PERJUANGAN RAKYAT RIAU DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

ADE DEWI RIYANTY/SR/A

              Usaha pertama yang dilakukan untuk mempertahankan Merah Putih di Riau adalah dengan mengumpulkan pemuda-pemuda dan bekas Gyugun, Heiho, Kaigun dan juga membentuk PRI. Pembentukan lskar ini sejalan dengan pembentukan KNI dari keresidenan sampai kewedanaan dan kecamatan. Pada bulan Oktober 1945 diseluruh Riau Daratan, KNI dan PRI sudah selesai dibentuk. Pembentukan PRI ini seiring dengan langkah pemuda-pemuda daerah lain. Organisasi PRI antara lain
bertugas menyusun barisan pembela Proklamasidan pengusiran terhadap musuh-musuh Republik Indonesia. Sebagai pengurus PRI Riau antara lain Ketua Umum Basrul Jamal, R. Sukana, Thoha Hanafi, Usman Pohan, Ali Rasyid, Mansurdin dan Yahya Atan.
              PRI inilah yang telah mempelopori perjuangan untuk menegakkan Negara Republik Indonesia, khususnya di Pekanbaru. Di antara pemuda-pemuda yang tergabung PRI ialah Tugimin, Rifa'i Bungsu, Burmawi dan lain-lain, membentuk pula gerakan Black Cat (Kucing Hitam) dan Hantu Kubur. Gerakan bertujuan membersihkan oknum-oknum yang anti kepada Republik Indonesia secara ekstrim baik dari golongan mna dan bangsa apapun. Dan ternyata Black Cat sebagai organisasi yang paling ditakuti oleh mereka yang Non Republikein. Sedangkan dari pihak kepolisian Angkatan Muda selain Tugimin juga Jasman, Hutapea, Silalahi, Margo dan lain-lain bergerak serentak bahu-membahu dengan para pemuda dan massa rakyat yang sedang gigih melawan Belanda.
              PRI adalah alat kekuasaan perjuangan dengan semangat yang tinggi walaupun senjatanya hanya terdiri dari bamboo runcing, tombak biasa, pedang (kelewang), keris, pisau dan sebagainya. Hasan Basri pada waktu itu telah kembali dari Siak setelah bubarnya Gyugun, dicari oleh pemuda-pemuda PRI dan kepadanya diserahkan pimpinan barisan pertahanan pemuda PRI tersebut di Pekanbaru.
              Sementara itu bergabung 47 orang pemuda dari Angkatan Laut(Kaigun) Jepang dari Jawa Ungko Kaisha dan Nampu Ungko Kaisha yang kapalnya berlabuh di Pekanbaru. Para pemuda Kaigun ini diantaranya dapat dicatat A. Thalib, Soebrantas, S. Suwito, Himron Saheman, Sarjono, Wijono, Lasno, Artiatmin, Rajayani, dan lain-lain meninggalkan kapal mereka setelah terlebih dahulu mesin kapal dirusakkan. Para pemuda tentara laut tersebut bergabung dengan pemuda-pemuda yang ada didarat yaitu Arifin Ahmad, Amir Hamzah, Zalik Aris, Abubakar Abduh, Tugimin dan lain-lain mendirikan suatu organisasi yang bernama Pemuda Indonesia(PI) yang kemudian bergabung dengan PRI. Salah seorang diantaranya yaitu Yahya Atan meminta untuk menandatangani sumpah yang dibuat waktu itu dengan daerah mereka masing-masing , bahwa mereka akan membela kemerdekaan mati-matian. Tekad yang tulus dibarengi dengan semangat juang yang pantang menyerah diikrarkan oleh para pemuda tersebut. Merekalah yang bertugas membangkitkan dan mengobarkan semangat rakyat Pekanbaru, Siak, Kampar, Taluk Kuantan, Rengat dan Tembilahan. [1]
              Dikampar terjadi pengambil alihan kekuasaan dari Gunco Djamluddin Bagindo Basa. Tindakan ini sengaja dilakukan karena mengingat Belanda dan Jepang seakan berlomba memperlihatkan kekuasaannya. Mereka berlomba mengambil simpati rakyat agar memihak kepadanya dan menentang Proklamasi. Di lain pihak, sekutu yang ditugaskan menjaga keamanan, belum dating. Sebagian rakyat ada yang meragukan keberadaan Proklamasi. Sebab Belanda dan Jepang secara bebas melakukan provokasi ke kampong-kampung, berkeliaran di pasar-pasar.[2] Pada saat ini Indonesia sedang mengalami kekosongan dalam pemerintahan. Untuk mengatasi hal inilah Muhammadyah memberanikan diri mengambil kekuasaan.
              Penjagaan keamanan dilakukan oleh para pemuda Muhammadyah yang terdiri dari anggota setiap ranting. Mereka selalu bergantian setiap malam menjaga keamanan di Kampar. Kantor cabang Muhammadyah menjadi pusat informasi, pusat administrasi dan pusat kegiatan pemerintahan (sekarang Kantor Pos Bangkinang)[3]
              Setelah diperoleh berita dari Pekanbaru bahwa telah terbentuk PRI. Maka Muhammadyah di Kampar mengutus A. Malik Yahya menemui Letkol Hasan Basri untuk memperoleh petunjuk yang diperlukan agar terbentuknya PRI dan memulihkan keadaan. Setelah memperoleh bekal yang dibutuhkan Hasan Basri mengantarkan A. Malik Yahya untuk menjumpai Basrul Djamal, Ketua Umum PRI Riau di Pekanbaru. Dengan petunjuk Hasan Basri dan Basrul Djamal akhirnya dibentuklah PRI di Bangkinang. Dengan terbentuknya PRI ini berdiri pula gerakan Kucing Hitam dan Hantu Kubur. Gerakannya berasal dari semua golongan manapun.
              Pada tanggal 10 Oktober 1945 rakyat Bangkinang mengadakan musyawarah besar membentuk kepengurusan pemuda Republik Indonesia. Sehingga tersusunlah struktur pengurus PRI sebagai berikut :
              Ketua I                       : Burhanuddin
              Ketua II                     : H. Muhammad Amin
              Sekertaris I                : A. Malik Yahya
              Sekertaris II               : M. Khaiyat
              Bendahara                 : Harun Salam
              Keuangan                  : H. Abdul Hamid Taiwan [4]

              Anggota PRI berjumlah 40 orang. Sengaja dipilih pemuda-pemuda yang memiliki semangat juang yang tinggi, sebab ia ditugaskan untuk berperang. Anggota itu berasal dari Kuok 1 orang, Salo 5 orang, Bangkinang 10 orang, Air Tiris 15 orang, Danau Bingkuang 5 orang dan dari negeri Kampar 5 orang. Mereka dilatih oleh pelatih ahli Namat Ladjib dan M. Noer yang pernah mengikuti Jepang ke sekeliling Asia sebagai anggota Gyugun dan Heiho.
              Asrama PRI ditempatkan dirumah seorang Tionghoa dibiayai oleh masyarakat setiap kampung, berupa beras, kelapa, sayur-sayuran dan lain-lain, ditunjuk ummi Sahilan ketua Aisyiah cabang Bangkinang dan Ny Setiarjo sebagai kepala dapur umum.
              Latihan diadakan dilapangan Merdeka sekarang dibekali ilmu berperang yang dicadangkan nanti sebagai pemuda pembela tanah air. Anggota PRI inilah yang melanjutkan penjagaan keamanan di Bangkinang sementara menunggu pemerintah yang defenitif, 15 orang setiap malam bergiliran. Dalam pratolinya mereka dipersenjatai bambu runcing, tombak, kelewang. Terkadang mereka sampai juga di Stanum dan Salo tempat tawanan bangsa Belanda. Setiap malam mereka diawasi oleh Mahmud Marzuki, H. Muhammad Amin dan A. Malik Yahya.
              Setelah masing-masing daerah membentuk lascar-laskar masyarakat maka dikumpulkanlah alat senjata seadanya atas inisiatif dari masing-masing pemuda sendiri. Ada yang memakai pistol, kelewang, pedang, keris, badik atau apa saja yang dapat dijadikan senjata. Sementara itu, banyak di antara pemuda yang berusaha mendapatkan senjata dari Jepang. Mereka berusaha sendiri untuk mendapatkannya. Pada saat itu masih dalam keadaan siap tempur, karena tentara Jepang dipercayakan oleh Sekutu untuk menjaga keamanan. Di Pekanbaru dan sekitarnya pasukan bala tentara Jepang ini masih dalam keadaan utuh dengan persenjataan yang lengkap. Senjata-senjata yang didapat oleh pemuda-pemuda dari Jepang dengan berbagai cara, ada yang diserahkan secara sembunyi-sembunyi oleh Jepang yang pro pada kemerdekaan Indonesia dan ada pula yang diambil dengan kekerasan, yaitu dicuri atau dirampas.
              Dalam perampasan alat senjata dari Jepang ini, terjadilah beberapa insiden, diantaranya di sepanjang jalan antara Pekanbaru-Bangkinang dan di Bangkinang. Di Bangkinang terjadi pertempuran bersenjata antar polisi yang dipimpin oleh Tugimin dan Albanik bersama-sama dengan para pemuda yang dipimpin H. Muhammad Amin melawan Jepang (Wawancara Ramly Bay, Desember 2002 di Bangkinang).
              Sebanyak 27 orang polisi yang ada di Bangkinang bergabung dengan Belanda dan masuk dalam kamp Stanum, dan para pemuda Indonesia yang berjumlah 24 orang berangkat atas perintah Hasan Basri ke Bangkinang. Dengan dipimpin oleh R. Soebrantas S, dan dibantu oleh Mahmud serta Sarjono, mereka berangkat dengan perlengkapan senjata yang didapat dari Tugimin. Belanda mengadakan provokasi dan pancingan terhadap para pemuda hingga terjadi pertempuran yang seru antara pemuda Indonesia melawan serdadu Belanda. Dalam pertempuran ini terlibat juga dengan tentara Jepang. Beberapa orang Jepang gugur terkena tembakan karena Jepang marah dan untuk membalas kerugiannya didatangkan bantuan satu Batteri Artilery. Dengan tembakan meriam yang mengarah kepada para pemuda maka pohon menjadi tumbang. Para pemuda bubar kemudian kembali ke Pekanbaru dengan membawa banyak senjata Jepang yang dirampas. Namun ada beberapa pemuda yang gugur. Tugimin dan Albanik dapat ditangkap oleh Kempetai Jepang dan ditahan di Markas Kempetai Pekanbaru.
                 Sementara itu, tentara Jepang yang ada di Rantau Berangin dapat pula dibinasakan oleh para pemuda dibawah pimpinan Maarifat. Akibat insiden itu, pihak Jepang naik pitam, pimpinan tertinggi tentara Jepang yang berkedudukan di Bukittinggi yaitu Jenderal Mayor Takohashi yang dikenal sebagi "Sumatera No Tora" (Harimau Sumatera) mengeluarkan ultimatum, bahwa jika alat senjata tersebut tidak dikembalikan dalam jangka waktu 2x24 jam, maka Kota Pekanbaru akan digempur oleh Jepang.
              Untuk memperkuat ultimatum tersebut, Kota Pekanbaru telah dikepung oleh Jepang dan meriam-meriam besar telah diatur dan diarahkan kekota. Menjelang saat ultimatum habis, pimpinan para pemuda mengadakan perundingan denga ketua KNI. Maka diputuskan untuk mengirimkan delegasi kepada Jepang guna menghindarkan pertempuran yang sangat tidak seimbang. Delegasi ini dipimpin sendiri oleh Ketua KNI Rade Yusuf Suryaatmana. Sewaktu delegasi sampai, kebetulan "Harimau Sumatera" sedang pergi ke Singapura dan delegasi diterima oleh wakilnya. Wakil tentara Jepang tersebut menyampaikan kepada delegasi supaya menyerahkan senjata yang rusak dan jika pimpinannya telah kembali akan dilaporkan bahwa penyerahan senjata sudah selesai. Namun senjata tersebut tidak diperoleh, karena semua senjata yang dapat dirampas dari Jepang sudah disembunyikan oleh para pemuda secara perseorangan. Akhirnya diserahkan dua buah bayonet kepada Jepang.
              Sementara itu daerah-daerah pedalaman, para pemuda mencari senjata-senjata ditinggalkan Jepang di hutan, seperti di Rimba Mahato dekat Pasir Pangaraian dan diberbagai tempat lainnya. Begitu juga di Kota Intang (Rokan Kiri) tiga orang tentara Jepang yang bersenjata telah dibunuh oleh para pemuda dan senjatanya dirampas.

Notes :

Muchtar Lutfi.1977. Sejarah Riau. Pekanbaru. Percetakan Riau :75
H. Muhammad Amin. 1998. Sejarah Perjuangan Rakyat Kampar. Bangkinang. Manuskrip :15
Ahmad Yusuf, dkk. 2004. Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-1958. Pekanbaru. Badan Kesejahteraan Sosial Provinsi Riau : 226
H. Muhammad Amin. 1998. Sejarah Perjuangan Rakyat Kampar. Manuskrip :105

Daftar Pustaka

 Lutfi, Muchtar (Eds). Sejarah Riau, Percetakan Riau, Pekanbaru, 1977.
Amin, HM. Sejarah Perjuangan Rakyat Kampar, Manuskrip, Bangkinang, 1998.
Yusuf, Ahmad, et. al. Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-1958, Badan Kesejahteraan Sosial Provinsi Riau, Pekanbaru, 2004.

No comments:

Post a Comment