ADAT ISTIADAT DAN KEBUDAYAAN KEPULAUAN RIAU

Marzanizam/PIS
Sebagai provinsi yang berbatasan dengan negara tetangga, Malaysia, Singapura, dan Vietnam, di KepRi sejak zaman dahulu telah berlangsung arus migrasi, asimilasi, dan perpaduan budaya. Tak heran, provinsi ini kini dihuni setidaknya 17 suku bangsa, antara lain Melayu Riau, Melayu Sumatera (di luar Riau), Melayu Kalimantan, Minang, Jawa, Bugis, Batak, Sunda, Aceh, Bali, Madura, Nias, Flores, Dayak, Papua, Betawi, Ambon, dan Cina. Keanekaragaman suku ini membawa kekayaan khazanah budaya Melayu, terutama bahasanya. Namun, bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Provinsi KepRi adalah bahasa Melayu, yang pada hakikatnya merupakan akar bahasa Indonesia.
Berbagai dialek bahasa Melayu yang digunakan mengikuti perbedaan lokalitas dari kelompok masyarakat Melayu di masing-masing daerah di Provinsi KepRi. Mereka umumnya menyadari adanya variasi bahasa Melayu ini, bahkan mereka dapat mengetahui asal si pembicara dengan mendengarkan ucapan atau logat bahasa Melayunya. Selain itu, juga terdapat variasi dalam hal tradisi atau adat-istiadat yang berlaku dalam kebudayaan Melayu di KepRi. Hal ini menandakan bahwa sebuah kelompok masyarakat Melayu mempunyai suatu tradisi dan bahasa Melayu yang relatif berbeda dengan kelompok masyarakat Melayu lainnya. Variasi kebudayaan Melayu di KepRi juga menghasilkan variasi identitas khusus orang Melayu yang penuh dengan keterbukaan, yang dilandasi oleh prinsip hidup bersama dalam perbedaan. Prinsip ini memiliki kemiripan dengan Bhinneka Tunggal Ika.

Prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang diterapkan masyarakat Melayu KepRi ini menyebabkan terbentuknya tradisi yang majemuk. Dengan keterbukaannya, kebudayaan Melayu KepRi dapat mengakomodasi perbedaan yang terdapat dalam unsur-unsurnya dan secara bersama-sama hidup dalam kehidupan yang penuh dengan keterbukaan. Ciri-ciri kebudayaan Melayu Provinsi KepRi yang bersifat terbuka dan mempunyai kemampuan mengakomodasi perbedaan tersebut muncul sebagai hasil dari pengalaman sejarah kebudayaan Melayu yang selama berabad-abad telah berhubungan dengan kebudayaan asing (non-Melayu).
Oleh karena itu, kebudayaan Melayu di KepRi mempunyai kemampuan mengambil alih unsur-unsur kebudayaan non-Melayu dan menjadikannya sebagai bagian dari kebudayaan Melayu KepRi. Tidak mengherankan bila ada unsur-unsur atau simbol-simbol yang dianggap sebagai simbol Melayu, namun setelah ditelusuri secara mendalam ternyata adalah simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan non-Melayu. Contohnya musik Melayu ghazal yang berasal dari Semenanjung Arab.
Selain bersifat terbuka, masyarakat Melayu juga tetap memegang teguh identitas kemelayuannya. Dalam tradisi Melayu sendiri, ada semacam ungkapan "Adat Bersendikan Syarak, dan Syarak Bersendikan Kitabullah". Hal ini menyiratkan bahwa, secara langsung atau tidak, tradisi kebudayaan Melayu di KepRi tetap berpegang teguh pada ajaran Islam. Di sisi lain, Raja Ali Haji pernah berujar dalam Gurindam Dua Belas (1847), bahwa "Tak kan Melayu Hilang di Bumi". Kalimat itu digunakan untuk menunjukkan keyakinan masyarakat Melayu akan adat-istiadat dan budayanya. Begitu pentingnya adat-istiadat bagi orang Melayu, sehingga timbul ungkapan lain, yaitu "Biar Mati Anak, Jangan Mati Adat" atau "Biar Mati Istri, Jangan Mati Adat". Semua ungkapan itu diucapkan secara turun-temurun dan telah mendarah-daging bagi orang Melayu, baik yang menetap di KepRi maupun di perantauan.

Daftar Pustaka
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.2007.Data Statistik Perkembangan Wisatawan Nusantara.Pusat Data dan Informasi.

PERANG BALI

Maman Kurniawan  / PIS
Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan tanggal. Adapun yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi bali adalah perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau puputan adalah perang sampai game over atau titik darahterakhir. Istilah Margarana diambil dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di daerah Marga, Tababan-Bali.
Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917.
Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10 November 1945, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial Indonesia.
Linggar jadi sangat menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de facto, sementara tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat menjadikan bali sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan militernya untuk menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Baling. Ini juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng.
Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara 'digoda' oleh Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.
Alur Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung Wanara untuk melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan. Perintah yang keluar sekitar pertengahan November 1946, baru berhasil mulus dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan senjata lengkap dengan alterinya berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara.
Pasca pelucutan senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan penuh bangga ke Desa Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18 November 1946 telah membakar kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam itu. Tidak lama, Belanda pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda mulai mengisolasi Desa Adeng, Marga.
Batalion Ciung Wanara pagi itu memang tengah mengadakan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli juga untuk melihat sejuah mana aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari menyinsing (sekitar pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan mereka sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat kondisi yang cukup mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahanan di sekitar perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung.
Benar saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda mengobarkan api perlawanan. Aksi tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang tenang seketika berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan sekaligus mendebarkan. Ciung Wanara saat ini memang cukup terkejut, sebab tidak mengira akan terjadi pertempuran hebat semacam itu.
Letupan senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangatmerasa terhina dengan peristiwa malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari berbagai arah. Serangan hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah Rai Menyerah. Serangan balik dan terarah membuah Belanda kewalahan.

Sederetan pasukan lapis pertama Belanda pun tewas dengan tragis. Strategi perang yang digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat juang begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan, saat itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang habis-habisan hingga nyawa melayang.
Demi pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah Bali untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejulah jet tempur untuk membom-bardir kota Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan bau darah terbakar akibat seranga udara Belang. Perang sengit di Desa Marga berakhir dengan gugurnya Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya. Puputan Margarana menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang tewas. Mengenang perperangan hebat di desa Marga maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Tanggal 20 November 1946 juga dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang ini tercatat sebagai salah satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.
                Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba ditengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak
mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah   terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan Bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Wayan,I Badrika.2006.sejarah untuk SMA jilid 3 kelas XII program ips.jakarta.penerbit erlangga
http://www.beritabali.com/index.php/page/berita/tbn/detail/17/08/2011/Sejarah-Perang-Puputan-Margarana
http://id.wikipedia.org/wiki/Puputan_margarana

PERJANJIAN PANGKOR

Andi aminah riski/PIS

Perjanjian Pangkor merupakan perjanjian yang disepakati antara Sultan Perak dengan Inggris pada 20 Januari 1874. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh perwalikan dari pihak Inggris yaitu Gubernur Negeri-Negeri Selat (Sir Andrew Clarke) dan dari pihak kerajaan Perak Raja Muda Abdullah. Perjanjian ini telah ditandatangani di atas kapal HMS Pluto yang berlabuh di Selat Dinding, yaitu di kawasan perairan di antara Lumut dan Pulau Pangkor. Isinya:
1. Sultan Perak wajib meminta dan menjalankan nasihat residen Inggris, kecuali masalah adat-istiadat dan agama.
2. Semua urusan keuangan dan administratif harus diurus dan dijalankan menurut nasihat Residen Inggris.
3. Wilayah dinding diserahkan kepada Inggris.
Pada perkembangan selanjutnya, perjanjian Pangkor ini kemudian diterapkan juga kepada kesultanan Melayu lainnya. Beberapa kesultanan seperti Johor menolak isi perjanjian itu. Namun akhirnya mereka menerimanya termasuk Johor yg pada tahun 1914 menerima perjanjian ini. Alasan Johor menolak perjanjian ini karena Johor ingin tetap memelihara kemerdekaanya. Ia tidak mau tunduk pada seorang Residen maupun Residen Gubernur. Sedangkan Kedah, Perlis, Kelantan, dan Trengganu pada waktu itu masih merupakan vasal-vasal kerajaan Siam.
Latar Belakang Perjanjian Pangkor
Inggris pada dasarnya sudah lama mengincar kesultanan Perak, karena daerah ini ternyata menghasilkan barang tambang yang laris di pasaran dunia, seperti timah. Tetapi masalahnya, Sultan Perak telah mengkontrakkan eksploitasi tambang timah kepada kongsi Cina, yaitu Go Kuan dan Si Kuan. Pada tahun 1872 terjadi persaingan yang disertai kekerasan antara kedua kongsi dagang tersebut dalam masalah penguasaan tambang timah di Perak. Karena adanya konflik kedua kongsi ini menciptakan celah bagi Inggris untuk menguasai tambang Timah di Perak.Di sisi lain, pada tahun 1872 juga terjadi ketegangan akibat adanya pertentangan antara Sultan Abdullah yang baru naik tahta dengan saudaranya Ismail yang merasa berhak menjadi Sultan. Pihak Abdullah kemudian meminta bantuan Inggris agar kekuasaan dan tahtanya tidak direbut oleh Ismail.
Daftar pustaka

SISTEM KEKERABATAN SUKU AKIT


Ayu Aryanti/A/SR

Sistem kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkah bila usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa seorang isteri mengikuti suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.
Sebelum perkawinan dilangsungkan pihak keluarga laki-laki datang kepada keluarga calon pengantin perempuan dengan membawa tepak sirih, yang lengakp berisi pinang, kapur, gambir, tembakau dan sirih. Bila pinangan telah di terima oleh pihak keluarga perempuan, maka sebagai tali pengikat, di berikan sebentuk cincin emas sebanyak 1Ci atau 3,75 gram. Kemudian baru di susul mengantar uang belanja kepada pihak keluarga perempuan yang jumlahnya tergantung dari kemampuan dan persetujuan kedua belah pihak. Pada waktu penyerahan dihadiri oleh ahli waris calon pengantin perempuan yang jumlahnya tergantung pada kemampuan dan persetujuan dua belah pihak.
Pada penyerahannya dihadiri oleh ahli waris calon pengantin perempuan dan ketua suku. Pada hari itu, ditentukan waktu yang tepat untuk melangsungkan pesta perkawinan.
Ketika pada sampai hari yang ditentukan, pihak pengantin perempuan menunggu kedatangan pengantin laki-laki yang diarak dengan rebana. Sampai di halaman rumah pengantin lelaki disembah oleh pengantin perempuan, selanjutnya mereka berdua dengan disaksikan oleh kaum kerabat, menghadap ketua suku.
Cara perkawinannya, pertama dibacakan janji atau taklik, kemuadian pengantin lelaki bersalaman dengan ketua suku (bathin) sambil membacakan akad nikah yang berbunyi: Si A dikau hari ini kuresmikan nikah mu dengan beberapa saksi dan wali. Ya Tuhan kami, selamatkanlah anak kami ini dan lindungilah dia. Ucapan ini dilakukan tiga kali berturut-turut.
Menurt kebiasaan yang berlaku, suku akit di benarkan untuk memiliki istri 4 dan dibenarkan untuk bercerai.
Suku akit, disamping dipimpin oleh kepala kampung pada tiap-tiap kepenghuluan, terdapat juga kepala suku yang di sebut dengan bathin, dibantu oleh pemuka-pemuka suku. Menurut catatan sejarah, suku akit pernah dipimpni oleh 6 bathin, masing-masing ialah Batin Boja, Batin Betir Pas, Batin Keding, Batin Sisik, Batin Monong dan Batin Gelimbing, yang berkuasa pada saat ini, berkedudukan di hutan panjang.
Sistem pemerinthan asli di kepulauan hutan panjang, di keplai oleh seorang penghulu yang juga merangkap sebagai bathin atau kepala adat yang dibantu oleh Jokrah dan Tongkat
Bersunat telah merupakan keharusan menurut kepercayaan yang di terima dari nenek moyangnya. Biasannya berlaku bagi anak lelaki yang berumur 7 sampai 12 tahun. Penyunatan dilakukan oleh kepala suku atau bathin dengan mempergunakn pisau. Anak yag akan menjalankan sunat duduk diatas batang pisang yang baru di tebang. Penyunatan di lakukan pagi hari. Sebelum diadakan kenduri dengan menyediakan nasi ketan kuning dan rebus telur.
Seperti disebutkan diatas bahwa segala hasil penangkapan, ternak babi, hasil tebang kayu teki dan lain-lain, dijual kepada cina. Oleh sesbab itu, suku akit sangat erat berhubungan dengan cina dan seperti keluarga sendiri. Maka tidak jarang terjadi perkawinan campuran antar suku akit dengan cina.
Hal ini dapt dilihat pula, bahwa menurut kepercayaan mereka, ada roh nenek moyangnya yang bernama "Timbang" dan istrinya yang brnama "Bahul". Kedua suami istri ini berada di kayangan. Oleh sebab itu, oleh suku akit sengaja dibangun tempat menyembah kedua suami istri roh nenek moyannya tersebut, di Sungai Raja Selat Morong. Sekali dalam setahun di adakannya  upacara penyembahan yang diikuti oleh seluruh suku akit dengan disertai kenduri, guna meminta kepada Timbang dan Bahul, untuk keselamatan peduduk, medatangkan rezeki yang berlimpah ruah dan untuk meghapuskan dosa. Adakalanya untuk meminta jimat-jimat penjaga diri agar terhidar dari berbagai macam penyakit. cara sembahyang suku akit untuk menyembah Timbang dan Bahul mirip sembahyang tompekong bagi bangsa cina.
Bila seorang meninggal, jenazahnya di tutup dengan di atas pusarnya ditindih dengan besi kecil. Di atas kepala di beri pelita dan dulang tempat mengumpulkan uang sumbangan. Setelah seluruh ahli waris dan keluarga berkumpul, baru jenazah di mandikan, dengan  memangku jenazah yang terdekat sebanyak 7 orang kemudian di siram dengan air sabun dan terakhir dengan air bunga. Setelah selesai semua nya dibungkus dengan kain putih dan di ikat dengan lima ikatan, baru di masukkan kedalam keranda. Baru kemudian kepala suku mebacakan "selamat" sebanyak 3 kali.
Baru di turunkan ke halaman dan di sembah oleh seluruh keluarga selanjutya di pikul ke kuburan. Setelah di masukkan ke dalalm liang kubur. Seluruh ikatan di buka, terakhir di timbun tanah.

Daftar pustaka
Yoesof, Noerbahrij, 1992, Masyarakat Terasing dan Kebudayaannya Di Propinsi, Pekanbaru: UP. Telagakarya