PENYIKSAAN PARA JENDERAL OLEH PKI; DIBANTAH OLEH DOKTER VISUM


RINALDI AFRIADI SIREGAR / PIS


"Dugaan terhadap penyiksaan yang menimpa jendral indonesia,semuanya di bantah oleh dokter yang memfisum akan keadaan jendral.."
Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.
Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.
Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.
Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama:
Pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu;
Identifikasi atas mayat;
Deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;
Uraian rinci tentang luka-luka;
Kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian;
Pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu,
bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana mestinya.
Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut. Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar-suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu.
Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah "ditidurkan" sementara para dokter masih menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang hari itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai "perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan". Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan bekas-bekas penyiksaan. "Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita." Mayjen Suharto sendiri dikutip menyatakan, "jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan 'Gerakan 30 September'". Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai "penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya." Bukti-bukti tentang penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa "anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi". Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari- hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa "matanya (Yani) dicungkil". Berita ini dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam.
Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan "deru mesinnya yang seperti harimau haus darah". Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.
Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh "penteror-penteror biadab", namun ciri-cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya "dicungkil". Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya "ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan." Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia dijadikan benda "permainan jahat" perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai "bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani."
Begitu suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta merta mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa "alat pencungkil" yang digunakan untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa Harupanggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa diterangkan, mengapa partai tersebut memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin, anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan telah menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa "di luar batas kesusilaan" oleh anggota-anggota Gerwani. Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada cerita menarik tentang Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun, mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima pembagian pisau kecil serta silet dari anggota-anggota pasukan Gerakan 30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang- orang itu pula, mulai memotong dan menyayat-sayat kemaluan jendral-jendral yang telah mereka tangkap itu. ("Dibagi-bagikan pisau kecil dan pisau silet… menusuk-nusuk pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965). Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut serta dalam Gerakan 30 September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan "Tarian Bunga Harum" di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda Rakyat.
Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober, November dan Desember ini — sementara itu pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan — terkandung dua hal yang sangat menarik diperhatikan. Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh kurban itu mengalami siksaan yang mengerikan — khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan adalah orang-orang sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan komunis.
Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para kurban yang telah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan bahwa empat berkhitan dan tiga tidak berkhitan.
Kecuali itu, barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang dengan sebagian besar bukti non-forensik menunjukkan telah dibunuh dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo, serta Letnan Tendean.
Golongan I. Berita paling lengkap tentang kematian mereka terbit jauh sesudah peristiwa terjadi: tentang Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal 28 November. Semua pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah dibunuh dengan mendadak dan seketika di rumah dengan berondongan tembakan yang dilakukan oleh anggota-anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Lettu Doel Arief. Gambaran demikian hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensil. Para ahli forensik itu menyatakan bahwa luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan sepuluh luka tembuk masuk dan tiga tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan. Pada luka-luka yang dialami Harjono timbul tanda tanya, karena tidak disebut-sebut sebagai akibat tembakan. Penyebab kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada bagian perut, luka yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung korban. Cedera lain satu-satunya digambarkan "pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka-luka disebabkan oleh barang tumpul." Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus mengatakan, bahwa luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan — jarang penyiksa memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka — dan luka itu barangkali karena mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya.
Golongan II. Cerita lengkap tentang matinya korban-korban ini terdapat dalam suratkabar-suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita Yudha serta Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap empat orang inilah berita-berita tentang siksaan biadab dan seksual paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik adalah sebagai berikut:
S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, di samping itu, "robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan keras — popor bedil atau dinding dan lantai sumur — tetapi jelas bukan luka-luka "siksaan", juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat.
Soeprapto mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. Luka-luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan; luka- luka dan patah tulang itu "akibat benda tumpul" yang sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan atas"; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet. Sekali lagi "benda tumpul" mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda-benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan batu-batu sumur), dan bukannya silet atau pisau,
Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang "tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras". Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat yang memberikan kesan popor bedil atau batu-batu sumur.
Tendean mati akibat empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan luka gores pada dahi dan tangan kiri, demikian juga "tiga luka akibat trauma pejal pada kepala."
Tak terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini tentang adanya siksaan yang tak tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja karena hampir semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akibat dari benda pejal dan keras, tetapi karena pembagiannya secara jasmaniah pun "pergelan gan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain-lain — pada umumnya tampak sembarangan. Adalah sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan lidah tidak disebut-sebut. Maka dengan cukup meyakinkan bisa dikatakan bahwa enam orang dari korban-korban itu mati oleh tembakan senjata api (perihal Harjono yang mati di dalam rumahnya tetap membingungkan); dan jika tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain adalah akibat pemukulan dengan gagang bedil yang mematahkan peluru-peluru mematikan itu, atau cedera yang mungkin diakibatkan karena jatuh dari ketinggian 36 kaki — yaitu kira-kira tiga tingkat lantai — ke dalam sumur yang berdinding batu.
Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor Berita Indonesia Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang telah membesar-besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter-dokter yang telah memeriksa mayat para kurban menyatakan, tentang tidak adanya perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam pers (Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965). Ditulis Oleh Ben Andersonyang diatas adalah versi panjangnya
di bawah ini,sedikit lebih singkat..tapi dengan narasumber yang berbeda yaitu dr liem joey thay atau dr arif budianto..
Dikenal dengan nama dr. Arif Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay adalah tokoh penting. Sangat penting, bahkan. Dia adalah satu dari segelintir orang yang berada di titik paling menentukan dalam sejarah negara ini setelah Proklamasi 1945.
Pagi hari 4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh Gerakan 30 September tiga hari sebelumnya. Ketujuh perwira naas itu adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayjen R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayjen MT. Harjono, Deputi IV Menpangad Brigjen DI. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, dan Lettu P. Tendean (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution).
Mayat enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di dalam sebuah sumur tua sekitar 3,5 kilometer di luar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah
Lim Joey Thay yang ketika itu adalah lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) merupakan satu dari lima ahli forensik yang, berdasarkan perintah Soeharto, memeriksa kondisi ketujuh mayat tersebut sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, siang hari 5 Oktober.
Empat dokter lain di dalam tim ini adalah dr. Brigjen Roebiono Kertopati, perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel Frans Pattiasina, perwira kesehatan RSP Angkatan Darat; dr. Sutomo Tjokronegoro, ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK-UI; serta dr. Liau Yan Siang, rekan Lim Joey Thay di Ilmu Kedokteran Kehakiman FK-UI.
Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup. Lim Joey Thay kini sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat dan tidak diketahu pasti kabar beritanya.
Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
Pagi di bulan Juni tahun lalu saya dihubungi Dandhy Dwi Laksono, kawan jurnalis yang ketika itu masih bekerja sebagai kordinator liputan sebuah stasiun televisi.
"Dr. Arif jatuh. Sekarang dirawat di St. Carolus. Gua mau ke sana. Lu nyusul ya," begitu pesan pendeknya.
Satu jam kemudian kami bertemu di kantin RS St. Carolus, Salemba, Jakarta Pusat. Setelah sarapan dan membeli buah-buahan di kantin untuk dr. Lim Joey Thay, kami berjalan menuju kompleks rawat inap Ignatius-II tempat ia dirawat.
Di teras Ignatius-II, Lim Joey Thay duduk sendirian menghadap taman kecil di depannya. Istri dan beberapa kerabatnya yang berada di bagian dalam paviliun itu menyambut kami.
Informasi yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh karena serangan struk. Namun Ny. Arif menjelaskan bahwa suaminya terjatuh saat hendak naik ke kursi roda di rumahnya. Mungkin karena terlalu lelah. Keadaannya tidak mengkhawatirkan, kata Ny. Arif. Dibandingkan tahun sebelumnya, kondisi dr. Lim Joey Thay lebih baik, sambungnya.
Dandhy menemukan kembali visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi dan kisah tentang dr. Lim Joey Thay saat menyiapkan sebuah program liputan khusus untuk menyambut peringatan peristiwa Gerakan 30 September yang oleh Bung Karno dianggap sebagai resultan dari konflik internal Angkatan Darat, petualangan pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan operasi kaum nekolim di tanah air. Tim liputan yang dipimpin Dandhy melakukan riset ekstensif mengenai penyiksaan yang dialami ketujuh Pahlawan Revolusi itu. Dalam liputan khusus itu, wawancara Dandhy dengan dr. Lim Joey Thay juga disertakan.
Saya tak menyaksikan liputan khusus yang diputar Oktober 2007 itu. Tetapi dari e-mail yang disampaikan Dandhy pada sebuah milis ketika dia mengumumkan penayangan program tersebut saya menangkap penegasan sekali lagi dr. Lim Joey Thay bahwa cerita tentang alat kelamin Pahlawan Revolusi yang disilet dan juga cerita tentang mata mereka yang dicungkil adalah bohong belaka. Sayangnya, kebohongan ini sudah kadung dianggap sebagai fakta sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah.
Tulis Dandhy dalam e-mailnya, "Hasil wawancara sebenarnya hanya mengonfirmasi apa yang tertera dalam dokumen visum et repertum, bahwa enam Pahlawan Revolusi tewas akibat luka tembak, dan satu orang (Mayjen M.T. Haryono) akibat luka tusuk. Ada sejumlah luka lebam yang diragukan apakah akibat pemukulan atau akibat jenazah dijatuhkan ke dalam sumur sedalam 12 meter."
"Karena masalah komunikasi, dalam wawancara, Prof Arief [Lim Joey Thay] didampingi dr. Djaja Admadja, bekas muridnya yang kini adalah dokter forensik di RSCM (ahli DNA). dr. Djaja yang lebih banyak mengurai detil, sementara Prof Arief sesekali menimpali," demikian tulis Dandhy.
Visum et repertum jenazah Pahlawan Revolusi ini jelas bukan barang baru. Benedict Anderson dari Cornell University telah menyalin ulang visum et repertum itu dalam artikelnya, How Did the Generals Die? di jurnal Indonesia edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini membuat pemerintahan Soeharto marah besar, dan sejak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan kaki di Indonesia.
Ketujuh pahlawan revolusi itu jelas mati dibunuh. Dan pembunuhan dengan cara apapun jelas di luar nilai-nilai kemanusiaan. Namun dari hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan teman-temannya sama sekali tidak menemukan tanda-tanda rusaknya jenazah seperti yang dilaporkan media massa yang dikuasai Angkatan Darat, yaitu Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar selagi mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita lain di masa itu adalah RRI, TVRI dan Kantor Berita Antara yang seperti dua koran sebelumnya juga dikontrol militer.
Dalam artikelnya ini, sebelum menyalin ulang visum et repertum ketujuh mayat Pahlawan Revolusi untuk komunitas akademik, Ben Anderson lebih dulu mengutip beberapa pemberitaan media massa mengenai detil pembunuhan para perwira.
Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Berita Yudha menegaskan sekali lagi soal pencungkilan mata ini dua hari kemudian sambil menambahkan bahwa saat ditemukan mayat para perwira Angkatan Darat terbungkus kain hitam.

Sehari kemudian, 7 Oktober, Angkatan Bersendjata mempublikasikan cerita tentang detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya. Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai-sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja seperti "suara harimau yang haus darah."
Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh "penteror2 biadab" namun dia masih dapat dikenali, begitu tulis Berita Yudha edisi 9 Oktober. Sehari kemudian koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian. Menurut pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong.
Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detil tentang pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani.
Cerita-cerita mengenai alat kelamin yang disayat, dipotong dan dimakan telah membangkitkan amarah di akar rumput. Ia bagian dari pretext for mass murder, tulis John Roosa (2006). Dan ia bagai minyak tanah yang disiramkan ke api. Menyambar-nyambar. Selanjutnya, yang terjadi adalah pembantaian besar-besaran di mana-mana terhadap anggota PKI dan/atau siapa saja yang dituduh menjadi anggota PKI dan/atau memiliki relasi dengan PKI.
Tidak ada catatan yang meyakinkan tentang berapa jumlah rakyat yang tewas dalam pembantaian massal itu. Jumlah yang sejauh ini dianggap sebagai kebenaran berkisar antara 500 ribu hingga 1,5 juta. Dalam artikelnya tahun lalu, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant yang ditulis khusus untuk mengenang Soeharto yang meninggal tiga bulan sebelumnya, Ben Anderson mengutip pengakuan Jenderal Sarwo Edhie tentang jumlah orang yang tewas dalam pembunuhan massal 1965-1966.
"On his deathbed, the by-then marginalized General Sarwo Edhie, who led the Red Berets in 1965-66, even said he had been responsible for the death of three million people.
DAFTAR PUSTAKA :

KEHIDUPAN SUKU BONAI DI PROVINSI RIAU


NAMA : IRMA LINDA / A / SR             
                                                             
Dalam perkembangan Sejarah Riau terdapat berbagai macam suku di Provinsi Riau diantara nya : Suku Talang Mamak, Suku Sakai, Suku Laut, Suku Akit, Suku Hutan dan Suku Bonai, tetapi saya akan membahas salah satu diantara suku yang terdapat di Provinsi Riau yaitu Suku Bonai.
Suku Bonai
Adalah suku yang masih mempertahankan hidup terasing dipedalaman Provinsi Riau, secara geografis suku bonai terdapat di dua Kabupaten yaitu.
1.      Rokan Kanan (Kecamatan Kunto Darussalam, Kabupaten Kampar)
Muara dilam 159 jiwa, kewalian sontang 430 jiwa, kewalian kepenuhan 300 jiwa.
2.      Rokan Kiri (Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir)
Bencal ibul 373 jiwa.
Di daerah Riau terdapat 1203 jiwa, dengan jumlah laki-laki 590 jiwa dan perempuan 613 jiwa.
Dengan rentang umur antar 0-20 tahun sebanyak 732 jiwa, 21-40 tahun sebanyak 261 jiwa, 41-... tahun sebanyak 210 jiwa.
Akan tetapi mereka lebih cenderung dikatakan hidup atau berada di Hulu Sungan rokan kanan dan rokan kiri,  dari mana asal usul mereka tidak diketahui secara pasti tetapi hanya ada cerita-cerita rakyat dari suku bonai itu sendiri. Yang mengatakan bahwa suku bonai dikabupaten rokan hulu terdapat di sungai rokan kiri, walau pun ada yang tinggal di rokan kanan tetapi tidak sepopuler tradisi yang dimiliki oleh nenek moyang mereka yang berada di rokan kiri sekarang ada yang berada di ulak patian semangat mereka untuk tetap memegang tradisi yang datang dari suku bonai tersebut "kampung nonam".
Dari mana mereka berasal?
Kita akan membahas asal mereka menurut cerita, berawal dari dua orang sultan yang membawa enam orang  dari aceh,menghului sungai rokan setibanya mereka di kualo sako mereka melakukan pembagian harta namun dari pembagian tersebut tersisa satu meriam, dan akhirnya mereka menjatuhkan ke kualo yang bertujuan agar diantara keduanya merasa adil dari benda yang jatuh tersebut menjadi buayo putieh penunggu Kualo Sako yang diyakini oleh masyarakat Poikan (pencari ikan)
Saat kedua kelompok tersebut melihat ada jangung hanyut dari rokan kiri maka mereka memberi tamsil bahwa sungai yang kiri mereka yakini ada penghuninya, tentunya banyak masyarakat dan banyak pula ragamnya maka dikirimlah sultan Harimau yang lebih memiliki kekuatan tau ilmu batin, (Sultan Harimau dan Sultan Jangguik) pemeluk islam utusan dari Sultan Mansyursyah 1 dari Malaka dengan tujuan mengembangkan islam. Sultan Harimau dan Sultan Jangguik berasal dari Minangkabau atau Tapanuli Selatan, maka pemanggilan Sultan diubah menjadi Sutan, bila dikaitkan dengan penguasa yang memerintah di Rokan adalah keturunan dari Sultan Sidi saudara Sultan Sujuk, tentulah gelar sultan asal Rokan didapat  karena dia memerintah.
Disaat Sultan Harimau menjumpai kampung-kampung yang enam tersebut maka setiap kampung diberi satu orang utusan yang sebelumnya telah dihuni oleh sebagian orang sakai (konon dari Duri, disebut dengan batin delapan), mulai saat itu pula kampung nonom itu dari hilir (Kualo Sako) kemudik, ada pun enam kampung tersebut bernama :
1.      Boani atau disebut juga kampung Nogori
2.      Sontang
3.      Torusan Puyuh atau Toruih Puyuh
4.      Titian Gadiang
5.      Toluk Sono atau disebut juga Kasang Mungkai dan
6.      Sungai Murai atau disebut juga Muaro Dilam (sekarang termaksuk kedalam Kecamatan Bonai Darussalam)
Bagi orang-orang bonai nama daerah dari enam kampung tersebut banyak persamaannya sebab kampung-kampung tersebut berada disekitar daerah kampong nonom, lama kelamaan terjadilah perkembangan dari kampung nonom tersebut setelah Sultan Harimau ke Bukik Langgak (kerajaan tertua dari rokan kiri dan diteruskan ke Rokan 1V Koto). Ada diantara keturunan dari kampung nonom tersebut ada yang merantau sampai ke Brunai Darussalam sekarang, menurut cerita turun temurun dari T. Khairul Zaman dari Alm. Tengku Abdul AR yang berada di Brunai Darussalam, dimana nama Brunai tersebut berasal dari nama suku Bonai, Berunai Darussalam ( kampung Bonai) dan kampung Kuntodarussalam adalah nama-nama daerah yang disebutkan suku penghuni dan penguasa.
Selain hal diatas yang telah diuraikan, ada terdapat daerah lain yaitu.
Urang Bonai di Ulak Patian
Asal suku bonai di ulak patian berasal dari kampong nonom di rokan kiri kecmatan bonai darussalam, mereka mengatakan berasal dari bonai nonom batin dari kampung titian gadiang sei. Murai dan rao-rao (kampung yang terletak di kualo sako) datang secara berkelompok pada tahun 1935 dengan mendaulautkan seorang bogodng bernama Mudo Kacak, mereka ini adalah orang yang berasal dari suku bonai yang belum beragama islam, hanya mengetahui sedikit saja tentang islam namun dari pengakuan pak rasyid dengan diperkuat dengan cerita yang disampaikan oleh T. Khairulzman, nenek moyang dari mereka ini adalah dari suku sakai –bonai  yang menempati daerah sekitar pedalaman Tanjung Pauh antara toluk sono dan sontang, menuru Rasyid mereka ini tidak mau memeluk islam kuat bedeo. Pertama masuk didaerah Deo Limbuk, sebelumnya mereka memasuki daerah ini sesuai cerita asal usul nama Ulak Patian, daerah Deo Limbuk terletak 3km dari Ulak Patian sekarang, merupakan daearah yang agak tinggi dari keseluruhan daerah Ulak Patian namun tetap saja  terendam banji  jika air dalam.
Konon ada yang mengatakan bahwa suku bonai berasal dari kata "Manai" yang artinya bagi suku bonai "pemalas" tidak diketahui apakah arti dari pemalas itu ada hubungannya dengan identitas suku bonai itu sendiri. Sedangkan pendapata lain yang mengatakan istilah bonai adalah di wilayah pemukiman suku bonai itu sendiri pada masa lalunya banyak terdapat tumbuhan pohon bonai (sejenis poh on yang memiliki ukuran "tidak lebih dari 4 meter", berdaun kecil-kecil, dengan buah yang berbentuk bulat-bulat berwarna kemerahan apabila tengah masak akan berwarna kehitaman yang memiliki rasa agak asam), buah ini merupakan bahan baku dari masakan ikan dengan cara air secukupnya dengan ikan sehingga kuah dari masakan ikan tersebut akan terasa asam.
Dalam kehidupan bonai mereka hidup dengan cara berkelompok hubungan  antar mereka  sangat erat  baik indivudu ke individu maupun antar kelompok. Suku bonai juga melakukan hubungan dengan suku lain tetapi hubungan yang terjadi hanya ditepi sungai rokan dimana mereka berada, dalam kehidupan suku bonai, mereka sangat menghargai kepala suku yang bisa membantu mereka dalam hal-hal kehidupan sedangkan struktur adat yang tertinggi dipegang oleh "datuk bendaro"  dimana peran datuk bendaro ini yang memimpin para kepala suku.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari  mereka (suku bonai) mempunyai mata pencaharian yang beragam mulai dari bertani, mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan dan mereka juga telah mengatahui cara berternak, meskipun alat yang digunakn oleh suku bonai masih sederhana, jika kebutuhan sehari-hari mereka telah terpenuhi maka sisa dari hasil yang mereka punya atu miliki mereka jual disekitar kampung mereka saja (barter).Suku bonai secara umum telah beragama islam tetapi pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari mereka masih diwarni dengan kepercayaan dari nenek moyang yang terdahulu, mereka juga masih mempercayai roh halus serta dukun yang mempunyai ilmu yang yang tinggi dalam suku binao dukun mendapat perlakuan ynag baik dimasyarakat suku bonai. Merak juga masih memengang adat istiadat yang kuat seperti banyaknya larangan-larangan atau kepantangan dalam kehidupan mereka seperti : pantang dalam (kehamilan, bertani, perkawinan, dan lain-lain pada bulan atau waktu tertentu) apa bila kepantangan tersebut mereka langgar akan mendapat hukuman maupun malapetaka bagi mereka. Beberapa budaya dan tradisi dari suku bonai adalah
1.      Tari buong kwayang, merupakan tari yang mereka yakini sebagi tari pengobatan tradisional yang dikemas dalam tari tradisional, tari ini telah terdapat syair yang bernuansa islam  dalam syair pembuka  terdapat kata salammualaikumsibolah kanan, salammualaikum sibolah kiri.
2.      Cegak (awang-awang selesai baju)semacam tari dalam acara perhelatan perkawinan maupun hari bear lainnya dimana dri tari ini beberapa orang membalut atau menyelimuti tubuhnya dengan (sampah daun) daun pisang kering lalu menari dengan diiringi oleh musik gondang borogong.
3.      Tahan kuli, yaitu sejenis acara adat (mirip debus)dengan melukai diri tanpa bekas.
4.      Lukah gilo, yaitu lukah yang menggila dipegang oleh beberapa orang
5.      Tahan kulik, merupakan penyaluran kebatinan bodeo dalam tradisi islam seperti (silek, bagkik, solek 21 hari dan jonkobet)
6.      Koba.
Suku bonai juga mempunyai makanan khas (Ulak Patian) yang dahulu dijadiakan hidangan untuk menyambut tamu. 
·         Anyang kalu, yaitu ikan kalu yang diiris-iris tubuhnya dengan dicelupkan beberapa saat dalam air yang mendidih lalu diperaskan kulit kayu bintungan yang sudah ditokok (memiliki rasa yang kolek)lalu digunakan bumbu spodeh, cabe, dan disiram dengan asam jeruk (limau)boleh juga dioles keikan dan boleh juga tidak
Setelah masuknya agama islam kedalam masyarakat suku bonai maka sebagian dari mereka pecah dan menjadi beberapa suku yang diakui kerapatan adat luhak kepenuhan, antara lain :
a.       Suku molayu panjang.
b.      Suku molayu bosa
c.       Suku kandangkopuh
d.      Suku bono ampun
e.       Suku kuti
f.       Suku moniliang.
Masyarakat suku bonai berbicara dengan menggunakan bahasa bonai, dimana menurut para ahli bahasa dikelompokkan kedalam Rumpun Bahasa Melayu, bahasa bonai sekilas mirip dengan bahasa melayu tetapi beberapa perbendaharaan kata juga mirip dengan bahasa Batak Mandeling dan bahasa Minangkabau.
Dalam Pendidikan
Pada umumnya suku bonai memiliki pendidikan yang sangat rendah jarang diantara mereka yang tamat dari SD (sekolah dasar), sebab dalam kalangan mereka belum ada pemahaman akan pentingnya pendidikan didukung juga dengan kehidupan mereka yang tidak menetap (nomaden) serta perekonomian yang masih rendah. Jika pun ada yang berpendidikan bearti telah keluar dari kelompok atau keturunan dan menikah dengan suku lain (campuran).  Dalam mengatasi hal tersebut maka pemerintah melakukan jawatan sosial dengan memberikan tempat untuk pemukiman mereka (tempat tinggal atau rumah) memberikan lahan untuk diolah, dan pendidikan yang secara bertahap dilakukan oleh pemerintah.  Pada saat ini kehidupan masyarakat suku bonai sebenarnya telah banyak mengalami perubahan (kemajuan) dalam berbagai bidang seperti : pendidikan dan kesehatan, tetapi dibeberapa desa juga masih terdapat kondisi yang kurang layak. Dalam kehidupan sehar-hari masyarakat suku bonai, sebagian berprofesi petani diladang (bercocok tanam) serta berternak untuk menambah penghasilan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
·         Ruswan, dkk. 1985. Struktur Bahasa Bonai. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
·         Ruswan, dkk 1983/1984. Sistem Morfologi Nomina dan Adjektiva Bahasa Bonai. Jakarta : Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
·         http://news.liputan6.com/read/15635/suku-bonai-mengusir-penyakit-dengan-tarian
 

POLA-POLA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM

AINUN SYARIFATUL ALFIAH/PIS

1.      Pola pembaharuan yang berorientasi pada pola pendidikan modern barat

Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang, tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam. Sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali. Penguasaan tersebul harus dicapai melalui proses pendidikan, untuk itu harus meniru pola pendidikan yang dikembangkan oleh dunia Barat, sebagaimana dulu dunia Barat pernah meniru dan mengembangkan sistem pendidikan dunia Islam.Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat ini, mulanya timbul di Turki Usmani pada akhir abad ke 11 H/17 M setelah mengalami kalah perang dengan berbagai negara Eropa Timur pada masa itu, yang merupakan benih bagi timbulnya usaha sekularisasi Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki modern. Sultan Mahmud II (yang memcrintah di Turki Usmani I807 - 1839 M), adalah pelopor pembaharuan pendidikan di Turki.
Usaha pembahaman pendidikan Islam yang dilaksanakan oleh Sultan Mahmud II, tersebut diuraikan oleh Harun sebagai berikut:
Perubahan penting yang diadakan oleh Sultan Mahmud II dan kemudian mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pembaharuan di Kerajaan Usmani ialah perubahan dalam bidang pendidikan. Sebagaimana di dunia Islam lain di zaman itu, madrasah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di Kerajaan Usmani. Di madrasah hanya diajarkan agama. Pengetahuan umum tidak diajarkan. Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan madrash tradisional ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke sembilan belas. Di masa pemerintahannya orang juga telah kurang giat memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dan mengutamakan mereka belajar keterampilan secara praktis di perusahaan-perusahaan industri tangan. Kebiasaan ini membuat bertambah meningkatnya jumlah buta huruf di Kerajaan Usmani. Untuk mengatasi problema ini, Sultan Mahmud II mengeluarkan perintah supaya anak sampai umur dewasa jangan dihalangai masuk madrasah.
Mengadakan perubahan dalam kurikulum madrasah dengan menambahkan pengetahuan-pengetahuan umum ke dalamnya sebagai halnya di dunia Islam lain pada waktu itu memang sulit. Madrasah tradisional telap berjalan, telapi di sampingnya Sultan Mahmud II mendirikan dua sekolah pengetahuan umum, Mekteb-i Ma'arif (Sekolah Pengetahuan Umum).
Mekteb-i Ulum (Sekolah Pengelahuan Umum) dan Mekteb-i Ulum-i Edebiye (Sekolah Sastra). Siswa untuk kedua sekolah ilu dipilih dari lulusan madrasah yang bermutu tinggi. Di kedua sekolah itu diajarkan bahasa Perancis, Ilmu Bumi, Ilmu Ukur, Sejarah, dan Ilmu Politik di samping Bahasa Arab. Sekolah pengetahuan umum mendidik siswa untuk menjadi pegawai-pegawai administrasi, sedang sekolah yang kedua menyediakan panerjemah-penerjemah untuk keperluan pemerintah.
2.      Pola Pembaharuan Pendidikan Islam yang Berorientasi Pada Sumber Islam Murni
Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modem. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya, pada masa-masa kejayaannya.Menurut analisa mereka, di antara sebab-sebab kelemahan umat Islam, adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan ajaran agama Islam secara semestinya. Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan kekuatan ditinggalkan, dan menerima ajaran-ajaran Islam yang sudah tidak murni lagi. Hal tersebut terjadi setelah mandegnya perkembangan filsafat Islam, ditinggalkannya pola pemikiran rasional dan kehidupan umat Islam telah diwarnai oleh pola hidup yang bersifat pasif. Di samping itu, dengan mandegnya perkembangan fiqh yang ditandai dengan penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah kekurangan daya mampunya untuk mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan zaman.
Pola pembaharuan ini telah dirintis oleh Muhammad bin Abd al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh (akhir abad 19 M). Menurut Jamaluddin Al-Afgani, pemumian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis dalam arti yang sebenamya, tidaklah mungkin. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai dengan untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Kalau kelihatan ada penentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perobahan zaman dan perubahan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam, seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Hadis. Untuk interpretasi itu diperlukan ijtihad, dan karenanya pintu ijtihad harus dibuka.
Keharusan pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, selanjutnya memerlukan kekuatan akal. Di sini diperlukan pendidikan intelektual. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur'an bukan semata berbicara kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam menurutnya, adalah agama rasional, dan dalam Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Kepercayaan kepada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. dan akallah yang menimbulkan kemajuan dan ilmu pengetahuan. Menurut Muhammad Abdul pula, bahwa ilmu pengelahuan modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai, karena dasar ilmu pengetahuan modern adalah Sunnatullah, sedangkan dasar Islam adalah wahyu Allah, kedua-duanya berasal dari Allah. Oleh karena itu umat Islam harus menguasai keduanya. Umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan modern di samping ilmu pengetahuan keagamaan. Sekolah-sekolah modern harus dibuka, di mana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping pengetahuan agama.
Harun Nasution, dalam menjelaskan pemikiran Muhammad Abduh dalam pembaharuan pendidikan di Mesir menyatakan sebagai berikut :
Ia juga memikirkan sekolah-sekolah pemerintah yang telah didirikan untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Ke dalam sekolah-sekolah ini, ia berpendapat, perlu dimasukkan didikan agama yang lebih kuat, termasuk di dalamnya sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam.Atas usahanya didirikanlah Majlis Pendidikan Tinggi. Muhammad Abduh melihat bahaya yang akan timbul dan sistem dualisme dalam pendidikan. Sistem madrasah lama akan mengeluarkan ulama-ulama yang tak ada pengetahuannya tentang ilmu-ilmu modern, sedang sekolah-sekolah pemerintah akan mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Dengan memasukkan ilmu pengelahuan modern ke dalam Al-Azhar dan dengan memperkuat didikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, jurang yang memisah golongan ulama dari golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.
3.      Pola Pembaharuan Pendidikan yang Berorientasi Nasionalisme
Rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern, dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing.
Umat Islam mendapati kenyataan bahwa mereka terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda latar belakang dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Merekapun hidup bersama dengan orang-orang yang beragama lain tapi sebangsa. Inilah yang juga mendorong perkembangannya rasa nasionalisme di dunia Islam.
Di samping itu, adanya keyakinan di kalangan pemikir-pemikir pembaharuan di kalangan umat Islam, bahwa pada hakikatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat. Oleh karena itu, ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme inipun bersesuaian dengan ajaran Islam.
Golongan nasionalis ini, berusaha untuk memperbaiki kehidupan umat Islam dengan memperhatikan situasi dan kondisi obyektif umat Islam yang bersangkutan. Dalam usaha tersebut, bukan semata-mata mengambil unsur-unsur budaya Barat yang sudah maju, tetapi juga mengambil unsur-unsur yang berasal dari budaya warisan bangsa yang bersangkutan.
Ide kebangsaan atau nasionalisme inilah yang pada tahap perkembangan berikutnya mendorong timbulnya usaha-usaha merebut kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri dikalangan bangsa-bangsa pemeluk Islam. Dalam bidang pendidikan, umat Islam yang telah membentuk pemerintahan nasional tersebut, mengembangkan sistem dan pola pendidikan nasionalnya sendiri-sendiri.

Daftar pustaka
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam.jakarta:PT.Gramedia utama pustaka

SEJARAH TERJADINYA PERANG PADERI

AINUN SYARIFATUL ALFIAH/PIS

Tokoh Perang paderi : Tuanku Imam Bonkol dan Tuanku Tambusai yang ditetapkan sebagai pahlawan Nasional. Perang Paderi terjadi di Sumatera Barat dari tahun 1821 hingga 1837. Di Arab saudi muncul semangat yang dipimpin oleh Abdul al Wahab yang bertujuan untuk mengembalikan Islam kepada ajaran yang murni sesuai Al-Quran dan Sunah Rosul/Hadist Nabi Muhammad SAW. Kaum ini disebut Wahabi.
Pada abad ke-19 Islam berkembang pesat di daerah Minangkabau. Tokoh-tokoh Islam berusaha menjalankan ajaran Islam sesuai Al-Quran dan Al-Hadis. Gerakan mereka kemudian dinamakan gerakan Paderi. Gerakan ini bertujuan memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari kaum adat.
Orang-orang Sumatera Barat (Minangkabau) sepulang mereka menunaikan ibadah haji dari Mekkah, terpengaruh oleh fikiran kaum Wahabi yang ingin menerapkan atau memurnikan ajaran Islam di tanah Minangkabau sebab disana walaupun mereka telah memeluk agama Islam tetapi kebiasaan minum-minuman yang dilarang dan perbuatan tercela lainnya tetap mereka kerjakan. Kaum yang berusaha memurnikan ajaran Islam di Tanah Minang itu disebut           kaum        Paderi.       

Sebab  umum    terjadinya   perang    Paderi adalah:
a)Pertentangan antara kaum   Padri dan      kaum   adat.
b)Belanda   membantu  kaum   adat.

perang paderi berlangsung di sumatera Barat dalam abad ke-19 di bagi menjadi:.
- Perang      antara Kaum Padri melawan Kaum Adat (1803 – 1821)
- Perang      antara Kaum Padri melawan Belanda (1821 – 1837)

A. perang antara kaum paderi melawan kaum adat(1803-1821)

Perang antara kedua kaum tersebut merupakan perang saudara, yaitu perang antara sesama rakyat Minangkabau karena adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran agama Islam. Pada permulaan abad ke-19, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin, H. Sumanik, dan H. Piabang. Di Saudi Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang bermaksud memurnikan agama Islam dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang hendak menyebarkan aliran Wahabi di Minangkabau menamakan dirinya golongan Paderi (Kaum Pidari). Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat dan golongan bangsawan.

Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara damai, tetapi tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821). Pemimpin-pemimpinnya sebagai berikut:
  • Kaum Pidari dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa, Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Cerdik.
  • Kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati.
Perang saudara ini mula-mula berlangsung di Kotalawas. Selanjutnya menjalar ke daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum Pidari dipimpin Datuk Bandaro melawan kaum Adat di bawah pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk Bandaro meninggal, perjuangan kaum Pidari dilanjutkan oleh Datuk Malim Basa, yang kemudian terkenal dengan nama Imam Bonjol karena berkedudukan             di Bonjol.                   

Dalam perang itu, kaum Pidari mendapat kemenangan di mana-mana. Kedudukan kaum Adat makin terdesak, sehingga kaum Adat meminta bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih berkuasa di Sumatera Barat). Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.


B. perang antara kaum paderi melawan belanda(1821-1837)

a.periode I tahun 1821-1825

Belanda mengirimkan pasukannya ke Semawang dan beberapa minggu kemudian terjadilah pertempuran di Sulit Air (mulailah perang padri). Belanda mendirikan dua benteng, yaitu: Benteng Fort van der Capellen di Batusangkar dan Benteng Fort de Kock di Bukittinggi.
Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja. Daerah luar benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah mengalami kekalahan total di Muara Palam dan di Sulit Air. Akhirnya pada tanggal 22 Januari 1824 Belanda mengadakan perdamaian dengan kaum Pidari di Masang, isinya: kedua kedua belah pihak akan mentaati batasanya masing-masing.Belanda tidak mau mentaati perjanjian dan dua bulan kemudian Belanda meluaskan daerahnya masuk ke daerah kaum Pidari. Maka terjadi pertempuran lagi antara kedua belah pihak. Sementara di Sumatera Barat berkobar perang Padri, di Jawa Tengah meletus Perang Diponegoro. Kedudukan Belanda bertambah sulit, sebab terpaksa mengirimkan pasukannya ke Jawa untuk menghadapi Perang Diponegoro. Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima 'Ijafrid, Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Pidari tanggal 15 November 1825 di Padang, yang isinya:
  • Kedua belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
  • Kedua belah pihak saling melindungi orang-orang yang sedang pulang kembali dari pengungsian.
  • Belanda mengikat perjanjian tersebut karena pasukannya ditarik seluruhnya untuk menghadapi Perang Diponegoro.
 b.   Periode II tahun 1830-1837        

Perang Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat diselesaikan Belanda dengan tipu muslihatnya. Perhatiannya lalu dipusatkan lagi ke Minangkabau. Maka berkobarlah Perang Padri periode kedua, karena Belanda memungkiri Perjanjian Padang. Pertempuran mulai berkobar di Naras daerah Pariaman. Naras yang dipertahankan oleh Tuanku Nan Cerdik diserang oleh Belanda sampai dua kali tetapi tidak berhasil. Setelah Belanda menggunakan senjata yang lebih lengkap di bawah pimpinan Letnan Kolonel Elout yang dibantu Mayor Michiels, Naras dapat direbut oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-daerah kaum Pidari dapat direbut oleh Belanda satu demi satu, sehingga pada          tahun   1832    Bonjol             dapat   dikuasai oleh   Belanda.

Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda. Akan tetapi ketenteraman itu tidak dapat berlangsung lama, karena rakyat harus :
·         Membayar pasar dan cukai mengadu ayam
·         Kerja rodi untuk kepentingan Belanda

Dengan hal-hal tersebut di atas, sadarlah kaum Adat dan kaum Pidari bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh Belanda. Perasaan nasionalisme mulai timbul dan menjiwai mereka masing-masing. Selanjutnya terjadilah perang nasional melawan Belanda. Pada tahun 1833 seluruh rakyat Sumatera Barat serentak menghalau Belanda. Bonjol dapat direbut kembali dan semua pasukan Belanda di dalamnya dibinasakan. Karena itu Belanda mulai mempergunakan siasat adu domba (devide et empera). Dikirimkanlah Sentot beserta pasukan-pasukan yang menyerah kepada Belanda waktu Perang Diponegoro—ke Sumatera Barat untuk berperang melawan orang-orang sebangsanya sendiri. Tetapi setelah Belanda mengetahui bahwa Sentot mengadakan hubungan dengan kaum Pidari secara rahasia, Belanda menjadi curiga. Pasukan Sentot ditarik kembali ke Batavia dan Sentot diasingkan ke bengkulu.Untuk mengakhiri Perang Padri itu, Belanda berusaha menarik hati para raja di Minangkabau dengan cara mengeluarkan Plakat Panjang (1833) yang isinya:
  • Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan rodi.
  • Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
  • Kepala daerah boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus menyediakan sejumlah orang untuk menahan musuh dari dalam atau dari luar negeri.
  • Para pekerja diharuskan menandatangani peraturan itu. Mereka yang melanggar peraturan dapat dikenakan sanksi.
Selanjutnya Belanda tetap berusaha untuk memperluas daerahnya. Setapak demi setapak Belanda dapat menundukkan pertahanan kaum Pidari termasuk pertahanan kaum Pidari di Bonjol (1837), tetapi Tuanku Imam Bonjol beserta pengikutnya dapat meloloskan diri, dan meneruskan             perjuangannya di daerah lain. Sejak itu perlawanan rakyat Minang makin lama makin menurun, daerah kekuasaan Belanda makin meluas, dan daerah kaum Pidari makin menyempit. Akhirnya Belanda mengirimkan utusan untuk menyampaikan janji-janji kepada Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol ketika menjumpai panglima pasukan Belanda ditangkap dan dipenjarakan di Cianjur, lalu dibuang ke Ambon, akhirnya dipindahkan ke Menado dan wafat pada tanggal 6 November 1864. Dengan tipu muslihatnya, Belanda akhirnya dapat menghentikan Perang Padri dan menguasai Sumatera Barat.

Daftar pustaka
Kartidirjo,Sartono.1999.pengantar sejarah indonesia baru.jakarta:penerbit PT Gramedia Utama Pustaka