Oleh: Fitri Vidianingsih/SR
Tanah dan hutan bagi suku Talang Mamak merupakan bagian dari kehidupan yang tidak dapat di pisahkan. Sejak ratusan tahun lalu, mereka hidup damai menyatu dengan alam. Mata pencarian utama masyarakat Talang Mamak adalah menanam padi di ladang beserta menanam sayuran dan palawija. Para lelaki masih melakukan kegiatan berburu, meramu di hutan dan menangkap ikan di sungai. Selain itu, mata pencaharian lainnya jika hasil ladang sudah habis adalah menyadap getah karet. Semua hasil itu akan dijual melalui seorang perantara untuk dibawa ke produsen yang lebih besar. Kegiatan bertani dilakukan dengan sistem ladang berpindah. Dimana mereka masih mempercayakan kekuatan gaib yang kuat dan berpengaruh pada pola perpindahan dan pembukaan ladang serta penentuan hari bercocok tanam.
Kegiatan ladang beringsut (ladang berpindah) memang menjadi tradisi suku Talang Mamak sejak dulu. Namun, pola ladang beringsut ini memiliki kearifan terhadap alam dan hutan. Mereka melakukannya secara baik dan benar dengan siklus tetap. Pada daerah di Dusun Kerampal, masyarakat dari Suku Talang Mamak yang tinggal disana masih tergantung pada tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, khususnya bahan obat.
Persoalannya, kondisi ini sudah tidak bisa berjalan sempurna lagi. Hadirnya HPH dan kegiatan konversi lahan lainnya, membuat mereka semakin terdesak.
Bahasa Talang Mamak (serta Bahasa Sakai) termasuk dialek Bahasa Kerinci. Bahasa yang digunakan untuk melakukan komunikasi harian adalah melayu Talang atau melayu tinggi, tidak ada tingkatan bahasa pada komunitas ini. Bahasa ini ada sedikit perbedaan dengan bahasa melayu pada umumnya. Ada beberapa istilah dan sebutan yang berbeda.
Suku Talang Mamak tersebar di tiga kecamatan wilayah kabupaten Indragiri Hulu, Riau yaitu kecamatan Seberida, Kelayang, Rengat Barat. Satu kelompok suku Talang Mamak berada di dusun Simarantihan, desa Suo-Suo, kecamatan PWK Surnai, kabupaten Bungo Tebo, Jambi. Populasi suku Talang Mamak saat ini 1.341 keluarga atau 6.418 jiwa. Mereka bermukim di dalam Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (semenanjung sungai Gangsal) dan di luar taman (di desa Talang Lakat, Talang Jerinjing dan Tigabalai).
Prinsip memegang adat sangat kuat bagi mereka dan cenderung menolak budaya luar. Ini tercermin dari pepatah " biar anak mati, asal jangan mati adat". Kondisi ini sangat dominan di Tigabalai dan di dalam Taman Nasional. Di sepanjang jalan Lintas Timur Sumatra, hal ini sudah tidak begitu ketat karena banyaknya pengaruh luar.
Masyarakat Talang Mamak memiliki berbagai bentuk Kesenian diantaranya adalah pencak Silat, Tari Badai Terbang, Tari Bulian, dan main Ketebung. Selain itu, diantaranya adalah berdendang dan bernyanyi, nyanyian dinyanyikan bersama-sama dan sangat tergantung pada situasi (sedih, riang, senang) biasanya disampaikan dalam bentuk pantun. Di tempat lain ada juga tarian Rentak Bulian yang biasa dilakukan secara bersama-sama baik laki-laki maupun perempuan, tetapi tarian ini bukan asli masyarakat talang dan merupakan tari kresasi. Tarian ini dilakukan ketika ada pesta bagawai (pesta pernikahan) dan dalam rangka pengobatan. Selain kesenian di atas, ada juga kesenian pencak silat yang menandai mulai dan mengakhiri kegiatan ritual yang diiringi dengan gendang, main gambus, tari balai terbang.
Dalam kehidupan keseharian suku Talang Mamak sudah mengenal teknologi dalam bentuk yang sederhana terutama yang dipergunakan untuk mengolah pertanian, perkebunan, ladang dan memasak. Dalam mengolah pertanian menggunakan cangkul, beliung (sejenis kampak kecil yang lentur), parang dan pisau (semua berbahan dasar besi). Alat untuk memasak menggunakan kuali, sendok nasi yang terbuat dari kayu dan ujungnya menggunakan batok kelapa. Untuk makan kebanyakan masih menggunakan tangan, walaupun ada juga yang sudah menggunakan sendok. Selain gelas yang digunakan untuk minum, masih banyak yang menggunakan kulit labu air. Masyarakat Talang Mamak pada umumnya bisa menerima pembaharuan dalam penggunaan alat-alat teknologi modern, baik alat rumah tangga, alat telekomunikasi dan trasportasi.
Hampir seluruh penduduk Talang Mamak buta huruf. Salah satu penyebabnya adalah, di dalam Taman Nasioanal, tidak terjangkau sarana pendidikan. Di sepanjang jalan Lintas Timur Sumatra, sekolah baru ada dan kurang di minati karena pendidkan dirasa tidak dapat memecahkan permasalahan mereka dari tekanan ekonomi. Di Tigabalai, desa Durian Cacar, kecamatan Kelayang, sebagian besar penduduk Talang Mamak menolak pendidikan. Alasannya sistem pendidikan konvensional menyebabkan keluarnya warga mereka dari adat.
Talang Mamak memiliki kepercayaan Animisme dan pendidikan dianggap memaksakan untuk memeluk agama tertentu sehingga meninggalkan kepercayaan dan budaya mereka. Mereka beranggapan, jika sudah menganut agama berarti bukan Talang Mamak lagi.
Di desa Siambul dan Talang Lakat, kecamatan Seberida, selain masih menjalankan adat, mereka beragama Kristen sinkritis. Mereka menyebut dirinya sebagai orang "langkah lama" yang artinya orang adat. Perbedaan Talang Mamak dangan Melayu adalah jika seseorang telah memeluk agama islamlah mengalih jadi Melayu/Syarak.
Istilah keterasingan membuat suku ini rendah diri, kecuali kelompok Talang Mamak di Tigabalai, justru bangga sebagai Talang Mamak. Mereka masih menggunakan adat langkah lama dan mewarisi budaya leluhur dalam kehidupan. Pria berambut panjang, memakai sorban/songkok. Dalam kehidupan sehari-hari mereka masih melakukan upacara-upacara adat. Jika melanggar akan di denda menurut adat.
Untuk sistem kekerabatan , masyarakat Talang Mamak menganut sistem Matrilineal. Jabatan seperti batin, penghulu, mangku, monti serta warisan harta pusaka diturunkan kepada anak laki saudara perempuan. Rumah tangga terbentuk dari keluarga inti yang membuat rumah di sekitar tempat tinggal orang tua istri. Dalam kehidupan sosial, aturan adat berjalan beriirngan dengan hukum nasional. Meskipun demikian aturan adat tetap mendominasi kehidupan warga. Pergeseran adat mulai terlihat jelas pada masyarakat ini. Ada beberapa ritual adat yang tidak lagi dilakukan atau paling tidak dirubah menjadi lebih sederhana. Denda adat yang seharusnya bisa menekan terjadinya pelanggaran ternyata justru lebih sering berfungsi sebagai pembenaran dan pengesahan atas pelanggaran yang dilakukan.
Pelanggaran adat lebih sering terjadi pada hubungan antara lelaki dan perempuan. Perselingkuhan, menikah dengan paman atau bibi, merupakan contoh dari pelanggaran yang terjadi. Denda adat tertinggi yang bisa dilabuhkan adalah seekor kambing dan beras sepuluh gantang. Besaran denda yang dilabuhkan ternyata tidak menghalangi warga untuk melakukan pelanggaran adat. Seringkali adat justru dilanggar untuk merombak struktur masyarakat yang ada terutama jika berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sanksi sosial yang ada nyaris tidak berlaku membuat pelanggaran terhadap adat menjadi sesuatu yang wajar.
Haus hiburan. Itulah yang bisa dikatakan. Keberadaan televisi dan parabola merupakan hiburan baru bagi warga. Acara televisi seperti sinetron dan film menjadi magnet baru dalam hubungan sosial warga.
Jika dahulu warga terbiasa tinggal lama di rumah ladang, kini banyak warga yang justru bertahan tinggal di dusun atau pulang hari dari rumah ladang terutama jika ada tontonan. Tua muda, laki-laki perempuan, bahkan bayi pun ikut membaur menjadi satu melihat segala jenis hiburan yang ditawarkan televisi.
Televisi sebenarnya bukan satu-satunya barang modern. Masih ada genset, VCD, sepeda motor, sepeda kayuh, dan radio adalah sedikit contoh perubahan sosial yang telah terjadi di Datai. Tidak ada perubahan tanpa disertai dampak. Ada yang baik dan ada juga yang buruk. Dampak paling mudah bisa dilihat dari pemakaian bahasa yang digunakan.
"lu, gue" menjadi bagian dari percakapan anak-anak dan kaum muda Datai. Belum lagi dengan acara-acara di televisi yang juga berpengaruh terhadap pola konsumsi warga dan termasuk didalamnya adalah gaya hidup.
Kebanggan terhadap suku Talang Mamak tidak terlepas dari sejarah kepemimpinan Talang Mamak dan Melayu sekitar sungai Kuantan, Cinaku dan Gangsal. Kepemimpinan talang mamak tercermin dari pepatah "sembilan batin Gangsal, sepuluh jan denalah, denalah pasak melintang. Sembilan batin Cinaku, sepuluh jan anak talang. Anak talang tagas binting aduan beserta ranting cawang, berinduk ke Tigabalai, beribu ke Pagaruyung, berbapa ke Indragiri beraja ke Sultan Rengat". Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan oarang Talang Mamak disepanjang sungai Gangsal, sungai Cenaku (penduduk melayu) dan daerah lainnya berpusat di Tigabalai, beribu ke kekerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dan beraja ke kerajaan Indragiri. Secara politis, mereka ingin mendapatkan legitimasi dan dukungan dua kerajaan tersebut.
Ketegaran Talang Mamak dalam mempertahankan wilayah adat telah dibuktikan Patih Lanian, tokoh tradisional Talang Mamak, penduduk desa Durian Cacar, kecamatan Kelayang. Ia dan kelompoknya tidak rela hutan mereka di serobot perusahaan yang masuk kedesa silih berganti tanpa kompromi. Sudah cukup lama mereka menderita sebagai akibat kebijakan yang diberlakukan, mempromosikan mereka sebagai pihak yang termarginalkan.
Sepanjang Orde Baru, Patih Laman dan kelompoknya harus bergerilya dari tingkat kecamatan, Gubernur sampai Presiden dan Komnas HAM. Berjuang dan memohon agar hutan ulayat desa seluas 11.698 hektar tetap dipertahankan.
Tekanan dan intimidasi mereka terima dengan kesabaran dan keyakinan, sampai akhirnya perjuangan mereka berhasil. Patih Laman contoh keberhasilan satu kelompok suku asli Riau dalam mempertahankan haknya. WWF International memberikan penghargaan WWF Award for Conservation Maret 1999 yang diterima di Kinabalu, Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA
Rab, Tabrani. 2002. Nasib Suku Asli di Riau. Pekanbaru: Riau Cultural Institute.