KEHIDUPAN DAN ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT SAKAI DI RIAU


DAHRIAL HAMIDI / A / SR
A.   KEHIDUPAN MASYARAKAT SAKAI
Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.
Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, K-ampung, A-nak, I-kan. Maknanya, mereka adalah anak-anak negri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di kampung, di tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup airya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar orang Melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi merendahkan dan menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan.
Sebutan suku Sakai yang primitif, menyendiri, anak negri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan, kini mulai diprotes oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan jaman. Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang semakin sempit di daerah Riau. Kini anak-anak Sakai sudah banyak yang mengenyam pendidikan hingga Sarjana,
Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman suku melayu dan suku lainnya.
Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
  1. Upacara kematian
  2. Upacara kelahiran
  3. Upacara pernikahan
  4. Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Life cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya,
  1. Upacara menanam padi
  2. Upacara menyiang
  3. Upacara sorang sirih
  4. Upacara tolak bala.
Walaupun sudah mengalami perubahan dalam masyarakat sakai tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan mareka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara tersebut akan mendapatkan musiah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu).
Salah satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari orang Melayu adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan 'antu', atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.
B.   ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT SAKAI DI RIAU
1. Asal- Usul
            Perkawinan yang terjadi pada masyarakat suku Sakai biasanya hanya dilakukan oleh seorang perjaka dengan seorang gadis dan seorang duda dan seorang janda. Dan jarang ditemui adanya poligami, karena ada alasannya yaitu untuk menghindari pembiayaan biaya hidup yang mahal karena menanggung lebih dari satu istri. Dalam kebudayaan Sakai diperbolehkan untuk menikah dengan siapa saja kecuali, dengan anggota keluarganya. Perkawinan masyarakat Sakai ini biasanya diawali dengan hubungan yang serius dan mendalam pada setiap personal. Namun hubungan ini selalu melibatkan pengawasan dari orang tua bahkan masyarakat, biasanya pengawasan ketat dilakukan oleh pihak gadis.
Ketika kedua belah pihak merasa bahwa hubungan diantara si perjaka dan si gadis sudah nampak makin serius, maka orang tua si perjaka menyuruh anaknya untuk melamar si gadis. Biasanya  upacara perkawinan diselenggarakan setelah satu bulan hingga dua bulan setelah prosesi lamaran
2. Bahan-Bahan
. Bahan-bahan lamaran biasanya diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan (Ibid: 179-181).
a. Bahan untuk melamar.
Terdapat perbedaan antara masyarakat Sakai dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman dulu, bahan-bahan yang dipersiapkan meliputi:
(Sirih pinang selengkapnya; kain dan baju persalinan; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata uang riyal yang terbuat dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak). Sementara bahan-bahan yang dipakai sekarang meliputi:
(Ranjang yang terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur,serpal,bantal,guling serta  kelambu; gelang dan cincin yangterbuat dari perak; dan radio atau tape recorder). Beliung dan tombak  tidak dibutuhkan lagi, karena fungsinya tidak sepenting dulu,sedangkan mata uang riyal sudah sulit ditemukan.
b. Bahan-bahan untuk upacara perkawinan.
            (Sebuah mata uang riyal/ jika pada lamaran tidak wajib namun untuk mas kawin ini wajib; baju sepersalinan lengkap; sepotong pakaian untuk dipakai sehari-hari; sebuah cincin dan gelang yang terbut dari perak; dan sejumlah mata uang/ sudah dalam satuan rupiah tergantung kesepakatan).
3. Tempat Pelaksanaan
Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah "batin".
4. Tata Pelaksanaan
Menurut Suparlan (1995: 179-183), tata laksana perkawinan pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut :
·         Prosesi Lamaran (lamaran dilakukan oleh seorang "batin", perempuan tua yang dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga). Lalu "batin" memberi daun sirih sebagai simbol pinangan. Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan hari perkawinan
·         Penyerahan Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara, dan penyerahan mas kawin dilakukan dirumah "batin" dan tempat dilangsungkannya perkawinan).
·         Upacara Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan di rumah "batin" setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawina tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil (KUA) setempat. Agar secara administratif sudah dianggap sah  dan terdaftar dan diakui pemerintah (Suparlan,1995: 182).
·         Pesta Perkawinan (setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara makan-makan dan minum-minuman dll.)
5. Nilai-Nilai
Dalam tradisi masyarakat Sakai tersebut terkandung nilai-nilai , yaitu : pertama, nilai prokreasi. Artinya, lembaga perkawinan merupakan sarana yang paling tepat dan sah untuk melakukan aktivitas prokreasi bagi lahirnya generasi baru. Kedua, nilai kepatuhan. Artinya, untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, maka syarat utama yang harus dipenuhi keduanya adalah kemampuan untuk saling mengenal dan memahami satu dengan yang lainnya. Ketiga, nilai tanggung jawab. Artinya, sepasang kekasih yang menjalin hubungan serius dan mendalam dituntut mampu mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan hubungan seks diluar nikah agar martabat dirinya dan keluarganya tetap terjaga. Dan setelah sah menjadi suami-istri juga memerankan tanggung jawab masing-masing: suami bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga, sementara istri bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani. 1991. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama. Jakarta: PT. Intermasa.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sakai
http://melayuonline.com/ind/opinion/read/373/kepemimpinan-tarekat-naqsabandiyah-bagi-suku-sakai
Suparlan, Parsudi.   1993.  "Masyarakat Sakai di Riau". Dalam Masyarakat Terasing di Riau. Koentjaraningrat dkk. (Ed.). Jakarta : Gramedia
Suparlan, Parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor

ASAL MUASAL ORANG SAKAI


AINIL HAYATI / A / SR

            Suku sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup dipedalaman Riau. Orang sakai hidup dalam wilayah kabupaten Bengkalis, paling banyak di kec. Mandau, Kec. Bukit Batu (sebelum daratan Riau berkembang). Karena adanya pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dan eksplorasi minyak yang dilakukan oleh Caltex, orang sakai terpencar-pencar didaerah pedesaan yang terpencil yang pada umumnya terletak ditepi-tepi hulu sungai atau ditepi-tep mata air dan rawa-rawa.
            Menurut Moszkowski (1908) dan kemudian juga dikutip oleh Loeb (1935), orang sakai adalah orang Veddoid yang bercampur dengan orang-orang minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, ditepi sungai Gasib yang terletak di hulu sungai Rokan. Kemudian Gasib menjadi sebuah kerajaan dan kerajaan Gasib ini dihancurkan oleh kerajaan Aceh dan warga dari kerajaan Gasib melarikan diri ke hutan-hutan disekitar daerah sugai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak. Mereka inilah nenek moyang dari orang sakai.         
            Sedangkan menurut keterangan dari Bapak Boechari Hasny (1970) yangmemperoleh keterangan mengenai asal muasal orang sakai yang didapatnya dari orang tua sakai dan juga menurut keterangan dari Bapak Saepel, mantan batin Beringin sakai yang diwawancara penulis, orang-orang sakai ini berasal dari Pagarruyung, Batusangkar dan Mentawai. Uraian mengenai asal muasal orang sakai terdapat dalam sejarah perbatinan lima dan perbatinan delapan. Berikut ini penjelasannya.
1.      Perbatinan lima
Negeri pagarruyung dahulu sangat padat penduduknya. Jadi, rajanya berusaha untuk mencari wilayah baru yang akan dijadikan sebagai pemukiman untuk menampung penduduknya. Wilayah yang dipilih oleh Raja adalah wilayah-wilayah disebelah timur Pagarruyung, karena tampaknya masih kosong tidak penduduknya dan hanya ada hutan belantara. Raja mengutus sebuah rombongan yang terdiri 190 orang yang terdiri atas 189 orang janda dan 1 orang hulubalang/prajurit laki-laki sebagai kepalanya untuk berangkat ke arah timur. Mereka menembus hutan dan akhirnya sampai ditepi sungai biduando, yang artinya sungai dari rombongan 189 janda yang dipimpin oleh seorang kepala rombongan (bidu: kepala rombongan dan ando : janda). Nama Biduando kemudian diubvah menjadi Mandau.
Setelah rombongan itu tinggal beberapa lama di tepi sungai Mandau, dan mereka pun menyimpulkan bahwa wilayah iru layak dihuni dan dijadikan pemukiman dan rombongan itu kembali ke Pagarruyung dan melaporkan berita itu ke Raja. Lalu raja mengirim kembali rombongan untuk meneylidiki wilayah yang disebutkan oleh rombongan pertama. Rombongan kedua ini terdiri dari 3 orang hulubalang, yaitu : Sutan Janggut, Sutan Ahrimau, Sutan Rimbo. Rombongan ini mengikuti jejak rombongan sebelumnya dan perjalanan yang mereka lalui sangatlah lama. Mereka membawa makanan dan bibit tanaman serta peralatan-peralatn lain yang dibutuhkan. Setelah beberapa tahun dalam perjalanan, mereka tidak sampai ke Mandau (tempat yang ditemukan oleh rombongan pertama). Tetapi, mereka malah sampai di kerajaan Kunto Bessalam (kunto darussalam dan mereka, menyerahkan diri kepada Raja Kunto Bessalam. Setelah tinggal beberapa lama dikerajaan Kunto Bessalam, mereka bertiga pun diangkat menjadi hulubalang dikerajaan tersebut.
Raja Kunto mempunyai keinginan untuk menjadikan negerinya menjadi sebuah kerajaan yang besar, tetapi jumlah penduduknya sedikit hanya terdiri dari25 keluarga dan 10 orang hulubalang. Maka diputuskanlah untuk mencari tambaahn penduduk dengan cara mendatangkan kira-kira 100 orang penduduk baru. Menurut keterangan, penduduk di Mentawai sangatlah banyak, jadi Raja memerintahkan untuk mencari tambahan penduduk disana. Raja mengutus Sutan janggut, Sutan Harimau, dan Sutan Rimbo untuk pergi ke Mentawai untuk menghadap kepala kampung Mentawai untuk meminta tambahan penduduk yang mereka butuhkan dengan cara menyerahkan emas, perak, dan intan kepada kepala kampung mentawai itu. Penduduk yang berjumlah 100 orang ini, dijadikan budak dan juga sebagai penduduk Kerajaan Kunto Bessalam dengan kewajiban bekerja sebagai rodi bersama dengan penduduk asli yang berjumlah 25 keluarga untuk membangun Kerajaan Kunto Bessalam. Yang dibangun adalah istana, benteng-benteng, jalan dan saluran-saluran air.
10 tahun kemudian, kerajaan ini menjadi besar dan Raja Kunto mengalihkan kegiatan pembangunan ke kerajaan rokan kanan/kiri yang berkerabat dan bersahabat dengan nya,dengan mengirim 50 keluarga yang dipimpin oleh sutan junggut dan rimbo untuk bekerja disana. Sebelum pembangunan dilaksanakan dengan baik, Sutan Janggut dan Sutan Rimbo bersama 5 keluarga kabur dari kerajaan rokan kanan/kiri karena rajanya sangat kejam. Tapi sisanya masih tetap melakukan pembangunan, hingga 10 tahun kemudian kerajaan rokan kanan/kiri menjadi kerajaan besar. Keluarga yang ditinggalkan oleh rombongan yang kabur, mereka tetap tinggal dan menjadi penduduk kota rokan kanan/kiri dan sebagiannya lagi tinggal di desa sintung dan desa-desa lainnya yangt berdekatan dengan rokan kanan/kiri.
Rombongan yang lari dibawa pimpinan sutan janggut dan sutan rimbo berjalan kearah mandau. Selama mengembara,mereka sampai ditepi sungai syam-syam, di hulu sungai mandau.mereka terus berjalan kehulu sungai dan tiba diwilayah yang dialiri 7 anak sungai. Dalam wilayah tersebut terdapat bekas-bekas pemukiman yang menurut mereka adalah bekas dari rombongan 190 orang. Setelah tinggal beberapa lama disana mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan sampai dihulu sungai Penoso. Mereka tinggal untuk sementara dihulu sungai dan disini Sutan rimbo meninggal dunia. Rombongan ni masih melanjutkan perjalanannya ke Mandau dan secara diam-diam Sutan janggut pergi meninggalkan rombongan. Rombongan itu masih terus berjalan dan tiba di desa Mandau dab menyerahkan diri kepada Kepala desa / penghulu Mandau yang bernama Takim.
Setelah beberapa tahun tinggal di Mandau, rombongan yang terdiri 5 keluarga ini memohon unutk diberi tanah untuk mereka menetap dan hidup. Penghulu memberi mereka hak alayat atas tanah yang diminta, yang berada didaerah sekitar minas, hulu sungai penaso, hulu sungai beringin, sungai belutu dan sngai ebon di Tengganau. Rombongan ini kemudian beranak pinak dimasing-masing wilayah tempat hidup mereka. Masing-masing tempat pemukiman tersebut dinamakn  perbatinan (dukuh) yang dipimpin oleh seorang kepala perbatinan/batin. Jumlah penduduk masing-masing perbatinan terus bertambah dan juga karena adanya usaha penyeragaman administrasi yang dilakukan oleh pemerintahan kerajaan Siak dalam usaha untuk memudahkan penarikan pajak, maka masing-masing perbatinan tersebut dijadikan kepenghuluan/desa dan dikepalai oleh seorang kades. Desa-desa orang sakai yang tergolong dalam perbatinan 5 tersebut adalah desa minas, penaso, beringinsaka dan desa tengganau.
2.      Perbatinan delapan
Setelah lamanya dari kebangkitan rombongan terakhir meninggalkan pagarruyung, kerajaan ini menjadi padat lagi penduduknya. Mencari nafkah sangatlah susah. Secara diam-diam, tanpa meminta izin kepada Raja, sebuah rombongan yang terdiri atas 15 orang ( 12 orang perempuan, suami-istri dan 1 orang hulubalang yang menjadi pemimpinnya yang bernama batin sangkar) meninggalkan Pagarruyung pada malam hari dengan tujuan menemukan tempat tinggal baru.
Setelah lama dalam perjalanan, akhirnya mereka sampai kehulu sungai Syam-syam di Mandau. Mereka berkeliling sampai kedaerah yang dialiri oleh 7 anak sungai. Disana mereka membuat ladang, rumah, dan menempa besi untuk membuat peralatan. beberapa waktu kemudian, istri dari keluarga anggota rombongan hamil. Si istri mengidam agar suaminya mencarikannya bayi rusa jantan yang masih dalam kandungan, tapi suami mendengar bayi pelanduk/kancil jantan dalam kandungan. Dan suaminya pun tidak pernah menemukannyadan ia pun berjanji tidak akan pulang sebelum mendapatkan apa yang ia cari.
Rombongan 12 perempuan dan 1 hulubalang pergi meninggalkan si istri, karena istri tetap setia menunggu suaminya pulang. Istri itu pun melahirkan anak laki-laki, ketika anaknya sudah besar, ia kembali kePagarruyung dan minta ampun pada Raja. Lalu raja mengirimkan lagi serombongan yang terdiri dari seorang laki-laki dan keluarga untuk menyusul rombongan yang dipimpin oleh Batin Sangkar.
Rombongan yang dipimpin Batin Sangkar sampai didaerah Petani. Setelah menetap didaerah ini beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memutuskan untuk memecah rombongannya menjadi 8 dan tinggal di delapan pemukiman yang saling berdekatan, yaitu Petani, Sebanga/duri Km 13, Air Jamban duri, Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balaimakan. Setelah 8 pemukiman ini terbentuk, secara kebetulan datang rombongan terakhir yang dikirim oleh Raja dari Pagarruyung, kemudian Batin Snagkar membagi rata penempatan rombongan itu di delapan pemukiman. Salah seorang rombongan bernama Barembun. Barembun ini cerdas, oleh karena itu Batin Sangkar mengangkat Barembun sebagai pembantu. Barembun disuruh oleh Batin Sangkar untuk menghadap Raja Siak, dengan tujuan untuk meminta izin kepada Raja Siak agar dapat dijadikan rakyat di kerajaan Siak Indrapura dan diberi pengesahan atas hak pemukiman serta menggunakan hutan yang ada diwilayahnya. Oleh Raja Siak permintaan ini dikabulkan, dan 8 pemukiman tersebut disahkan menjadi 8 perbatinan/dukuh dengan kepalanya seorang batin (kepala dukuh) dan diterima sebagia bagian dari kekuasaan kerajaan Siak. Kedelapan perbatinan tersebut disebut dengan perbatinan delapan, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1.      Perbatinan induk-pucuk, meliputi: Petani, Air Jamban duri, Pinggir dan Semunai
2.      Perbatinan anak, meliputi: Sebanga/Duri Km 13, Balaimakan, Kandis, dan Syam-syam.
Daftar Pustaka
Suparlan, Supardi. 1995. Orang Sakai di Riau:Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Surgaditelapakibu.blogspot.com/2011/05/orang-sakai-di0riau.html?=1

PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA HINDU-BUDHA DI INDONESIA

Fatimah/PIS

Melalui hubungan yang dijalin antara Indonesia dan India dalam bidang perdagangan. lambat laun agama Hindu dan Buddha masuk dan tersebar di Indonesia. Dimana  para raja dan para bangsawan menganut agama tersebut.
Bermulai dari lingkungan istana lah agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha tersebar ke kalangan rakyat biasa. Jawa, Bali, dan Kalimantan menjadi pusat-pusat agama Hindu, sedangkan di Sumatra menjadi pusat agama Budha.
1.Penyiaran Agama Buddha di Indonesia
Penyiaran agama Buddha di Indonesia lebih duluan dari pada agama Hindu. Hal itu disebabkan karena agama Buddha yang terbuka untuk semua orang dan mempunyai misi penyiaran agama yang disebut dharmadhuta. Dharma ialah apa yang menjadi kewajiban atau beban manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam agama Buddha, dharma dipakai dalam arti ajaran-ajaran Buddha, dharma dipakai dalam arti ajaran-ajaran Buddha. Sedangkan Dhuta ialah orang yang menyebarkan.
Diperkiran sejak abad ke-2, ajaran agama Buddha mulai ada di Indonesia. Dibuktikannya dengan penemuan Arca Buddha di daerah Sembaga( Sulewesi Selatan) dan ditemukannya Arca Buddha Perunggu di daerah Jember. Patung-patung itu berlanggam Amarawati, akan tetapi belum diketahui siapa yang membawa dari India Selatan ke Indonesia. Selain itu ditemukan Arca Buddha dari batu di daerah Palembang.pada masa Kerajaan Mataram kuno dan Sriwijaya.
2.Penyiaran Agama Hindu di Indonesia
Ada beberapa teori yang memperkuat atau menjelaskan tentang penyebaran agama Hindu di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
a)Hipotesa Waysa
Teori ini dikemukakan oleh sejarawan N.J Krom. Ia menyatakan bahwa penyebara agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh para pedagang yang berkasta waisya yang menetap di Indonesia, bahkan banyak di antara mereka yang menikah dengan orang Indonesia.
Hipotesa ini juga didasarkan pada adanya usaha pedagang India ke Asia Tenggara yna di dukung juga dengan pelayaran para penutur Austronesia kre Indonesia yang telah dimulai sejak beberapa abad pertama masehi.
Menjelang abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan berkembang sehingga menghubungkan kepulauan Indonesia dengan India. Awal perdagangan atau perniagaan India ini terjadi dibeberapa wilayah Barat, yang man wilyah ini merupakan negeri- negeri perdagangan sejak abad kedua masehi, seperti Champa, Funan, Sumatra, jawa bagian Barat serta Bali. Hal ini dibuktikan oleh penemuan arkeologis baru berupa tembikar India di sembiran, Bali.
b) Hipotesa Brahmana
Teori ini dikemukakan  Jc. Van Leur. Menurutnya agama Hindu dan Buddha yang menjadi dasar kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia ini hamper pasti dibawa masuk ke Indonesia oleh Brahmana  dan pemeluk Buddha yang terpelajar. Tapi ada juga dalam sumber  lain yang menyatakan bahwa teori ini dikemukakan oleh FDK.Bosch.
Para Brahmana ini diundang oleh para penguasa nusantara untuk memperkuat kekuasaan mereka dengan upacara keagamaan dan pendirian bangunan yang berarsitektur peradaban besar di dunia. Bahkan melalui para Brahmanalah kosakata bahasa Sanskerta diperkenalkan ke dalam bahsa-bahasa Austronesia.
c) Hipotesa Ksatria
Hipotesa ini dikemukakan oleh F.D.Bosch dan Majundar. Dalam teori ini dikatakan bahwa  agama Hindu-Buddha di Indonesia dibawa oleh golongan Prajurit(kelompok Istana). Ternyata para Ksatria India ini mendirikan Koloni di Indonesia maupun di Asia Tenggara, dan disamping melakukan penaklukan, para Ksatria ini juga menyebarkan Hinduisme. Dalam sumber lain dikatakan bahwa hipotesa ini juga dikemukan oleh C.C Berg.
d) Teori Arus Balik
teori arus balik ini dikatakan bahwa adanya hubungan timbal balik antara Indonesia dan India dalam bidang perdagangan, yang mana pedagang Indonesia banyak mendatangi tempat-tempat penting di India beserta pusat kebudayaannya. Setelah pulang dari India, Disamping  membawa barang dagangan, mereka juga membawa anasir-anasir budaya luar, dan menyebarkan Hinduisme.

Daftar Pustaka
Matroji. 2008. Sejarah 2 SMA/MA. Jakarta : Bumi Aksara
MGMP sejarah provinsi Riau. 2010. Sejarah XI..Pekanbaru: Amara


              
           
Proses Masuk dan Berkembangnya agama Hindu-Buddha di Indonesia
Fatimah/PIS

Melalui hubungan yang dijalin antara Indonesia dan India dalam bidang perdagangan. lambat laun agama Hindu dan Buddha masuk dan tersebar di Indonesia. Dimana  para raja dan para bangsawan menganut agama tersebut.
Bermulai dari lingkungan istana lah agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha tersebar ke kalangan rakyat biasa. Jawa, Bali, dan Kalimantan menjadi pusat-pusat agama Hindu, sedangkan di Sumatra menjadi pusat agama Budha.
1.Penyiaran Agama Buddha di Indonesia
Penyiaran agama Buddha di Indonesia lebih duluan dari pada agama Hindu. Hal itu disebabkan karena agama Buddha yang terbuka untuk semua orang dan mempunyai misi penyiaran agama yang disebut dharmadhuta. Dharma ialah apa yang menjadi kewajiban atau beban manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam agama Buddha, dharma dipakai dalam arti ajaran-ajaran Buddha, dharma dipakai dalam arti ajaran-ajaran Buddha. Sedangkan Dhuta ialah orang yang menyebarkan.
Diperkiran sejak abad ke-2, ajaran agama Buddha mulai ada di Indonesia. Dibuktikannya dengan penemuan Arca Buddha di daerah Sembaga( Sulewesi Selatan) dan ditemukannya Arca Buddha Perunggu di daerah Jember. Patung-patung itu berlanggam Amarawati, akan tetapi belum diketahui siapa yang membawa dari India Selatan ke Indonesia. Selain itu ditemukan Arca Buddha dari batu di daerah Palembang.pada masa Kerajaan Mataram kuno dan Sriwijaya.
2.Penyiaran Agama Hindu di Indonesia
Ada beberapa teori yang memperkuat atau menjelaskan tentang penyebaran agama Hindu di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
a)Hipotesa Waysa
Teori ini dikemukakan oleh sejarawan N.J Krom. Ia menyatakan bahwa penyebara agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh para pedagang yang berkasta waisya yang menetap di Indonesia, bahkan banyak di antara mereka yang menikah dengan orang Indonesia.
Hipotesa ini juga didasarkan pada adanya usaha pedagang India ke Asia Tenggara yna di dukung juga dengan pelayaran para penutur Austronesia kre Indonesia yang telah dimulai sejak beberapa abad pertama masehi.
Menjelang abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan berkembang sehingga menghubungkan kepulauan Indonesia dengan India. Awal perdagangan atau perniagaan India ini terjadi dibeberapa wilayah Barat, yang man wilyah ini merupakan negeri- negeri perdagangan sejak abad kedua masehi, seperti Champa, Funan, Sumatra, jawa bagian Barat serta Bali. Hal ini dibuktikan oleh penemuan arkeologis baru berupa tembikar India di sembiran, Bali.
b) Hipotesa Brahmana
Teori ini dikemukakan  Jc. Van Leur. Menurutnya agama Hindu dan Buddha yang menjadi dasar kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia ini hamper pasti dibawa masuk ke Indonesia oleh Brahmana  dan pemeluk Buddha yang terpelajar. Tapi ada juga dalam sumber  lain yang menyatakan bahwa teori ini dikemukakan oleh FDK.Bosch.
Para Brahmana ini diundang oleh para penguasa nusantara untuk memperkuat kekuasaan mereka dengan upacara keagamaan dan pendirian bangunan yang berarsitektur peradaban besar di dunia. Bahkan melalui para Brahmanalah kosakata bahasa Sanskerta diperkenalkan ke dalam bahsa-bahasa Austronesia.
c) Hipotesa Ksatria
Hipotesa ini dikemukakan oleh F.D.Bosch dan Majundar. Dalam teori ini dikatakan bahwa  agama Hindu-Buddha di Indonesia dibawa oleh golongan Prajurit(kelompok Istana). Ternyata para Ksatria India ini mendirikan Koloni di Indonesia maupun di Asia Tenggara, dan disamping melakukan penaklukan, para Ksatria ini juga menyebarkan Hinduisme. Dalam sumber lain dikatakan bahwa hipotesa ini juga dikemukan oleh C.C Berg.
d) Teori Arus Balik
teori arus balik ini dikatakan bahwa adanya hubungan timbal balik antara Indonesia dan India dalam bidang perdagangan, yang mana pedagang Indonesia banyak mendatangi tempat-tempat penting di India beserta pusat kebudayaannya. Setelah pulang dari India, Disamping  membawa barang dagangan, mereka juga membawa anasir-anasir budaya luar, dan menyebarkan Hinduisme.

Daftar Pustaka
Matroji. 2008. Sejarah 2 SMA/MA. Jakarta : Bumi Aksara
MGMP sejarah provinsi Riau. 2010. Sejarah XI..Pekanbaru: Amara