Mhd.Rahim
Melayu Pattani atau yang acapkali disebut Pattani, merupakan satu dari sekian banyak kelompok etnik Melayu di Asia Tenggara. Kelompok sosial ini bermukim di Tanah Genting Kra, Provinsi Pattani, Thailand Selatan (Pantai Teluk Thailand). Pattani juga merupakan salah satu nama dari empat provinsi di Thailand bagian selatan yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam atau sekitar 80% muslim. Di sebelah selatan, wilayah ini berbatasan langsung dengan Malaysia bagian utara, Semenanjung Malaka, region Asia Tenggara. Sementara di bagian utara dan barat, provinsi ini berbatasan langsung dengan Provinsi Yala (Jala) dan Narathiwat (Menara) di mana kedua provinsi ini pada masa lalu merupakan bagian dari Tanah Genting Kra atau Pattani Raya.
Dalam presentasenya, penduduk muslim di Negeri Gajah Putih hanya sekitar 5,5% dari keseluruhan warga negara yang mayoritas beragama Buddha (Asian Survey, Mei 1998). Dari 5,5% ini hampir seluruhnya orang Melayu Pattani yang bermukim di Provinsi Pattani. Fakta kuantitatif tersebut menyebabkan mereka terpinggirkan secara sosial dan politik, serta menjadikannya sebagai sukubangsa minoritas di Thailand. Karena hal itu pula, hingga kini, masih saja muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap negara (penguasa) dari orang Pattani. Salah satunya ialah gerakan separatis masyarakat Pattani yang dikenal dengan dar al-Islam.
Nama Pattani sesungguhnya baru muncul di sekitar abad ke-14 M. Sebelum itu, tanah Pattani adalah hak milik dari kerajaan yang bernama Langkasuka. Langkasuka merupakan salah satu dari puluhan kerajaan kuna di Asia Tenggara. Langkasuka berubah menjadi Pattani pada abad ke-14 karena berbagai hal yang sifatnya politik-ekonomi, terutama lantaran kerajaan ini berada di pusat perdagangan dan bertemunya para merkantil dari Asia dan Eropa (Syed Serajul Islam, 1998). Pedagang Arab mulai masuk sekitar abad ke-12, dan mencapai puncaknya di abad ke-15 melalui para pedagang Arab yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Pattani Raya.
Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi Kerajaan Pattani Raya tumbuh pesat. Oleh karenanya, interaksi semakin intens antara raja Pattani dan masyarakatnya dengan para pedagang yang berlabuh tadi, maka pada abad ke-15 raja Pattani mendeklarasikan bahwa dirinya—yang juga diikuti masyarakatnya—memeluk Islam. Sejak itu, Pattani dikenal sebagai masyarakat berbasis Islam dengan corak budaya, organisasi sosial masyarakatnya, dan institusi pemerintahan yang tentu berlainan dengan model Kerajaan Langkasuka yang berkiblat pada Hindu-Buddha.
Di awal abad ke-20, ketika Perang Dunia II meletus, bangsa Siam berpihak pada Jepang untuk menentang kependudukan Inggris. Sementara itu, Tengku Mahmud Muhyiddin, salah seorang putera mantan raja Pattani, berdinas dalam ketentaraan Inggris dengan pangkat mayor. Ia kemudian membujuk penguasa kolonial Inggris yang berkantor di India agar mengambil alih Pattani dan menggabungkannya dengan Semenanjung Melayu. Pada 1 November 1945, sekumpulan tokoh Pattani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil menyampaikan petisi pada Inggris agar empat wilayah di daerah selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Melayu.
Dalam perkembangannya, ternyata Inggris tetap mengutamakan kepentingan dirinya sendiri sebagai tolok ukur dalam mengambil keputusan. Dengan alasan tergantung pada pasokan beras dari Siam, maka kemudian Inggris memilih tetap mendukung pendudukan Siam atas Pattani. Pada tahun 1909 M, Inggris dan Siam menandatangani perjanjian yang berisi pengakuan Inggris terhadap kekuasaan Siam di Pattani. Dalam perjanjian itu, dijelaskan secara tegas mengenai batas wilayah kerajaan Siam dan Semenanjung Melayu. Garis batas yang disepakati dalam perjanjian tersebut sekarang menjadi daerah batas Malaysia dan Thailand.
Dari semua itu, sejarah panjang rakyat Pattani kerap diwarnai dengan perang dan damai; dua keadaan ini datang silih berganti. Namun, apapun kondisinya, ternyata rakyat Pattani tetap memiliki kehidupan sosial budaya yang tidak jauh berbeda dengan kawasan Melayu lainnya. Di Pattani, ternyata juga berkembang berbagai pertunjukan dan permainan rakyat, seperti Makyong, mengarak burung, wayang kulit Melayu, dan seni musik nobat.
Ø Problema Minoritas Muslim Thailand
Sejak 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih negara-negara di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala yang kemudian menjadi provinsi di Thailand. Minoritas Muslim yang hidup di Thailand menghadapi masalah yang sama dengan bangsa Moro di Filipina. Problem yang dihadapi kaum Muslim Thailand dan Filipina adalah problem kelompok minoritas yang harus hidup berdampingan secara damai dengan non-Muslim dalam negara yang sama.
Persoalan integrasi dan asimilasi di satu sisi serta bagaimana melestarikan nilai-nilai budaya dan agama adalah persoalan mendasar bagi kedua kelompok minoritas Muslim di dua negara ini. Kebijakan pemerintah yang memaksakan asimilasi dan integrasi –dalam perspektif masyarakat Muslim di kedua negara itu- dipandang tidak adil, karena dapat membahayakan dan menghilangkan identitas mereka sebagai Melayu dan Muslim. Andaikan mereka dapat memilih, mereka nampaknya akan memilih menyatu dengan negara Malaysia atau memisahkan diri menjadi negara tersendiri. Karena itu, kebijakan integrasi dan asimilasi pemerintah mendapat respon yang keras dari minoritas Muslim di kesua negara itu dan telah melahirkan konflik bersenjata antara kelompok minoritas dan pemerintah.
Ø Minoritas Muslim Thailand (Akar Sejarah)
Minoritas Muslim di Muangthai tinggal di empat provinsi bagian Selatan: Pattani, Yala, Satun dan Narathiwat, juga termasuk sebagian dari Provinsi Songkhla. Seluruh provinsi ini dulunya termasuk wilayah kesultanan Patani. Kapan tepatnya kerajaan Patani beralih ke agama Islam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Dengan berdirinya kesultanan Patani, wilayah ini kemudian tidak hanya meneguhkan diri sebagai pusat kekuasaan politik dan dunia dagang, namun juga menjadi tempat persemaian wacana agama dan intelektual.
Institusi sosial politik kesultanan setidaknya telah berupaya menopang proses Islamisasi dengan cara mempraktekan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Namun usaha lebih lanjut untuk mempertajam akar Islamisasi masyarakat ini terhalang oleh instabilitas politik kesultanan, terutama setelah Patani masuk dalam periode "Ratu-ratu Patani" (976-1101/1568-1688). Dalam taraf tertentu Patani masih menjadi daerah tujuan berkunjung dan tempat mengenyam pendidikan dini bagi anak-anak Muslim.
Dalam tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak untuk didengar. Yaitu Kheik atau khaek yang berarti orang luar, yang secara harfiah berarti pendatang atau orang yang datang menumpang. Dalam bahasa Thai, istilah ini juga selama berabad-abad sudah dikenal untuk menyebut kaum pendatang berkulit hitam dari daerah Melayu dan Asia Selatan, orang-orang Thai-Islam menolak sebutan ini dan menyatakan bahwa kedatangan mereka (khususnya di kawasan Thailand Selatan), jauh lebih awal daripada kedatangan orang-orang Budha Thailand.[24] Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi istilah ini menimblkan kontradiksi karena istilah Thai merupakan sinonim dari kata Budhasedangkan Islam identik dengan kaum muslim melayu pada waktu itu. Jadi bagaimana mungkin seseorang menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka dari itu kaum muslim melayu lebih suka dipanggil Malay-Islam.
Ø Minoritas Muslim Thailand dan Kebijakan Pemerintah
Derita yang dialami masyarakat muslim di Thailand Selatan yang sebagai minoritas ini adalah akibat dari pembatasan ruang gerak mereka untuk memperoleh hak-haknya dalam bidang ekonomi, politik, dan keagamaan. Juga karena problematika klasik yang telah berlangsung lama yang menyalahi keyakinan dan nilai-nilai keislamannya
Sebenarnya, Muslim Thailand lebih memilih untuk memisahkan diri dari kerajaan Muangtha atau bergabung dengan Malaysia, meskipun berada di bawah pemerintahan Inggris, karena dengan begitu mereka dapat hidup bersama dengan masyarakat yang seagama, sebahasa, sebudaya dan sebangsa. Kaum Muslim Thailand terkesan cenderung mengisolasi diri, hal itu karena kesulitan beradaptasi. Pertama, karena kebanyakan mereka (terutama yang tinggal di daerah rural seperti Pattani, Yala dan Narthiwat) hanya dapat berbicara sedikit bahasa Thai atau tidak bisa sama sekali. Ini membuat mereka tidak mampu berkomunikasi dengan kaum China dan Thai Buddha. Perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan
Kedua, berdasarkan keyakinan agama, kaum Muslim Thailand secara militan menolak prilaku sosial yang berkaitan dengan kedua kelompok tersebut. Selain itu, proses isolasi terhadap kamu muslim Thai, sebagian disebabkan oleh self impossed, sebagian juga disebabkan oleh tekanan orientasi komunikasi media. Banyak Media komunikasi seperti televisi lokal dan beberapa stasiun radio di wilayah tersebut khusus untuk melayani pemirsanative speaking Thai. Informasi-informasi yang disiarkan banyak menggunakan bahasa Thai dan memfokuskan diri pada soal-soal yang menjadi kepentingan populus Thai Buddhis dan China. Lebih dari itu surat kabar juga dicetak dalam huruf dan bahasa Thai, kecuali koran lokal, ada kolom yang menggunakan bahasa Melayu. Kebananyakan muslim Thai justru mendengarkan siaran atau membaca koran yang datang dari negara tetangga dekatnya, Malaysia.
Mereka lebih banyak melakukan kegiatan dalam segala hal menurut aturan negara tetangga mereka, yaitu Malaysia. Mulai dari bahasa komunikasi hingga tata cara beradab mereka semua berdasarkan adat melayu. Singkatnya, meskipun mereka berada berdiam di Tahiland tapi mereka lebih sering menggunakan bahasa Melayu. Selain itu, mereka juga terbiasa hidup berdampingan dengan kaum sesama Muslim dari Malaysia karena mereka lebih nyaman berinteraksi dengan sesama umat Islam. Oleh karena itu, tidak heran jika mereka lebih fasi berbicara bahasa melayu ketimbang bahasa negara mereka sendiri.
Adanya banyak kesenjangan sosial yang masih berlanjut antara kaum Muslim Thai dan kaum Buddhis Thai, mengakibatkan kaum muslim Thai yang tinggal di Selatan Thailand merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah dan pengaturan administrasi di wilayah "tanah tumpah darah mereka".
Perasaan diasingkan dan ketidakpuasaan semakin kuat dirasakan ketika kaum bangsawan Patani dicopot dari semua kekuasaannya, dan semua jabatan yang dulu mereka pegang dialihkan kepada birokrat dari Bangkok atau provinsi-provinsi Utara, yang memiliki Bahasa, Agama, dan Budaya yang berbeda dengan masyarakat muslim Patani.
Ø Kehidupan Keberagamaan
Kawasan Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim adalah daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan agama yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya wilayah utara Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam. Saat itu dibuatlah Traktat Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim Pattani. Akibatnya, muncul aksi-aksi perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat militer di wilayah tersebut.
Di beberapa kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan melainkan agama para individu yang mobil yang menyatu dalam jaringan asosiasi internasional. Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui perdagangan, haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.
Sudah pada tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah supaya elindng, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala bidang kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, hak yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang beragama Budha.
Ø Pendidikan Di Thailand
Pendidikan yang digalakkan oleh pemerintah Kerajaan Thailand tergolong bersifat deskriminatif terhadap Islam. Pada tahun 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha. Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah, dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan menjatuhkan raja.
Dampak yang menonjol dari perkembangan yang berorientasi ke dalam hal ini. Misalnya, pada tahun 1966, sekitar 60% anak-anak di Pattani tidak dapat berbicara bahasa nasional. Hal itu berkaitan dengan banyaknya orang tua Muslim yang lebih senang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agama.
Strategi yang perlu dibangun masyarakat muslim di Thailand Selatan pada saat ini adalah memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas local. Namun, sampai saat inipun masyarakat muslim Pattani Thailand menghadapi diskriminasi komplek dan teror yang berlarut-larut. Sehingga kehidupan sosial maupun politik menjadi sangat terbatas. Akhirnya pemerintah Thailand juga belum mampu memberi pendidikan merata terhadap kaum muslim. Tekanan berbasis keamanan selalu mengancam mereka. Kesenjangan ini menurunkan nasionalisme mesyarakat di luar mayoritas T
DAFTAR PUSTAKA
Imam hanafi,dkk,2006.Sejarah Islam Asia Tenggara, riau.\
Helmiati, 2008. Dinamika Islam Asia Tenggara,Pekanbaru:suska press.
Dedi Supriyadi,2008. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Ceria.
Alwi, Al-Habib, 2001, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Jakarta: Lentera Basritama.
Anuar, Nik Mahmud, 2004. Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1885-1954, Saremban.
Aphornsuvan, Thanet, 2003. History and Politics of The Muslim in Thailand, Thammasat University
No comments:
Post a Comment