PERTIWI RESTI/ SI5
Pertumbuhan Penduduk
Waktu memerintah sebagai Letnan Gubernur Jenderal Inggris, Raffles memperhitungkan bahwa penduduk Pulau Jawa sebanyak empat setengah juta jiwa. Dengan angka tersebut saja Pulau Jawa sudah merupakan pulau yang terpadat di daerah yang dahulu disebut Hindia Timur ini. Hal ini tidak mengherankan. Sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno, Pulau Jawa dan beberapa tempat di Sumatera memang telah diberitakan sebagai daearah-daerah yang berpenduduk ber-"laksa-laksa"; apalagi kalau dibandingkan dengan daerah-daerah yang merupakan "kerajaan-kerajaan desa" yang saling terpencil. Walaupun demikian, kenaikan jumlah dan kepadatan penduduk di Jawa merupakan salah satu gejala sosial-ekonomi yang terjadi selama masa kolonial. Menurut sensus penduduk tahun 1930, penduduk Pulau Jawa telah berjumlah 40 juta jiwa. Jadi, dalam waktu 130-140 tahun saja penduduk Pulau Jawa dan Madura telah naik sepuluh kali lipat.
Sebenarnya, dari sudut kepadatan penduduk, Indonesia dengan mudah dapat di bagi atas tiga golongan besar. Pembagian ini kebetulan sejajar dengan perbedaan ekologis dari daerah-daerah tersebut, yaitu:
1. Kelompok berkepadatan penduduk tinggi, yaitu Pulau Jawa, Bali Selatan, sebagian Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Kelompok ini terdiri dari kira-kira 75% dari seluruh penduduk Indonesia.
2. Kelompok berkepadatan penduduk sedang, yang terdiri dari daerah-daerah luar Jawa lainnya, yaitu hampir seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara.
3. Kelompok berkepadatan penduduk rendah, yaitu daerah yang pernah disebut sebagai Timur Besar, seperti Maluku, Irian Jaya/Papua, dan pulau-pulau kecil lainnya.
Migrasi Intern dan Ekstern
Distribusi penduduk antara daerah satu dengan daerah lain tidaklah selalu seimbang. Ada daerah yang sangat jarang penduduknya dan ada pula yang sangat padat. Tekanan pada satu daerah yang padat dari zaman dahulu telah merangsang untuk berpindah tempat dan memperluas daerah jangkauan untuk teknologi pertanian yang telah dimiliki. Oleh sebab itu, daerah penerima pendatang biasanya adalah daerah yang masih punya kemungkinan untuk dikembangkan.
Dalam salah satu kebijakan Politik Etis pun migrasi dilakukan karena faktor ekonomi, dalam proses migrasi ini pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Pulau Jawa untuk dijadikan buruh yang akan dipekerjakan di daerah perkebunan atau daerah pertambangan milik Belanda. Dari Jawa dipindahkan ke perkebunan karet di Pematang Siantar, Sumatera Utara, di daerah pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Tekanan ekonomi atau barangkali tekanan untuk mendapatkan produksi baru, bukanlah faktor satu-satunya yang menyebabkan orang berpindah atau menyebar ke daerah lain. Jika perpindahan perseorangan mungkin dapat disebabkan oleh berbagai motif yang kadang-kadang khusus sifatnya, maka perpindahan yang berkelompok dapat juga disebabkan oleh faktor nonekonomi, seperti tradisi politik dan sosial. Tradisi melakukan migrasi di dapati di Sumatera Barat. Sejak abad ke-15 masyarakat Minangkabau mulai mengenal perpindahan ke daerah lain, walaupun tetap selalu menjaga hubungan adat dengan daerah asal. Dari sudut tradisi ini dapat pula dilihat keinginan untuk mendirikan suatu daerah kekuasaan baru. Begitu pula tradisi Tapanuli yang memungkinkan kepala kelompak untuk menjadi penguasa setempat, menjadi salah satu pendorong bagi melebarnya daerah budaya Toba-Batak ke daerah Simalungun di Sumatera Timur.
Sebagai akibat dari kenaikan kerapatan penduduk, pemerintah berusaha dan memberi fasilitas bagi dimungkinkannya perpindahan penduduk. Dibukanya jalan kereta api yang menghubungkan Kalisat dan Banyuwangi pada tahun 1901 merupakan salah satu pendorong bagi migrasi dari Jawa Tengah ke ujung Jawa sebelah Timur yang masih kosong. Sejak awal abad ke-20 daerah-daerah Kedu, Yogyakarta, Madura, Kediri, dan Madiun di Jawa telah merupakan daerah yang melepas migran-migran ke daerah lain. Sebaliknya, Besuki adalah daerah penerima transmigran yang terpenting.
Perpindahan intern yang lain, terutama terjadi di Tapanuli dan Sumatera Barat, baik karena dorongan untuk mendapat daerah baru maupun atas ajakan pemerintah Belanda supaya dapat bekerja pada perkebunan. Perpindahan dari daerah Toba-Batak bertambah banyak ke daerah Simalungun, Sumatera Timur. Pada tahun 1915 hanya 9.000 jiwa yang menjadi penetap baru di Simalungun. Pada tahun 1926 jumlah ini telah naik menjadi 42.000 orang. Kira-kira 60 persen penduduk yang meninggalkan Tapanuli menetap di Sumatera Timur.
Kemampuan pemerintah kolonial untuk menciptakan sistem keamanan yang agak mantap merupakan pendorong untuk mengadakan migrasi intern di daerah-daerah lain. Semacam mobilitas geografis terjadi dengan kecepatan yang lebih deras. Tentu saja kecenderungan dari proses ini disebabkan pula oleh daya tarik setelah terbukanya kesempatan- kesempatan dan kerja baru.
Keterbukaan kesempatan ini pula terutama yang mendorong migrasi ekstern - perpindahan dari satu pulau ke pulau lainnya – baik secara kelompok maupun sendiri-sendiri. Dari Kalimantan Selatan mengalir migran-migran ke Riau dan Jambi. Sebaliknya, Kalimantan Selatan dimasuki oleh migran-migran dari Sulawesi Selatan. Tentu saja, Pulau Jawa sebagai daerah yang terpadat dan sekaligus juga merupakan pusat kekuasaan politik dan ekonomi di zaman kolonial menjadi pusat terpenting dari mobilitas ini. Dari Jawa banyak mengalir para migran dan ke Jawa migran-migran dari pulau-pulau lain banyak mencari penghidupan baru. Aliran migran ke Jawa adalah salah satu akibat dari daya tarik Jawa sebagai pusat segala kesempatan yang bertautan dengan modernisasi yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda.
Aliran migrasi antarpulau yang terpenting ialah dari Jawa ke Sumatera. Berdasarkan sensus 1930, dari 825.000 kelahiran Jawa yang berada di pulau-pulau lain, 767.000 orang atau 92,9 persen berada di Sumatera. Malah jumlah suku bangsa-suku bangsa dari Jawa (Jawa, Sunda, dan Madura) di seluruh Sumatera mencapai angka 1.046.000 atau 13,5 persen dari penduduk anak negeri Sumatera keseluruhan. S uku Jawa sebenarnya telah merupakan suku bangsa ketiga di Sumatera. Jumlah mereka adalah 11,4 persen dari penduduk seluruhnya, di bawah suku bangsa Minangkabau (25,6 persen), dan Batak (15,8 persen). Sebagian besar, kira-kira 60 persen dari pendatang-pendatang Jawa berada di Sumatera Timur dan sisanya terutama di Lampung.
Corak dan sifat aliran migrasi ke Lampung dan Sumatera Timur tidaklah sama. Sumatera Timur didatangi karena dibukanya perkebunan-perkebunan besar dan migrasi dilakukan berdasarkan perjanjian perburuhan. Sebaliknya, dengan Lampung, pendatang-pendatang adalah mereka yang meninggalkan daerah mereka karena kurangnya tanah pertanian, dan migrasi terjadi dan diberi keleluasaan yang wajar oleh pemerintah. Pada kasus Sumatera Timur, masalah pokok ialah masalah perburuhan, sedangkan pada kasus Lampung, rencana dan pelaksanaan dari emigrasi – atau, yang menurut istilah sekarang transmigrasi – yang menjadi masalah. Padahal, yang pertama terlibat dengan langsung soal keadilan dan harkat manusia, yang kedua ialah usaha bagi hidup yang lebih baik. Emigrasi adalah salah satu unsur dari formula van Deventer untuk membayar "Utang Kehormatan" di samping "edukasi" dan "irigasi". Emigrasi adalah bagian politik etis, yang mulai dijalankan pada tahun 1901.
Boleh dikatakan dasawarsa pertama dan kedua dari usaha transmigrasi berjalan dengan tersendat-sendat. Cerita yang dibawa dari transmigrasi ke daerahnya bukanlah cerita yang mendatangkan kegairahan untuk berpindah. Barulah pada dasawarsa ketiga usaha ini lebih digiatkan dan sejak itu transmigrasi yang besar-besaran diadakan. Akan tetapi, sebelumnya, suatu patokan, yang berisi "10 pantangan", antara lain "jangan memilih yang bukan petani", "jangan memilih orang tua", "jangan membawa serta orang bujangan", dan sebagainya, dan perbaikan dalam sistem administrasi serta kesehatan, diadakan. Pada tahun 1932 dipindahkan 7.000 jiwa, kemudian setelah mengalami kemunduran selama dua tahun, maka tahun 1934 jumlah tersebut dapat dilipat dua, tahun 1937 jumlah yang dipindahkan ialah 19.639, tahun berikutnya naik menjadi 32.000, dan selanjutnya kenaikan ialah sekitar sepuluh ribu jwa tiap tahunnnya.
Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened., Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
Praptanto , Eko. 2010. Sejarah Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional. Jakarta: Bina Sumber Daya Mipa.
No comments:
Post a Comment