DAHRIAL HAMIDI / A / SR
A. KEHIDUPAN MASYARAKAT SAKAI
Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.
Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, K-ampung, A-nak, I-kan. Maknanya, mereka adalah anak-anak negri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di kampung, di tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup airya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar orang Melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi merendahkan dan menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan.
Sebutan suku Sakai yang primitif, menyendiri, anak negri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan, kini mulai diprotes oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan jaman. Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang semakin sempit di daerah Riau. Kini anak-anak Sakai sudah banyak yang mengenyam pendidikan hingga Sarjana,
Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman suku melayu dan suku lainnya.
Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
- Upacara kematian
- Upacara kelahiran
- Upacara pernikahan
- Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Life cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya,
- Upacara menanam padi
- Upacara menyiang
- Upacara sorang sirih
- Upacara tolak bala.
Walaupun sudah mengalami perubahan dalam masyarakat sakai tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan mareka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara tersebut akan mendapatkan musiah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu).
Salah satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari orang Melayu adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan 'antu', atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.
B. ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT SAKAI DI RIAU
1. Asal- Usul
Perkawinan yang terjadi pada masyarakat suku Sakai biasanya hanya dilakukan oleh seorang perjaka dengan seorang gadis dan seorang duda dan seorang janda. Dan jarang ditemui adanya poligami, karena ada alasannya yaitu untuk menghindari pembiayaan biaya hidup yang mahal karena menanggung lebih dari satu istri. Dalam kebudayaan Sakai diperbolehkan untuk menikah dengan siapa saja kecuali, dengan anggota keluarganya. Perkawinan masyarakat Sakai ini biasanya diawali dengan hubungan yang serius dan mendalam pada setiap personal. Namun hubungan ini selalu melibatkan pengawasan dari orang tua bahkan masyarakat, biasanya pengawasan ketat dilakukan oleh pihak gadis.
Ketika kedua belah pihak merasa bahwa hubungan diantara si perjaka dan si gadis sudah nampak makin serius, maka orang tua si perjaka menyuruh anaknya untuk melamar si gadis. Biasanya upacara perkawinan diselenggarakan setelah satu bulan hingga dua bulan setelah prosesi lamaran
2. Bahan-Bahan
. Bahan-bahan lamaran biasanya diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan (Ibid: 179-181).
a. Bahan untuk melamar.
Terdapat perbedaan antara masyarakat Sakai dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman dulu, bahan-bahan yang dipersiapkan meliputi:
(Sirih pinang selengkapnya; kain dan baju persalinan; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata uang riyal yang terbuat dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak). Sementara bahan-bahan yang dipakai sekarang meliputi:
(Ranjang yang terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur,serpal,bantal,guling serta kelambu; gelang dan cincin yangterbuat dari perak; dan radio atau tape recorder). Beliung dan tombak tidak dibutuhkan lagi, karena fungsinya tidak sepenting dulu,sedangkan mata uang riyal sudah sulit ditemukan.
b. Bahan-bahan untuk upacara perkawinan.
(Sebuah mata uang riyal/ jika pada lamaran tidak wajib namun untuk mas kawin ini wajib; baju sepersalinan lengkap; sepotong pakaian untuk dipakai sehari-hari; sebuah cincin dan gelang yang terbut dari perak; dan sejumlah mata uang/ sudah dalam satuan rupiah tergantung kesepakatan).
3. Tempat Pelaksanaan
Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah "batin".
4. Tata Pelaksanaan
Menurut Suparlan (1995: 179-183), tata laksana perkawinan pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut :
· Prosesi Lamaran (lamaran dilakukan oleh seorang "batin", perempuan tua yang dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga). Lalu "batin" memberi daun sirih sebagai simbol pinangan. Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan hari perkawinan
· Penyerahan Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara, dan penyerahan mas kawin dilakukan dirumah "batin" dan tempat dilangsungkannya perkawinan).
· Upacara Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan di rumah "batin" setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawina tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil (KUA) setempat. Agar secara administratif sudah dianggap sah dan terdaftar dan diakui pemerintah (Suparlan,1995: 182).
· Pesta Perkawinan (setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara makan-makan dan minum-minuman dll.)
5. Nilai-Nilai
Dalam tradisi masyarakat Sakai tersebut terkandung nilai-nilai , yaitu : pertama, nilai prokreasi. Artinya, lembaga perkawinan merupakan sarana yang paling tepat dan sah untuk melakukan aktivitas prokreasi bagi lahirnya generasi baru. Kedua, nilai kepatuhan. Artinya, untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, maka syarat utama yang harus dipenuhi keduanya adalah kemampuan untuk saling mengenal dan memahami satu dengan yang lainnya. Ketiga, nilai tanggung jawab. Artinya, sepasang kekasih yang menjalin hubungan serius dan mendalam dituntut mampu mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan hubungan seks diluar nikah agar martabat dirinya dan keluarganya tetap terjaga. Dan setelah sah menjadi suami-istri juga memerankan tanggung jawab masing-masing: suami bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga, sementara istri bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani. 1991. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama. Jakarta: PT. Intermasa.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sakai
http://melayuonline.com/ind/opinion/read/373/kepemimpinan-tarekat-naqsabandiyah-bagi-suku-sakai
Suparlan, Parsudi. 1993. "Masyarakat Sakai di Riau". Dalam Masyarakat Terasing di Riau. Koentjaraningrat dkk. (Ed.). Jakarta : Gramedia
Suparlan, Parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor