Gerakan 30 September Partai komunis Indonesia dan Supersemar


Loly Handriani/S-B
A. Gerakan 30 September Partai komunis Indonesia
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di saat tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Dalam doktrin komunis telah dinyatakan dengan jelas bahwa setiap partai komunis di mana pun ia berada selalu bertujuan untuk merebut kekuasaan negara dengan menyingkirkan kekuatan politik lainnya. Hal ini ditempuh dalam rangka menegakkan diktator proletariat. Usaha yang ditempuh dalam merebut kekuasaan selalu dilakukan dengan cara kekerasan, seperti yang berlangsung diberbagai negara lain, tidak terkecuali di Indonesia.
Pada saat usia republik Indonesia masih muda, yaitu pada tahun 1948, PKI pernah mencoba untuk merebut kekuasaan dari pemerintah Republik Indonesia yang sah. Gerakan PKI itu dikenal dengan nama Pemberontakan PKI Madiun. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas berkat kerjasama ABRI dan rakyat yang setia kepada Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah itu, PKI bergerak di bawah tanah, dan muncul kembali pada tahun 1950 dalam kehidupan politik di indonesia dan ikut serta dalam Pemilihan Umum I tahun 1955.
            Peristiwa percobaan kudeta PKI di tahun 1948, masih membekas dan meninggalkan trauma bagi bangsa indonesia, sehingga selalu timbul kecurigaan terhadap gerakan-gerakan PKI.
1.      Sebab-sebab Munculnya G30S/PKI
Sejak D.N.Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat membagun kembali PKI yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun 1948. Usaha yang dilakukan D.N.Aidit berhasil dengan baik, sehingga dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI berhasil meraih dukungan rakyat dan menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI,Masyumi, dan NU.
            Tampaknya PKI berkeinginan merebut kekuasaan melalui parlemen pada masa Demokrasi Terpimpin. Disamping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan diri untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia. Untuk itu dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas menyiapkan kader-kader di berbagai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga berusaha memengaruhi Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan-lawan politiknya. Hal ini tampak di bubarkannya partai Masyumi,PSI,dan Partai Murba oleh presiden. PKI juga berhasil memecah-belah PNI menjadi dua kelompok. Upaya itu ditempuh oleh PKI dengan menyusupkan Ir. Surachman (seorang tokoh PKI) ke dalam tubuh PNI.
            Setelah PKI merasa cukup kuat, dihembuskan isi bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jenderal itu adalah agen Nekolim(Amerika Serikat atau Inggris). Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat, bahkan Angkatan Darat langsung menuduh PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan. Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta sejak akhir bulan september 1965, sehingga dugaan-dugaan akan terjadinya kudeta semakin bertambah santer.
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
"
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
"
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
"
Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
"
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
2.      Peristiwa G30S/PKI
Menjelang terjadinya peristiwa G30S/PKI, tersiar berita bahwa kesehatan presiden mulai menurun dan berdasarkan diagnosis dari tim dokter RRC ada kemungkinan Presiden Soekarno akan lumpuh atau meninggal. Setelah mengetahui keadaan Presiden Soekarno seperti itu, D.N.Aidit langsung mengambil suatu keputusan untuk memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan kepada Kamaruzaman (alias Syam) yang diangkat sebagai ketua biro Khusus PKI dan disetujui oleh D.N.Aidit. Biro khusus itu menghubungi kadernya di kalangan ABRI, seperti Brigjen  Supardjo, Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dari TNI-AL, Marsekal Madya Omar Dani dari TNI-AU dan Kolonel Anwar dari kepolisian.menjelang pelaksaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Melalui serangkaian pertemuan itu, pimpinan PKI menetapkan bahwa, Gerakan 30 September 1965 secara fisik dilakukan dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan pengawal Presiden) yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
        Sebagai pimpinan dari Gerakan 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung mengambil suatu keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat. Para perwira Angkatan Darat disiksa dan selanjutnya dibunuh. Mereka dibawa ke Lubang Buaya, yaitu suatu tempat yang terletak di sebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma. Selanjutnya para korban itu dimasukkan ke dalam satu sumur tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah. Ketujuh korban dari TNI-Angkatan Darat adalah sebagai berikut :
1.Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men Pangad).
2. Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy  III Pangad).
4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad).
5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
6. Bigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).
7. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H.Nasution).
            Ketika terjadinya penculikan itu, Jenderal A.H.Nasution yang juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran tembak dari kaum penculik dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H.Nasution yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan korban lainnya adalah pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun. Ia gugur pada saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H.Nasution.
            Pada waktu yang bersamaan, G30S/PKI mencoba untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, Wonogiri dan Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan Revolusi daerah Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Merka telah melakukan penculikan terhadap Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono. Kedua perwira TNI-AD ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa keuntungan yang terletak di sebelah utara kota yogyakarta.
3. Penumpasan G30S/PKI
Operasi penumpasan G30S/PKI yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965 diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah yang pertama kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada di sekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September. Pasukan tersebut berasal dari anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya dan anggota pasukan Batalyon 545/Diponegoro. Anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya berhasil disadarkan dari keterlibatan Gerakan 30 September tersebut dan kemudian mereka ditarik ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan anggota pasukan Batalyon 545/Diponegoro berhasil ditarik mundur sekitar pukul 17.00 WIB oleh pihak gerakan 30 September ke Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September mulai dilakukan sore hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu, pasukan RPKAD berhasil menduduki kembali gedung RRI pusat, gedung telekomunikasi dan mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan bersenjata atau pertumpahan darah. Juga pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi berhasil menguasai Lapangan Banteng dan mengamankan Markas Kodam V/ Jaya dan sekitarnya. Batalyon I Kavaleri berhasil mengamankan BNI Unit I dan percetakan uang negara didaerah Kebayoran. Dengan demikian, dalam waktu yang sangat singkat, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan G30S/PKI yang memberontak telah berhasil dilumpuhkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang terlibat dalam G30S/PKI, maka dilakukanlah berbagai bentuk upaya. Diantaranya melalui siaran RRI pada pukul 20.00 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan adanya usaha perebutan kekuasaan. Usaha perebutan kekuasaan itu dilakukan oleh gerombolan yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September 1965" serta penculikan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat. Sementara itu presiden dan Menko Hankam/ KASAB dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa diantara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Kepolisian telah terjadi saling pngertian untuk bekerja sama menumpas G30S/PKI. Mayjen Jenderal Soeharto juga menganjurkan kepada rakyat Indonesia agar tetap tenang dan waspada.
Setelah berhasil diketahui bahwa basis utama dari G30S/PKI berada disekitar lapangan udara Halim Perdana Kusuma, maka langkah berikutnya adalah berupaya membebaskan pangkalan tersebut dari tangan G30S/PKI. Presiden Soekarno dihimbau untuk meninggalkan daerah Halim Perdana Kusuma. Hal ini, dimaksudkan untuk menjaga keselamatannya apabila terjadi bentrokan fisik antara pasukan TNI dengan pasukan pendukung G30S/PKI yang bersembunyi disekitar pangkalan udara Halim Perdana Kusuma.
Kemudian presiden Soekarno meninggalkan Halim Perdana Kusuma menuju Istana Bogor. Sedangkan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi dan Batalyon 1 Kavaleri di perintahkan bergerak menuju sasaran. Juga didatangkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur Kavaleri pengintai yang langsung di pimpin oleh Komandan Kesejahteraan Kavaleri (Dansenkav) Kolonel Subiantoro. Mereka tiba di Cijantung dan langsung diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpang tiga Ciliitan, Kramat jati, dan simpang tiga Lanuma-Halim Lubang Buaya tanpa menemui kesulitan. Pada pukul 06.10 WIB tanggal 2 Oktober 1965 daerah pangkalan Udara Halim perdana Kusuma sudah berhasil dikuasai, walaupun sempat mendapat perlawan kecil dan timbul kontak senjata. Kontak senjata juga terjadi pada saat di lakukan gerakan pembersihan yang dilanjutkan hingga kekampung-kampung disekitar wilayah Lubang Buaya. Karena didaerah-daerah itu sebelumnya disinyalir dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam gerakan pembersihan ke kampung-kampung disekitar Lubang Buaya, Ajun Brigadir Polisi (Abriptu/Kopral Satu) Sukitman yang sempat ditawan oleh regu penculik Brigjen D.I. Pandjaitan berhasil meloloskan diri. Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil menemukan jenazah para perwira tinggi Angkatan Daratyang dikuburkan dalan sumur tua. Pengangkatan jenazah baru berhasil dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota RPKAD dan KKOAL (marinir). Seluruh jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto) untuk dibersihkan dan kemudian disemayamkan. Di markas besar Angkatan Darat. Keesokan harinya bertetapan dengan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi, serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta.
Ketika berada di Halim Perdana Kusuma pada tanggak 1 Oktober 1965, presiden Soekarno mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada  seluruh jajaran Angkatan Bersenjata presiden Soekarno meminta untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masing-masing serta hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memlihara persatuan dan kesatuan nasional. Selain itu diumumkan bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu dipegang oleh Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, Asisten II Men/Pangad. Perintah itu tidak segera diketahui oleh anggota ABRI. Yang berada di luar Halim. Oleh karena itu pada hari yang sama, sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan untuk sementara memegang pimpinan Angkatan Darat.

4. Dampak peristiwa gerakan 30 september 1945 PKI
Peristiwa G30S/PKI 1965 yang terjadi di Indonesia telah memberi dampak negatif dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia yaitu,
1.      Dampak Politik
a.   Presiden Soekarno kehilangan kewibawaan di mata rakyat Indonesia.
b.   Kondisi politik Indonesia semakin tidak stabil sebab muncul pertentangan dalam  lembaga tinggi negara.
c.   Sikap pemerintah yang belum dapat mengambil keputusan untuk membubarkan PKI sehingga menimbulkan kemarahan rakyat.
d.   Munculnya aksi demonstrasi secara besar-besaran yang dilakukan rakyat beserta mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, KAPPI, dan KAPI menuntut pembubaran terhadap PKI beserta ormas-ormasnya. Tuntutan mereka dikenal dengan istilah tritura atau tiga tuntutan rakyat, yaitu :
1)      Pembubaran PKI.
2)      Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur- unsur PKI.
3)      Penurunan harga-harga barang.
e.   Pemerintah mengadakan reshuffle (pembaharuan) terhadap Kabinet Dwikora menjadi Kabinet Dwikora yang disempurnakan dengan ditujuknya kabinet yang anggotanya seratus menteri sehingga dikenal dengan Kabinet Seratus Menteri. Akan tetapi, pembentukan kabinet tersebut ditentang oleh KAMI dan rakyat banyak sebab dalam kabinet tersebut masih diambil menteri-menteri yang pro-PKI atau mendukung PKI sehingga mereka melakukan aksi ke jalan dengan mengempeskan ban-ban mobil para calon menteri yang akan dilantik. Aksi tersebut menewaskan seorang mahasiswa yang bernama Arif Rahman Hakim. Kematian Arif Rahman Hakim tersebut memengaruhi munculnya aksi demonstrasi yang lebih besar yang dilakukan mahasiswa dari para pemuda Indonesia di Jakarta maupun di daerah-daerah lainnya.
f.    Pada tanggal 25 Februari 1966, Presiden Soekarno membubarkan KAMI sebab dianggap telah menjadi pemicu munculnya aksi demonstrasi dan turun ke jalan yang dilakukan oleh para pemuda.
g.   Pada tanggal 11 Maret 1966, diselenggarakan sidang kabinet yang ingin membahas kemelut politik nasional. Namun sidang itu tidak dapat diselesaikan dengan baik karena adanya pasukan tak dikenal yang ada di luar gedung yang dianggap membahayakan keselamatan Presiden Soekarno.
2.      Dampak ekonomi
Di bidang ekonomi, peristiwa G30S/PKI telah menyebabkan akibat yang berupa inflasi yang tinggi yang diikuti oleh kenaikan harga barang-barang, bahkan melebihi 600% setahun. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan dua kebijakan ekonomi.
a.     Mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru yaitu dari Rp. 1000 menjadi Rp. 100.
b.     Menaikkan harga bahan bakar menjadi empat kali lipat tetapi kebijakan ini menyebabkan kenaikan harga yang sulit untuk dikendalikan.
B. Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret)
Pada tanggal 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan dan nyaris meruntuhkan pemerintahan Indonesia. Pemberontakan ini dikenal dengan sangat matang tersebut bertujuan untuk mengganti Pancasila dengan Komunis. Banyak pejabat tinggi TNI AD menjadi korban. Salah satunya menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal A.H.Nasution. Hal tersebut mengancam keamananan negara. Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat) segera melakukan koordinasi dan tindakan tegas. Para pemberontak PKI segera ditumpas dan Ibu kota diamankan.
Sejak peristiwa G30S/PKI, kondisi politik dan pemerintahan Indonesia semakin tidak stabil. Hal tersebut dipeparah dengan penyelesaian politik terhadap pelaku-pelaku G30S/PKI tidak segera dilakukan. Melihat keadaan bangsanya yang tidak menentu, nurani para mahasiswa tergerak untuk membela rakyat. Para mahasiswa pun melihat bahwa semua kejadian ini salah satunya adalah akibat sepak terjang dari PKI. Untuk itu, sejak awal Oktober 1965 mereka turun ke jalan berdemonstrasi menuntut pembubaran PKI. Oleh karen itu muncullah istilah "DPR Jalanan".
Di Jakarta kemudian timbul kesatuan-kesatuan aksi yang dipelopori oleh para mahasiswa untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Kesatuan-kesatuan aksi itu adalah KAMI, KAAPI, KABI,KASI, KAWI, dan KAGI. Bersama dengan organisasi politik-organisasi massa yang menentang dan mengutuk G30S/PKI, mereka membentuk Front Pancasila. Kesatuan aksi tersebut pada tanggal 10 Januari 1966 mengeluarkan tuntutan yang dikenal dengan istilah Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Isi Tritura sebagai berikut.
1. Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya.
2. Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI.
3. Turunkan harga/ perbaikan ekonomi.
Keadaan makin memanas ketika menlu Subandrio berupaya membentuk Barisan Soekarno untuk menghadapi aksi-aksi tersebut. Barisan Soekarno diduga akan beranggotakan dari ormas-ormas PKI. Subandrio berdalih pembentukan Barisan Soekarno untuk melindungi kewibawaan Presiden Soekarno yang menurun akibat dihujat oleh mahasiswa, namun keinginan Subandrio itu dapat digagalkan TNI AD dengan alasan berpotensi menimbulkan gejolak dan permusuhan dengan mahasiswa. Pemerintah mencoba memenuhi tuntutan mahasiswa dengan merombak dan menambah menteri-menteri yang ada didalam Kabinet Dwikora. Dengan adanya perubahan susunan menteri itu maka kabinet tersebut disebut Kabinet Dwikora yang disempurnakan(Kabinet seratus Menteri). Kabinet yng dibentuk pada bulan Februari 1966 itu memperbesar ketidakpuasan mahasiswa terhadap presiden. Mereka beranggapan kabinet yang dibentuk presiden Soekarno itu memasukkan para tokoh yang di duga kuat pro-PKI berarti, Tritura sama sekali diabaikan.
Dalam rangka memprotes pembentukan kabinet Dwikora yang disempurnakan, KAMI mengadakan aksi menghalangi upacara pelantikan menteri-menteri baru. Mereka memblokir jalan-jalan dan berdemosntrasi di depan istana merdeka, pada tanggal 24 Februari 1966. Ketika itulah, dalam bentrokan di depan istana merdeka, seorang mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim gugur terkena tembakan mendapat sebutan sebagai pahlawan Ampera. Sehari setelah insiden itu, pemerintah membubarkan KAMI.
Pada tanggal 11 Maret 1966, di istana negara diadakan sidang Kabinet Dwikora yang telah di sempurnakan yang di pimpin langsung oleh presiden Soekarno. Tujuan rapat kabinet adalah untuk mencari jalan keluar terbaik agar dapat menyelesaikan krisis yang memuncak secara bijak. Ketika sidang tengah berlangsung, Brigjen Subur, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk menghindari segala sesuatu yang tidak diinginkan maka presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Waperdam II (Wakil Perdana Menteri dua) Dr. J. Laimena. Dengan menaiki helikopter, presiden Soekarno di dampingi Waperdam I Dr. Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh bergegas meninggalkan Jakarta dan menuju istana Bogor. Sesuai sidang kabinet, Dr.J.Laimena pun menyusul ke Bogor.
Hadir dalam sidang kabinet itu tiga perwira tinggi angkatan darat, yakni Mayjen Basuki Rachmat(Menteri Urusan Veteran), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian) dan Brigjen Amir Machmud(Pangdam V/Jayakarta). Mereka sepakat menyusul presiden ke istana Bogor namun, sebelumnya mereka meminta izin terlebih dahulu kepada Letjen Soeharto
(pimpinan TNI AD) yang tidak hadir dalam sidang kabinet karena sakit sebagai atasannya
Di istana Bogor, ketika perwira itu mengadakan pembicaraan dengan presiden Soekarno. Diantaranya menyampaikan pesan dari Letjen Soeharto bahwa beliau menyatakan sanggup mengendalikan keadaan apabila diberi kepercayaan. Presiden Soekarno dalam pembicaraan itu didampingi oleh ketiga Waperdam. Pembicaraan itu menghasilkan suatu kesimpulan, yakni perlu dibuat suatu surat perintah kepada Letjen Soeharto sebagai Panglima angkatan darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah. Presiden Soekarno memerintahkan Brigjen Subur untuk menyusun konsep surat perintah kepada Letjen Soeharto. Surat itulah yang kemudian dikenal sebagai surat perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Pokok-pokok isi Supersemar itu sebagai berikut.
1)        Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden / Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.
2)      Pengadaan koordinasi pelaksana perintah dengan panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3)      Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkutan dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
Supersemar pada intinya berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan kestabilan jalannya pemerintahan. Selain itu, untuk menjamin keselamatan Presiden. Bagi bangsa Indonesia, Supersemar memiliki arti penting berikut.
1)      Menjadi tonggak lahirnya Orde Baru.
2)      Dengan Supersemar, Letjen Soeharto mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia.
3)      Lahirnya Supersemar menjadi awal penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
Letjen Soeharto sebagai pengemban Supersemar kemudian mengambil beberapa tindakan sebagai berikut.
1)      Tanggal 12 Maret 1966, dikeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan PKI beserta ormas-ormasnya, keputusan tersebut diperkuat dengan keputusan Presiden/Pangti ABRI/ Mandataris MPRS No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.
2)      Tanggal 18 Maret1966, pengemban Supersemar mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam G30S/PKI dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.
3)      Pembersihan lembaga legislatif dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS dan DPR-GR yang diduga terlibat G30S/PKI. Sebagai tindak lanjut kemudian dibentuk pimpinan DPR-GR dan MPRS yang baru. Pimpinan DPR-GR baru memberhentikan 62 orang anggota DPR-GR yang mewakili PKI dan ormas-ormasnya.
4)      Pemisahan jabatan pimpinan DPR-GR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPR-GR tidak diberi kedudukan sebagai Menteri. MPRS dibersihkan dari unsur-unsur G-30-S/PKI.
MPRS yang telah dibersihkan dari unsur PKI, pada tanggal 20 Juni-5 Juli 1966 segera melaksanakan Sidang umum IV MPRS. Sidang dipimpin oleh Jenderal A.H.Nasution. Hasil sidang tersebut menghasilkan beberapa ketetapan MPRS seperti berikut.
a.       Tap. MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b.      Tap. MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar negeri RI.
c.       Tap. MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pemberian kekuasaan kepada Letjen Soeharto untuk membentukan Kabinet Ampera.
d.      Tap. MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang pembubaran PKI dan pernyataan bahwa PKI sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah RI.
e.        Tap. MPRS No. XVIII/MPRS/1966, berisi pencabutan Tap. MPRS No. III/MPRS/1963 yang berisi pengangkatan Soekarno seumur hidup.
Sidang umum MPRS IV juga meminta pertanggung jawaban Presiden Soekarno, khususnya mengenai peristiwa G30S/PKI beserta epilognya. Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertangggung jawabannya pada tanggal 22 Juni 1966. Pada tanggal 22 Juni 1966. Pidato itu diberinya judul "Nawaksara" ("nawa"artinya sembilan, "aksara" artinya pasal). Namun, sidang MPRS ternyata tidak dapat menerima hasil pertanggung jawaban itu. Begitu juga ketika laporan itu di perbaiki dan dilengkapi "(Pel-nawaksara). Hal itu disebabkan Presiden Soekarno tidak menjelaskan kebijakan yang telah diambil berkaitan peristiwa G-30-S/PKI beserta epilognya.
Pada tanggal 25 Juli 1966, Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, selanjutnya sesuai Tap. MPRS No.III/MPRS/1996, presiden menugaskan Letjen Soeharto sebagai pengemban Supersemar untuk membentuk Kabinet Ampera. Jadi, Kabinet Ampera tetap dipimpin oleh presiden Soekarno, tetapi pelaksanaanya dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin Letjen Soeharto. Akibat dualisme kepemimpinan, Kabinet Ampera tidak maksimal dalam menjalankan tugas.
Sementara itu, DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya pada tanggal 9 Februari 1967 menolak Nawaksara beserta pelengkapnya sebagai suatu pertanggungjawaban presiden. Berdasarkan hal terebut, DPR-GR mengusulkan kepada MPRS untuk mengadakan sidang istimewa. Pimpinan MPRS pun menyetujui mengagenkan pelaksanaan sidang istimewa pada bulan Maret 1967.
MPRS mengadakan sidang istimewa pada bulan Maret 1967, untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekrno. Hasilnya adalah Tap MPRS No. XXXIII/MPRS Tahun 1967 tentang pengangkatan Soeharto menjadi Presiden RI. Dengan ketetapan tersebut terjadilah pergantian pemimpin Presiden /Mandataris MPRS secara Konstitusional. Dengan diangkatnya Soeharto menjadi Presiden RI, Indonesia memasuki masa orde baru.
DAFTAR PUSTAKA :
[1] Badrika,I Wayan.2006.Sejarah Untuk SMA Kelas XI Program Ilmu Alam. Jakarta :  Penerbit Erlangga
[3] Zamrud.2006.Sejarah Program IPA. Jakarta : Putra Nugraha
[4] Nana Supriatna, dkk, 1998, IPS Terpadu Sejarah, Bandung: PT. Grafindo Media Pratama.

No comments:

Post a Comment