ARI GABRIEL SEBASTIAN
Negeri-negeri di sepanjang Sungai Rokan di Riau umumnya baru mulai disebut sebut setelah Kerajaan Suwarnabhumi runtuh pada abad ke-14 M. Negeri-negeri yang berada di bawah pengaruhnya kemudian melepaskan diri. Negeri-negeri seperti Kandis, Aru, Lamuri, Rokan, Siak, Keritang, Tumihang (Tamiang), Lahwas (Padang Lawas), Belawan/Deli, Krueng Aceh, Siak, Kampar, Inderagiri dan Sungai Tamiang yang rata berlokasi di pinggiran sungai yang bermuara ke Selat Melaka ini mulai bangkit ketika Suwarnabhumi sedang sibuk-sibuknya berperang. Kemungkinan pada masa ini daerah Rokan Hilir dikuasai oleh Kerajaan Rokan. Karena itu peninggalan-peninggalan berupa reruntuhan Candi Sintong dan Candi Sedinginan di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir merupakan peninggalan Kerajaan Rokan. Dari hasil ekskavasi tahun 1992/1993 di Candi Sintong diperkirakan candi ini dibangun pada abad 12 hingga 13 M. Periode ini merupakan masa kemunculan Kerajaan Rokan, Ghasib, dan Kandis seiring dengan mundurnya kekuasaan Suwarnabhumi. [1]
Candi Sintong dan Sedinginan tersebut memiliki pola arah hadap yang sama yaitu menghadap ke arah barat, menghadap ke aliran Sungai Rokan. Pendirian candi ini kemungkinan dihubungkan dengan adanya konsep siddayatra, perjalanan suci dari candi ke candi. Ada pula sumber lokal yang menyebutkan bahwa Kerajaan Rokan berdiri pada abad ke-14 dengan pusat pemerintahan di Kota Lama, yang pengaruh kekuasaannya sampai ke Batu Hampar. Tidak ada catatan tentang penguasanya, walaupun disebutkan bahwa penguasa Rokan adalah keturunan Gasib (Siak). Adapun pada masa pemerintahan Raja Mahmud Syah di Malaka, terjalin hubungan yang erat antara Kerajaan Rokan dan Kerajaan Malaka. Bahkan dikatakan bahwa Raja Mahmud Syah memperisteri puteri Raja Rokan yang kelak menurunkan Raja Ibrahim. Namun pada akhir abad ke-14 Kerajaan Rokan mengalami kemunduran akibat serangan Aceh. Samudera Pasai yang menjadi negara makmur pada abad ke 14 dan 15 dan berperan dalam mengislamkan beberapa wilayah di Nusantara, termasuk Rokan Hilir. Kehadiran Portugis di Samudera, menyebabkan banyak ulama atau keluarga kerajaan hijrah meninggalkan Pasai menuju Rokan. Pada masa inilah kemungkinan negeri-negeri di Rokan Hilir atau Riau pada umumnya mulai banyak menganut agama Islam. Tidak mengherankan bila sejak abad ke-15, Kerajaan Rokan diperintah seorang raja keturunan Sultan Sidi, saudara Sultan Sujak, sebagaimana diutarakan dalam Sejarah Melayu.
Rokan kemudian menjadi negeri bawahan Malaka yang berjaya pada akhir abad ke-15. Sultan Muhammad Syah Raja Malaka (1425-1455) mengawini puteri raja Rokan yang dijadikan Raja Perempuan atau Permaisuri Malaka. Rokan diketahui menjadi negeri pemasok tenaga manusia sebagai pasukan Malaka saat hendak berperang. Selain itu, Bandar Rokan, Kampar, Inderagiri dan Siak merupakan lokasi-lokasi penting bagi Malaka, untuk menguasai jalur distribusi komoditas seperti emas, lada, gaharu, dan sebagainya dari Tanah Datar di Sumatera Barat menuju ke Selat Melaka. Setelah berhasil menjatuhkan Malaka, Portugis juga berusaha menguasai daerah daerah di sepanjang Sungai Rokan dan Sungai Kampar. Demikianlah pada abad ke-16 Portugis menyerang negeri-negeri Kampar dan Rokan. Sebagian orang percaya bahwa meriam dan bekas benteng di Batu hampar (Rokan) dan di Langgam, Kampar (sekarang masuk dalam wilayah administratif kabupaten Pelalawan) merupakan bukti kedatangan Portugis ke negeri tersebut. Di Batu hampar juga ada lokasi yang dikenal sebagai Parit Peringgi. Dalam bahasa setempat/Melayu, kata peringgi kerap dikaitkan dengan orang Portugis. Tradisi lisan tempatan menceritakan bahwa pertempuran antara pasukan Portugis dan pasukan gabungan Inderagiri, Jambi, dan Aru di bawah koordinasi Sultan Mahmud, Raja Malaka yang melarikan diri ke Bintan pernah terjadi di Kerumutan di daerah Pelalawan pada sekitar tahun 1520-an.
Setelah Kerajaan Rokan yang berpusat di Pekaitan hancur, muncul Kerajaan Tanah Putih, Kerajaan Bangko, dan Kerajaan Kubu di wilayah Rokan Hilir. Kerajaan ini kemudian berada di bawah pengawasan kekuasaan Belanda pada abad ke-17, setelah terlebih dahulu mengusir Portugis dari Malaka pada tahun 1641. Pihak Belanda juga membangun loji-loji di bandar-bandar penting di muara Sungai Rokan, Kampar dan Siak, baik melalui perjanjian maupun dengan kekerasan senjata. Ketika memasuki abad ke-18, Siak di bawah Raja Kecil muncul menjadi kekuatan politik penting di wilayah Riau dan sekitarnya. Kerajaan Tanah Putih, Bangko dan Kubu sejak abad ke-18 M, tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Siak Inderapura. Untuk memperkuat pengaruh Siak, Sultan Said Ali mempersunting seorang puteri Kerajaan Tanah Putih.[2]
Pada masa Sultan Siak ke-11 (Sultan Syarif Hasyim, 1889-1908), Kerajaan Tanah Putih dijadikan bagian wilayah dan diperintah oleh seorang Kepala Negeri bergelar Datuk Setia Maharaja dan daerahnya disebut Negeri. Sementara di daerah Rokan Hulu, rajanya bergelar Yang Dipertuan dan daerahnya disebut Luhak. Peninggalan lama berbentuk makam di Rokan Hilir, yang berdekatan dengan reruntuhan candi, hampir dapat dipastikan merupakan peninggalan atau makam para bangsawan atau ulama beberapa Kerajaan Islam seperti; Kerajaan Rokan (di Kota Lama maupun di Pekaitan); Kerajaan Bangko, Tanah Putih dan Kerajaan Kubu. Makam dengan batu nisan seperti itu, memang hanya dipergunakan oleh golongan elite masa itu, seperti golongan ulama dan kerabat istana. Berdasarkan kedekatan letak makam-makam tersebut dengan situs candi, diperkirakan proses Islamisasi telah menyentuh kalangan elite Kerajaan Rokan yang masih Hindu-Buddha dan mereka kemudian menjadikan Islam sebagai agama kerajaan pada abad ke-15. Islamisasi melalui golongan bangsawan atau raja-raja mempercepat perkembangan Islam di Rokan. Dari sudut pandang ini, sangat mungkin Kerajaan Rokan Islam merupakan kelangsungan dari Kerajaan Rokan Hindu-Buddha.
Temuan Arkeologis Di Bagansiapiapi Di wilayah Batu Hampar pernah berdiri Kerajaan Bangko yang berdiri setelah runtuhnya Kerajaan Pekaitan akibat serangan Portugis. Setelah itu, aktivitas politik dan perdagangan di sepanjang aliran Sungai Rokan meredup selama beberapa abad. Aktivitas perdagangan kembali muncul setelah berdirinya beberapa kerajaan di sepanjang aliran Sungai Rokan. Di daerah Rokan Hulu muncul Kerajaan Rambah (berpusat di Pasir Pengairan), Kerajaan Tambosai (berpusat di Dalu-Dalu), Kerajaan Kepenuhan (berpusat di Kota Tengah), Kerajaan Rokan IV Koto (berpusat di Rokan IV Koto), dan Kerajaan Kunto Darusalam (Berpusat di Kota Lama). Sementara di Rokan Hilir muncul tiga kerajaan yaitu, Kerajaan Kubu (berpusat di Teluk Merbau), Kerajaan Tanah Putih (berpusat di Tanah Putih), dan Kerajaan Bangko, berpusat di Bantaian. Tidak diketahui dengan pasti kapan berdirinya Kerajaan Bangko. Wan Saleh Tamin (1972:51) menyatakan Kerajaan Bangko berdiri sekitar abad ke-16 M, sementara Ahmad Darmawy (2008:75) menegaskan Kerajaan Bangko berdiri sekitar setengah abad setelah runtuhnya Kerajaan Pekaitan. Patokan angka tahun ini mungkin berdasarkan serangan Portugis ke Bandar Melaka 1511 M, yang kemudian menguasainya dan beberapa bandar-bandar penting di sepanjang Sungai Rokan, termasuk Kerajaan Rokan dan kemudian Pekaitan. [3]
Kerajaan Bangko didirikan oleh Syarif Ali, seorang saudara Sultan Malik Al-Shaleh dari Kerajaan Pasai. Beliau melarikan diri dari Pasai karena serangan Portugis. Di Batu Hampar beliau membuka kampung dan mengembangkan agama Islam. Batu Hampar kemudian berkembang menjadi sebuah bandar penting yang ramai dikunjungi orang dari berbagai negeri, termasuk dari Langkawi (Malaysia) dan Aru. Syarif Ali yang kemudian dikenal sebagai Datuk Batu Hampar mendirikan Kerajaan Bangko. Dari narasi sejarah itu, tampak bahwa nama Makam Datuk Batu Hampar berhubung erat dengan proses Islamisasi di Rokan dan Syarif Ali dari Pasai adalah tokoh sentral dalam proses itu. Masuknya agama Islam ke Rokan sebenarnya sudah terjadi dua abad sebelum munculnya Kerajaan Bangko. Kerajaan Rokan yang sudah wujud pada abad ke-14 M sebagaimana disebutkan dalam Negara Kertagama, diperintah oleh raja-raja yang sudah memakai gelar Sultan. Menurut Sejarah Melayu, Raja Rokan adalah anak Sultan Sidi saudara Sultan Sujak (A. Samad Ahmad,1986:82). Agama Islam masuk ke Rokan dari Pasai melalui hubungan perdagangan yang mempertautkan antara kedua bandar perdagangan penting itu.
Jadi sejak masa itu Islam sudah mulai masuk ke Rokan dan kedatangan Syarif Ali ke Batu Hampar bukanlah mewakili golongan penyebar agama Islam yang pertama di Tanah Rokan. Tetapi beliau melanjutkan dakwah Islam di Batu Hampar yang kemungkinan masyarakatnya masih kuat menganut ajaran Hindu/Buddha. Analisis terhadap berbagai batu nisan yang ada di komplek makam dapat menjelaskan bagaimana proses Islamisasi di Rokan, khususnya di Batu Hampar. Tidak diketahui dengan pasti, siapa tokoh-tokoh yang dikuburkan di makam tersebut termasuk yang mana Makam Datuk Batu Hampar, karena tidak satupun terdapat tulisan pada batu nisan. Kemungkinan makam yang selama ini dikatakan sebagai makam Datuk Hampar yang diberi cungkup, berdasarkan pada kedudukannya yang lebih tinggi daripada makam-makam lainnya. Dugaan ini diperkuat dengan jenis batu nisan yang dipergunakan yaitu jenis AP10. jenis ini telah dipergunakan sejak abad ke-15 M dan penggunaannya makin ramai memasuki abad ke-16 M, terutama di Pasai dan Banda Aceh. Terdapat 12 batu nisan jenis AP10 yang betarikh abad XVI M di Asia Tenggara. Oleh karena itu, kedatangan Syarif Ali yang kemudian mangkat di Batu Hampar pada abad ke-16 M, sesuai dengan kronologi penggunaan jenis batu nisan yang dipakai pada makam beliau. Dari segi bentuk ukiran mungkin dapat diperkirakan jenis kelamin orang yang dikuburkan. Satu buah nisan bentuk dasar pipih (AP 10) yang utuh diperkirakan makam seorang perempuan karena terdapat ukiran berbentuk giwang (bulatan) pada kedua bahu nisan. Makam dengan jenis seperti ini dikenali sebagai makam permaisuri Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagan Siapiapi. [5]
Sultan Mujaffar Shah di Tanah Abang, Perak Tengah, Malaysia. Sementara nisan silindris (AS2 dan AS3), diperkirakan makam seorang lelaki, berdasarkan kepada bentuknya yang semacam gada dan nisan jenis ini memang tidak mempunyai ukiran ukiran yang melambangkan simbol kewanitaan. Dalam beberapa kasus, nisan jenis ini merupakan makam kaum lelaki, seperti makam Tun Sri Lanang di Biruen dan makam Syiah Kuala, di Banda Aceh. Nisan jenis ini sudah dipergunakan sejak abad XVI M dan berkembang pesat pada abad XVII M. Mengenai masih kuatnya tradisi Hindu-Buddha pada masyarakat Batu Hampar pada masa itu dapat kita ketahui dari bentuk dan ukiran pada batu nisan tersebut. Bentuk batu nisan jenis (AP4) mempunyai ukiran timbul berbentuk bulatan pada nisan kaki. Ukiran ini melambangkan sebuah sinar yang dikenal dengan 'Sinar Majapahit'. Simbol seperti ini juga terdapat pada nisan-nisan Islam di Troloyo, Jawa Timur sebagaimana telah diteliti oleh Damais tahun 1957. Meskipun semua nisan jenis ini tidak terdapat tulisan yang menunjukkan angka tahun, diperkirakan usianya cukup tua. Apabila merujuk kepada nisan jenis yang sama pada makam Sultan Alaeddin Said Maulana Abdul Aziz Syah di Gampong Bandrong, Desa Bandar Kalifah, Peurelak, Aceh Timur, maka diperkirakan penggunaan nisan ini sudah lebih tua daripada nisan lainnya.
Kerajaan Peurelak sudah berdiri sejak abad IX M, atau setidaknya sebelum Kerajaan Pasai abad XIII M. Simbol 'Sinar Majapahit' itu sendiri mencerminkan bagaimana kuatnya pengaruh budaya Jawa atau Hindu/Budha pada masyarakat setempat, sehingga harus diukirkan pada batu nisan kubur orang yang meninggal. Hal ini pula bermakna bahwa pengaruh Majapahit benar-benar wujud di tanah Rokan sebagaimana disebut dalam Negara Kertagama. Memang sukar memastikan apakah orang yang dikubur dengan nisan jenis ini hidup pada abad ke-13-14 M. Namun penggunaan batu nisan tersebut menunjukkan bagaimana sebuah proses Islamisasi terjadi dalam masyarakat yang masih kuat memegang tradisi pra-Islam. Meskipun penduduk memeluk agama Islam yang dibawa oleh Syarif Ali atau orang lain sebelumnya, masyarakat setempat masih kukuh mempertahankan tradisi Hindu/Budha. Hal ini tampak dengan digunakannya trimurti (tiga bagan) dalam kepercayaan Hindu/Budha pada bentuk nisan. Bentuk trimurti wujud pada bentuk dasar nisan segi empat, bagian tengah bentuk segi lapan bergerigi dan bagian puncak silindris serta terdapatnya ukiran kelopak bunga teratai (lotus) pada puncak nisan. Pola hiasan semacam itu terdapat pada candi-candi di Jawa. Sementara makam dengan dua buah batu nisan tipe Melayu, merupakan makam baru bukan dari periode Kerajaan Bangko ( Abad XVI – XVIII M). Hal ini dapat dikenali dari posisi makam yang tampak diselipkan diantara makam-makam kuno lainnya serta jenis batu yang dipergunakan adalah batu nisan tipologi baru. Tidak ada catatan sejarah tentang Makam Panjang. Menurut keterangan penduduk lokal, makam ini adalah makam orang Aceh atau kuburan orang Aceh. Jenis batu nisan tersebut juga terdapat di Kampung Pande, Kampung Lambhuk di Banda Aceh, Makam Putroe Bale, Pidie dan Makam Tok Dewangsa, Perak Tengah, Negara Bagian Perak, Malaysia. Sukar untuk menentukan kronologi situs makam tersebut, karena hampir semua makam dengan jenis batu nisan demikian tidak ada mengandung tulisan apapun. Tetapi berdasarkan kronologi Makam Putroe Bale di Pidie yang juga terdapat batu nisan dengan jenis serupa, kemungkinan Tapak Makam Panjang sudah wujud pada abad ke-16 sampai abad XVII M. Berdasarkan kedudukan Makam yang terletak di atas perbukitan, maka makam tersebut kemungkinan dahulunya merupakan komplek pemakaman golongan bangsawan atau ulama, sebagaimana lokasi pemakamamn kuno masa Kerajaan Islam di Nusantara. Namun Kerajaan Islam manakah yang kemungkinan pernah wujud di kawasan ini. Berdasarkan catatan sejarah, diketahui bahwa sejak abad XVI M terdapat Kerajaan Tanah Putih, Kerajaan Bangko dan Kerajaan Kubu (Pakaitan) di wilayah Rokan Hilir. Kerajaan-kerajaan ini muncul setelah Kerajaan Rokan yang berpusat di Kota Lama hancur karena serangan Kerajaan Aru atau Portugis pada awal abad XVI M. Berdasarkan jenis batu nisan dan data sejarah, kemungkinan Makam Panjang adalah peninggalan Kerajaan Tanah Putih. [6]
Kerajaan Tanah Putih berkedudukan di pertengahan Sungai Rokan. Sejak abad XVIII M, Kerajaan Tanah Putih tunduk dibawah kekuasaan Kerajaan Siak Inderapura. Untuk memperkuat pengaruh Siak, Sultan Said Ali mempersunting, seorang puteri Kerajaan Tanah Putih. Pada masa Sulatan Siak ke-11 (Sultan Syarif Hasyim: 188-198), Kerajaan Tanah Putih dijadikan propinsi dan diperintah oleh seorang Kepala Negeri yang bergelar Datuk Setia Maharaja dan daerahnya disebut negeri. Sementara di daerah Rokan Hulu, Rajanya bergelar Yang Di Pertuan dan daerahnya disebut Luhak. Masyarakat di Rokan Hilir disusun berdasarkan kelompok-kelompok suku. Masing masing negeri memiliki suku-suku dan setiap suku dipimpin oleh Kepala Suku. Gabungan dari kepala-kepala suku dipimpin oleh Pucuk Suku. Gabungan dari Pucuk suku dipimpin oleh Datuk Bendahara sebagai pendamping Raja dalam kerapatan adat. Wilayah Kerajaan Tanah Putih dari mulai Tanjung Segora mengikuti arah hulu Sungai Rokan berbatasan dengan daerah Kunto di Kota Intan. Dari Sarang Lang arah hulu Sungai Rokan ke kiri masuk Batang Kuman ke Muara Batang Buruk sampai ke Air Mendidih di Kepenuhan. Dari Sungai Ragun sampai Batin Delapan dan dari Batang Buruk hingga ke Langkuas berbatasan dengan kerajaan Tambusai di Dalu-Dalu. Terkait dengan keberadaan Rumah Kapiten di Bagansiapi-api, hal tersebut tidak lepas dengan suatu kebijaksanaan pihak kolonial di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda dahulu mengangkat orang pilihannya sebagai pimpinan masyarakat Tionghoa di suatu daerah. Mereka yang diangkat menggunakan pangkat-pangkat major , kemudian, kapitein, dan luitenant, serta yang terendah adalah wijkmeester (semacam ketua lingkungan dalam istilah sekarang). Para pemimpin tersebut oleh masyarakat Tionghoa disebut kongkoan, kata yang sebetulnya berarti kantor tempat pemimpin itu bekerja. Tugas yang dikerjakan pemimpin tersebut adalah mengantarai hubungan orang Tionghoa yang berurusan dengan pemerintah Hindia Belanda. Terkait dengan itu maka hal-hal yang dikerjakan adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat Tionghoa di suatu daerah, mengurus ikhwal kepercayaan, adat istiadat, perkawinan, dan hal lainnya. Selain mencatat perkawinan, kelahiran, dan kematian, mereka juga mengadili segala perkara di antara orang Tionghoa. Para pemimpin itu adalah pemberi nasehat kepada pemerintah Hindia Belanda dan sekaligus pembawa peraturan pemerintah kepada masyarakat Tionghoa. Berkenaan dengan itu dapat dimaklumi bila pada pemimpin itu terpilih karena pengaruh dan kehormatan serta kekayaannya di antara orang-orang Tionghoa. [4]
Daftar Pustaka :
1. Ahmad, A Samad. 1986. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pelajaran Malaysia [1]
2. Bappeda dan BPS Kabupaten Rokan Hilir. 2008. Rokan Hilir Dalam Angka/In Figures 2007.[1]
3. Darmawy, Ahmad. 2005. Syair Rokan Hilir. Bagan Siapi-api: Lembaga Seni Budaya Melayu Riau [3]
4. Kong Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu PopulerLufti, Muchtar (ed.). 1977. Sejarah Riau. Pekanbaru: Percetakan Riau [6]
5. Monografi Daerah Riau, 1981. Jakarta: Proyek Pengembangan Media kebudayaan, Depdikbud [2]
6. Suprayitno. 2008. Makam-Makam Di Raja Perak: Sumbangannya Kepada Asal Usul Kerajaan [5]
7. Sutrisna, Deni, Ery Soedewo, dan Lucas Partanda Koestoro. 2006. "Situs dan Objek Arkeologi di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau", dalam Berita Penelitian Arkeologi No.15. Medan: Balai Arkeologi Medan [4]
No comments:
Post a Comment