INTERVENSI MILITER

PUTRI DWI KUMALA/S/A

Peran angkatan bersenjata memang sesuatu yang vital bagi Orde Baru dan cara kerjanya. ABRI menjaga dominasi negara atas masyarakat, ABRI membenarkan intervensi militer di bidang politik sipil menurut doktrin dwifungsi. Angkatan bersenjata mempunyai dua peran yang saling berkaitan, membela negara tidak hanya dari ancaman militer konvensional yang berasal dari luar negeri, tetapi juga dari bahaya dalam negeri dan berciri apa pun-militer, politik, ekonomi, sosial, budaya, atau ideologis. Yang menggaris
bawahi betapa pentingnya aspek kedua dari doktrin dwifungsi ini ialah kelangkaan musuh eksternal yang signifikan. Sebagaimana pernah di akui di depan umum oleh Jenderal Leonardus B. (Benny) Moerdani ketika ia menjadi panglima ABRI tidak ada dan kiranya tidak akan ada negara di luar yang memusuhi Indonesia secara berarti. Menurut propaganda ABRI musuh utama bangsa Indonesia adalah komunis dan muslim militer, kaum liberal, dan kalangan separatis, golongan separatis meliputi Gerakan Aceh Merdeka di Sumatera, Organisasi Papua Merdeka di Papua, dan merdeka yang mengangkat senjata demi kemerdekaan Timor Timur.
Angkatan bersenjata melaksanakan interverensi berkedok dwifungsi dengan menempatkan tenaga militer, yang aktif atau pensiunan, di MPR, DPR, dan DPR tingkat provinsi dan kabupaten, sebagai eksekutif dan staf di pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten. ABRI juga mengawasi penduduk melalui komando teritorial meliputi seluruh negara dari Jakarta sampai ke pulau terkecil termasuk setiap desa. Perwira yang aktif ataupun sudah pensiun, di angkat memangku jabatan di pemerintahan sipil dengan alasan perlindungan dan pengawasan. Pimpinan angkatan bersenjata mendirikan Golkar pada tahun 1964 dengan harapan dapat membatasi pengaruh yang semakin bessar dari PKI dan Onderbouw-nya. Hubungan militer dengan Golkar adalah sesuatu yang kontroversial bahkan dikalangan Orde Baru sendiri.[1]
            Bentuk-bentuk intervensi militer terhadap politik pada masa orde baru misalnya  tradisi intervensi militer yang diwarisi oleh masa demokrasi terpimpin dimana militer mempunyai hak yang sama dalam pemilu. Intervensi militer  berlanjut pada demokrasi pancasila yang didirikan "soeharto" bahkan militer menempati jatah kursi 100 buah dalam parlemen. Dengan kekuasaan tersebut, militer dapat dengan bebas melakukan apa saja bahkan dengan penyiksaan dan pembunuhan massal  peristiwa berdarah tanjung priok. Sebagian bukti dari kekuasaan militer yaitu rekaman dari hasil wawancara Tim Peneliti PPW LIPI dengan tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan solo Juli 1998: "pada saat itu setiap penduduk yang tidak memilih Golkar atau dicurigai tidak akan mencoblos Golkar dengan mudah dicap sebagai PKI. Kalau sudah demikian, aparat keamanan bebas melakukan apa saja, dari penyiksaan sampai penghilangan nyawa manusia. Korban kekerasan pemilu pada waktu itu tidak terhitung jumlahnya".
Selain itu, bentuk lain dari intervensi militer adalah adanya dwifungsi ABRI dimana ABRI berfungsi tidak hanya dalam segi militer tetapi juga memasuki urusan non-militer. Penyebab keberadaan dwifungsi ABRI juga tak lepas dari peran ABRI dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia.  Doktrin dwi fungsi ABRI ini dirumuskan pada saat seminar TNI AD ke I. Dalam seminar tersebut dapat dijelaskan mengenai TNI-AD befungsi sebagai suatu kekuatan sosial politik dan kekuatan militer.Dwifungsi ini juga ditegaskan dalam TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966 telah berhasil dibentuk kabinet Ampera, dengan dibentuknya Kabinet Ampera yang dipimpin oleh Soeharto yang didalamnya terdapat pula perwira-perwira ABRI. Hal ini menegaskan pula bahwa militer terjun ke dalam dunia politik. Telah disoroti pula 3 masalah pembinaan TNI-AD sebagai; Kekuatan Militer, Golongan Karya, dan Pembinaan Pertahanan Darat nasional. Indikasi ini bisa muncul karena disesuaikan dengan teori Huntington  dan Finer bahwa penyebab paling penting dari intervensi militer dalam politik adalah sistem kebudayaan politik, struktur politik serta institusionalnya. Institusi pada pemerintahan masa orde baru sangat mendukung adanya supremasi militer sehingga kekuasaan militer lebih dominan terhadap sipil.[2]
Munculnya AD sebagai kekuatan politik riil terkuat
Sejak dicetuskannya ide Jalan Tengah dari Nasution, ABRI mulai mengatur rencana untuk bisa masuk dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Momentum untuk masuknya ABRI, berawal dari keberhasilan ABRI menumpas rencana kudeta PKI. Bahkan PKI dapat ditumpas oleh ABRI sampai keakar-akarnya. Hal ini mengakibatkan hancurnya kekuatan politik PKI di Indonesia, yang telah dibangun sejak zaman sebelum kemerdekaan. Di tahun 1965, sejak runtuhnya PKI dan merosotnya kewibawaan Soekarno akibat kehancuran ekonomi Indonesia, ditandai dengan lengsernya Soekarno. Membuat ABRI, muncul sebagai pemegang kekuatan politik riil terkuat saat itu. Sehingga sejak Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad dan pemimpin operasi penumpasan PKI menggantikan Soekarno sebagai Presiden, maka ABRI mulai memperoleh pencerahan dan jalan lebar untuk terlibat secara aktif dalam sosial politik Indonesia.
Untuk memperkuat kekuatan politiknya, ABRI menerapkan beberapa strategi. Pertama, melakukan pelembagaan dwi fungsi ABRI yang berasal dari ide Jalan Tengah Nasution. Mulai dipertegas di doktrin AD dalam "Tri Udaya Cakti" thn 1965, dipertegas lagi dengan doktrin "Catur Dharma Eka Karma" thn 1967. Bahkan untuk memperkuat landasan dwifungsi ABRI, dikeluarkanlah UU/1982 No.20 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. Dimana pada pasal-pasalnya, disebutkan bahwa "Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial". Kedua, pengembangan sebuah sistem kontrol internal atas institusi ABRI, melalui reorganisasi di lingkup seluruh matra : AD, AL, AU, dan Kepolisian. Dimana semuanya menjadi di bawah kendali Pengab, sebagai pemegang kekuasaan tunggal atas operasi dan administrasi ABRI. Kekuatan panglima pada tiap matra menjadi berkurang tanpa memiliki wewenang operasional, yang hanya berstatus "Kepala Staf Angkatan". Dengan adanya langkah-langkah strategis dari ABRI tersebut, maka dominasi ABRI dalam dunia sosial politik Indonesia menjadi lebih dominan, bahkan menghegemoni.
ABRI juga melakukan intervensi terhadap kekuatan masyarakat sipil, salah satunya adalah dengan membentuk Sekber Golkar. Dengan membidani pembentukan sekber Golkar, membuat ABRI menjadi lebih terbuka untuk masuk dalam dunia sosial politik. Golkar saat itu bukanlah sebagai partai politik, melainkan sebagai ormas. Tetapi sekber Golkar sebagai ormas dapat ikut pemilu melawan partai politik. Pembentukan Golkar, merupakan efek dari ketidakpercayaan orde baru terhadap partai politik. Karena di masa Soekarno, terjadi instabilitas politik yang parah, bahkan membuat kondisi ekonomi menjadi hancur, inflasi sampai 600%. Dimana kondisi tersebut, dianggap sebagai ketidakmampuan partai politik dalam memegang pemerintahan. Karena itulah dibentuklah Golkar sebagai wadah ABRI untuk dapat berjuang di perpolitikan.
Sekber Golkar dibentuk oleh ABRI untuk mengimbangi kekuatan-keuatan komunis dan organisasi yang berafiliasi di bawahnya. Karena itu, Sekber Golakr merupakan gabungan dari ormas-ormas bentukan ABRI, seperti MKGR, Soksi, Kosgoro dengan organisasi lain, seperti 53 organisasi serikat buruh yang disponsori militer dan pegawai negeri, 10 organisasi profesi, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa, ABRI sendiri (AD, AL, AU dan Polri), 5 oranisasi wanita, 4 organisasi media massa, 2 organisasi petani dan nelayan serta 9 organisasi lainnya. Kesemuanya itu bergabung dalam Sekber Golkar dalam naungan ABRI di dalamnya.
Pada tahun 1966, karena dianggap terlalu gemuk secara keorganisasiannya, dilakukan reorganisasi terhadap Sekber Golkar. Dalam reorganisasi tersebut, Sekber Golkar akan menjai sebuah badan federasi yang dikelompokkan dalam 9 kino (kelompok induk organisasi). pada saat itu pula, Sekber Golkar diubah menjadi fungsinya dari sekedar ormas menjadi Orsospol baru. Dimana dari kepengurusan sekber yang baru, kesemuanya diduduki oleh ABRI kecuali satu, yaitu Drs.Sumiskun sebagai ketua salah satu kino Gerakan Pembangunan. Hal ini menujukkan bagaimana dominasi ABRI dalam tubuh Golkar sendiri.[3]
Lembaga kemiliteran merupakan simbol kemerdekaan dan kedaulatan yang paling menonjol. Lebih dari lembaga-lembaga masyarakat lainnya, lembaga kemiliteran diliputi oleh ide nasional. Setiap latihan militer menekankan identitas nasional dan patriotisme. Jadi apabila mereka mengintervensi dengan alasan kepentingan nasional, orang lebih mudah percaya.

            Pada beberapa negara berkembang yang belum stabil, memang keterlibatan militer dalam pemerintahan dan pembangunan sulit dihindari. Terutama pada negara-negara yang baru saja merdeka dari penjajahan atau pendudukan negara lain. Misalnya Irak. Beberapa ilmuan memandang bahwa keadaan yang terjadi di Irak merupakan tahapan awal untuk modernisasi
dan pembangunan politik diwilayah tersebut. Terdapat suatu kebiasaan yang berkepanjangan yaitu dengan melakukan kudeta atau intervensi militer yang berulang-ulang dalam negerinya. Misalnya Thailand. Selama 65 tahun sejak 1932 hingga kini (2008), militer di Thailand tetap menjadi kekuatan yang berperan penting dalam kehidupan negaranya. Menurut koran SINDO (30/12 2008), militer disana tidak kurang dari 24 kali melakukan kudeta.
            Dengan menggunakan pendekatan kekerasan fisik dan unsur-unsur militeristik
lainnya, TNI leluasa merampas hak-hak masyarakat sipil, khususnya berhubungan dengan hak mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat. Kesempatan untuk intervensi datang apabila pemerintah sipil terlalu bergantung pada militer, ataupun ketika negeri dilanda krisis, dan kesempatan militer untuk intervensi dapat juga timbul karena vakumnya kekuasaan. Berkurangnya dukungan masyarakat terhadap pemerintah, dan bertambahnya harapan pada militer, menciptakan kesempatan bagi militer untuk konsolidasi (memperkuat) pengaruhnya dalam kekuasaan negara.[4]

Kesimpulan
intervensi ABRI yang hegemonik dalam system politik masa orde baru, baik di legislative, eksekutif, dan dalam amsyarakat sipil seperti orsospol dan ormas, serta sosial budaya masyarakat. Mengakibatkan system politik masa orde baru memiliki karakteristik yang otoriter. Bagaimana militer mengebiri kekuatan rakyat untuk menyuarakan dan menuntut hak-haknya, membuat rakyat tidak bisa apa-apa, rakyat menjadi takut dan tidak berkembang secara pemikiran dan kedewasaan politiknya.

Kutipan
 [1] singh,Bilveer.1995.Dwifungsi ABRI : The Dual Function of the Indonesia Armed Fores. Singapore : Institute of International Affairs.
Daftar Pustaka
singh,Bilveer.1995.Dwifungsi ABRI : The Dual Function of the Indonesia Armed Fores. Singapore : Institute of International Affairs.

No comments:

Post a Comment