Pemilu 1999 dan Redemokrasi Gradual


SRI WAHYUNINGSIH/ SV

            Lebih kurang setelah sepuluh bulan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, mendung di langit perpolitikan Indonesia masih belum juga menunjukkan adanya tanda-tanda akan tersibak dan menjadi cerah. Bahkan, bila kita mengikuti berita-berita di media massa akhir-akhir ini mengenai dinamika politik di sementara bagian negeri ini, kita dibuat miris dan tidak dapat membayangkan bagaimana masa depan negeri kita yang telah berusia lebih dari setengah abad. Misalnya, dengan maraknya kerusuhan berselimut SARA di
ambon dan sejenisnya, kita bertanya-tanya, akankah negeri ini mengulang nasib Yugoslavia setelah tumbangnya rezim komunis dasana, sehingga memunculkan tragedi Bosnia Herzegovina yang mengerikan itu. Masih terbikakah kemungkinan reformasi yang di gelar oleh kaum prodemokrassi dan mahassiswa ini akan membuahkan hasil redemokratisasi substansial sebagaimana yang telah telah terjadi di Negara-negara Eropa Timut dan di Asia.
            Pertanyaan dan dugaan di atas hanya dapat terjawab secara propesional apabila kita cermat dalam mengaanalisis proses reformasi yang berlangsung sejak bulan Mei 1998 sampai sekarang. Dalam hal ini, salah satu masalah pokok yang perlu mendapat perhatian adalah pilihan-pilihan strategis apa yang tersedia pada konjungstur politik pasca soeharto. Dan skanario apa yang bis adibangun, sehingga reformasi tetap berkesinambungan dan memiliki relevansi dalam kehidupan berbangsa.
            Semekin jelas bahwa dalam konjungtur perpolitikan Indonesia pasca-soeharto hanya terdapat tiga pilihan strategis bagi bangsa kita di masa depan yang akan datang. Pilihan pertama berupa bertahan dan pemberdayaan kembali system politik otoriter.Kedua, Pengupayaan demokrasi secara radikal, dan pilihan ketiga, Pengupayaan demokrasi secara gradual. [1]
            Pilihan pertama jelas akan membuat kondisi bangsa dan kehidupan bernegara semakin terpuruk. Hal ini karena system politik otoriter hanya dapat tegak melalui represi dalam skala besar, sehingga kekerasan politik akan semakin menjadi-jadi. System politik otoriter yang akan sangat obsesi terhadap keamanan, ketertiban, dan domestikasi politik demi melakukan recovery ekonomi akan menghadapi perlawanan dari masyarakat internasional.
            Pilihan kedua, yaitu jalan redemokratisasi radikal. Kendati secara teoritis memiliki daya tarik, namun akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam implementasinya, sehingga dapat berbalik dari tujuannya. Keinginan sementara kelompok reformasi dan mahasiswa untuk membentuk apa yang disebut komite rakyat Indonesia (KRI)  atau sebuah presidium akan menghadapi rintangan-rintangan berat baik legal maupun politis.
            Pilihan kedua ini boleh jadi masuk akal jika proses reformasi yang berjalan ini sepenuhnya di bawah control kaum ferormis sejak awal. Pada kenyataannya justru inilah yang tidak pernah terjadi.Dengan adanya kelemahan internal tersebut, mustahil rasanya bahwa upaya redemokratisasi radikal dapat dukungan dari dalam.Apa lagi dukungan dari masyarakat luas yang selama tiga dasawarsa terpinggirkan, sehingga perlu waktu untuk melakukan proses pemberdayaan politik. Belum lagi memikirkan bagaimana respon dari komunitas bisnis apabila proses redemikratisasi radikal karena bagaimanapun akan mendapat dampak terhadap konstelasi politik yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan ekonomi di negeri ini. Walhasil, alternative redemokratisasi lewat cara radikal tampaknya masih jauh dari feasible sebagai strategi reformasi. [2]
            Maka, tinggallah kini pada Redemokratisasi Gradual. Proses ini merupakan  mengendalikan adanya kondisi transisi menuju demokrasi yang kendati pun tidak begitu kondusif tetapi massih membuka peluang bagi Redemokratisasi jangka panjang melalui secara lebih terukur. Kondisi masa transisi yang kurang kondusif itu antara lain ditandai dengan: (1) masih kuatnya struktur politik rezim lama, termassuk massih bercokolnya kekuatan militer dan partai politik penguasa lama (old ruling party); (2) lemahnya kekuatan pro-demokrasi dan sivil society ; serta (3) tingkat partisipasi politik yang rendah di lapis bawah. Meskipun demikian, terdapat peluang baru bagi pembardayaan politik masyarakat dan Redemokratisasi kerena terjadinya perubahan cukup basar dalam konstelasi politik, khususnya di tingkat elite, dan atmosfer politik yang favorable bagi reformasi. Dalam kondisi seperti ini yang terpenting adalah merebut momentum bagi kekuatan yang akan melakukan proses Redemokratisasi agar dapat di gunakan untuk mengimplementasikan agenda-agenda mereka dalam jangka panjang.
            Dalam kontek Indonesia, pilihan Redemokratisasi Gradual, tak pelak lagi harus dimulai dengan menyelenggarakan pemilu yang relative jujur dan adil.Sehingga muncul sebuah ruang politik bagi kekuatan-kekuatan pro-reformasi untuk menghadapi kekuatan pro status qou. Tanpa adanya pemilu, maka bisa terjadi proses pemberdayaan politik kembali dari kekuatan yang lama, yang kendati untuk sementara kehilangan legitimasinya di mata masyarakat, dapat berusaha untuk pulih kembali. Pemilu akan terpaksa di setujui oleh kekuatan status quo karena tanpa yang satu ini landasan legitimasi politik akan tetap lemah, sehingga akan menjadi ancaman bagi keberadaannya.
            Itulah sebabnya, tanpa menyepelekan adanya berbagai kelemahan di dalam proses pelaksanaan pemilunanti, terutama dalam hal perangkat perundang-undangan yang dipakai, sebagian besar kekuatan pro-reformasi, seperti PDI Perjuangan ditempatkan pada sosok kerakyatan masyarakat kewarganegaraannya tebal, PKB  dan PAN ditempatkan sebagai partai yang menampung dan mewadahi keempat kategori seperti Negara, masyarakat, komunal, sekular, berikut tokoh-tokohnya ( Mega, Gusdur, dan Amien Rais ) memilih untuk menggunakan jalan ini. [3] Bagi mereka, tampaknya, pemilu lebih memberikan ruang maneuver lebih besar serta kesempatan untuk melakukan perubahan dalam system politik ketimbang menggunakan jalan perlawanan radikal. Sementara itu, bagi kubu pro status quo, walaupun dengan alasan yang sangat berbeda, juga tidak mungkin menghindari proses politik tersebut jika mereka ingin tetap memiliki klaim legitimasi. Pemilu yang akan digelar awal juni nanti, meskipun tidak bisa dikatakan dipersiapkan dengan sempurna, tak pelak lagi, akan menjadi ajang kontesasi politik yang menentukan apakah Indonesia akan berjalan menuju demokratisasi atau berbalik menuju otoriterisme.
            Dengan runtuhnya rezim soeharato dan format politik orde baru yang monolitik, maka dominasi golkardapt dipastikan akan tergusur. Di samping golkar kini citranya sedang buram di masyarakat.Ia pun mengalami penggusuran struktutal dari dalam. Ini lah yang dapat dilihat dari munculnya PKP ( Partai Keadilan dan Persatuan ) di bawah pimpinan mantan Menhankam Edi Sudrajat dan Hayono Isman, yang notabene memiliki pengaruh cukup besar di dalam keluarga besar ABRI ( KBA) di samping masyarakat luas. Kerena pada dahulunya ABRI tidak memiliki ideology lain kecuali ideologi Nasional. [4]
Sikap ABRI yang akan mengambil jarak terhadap parpol, seperti di lontarkan oleh Menhankam / Pangap Jendral Wiramto, jelas akan berpengaruh terhadap kemampuan golkar yang selama ini sangat tergantung kepada militer. Demikian juga, dengan idenpendensi dan netralitas PNS dalam politik. Sehingga, di atas kertas golkar tidak akan mampu lagi berkiprah seperti biasanya dalam pemilu yang akan datang jika berlangsung luber dan jurdil. Kekhawatiran banyak pihak bahwa golkar akan menggunakan money politics dan jaringan patron-klien yang selama ini dimiliki, khususnya diluar jawa meskipun dapat dipahami, tetapi tidak akan mampu mendongkrak kemampuannya dalam pemilu. Selain itu, kompetisi dari partai-partai yang berbasis massa di bawah dan memakai jalur patron-klien seperti PKB, PDI Perjuangan, dan lain-lain akan membatasi kiprah Golkar.
            Lunturnya dominasi Golkar tidak berarti lantas kekuatan baru menggantikan posisinya telah atau akan muncul. Karena itu lah, koalisi kekuatan politik merupakan keniscayaan dan barang kali akan menjadi ciri baru dalam konstelasi politik Indonesia di masa-masa yang akan datang. Dinamika politik yang akan mewarnai politik pasca Soeharto  adalah menurunnya keterlibatan langsung ABRI dalam politik. Sekurang-kurangnya dalam secara formal.Dengan demikian terdapat peluang bagi terciptanya semacam keseimbangan yang kondusif bagi kompetisi parpol dalam pemilu.Tidak seperti perakter sebelumnya yang dimana militer menjadi pendukung partai penguasa, Golkar dengan dalih stabilitas dan kontinuitas pembangunan. Jika netralitas militer dapat diterapkan secara nyata selama pemilu, maka ia dapat mengembalikan kredibilitas politiknya yang selama beberapa bulan terakhir mengalami kemerosotan.
            Dengan demikian dapatlah dibuat prakiraan mengenai proses pemilu dan bagaimana kekuatan politik yang ada akan memperebutkan posisi dominan nanti. Kekuatan pro reformasi masih perlu bekerja keras untuk memperebutkan 462 kursi di DPR RI nanti.Alasannya adalah, dengan konstelasi politik saat ini, sekolompok status quo yang di moteri Golkar masih memiliki kartu-kartu truf yang dapat dimainkan bagi keuntungannya. PDI perjuangan masih harus memperluas basis massa di kalangan kelas menengah perkotaan, khususnya pemilih muda agar target 30% bisa tercapai. Dalam hal PKB, terbatasnya basis dukungan serta kemampuan SDM akan menjadi kendala terbesar baginya untuk mencapai target 20%. PKB dalam waktu yang singkat diharuskan mampu memperluas basis dukungan di luar NU yang cukup potensial. Dan kedua partai sudah semestinya sesegera mungkin mempormalkan koalisi dengan melibatkan juga partai-partai bervisi kebangsaan ,. Jika hal ini bisa ditempuh, upaya membendung Golkar masih dapat dilakukan.
            Prakiraan lain yang penting adalah tentang siapa yang akan tampil sebagai capres. Besar kemungkinan Golkar akan menawarkan Presiden Habibie, Adi Sasono, dan bahkan Akbar Tandjung sendiri hingga mampu menarik dukungan terutama dari partai-partai islam. Untuk wapres, kemungkinan nama-nama seperti Wiranto dan Sri Sultan bisa muncul sebagai penarik dukungan militer dan kelompok bangsawan. Sedangkan dari kelompok koalisi kebangsaan, nama-nama Megawati, Gus Dur, Amien Rais, dan Sri Sultan sudah lama di munculkan dan mendapat sambutan luas.
            Jika nama-nama diatas tetap dipertahankan sampai pemilu, jelasslah kearah mana proses politik pasca pemili akan dituju. Munculnya Habibie, Adi, atau Akbar sebagai presiden memungkinkan terjadinya konsodilasi kekuatan politik yang berorientasi teknokratik sebagaimana sebelumnya. Adi barangkali akan memasukkan elemen-elemen populis dalam model pembangunan yang dibuatnya, seperti yang ditunjukkan akhir-akhir ini melalui kampanyenya ekonomi karakyatan. Kendati demikian masih cukup besar kemungkinan bahwa model pembangunan teknokratis yang pernah dominan pada massa sebalumnya akan tetap dipertahankan. [5]
            Jika koalisi Kebangsaan berhasil menumbangkan supremasi Golkar, maka elite pemerintahan yang diperkirakan muncul adalah aliansi elemen-elemen nasionalis dan Islam populis yang di topang oleh kelompok borjuasi nasional. Jika militer ikut didalamnya, perannya akan mengalami penurunan gradual, walaupun untuk jangka pendek masih akan menempati posisi penting dalam mengambil keputusan strategis. Model pembangunan yang diambil akan berorientasi pupolis dalam konteks ekonomi pasar. Peran Negara cenderung dikurangi sedangkan kepekaan terhadap masalah integrasi nasional, pluralism, dan otonomi akan meningkat. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa keterlibatan elemen-elemen sivil society  seperti LSM dalam jangka panjang akan semakin diperhitungkan dalam formulasi program nasional. Dengan demikian suatu proses redemokratisasi gradual dimungkankan.
            Pemilu 1999 akan sangat menentukan apakah redemoktarisasi sebagai kelanjutan dari reformasi Mei akan berjalan. Kemenangan kaum reformis bukanlah suatu hal pasti, sebab kekuatan pro status quo, meminjam istilah Dr. Mochtar Pabottingi, konon telah menang sejak awal.Munculnya UU Politik yang masih belum demokratis, pengaruh pemerintah dalam KPU yang sangat menonjol, dan peluang manipulasi penyelanggaraan pemilu yang cukup besar, semuanya mengidentifikasi kuatnya pihak status quo. Namun tak berarti peluang bagi demokratisasi lantass tertutup sama sekali, sebab masih ada ruang yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kemungkinan meraih kemenangan.
            Pertama, mood yang ada dinegeri ini sangat mendukung terjadinya transformasi penguasa.Hal ini membantu partai-partai reformassi untuk melakulan tekanan-tekanan terhadap penguasa transisi untuk tidak melakukan kecurangan.Hal ini memberi peluang bagi upaya melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemilu secara lebih leluasa dan pada gilirannya mengurangi peluang manipulasi.
            Kedua, pemunculan kembali Golkar sebagai pemenang dalam pemilu tidak akan mengembalikan legitiminasi penguasa baru. Pengalaman politik dibawah golkar juga menjadi trauma bagi sebagian basar rakyat Indonesia seperti di Aceh, Lampung, Irja dan lain-lain yang akan memperkuat penolakan mereka terhadap legitimasi pemerintah baru dibawah Golkar. Dengan demikian, munculnya sebuah rezim politik yang sama sekali baru dengan memiliki daya tarik politis yang dapat dimanfaatkan oleh partai-partai baru. [6]
            Ketiga, opini public internasional yang cenderung menginginkan terjadinya reformasi politik di Indonesia, jelas akan negative jika Golkar kembali berkuasa. Kendati opini internassional tidak memiliki daya tekan cukup kuat dan berdurasi lama, tetapi akan memberi peluang kepada kekuatan reformasi untuk melakukan tekanan kepaa Negara-negara dan lembaga-lembaga donor internasional untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat dipergunakan oleh penguasa transisi untuk keuntungan politik Golkar. Dengan adanya berbagai celah seperti itu, maka kaum pro reformasi khususnya koalisi kebangsaan sesungguhnya dapat meningkatkan kemampuannya untuk menyaingi kekuatan status quo.Setidak-tidaknya, jika pihak terakhir ini untuk sementara telah dapat memenangkan pertandingan melalui pembuatan aturan main yang menguntungkannya, maka massih ada peluang bagi pihak pertama untuk memenanginya melalui pengawasan yang ketat dan penyelenggaraan yang jujur dan adil.
Notes :
[1] Muhammad A.S Hikam. 1999. Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokratisasi di Indonesia. Penerbit Erlangga : Jakarta. Hal 244
[2] Muhammad A.S Hikam. 1999. Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokratisasi di Indonesia. Penerbit Erlangga : Jakarta. Hal 246
[3] Jakob Oetama. 2001. Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan.Penerbit Buku Kompas : Jakarta. Hal 8
[4] Jakob Oetama. 2001. Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan.Penerbit Buku Kompas : Jakarta. Hal 57
[5] Muhammad A.S Hikam. 1999. Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokratisasi di Indonesia. Penerbit Erlangga : Jakarta. Hal 253
[6] Muhammad A.S Hikam. 1999. Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokratisasi di Indonesia. Penerbit Erlangga : Jakarta. Hal 255
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad A.S Hikam. 1999. Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokratisasi di Indonesia. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Jakob Oetama. 2001. Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan.Penerbit Buku Kompas : Jakarta.

No comments:

Post a Comment