia mengemudikan kehidupan masyarakat dengn adat dibantu oleh beberapa pembantunya. Tongkat membantu batin dalam melaksanakan hukuman atau denda adat, monti membantu dalam mengambil keputusan adat, sedangkan antan akan membantu dalam pelaksanaan segala ketentuan adat terhadap semua rakyat atau warga.
Sebagai kepala desa batin telah menjadi pelaksana beberapa peraturan pemerintah dan ikut dalam melakukan berbagai program pembagunan didesanya. Sebagai ulama (meskipun belum begitu berpengaruh seperti Kholifah sakai dan bonai) dia memimpin upacara pernikahan, sebagai wali dan sebagainya. Kemudian perlu diketahui, bahwa pada masa dahulu sultan siak, merupakan pucuk pemerintahan pula oleh suku hutan, hal ini karena perkampungan mereka menjadi daerah kerajaan siak, meskipun mereka mempunyai semacam otonomi dalam adat dan hutan tanahnya.
Mata pencaharian
Suku hutan atau suku asli telah mempunyai 5 macam mata pencaharian yang penting yaitu, bertani, meramu (mengambil hasil hutan) nelayan, berburu dan menjadi buruh. Suku hutan yang mendiami kuala Kampar telah bertani kelapa dan membuat kebun rumbia. Hasil kelapa dan sagu dijual kepada cina.
Tetapi ditempat lain pekerjaan bertani kurang disukai oleh Suku Hutan, seperi yang mendiami puau Bengkalis dan pulau Rangsang. Pada kedua tempat itu suku ini memandang lapangan pertanian terlalu labat medatangkan hasil. Mereka lebih suka mncari hasil hutan berupa mengumpulkan kayu bakau, yang hasilnya memang cukup lumayan. Jika segala sesuatu berjalan lancar, maka dalam taun 1990, menurut menurut hasil penelitian Tubari, seorang pencari kay bakau dapat memperoleh penghasilan kotor kira-kira 6 – 7 ribu rupiah sehari.
Pekerjaaan lain juga dilakukan sebagai pencaharian lengkap. Mencari ikan dan berburu masih dilakukan, mekipun hasilnya sudah jauh berkurang mereka menangkap ikan mengunakan jarring, rakit, pukat, rawai, belat, gombang, dan pancing. Sebagian hasil dijual dan untuk di makan. Babi merupakan binatang buruan yang hampir dilakukan suku ini setiap hari. Babi diburu dengan senjata kojor (tombak) dan juga dijerat. Hasilnya dimakan dan juga dijual.
Warga suku hutan disukai menjadi buruh karena mereka rajin, kuat patuh pada majikan dan bisa menerima upah yang relative murah. Bagaimanapun juga, sifat mereka yang patuh dan bisa menerima upah yang murah, tenting ada hubungannnya dengan tingkat kualitas mereka yang masih rendah dalam pendidikan. Dengan keadaan buta huruf dn terbatas bergaul dengan pihak luar, maka mereka cenderung menerima keadaan apa adanya. Pada tahun 1987 dicatat oleh Abbas pendapatan yang mereka terima saat bekerja di perusahaan cina anatara Rp 1.200,- sampai Rp 1.750,- / hari.
Meskipun tingkat pendapatan mereka tampak memadai, tetapi karena rendahnya tingkat berpikir dan agama islam yang dangkal, mereka jatuh hidup boros. Begitu ada uang langsung dihabiskan dipakai untuk berjudi, minum-minum serta barbagai upacara.
Agama dan kepercayaan
Tak diragukan lagi bahwa suku hutan telah pernah memeluk agama islam, paling kurang semenjak nenek moyang mereka menjadi rakyat kerajaan Gasib dan Siak. Agama ini amat nyata telah jauh meresap kedalam adat dan tradisi mereka. Tetapi karena telah mendiami hutan belantara sebagai tempat terpencil, maka perkembangan dan pendalaman ajaran islam menjadi kandas. Sementara itu pengaruh alam dan lingkungan hidup memberi peluang yang besar bagi suburnya kembali kepercayaan nenek moyang dahulu kala dalam bentuk kepercayaan animisme. Maka bertemulah kembali gelombang agama islam yang kandas dengan arus kepercayaan animisme, sehingga ujudlah semacam kepercayaan sinkretik yang memadukan islam dengan animisme.
Meskipun agama islam memang mempercayai yang gaib seperti Malaikat, Iblis, dan Setan serta Tuhan sendiri yang Maha Gaib, tetapi suku hutan telah tergelincir, karena makhluk halus seperti berbagai roh orang mati serta beberapa jenis lagi yang mereka sebut Awang Putih dan Awang Hitam telah mendapat pujaan karena peranannya dipandang dapat memberikan perlindungan atau mendatangkan bencana.
Kepercayaan akan kekuatan roh itu amat berpengaruh sekali. Roh yang baik yang dapat memberikan perlindungan mereka sebut sebagai Awang Putih dan roh yang jahat yang diyakini mendatangkan bencana dinamakan sebagai Awang Hitam.
Mereka telah meyakini bahwa Tuhan yang bernama Allah menciptakan 99 jenis makhluk. Hanya 9 jenis yang menjadi manusia, selebihnya menjadi jin dan setan. Pada hari jum'at mereka telah tidak bekerja, tetapi alasannya karena roh-roh berkeliaran sampai tengah hari. Hari raya idul fitri telah mereka rayakan, meskipun syariat menjalankan puasa masih diabaikan. Itulah sebabnya mereka tiap 27 ramadhan yang mereka rebut 7 likur, kampung dihiasi dengan colok (obor bambu).
Al-quran dipandang sebagai benda keramat dan suci. Hanya orang tertentu seperti guru ngaji, batin, dukun dan bidan yang boleh memegangnya. Orang lain harus minta izin dahulu kepada mereka itu baru dapat menyintuh kitab tersebut. Adanya al-quran dalam rumah diyakini menjaga rumah dari roh jahat serta ilmu jahat dari orang lain. Inilah yang menyebabkan ayat quran dapat dijadikan tangkal.
Dengan gambaran kepercayaan serupa itu dapatlah dikesan kualitas ajaran islam dalam kehidupan masyarakat suku hutan. Paling kurang terdapat 3 tingkat kualitas suku hutan dalam kadar agama islam yang diyakininya.
- Pertama yang harus sekedar mampu mengucapkan syahadat yang mereka amalkan dalam berbagi upacara khitan dan nikah-kawin. Inilah jumlah terbesar daripada masyarakat suku hutan. Syariat islam hampir tidak dijalankan sama sekali, tetapi kebudayaan islam telah mereka amalkan dengan kokoh, seperti tampak dalam adat dan tradisi.
- Kedua peringkat yang sudah mampu mengerjakan sholat, tetapi belum dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut tuntunan islam.
- Ketiga peringkat yang sudah mengerjakan sholat dan juga sudah bisa baca al-quran. Kualitas ini mulai Nampak terhadap anak-anak yang mendapat pelajaran mengaji disurau-surau dan mesjid.
Palal mencatat dalam tahun 1988 dari kantor urusan agama kecamatan bengkalis, ada 2.060 orang suku hutan (yang disebutnya sebagai masyarakat terasing). Sementara Tubari dalam tahun 1989 mencatat dari departemen Sosial kecamatan Bengkalis ada 3.438 jiwa suku hutan. Kedua catatan ini jauh bedanya dengan catatan Kanwil Depsos Propinsi Riau yang hanya mencatat 1.445 orang suku hutan dikecamatan bengkalis, tapi bagaimana pun jua hasil pencatatan iru, pala mencatat dari KUA kecamatan bengkalis mengenai keadaan agama Suku Hutan sebagai berikut:
- Animisme + Islam dianut oleh 1.779 orang
- Telah memeluk agama islam dengan sadar 57 orang
- Telah memeluk agama Kristen 224 orang
Suku hutan yang masih islam-animisme kembali memeluk agama islam dengan sadar, banyak terjadi melalui perkawinan, terutama perempuan suku tersebut diambil isteri oleh orang melayu. Dalam tahun 1987 Marhum melakukan penelitian terhadap Suku Hutan yang berada di sokop kecamatan Tebing Tinggi. Di desa itu dicatatnya ada 747 orang suku hutan beragama islam, dan hanya 80 orang yang sudah menganut konghucu.
Sebagai sandinganya baik juga diperhatikan hasil penelitian Murazal tahun 1987 di kecamatan Tebing Tinggi, meliputi desa sesap, sokop, dan sondei. Jumlah mereka yang termasuk suku hutan menurut kantor kecamatan Tebing Tinggi tahun itu ialah 1.968 orang. Dri jumlah ini terhitung beragama islam (meskipun belum bersih akidahnya) ada sebanyak 1.878 orang. Selebihnya memeluk budha 18 orang sedangkan konghucu sebanyak 72 orang.
Didaerah ini sudah ada 3 buah SD dengan 339 murid, tapi masih banyak suku hutan yang enggan menyekolahkan anak nya. Sayangnya guru agama islam belum ada disekolah itu. Padahal daerah suku hutan ini sudah mempunyai 2 buah mesjid atau surau. Itulah sebabnya kemajuan agama islam dearah ini agak lambat. Pernah ada guru ngaji dari desa Bungur (orang melayu) mengajar anak-anak di desa sokop. Karena minat anak-anak situ rendah sekali, akhirnya surau itu ditinggalkan lagi. Akibatnya anak-anak suku hutan kembali hanya belajar agama islam dari orang tuanya semata. Hal ini niscaya tidak akan bisa memperbaiki kualitas mereka sebagai seorang muslim.
DAFTAR PUSTAKA
UU hamidy. Masyarakat Terasing di Daerah Riau di Gerbang Abad XXI. Pekanbaru 1991
Lubis. Mochatar. 1997. sakai di riau masyarakat terasing dalam masyarakat indonesia. UR Pekan baru : Yayasan obor Indonesia
No comments:
Post a Comment