SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEEMASAN DI IRAK


Eko Adi Putra/ SP
 Irak terletak di sebelah Barat Daya Benua Asia. Ibu kota Irak adalah Bagdad, negara ini memiliki luas wilayah lebih kurang sekitar 438.317 km. Jumlah penduduknya berdasarkan data statistik tahun 1419 H / 1998 M mencapai 25.000.000 jiwa, dengan persentase kaum muslimin sebanyak 97%, sebagian adalah pengikut Sunni dan sebagian lainnya adalah pengikut Syi'ah, yang sebagian besar berada di wilayah selatan. Di samping itu, juga terdapat sedikit orang orang Nasrani dan Yahudi. Sumber daya alam terbesar dalam menopang keuangan negaranya berasal dari minyak bumi. Irak merupakan sebuah negeri yang sangat tinggi peradabannya, karena di negeri ini telah berdiri sejumlah peradaban kuno klasik. Di antaranya peradaban Sumeria (3700-2350 SM), Kekaisaran Akkadiyah I (2350-2200 SM), kekaisaran Babilonia (1895-1595 SM) yang diserang oleh Al-Kasyi, kemudian kekaisaran Asyuriyah (1153-612 SM), yang diserang oleh Persia, Hailini dan Romawi (539 SM-635 M).
            Sejak keberhasilan pasukan Sa'ad bin Abi Waqqash menguasai Qadisiyah pada tahun 14 H/ 635 M, maka sejak saat itu Irak berada dalam wilayah pemerintahan Islam. Dengan demikian, berakhirlah sejarah kekaisaran Persia. Dalam perjalan selanjutnya, Irak kemudian tunduk di bawah raja-raja Islam, seperti Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Pada mulanya, ibu kota Irak adalah Al-Hasyimiyah dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al- Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya yaitu Bagdad, dekat dengan bekas ibu kota Persia. Ctesiphon, tahun 762 M. Pendiri kekhalifahan dinasti Abbasiyah adalah Abu Abbas As-Saffah. Dibawah kepemimpinan Abu Abbas, pasukan bani Abbasiyah berhasil mengalahkan tentara bani umayyah. Abu Abbas naik takhta dan mulai berkuasa pada tahun 750 M. Ia memerintah hingga 775 M. [1]
Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan Islam kedua yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan. Kekhalifahan ini berkuasa setelah dapat di rebutnya dari bani Ummayah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah adalah keturunana paman Nabi Muhammad SAW yang termuda yaitu, Abbas bin Abdul Muththalib.              Islam mengalami masa keemasannya pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah. Masa keemasan Islam yang juga dinilai sebagai fase perkembangan terpenting bagi pendidikan Islam dan perkembangan ilmu umum ini terjadi pada kurun waktu abad ketiga sampai abad kelima hijriah.
Dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, madrasah-masradah dan universitas-universitas yang merupakan pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Tumbuh dan berkembangnnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam yang sangat cepat, merupakan ciri pendidikan Islam pada masa ini. Mengkaji sejarah pendidikan Islam pada masa masa keemasan dan kejayaan, Bidang perkembagan Pendidikan Islam pada Masa Keemasan, dan Sistem  pendidikan Islam pada masa kejayaan. [2]
A. Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awal 132 H. Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pasukan Marwan ibn Muammad (pasukan dinasti Umayyah) melawan pasukan Abdul Abbas. 
Pemberontakan tersebut terjadi akibat ketidak puasan mereka tehadap khalifah-khalifah sebelumnya. Dan akhirnya di menangkan oleh pasukan Abbas.   Pasukan pemberontak terdiri dari kalangan Khawarij, Syi'ah, Mawali, dan bani Abbas. Para Mawali bekerja sama dengan bani Abbas, komando tertinggi gerakan bani Abbas tidak menyisakan keluaga Umayah, karena perburuannya terhadap keluarga Umayyah itu, ia dijuluki dengan As-Safah yang berarti "yang  menumpahkan darah". Abu Abbas kemudian didaulat menjadi khalifah pertama bani Abbasiyah. Tahun 750 M diproklamasikan berdirinya pemerintahan bani Abbasiyah di Kufah. Khalifah petamanya adalah Abu Abbas Ash Shaffah yang di ba'at di Masjid Kufah.
B.  Pendidikan Islam Pada Masa Keemasan
Masa bani Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ''The Golden Age''. Pada masa itu umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, maupun peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Pemerintah Bani Abbasiyah berkuasa selama 5 abad, yaitu dari tahun 750-1258 M. Pada awalnya pusat pemerintahan di kota Kufah kemudian pindah ke Hira lalu ke Abar (Hasyimiyah) dan akhirnya ke Baghdad. Baghdad adalah ibu kota pemerintah bani Abbasiyah yang paling strategis yaitu, kota ini di bangun oleh Abu ja'far al Mansur dengan bentuk bulat, dan arsitek pembangunan adalah Hajjaj bin Art dan Amron bin Wahdah. Baghdad menjadi kota internasional dan disebut sebagai kota seribu malam. [3]  
Ahli sejarah membagi pemerintahan bani Abbasiyah menjadi 5 priode yang didasarkan pada kondisi politik pemerintahan.
1. Periode Pertama (tahun 750 – 847 M)
Pada periode ini terdapat pengaruh persia yaitu masuknya keluarga Barmak dalam pemerintahan bani Abbasiyah dan dalam bidang ilmu pengetahuan. Puncak kejayaan terjadi pada periode ini yaitu ketika di pinpin oleh khalifah Harun Al Rasyid. Semua sektor perekonomian maju, ilmu pengetehuan berkembang pesat sehingga rakyat menjadi sejahtera.
2. Periode kedua (tahun 874 – 945 M)
Bangsa Turki yang menjadi tentara mulai mendominasi pemerintahan bani Abbasiyah. Mereka memilih dan menentukan khalifah sesuai dengan kehendaknya. Pada masa ini bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran.
3. Periode ketiga (tahun 945 – 1055 M)
Pada masa bani Abbasiyah di bawah kekuasaan bani Buwaihi. Khalifah posisinya makin lemah hanya seperti pegawai yang digaji saja karena bani Buwaihi berpaham Syi'ah sedangkan bani Abbasiyah berpaham Sunni.
4. Periode keempat (tahun 1055 – 1199 M)
Periode ini ditandai dengan masuknya bani Saljuk dalam pemerintahan bani Abbasiyah karena telah mengalahkan bani Buwaihi. Keadaan khalifah mulai membaik terutama bidang agama karena bani Saljuk dengan bani Abbasiyah sama-sama sepaham Sunni.
5. Periode kelima (tahun 1199 – 1258 M)
Pemerintahan bani Abbasiyah tidak berada di bawah kekuasaan siapapun tetapi wilayah kekuasaannya hanya tinggal Baghdad dan sekitarnya. Pada tahun 1258 M, tentara Mongol dipinpin oleh Hulagu Khan masuk kota Baghdad menghancur leburkan kota Baghdad dan isinya, sehingga berakhirlah bani Abbasiyah.
Sebenarnya zaman keemasan bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan pengganti Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Di masa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis Kesenian, terutama kesusastraan pada khususnya, kebudayaan pada umumnya. [4]
Sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode. Yaitu periode Klasik, Pertengahan dan Modern.  Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa Ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang). Kekuasaan bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Muawwiyah Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang berasal dari suku Quraisy keturunan bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin Abdi Syam bin Manaf.
Setelah Muawwiyah diangkat jadi khalifah ia menukar sistem pemerintahan dari Theo Domikrasi menjadi Monarki (Kerajaan/Dinasti) dan sekaligus memindahkan Ibu Kota Negara dari Kota Madinah ke Kota Damaskus.  Muawwiyah lahir 4 tahun menjelang Nabi Muhammad SAW menjalankan Dakwah Islam di Kota Mekkah, ia beriman dalam usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi ke Yastrib.  Disamping itu termasuk salah seorang pencatat wahyu, dan ambil bagian dalam beberapa peperangan bersama Nabi. Pada dinasti Umayyah perluasan daerah Islam sangat luas sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah selatan yang merupakan tambahan dari daerah Islam di zaman Khulafa Ar Rasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir. Seiring dengan itu pendidikan pada priode Dinasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttab, Masjid, dan Majelis Sastra.  Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam.  Metode pengajarannya pun tisak sama.  Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://nurkholisalbantani.blogspot.com/2012/09/masa-kejayaan-pendidikan-islam.html
[2] http://achmadaswar.blogspot.com/2013/05/makalah-pendidikan-islam-pada-masa-keemasan.html
[3] http://syafieh.blogspot.com/2014/01/perkembangan-islam-pada-masa-abbasiyah.html   
[4] Badri Yatim, Dr. MA. Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Abbasiyah. Jakarta : PT.
Grafindo Persada, 2006.

PENUMPASAN G-30-S/PKI

Zhila Tahta Arzyka/SIV

            Partai-partai komunis yang ada di dunia ini pada dasarnya mempunyai garis politik yang sama. Tujuan mereka dalam rangka menciptakan Diktatur Proletar, yakni merebut kekuasaan pemerintah dengan jalan apapun. Garis politik PKI, usaha mencapai tujuannya telah tampak jelas sejak Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan perkembangannya setelah tahun 1950 sampai dengan meletusnya Pemberontakan G-30-S/PKI.
            Dengan terpilihnya D.N. Aidit sebagai ketua pada tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI yang kacau balau pada tahun 1948 yang lalu. Usaha itupun berhasil dengan baik, terbukti pada Pemilihan Umum tahun 1955 PKI berhasil menjadi salah satu diantara empat partai besar di Indonesia. Sepuluh tahun selanjutnya, setidaknya sejak tahun 1964, PKI merasa bahwa dirinya sebagai partai terkuat dan mulai meningkatkan persiapannya untuk melaksanakan perebutan kekuasaan. Pada tahun 1964 dibentuklah Biro Khusus langsung di bawah pimpinan D.N Aidit. Orang pertama dalam organisasi itu adalah Sjam Kamaruzaman, orang yang kedua adalah Soepono Marsudidjojo (Pono), dan orang ketiga yakni Walujo (Bono). Biro Khusus ini aktif dalam melaksanakan pematangan situasi bagi perebutan kekuasaan dan melakukan infiltrasi ke dalam tubuh ABRI dan usaha penyusunan kekuatan dengan menggunakan tenaga-tenaga yang sudah terlatih dalam militer dari kalangan anggota PKI maupun Pemuda Rakyat dan Gerwani.
            Menjelang akhir Agustus 1965, pimpinan Biro Khusus PKI terus menerus mengadakan pertemuan-pertemuan, yang kesimpulannya dilaporkan kepada ketua CC PKI D.N. Aidit. Kemudian diputuskan oleh Aidit bahwa gerakan perebutan kekuasaan akan dipimpin langsung oleh D.N Aidit, sebagai pemimpin tertinggi gerakan. Sjam Kamaruzaman ditetapkan sebagai pimpinan pelaksana gerakan, Pono sebagai wakil pimpinan gerakan, dan Bono ditetapkan sebagai pimpinan bagian observasi. Selanjutnya kepada Sjam selaku pimpinan pelaksana gerakan diinstruksikan untuk mengadakan persiapan-persiapan terakhir menjelang pelaksanaan gerakan. [1]
Sejak tanggal 6 September 1965 pimpinan Biro Khusus PKI berturut-turut mengadakan rapat-rapat rahasia, dengan beberapa orang oknum ABRI yang telah lama dibina untuk membicarakan persiapan pelaksanaan gerakan. Rapat pertama dilakukan di rumah Kapten Wahjudi jalan Sindanglaya 5, Jakarta, dihadiri oleh Sjam, Soepono, Letnan Kolonel Untung Sutopo (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa), Kolonel A. Latif (Komandan Brigade Infantri I Kodam V/Jaya), Mayor Udara Suyono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim), Mayor A. Sigit (Komandan Batalyon 203 Brigade Infantri I Kodam V/Jaya), dan Kapten Wahjudi (Komandan Kompi Artileri Sasaran Udara). Dalam rapat tersebut dibicarakan tentang situasi umum dan sakitnya Presiden Soekarno. Selanjutnya, Sjam melontarkan isu adanya Dewan Jenderal yang akan mengadakan perebutan kekuasaan pemerintahan, dan menyampaikan instruksi Aidit untuk mengadakan gerakan mendahului kudeta Dewan Jenderal. Rapat kedua diselenggarakan tanggal 9 September 1965 di tempat yang sama, membicarakan kesepakatan bersama untuk turut serta dalam gerakan dan mengadakan tukar pikiran tentang taktik pelaksanaan gerakan, terutama masalah organisasi dan pengendalian kesatuan-kesatuan yang akan digunakan dalam gerakan serta pembagian tugas dan calon pimpinannya. Rapat ketiga pada tanggal 13 September 1965 di rumah Kolonel A. Latif, jalan Cawang I Kavling 524/525, Jatinegara. Rapat keempat tanggal 15 September 1965 dan kelima tanggal 17 September 1965 juga di rumah Kolonel A. Latif. Rapat keenam tanggal 19 September 1965 bertempat di rumah Sjam, jalan Salemba Tengah Jatibuntu Jakarta.
Dalam rapat ini Mayor A. Sigit tidak hadir karena sejak dalam diskusi-diskusi yang terdahulu ia tidak dapat diyakinkan tentang adanya Dewan Jenderal, oleh karena itu ia tidak menyetujui gerakan yang akan dilancarkan. Sebagai akibat dari sikapnya itu ia disisihkan serta untuk selanjutnya tidak diikutsertakan lagi. Rapat ketujuh tanggal 22 September 1965 juga diselenggarakan di Sjam, Kapten Wahjudi tidak ikut hadir dan sejak itu tidak muncul-muncul lagi di dalam rapat-rapat selanjutnya.
Dalam rapat itu ditetapkan penentuan sasaran gerakan bagi masing-masing pasukan. Yang akan bergerak menculik atau membunuh para Jenderal Angkatan Darat diberi nama pasukan Pasopati. Pasukan territorial dengan tugas utama menduduki gedung RRI dan gedung Telekomunikasi diberi nama Pasukan Bimasakti, dan pasukan yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan di Lubang Buaya diberi nama pasukan Gatotkaca. Rapat kedelapan tanggal 24 September 1965, dan terakhir tanggal 29 September 1965 kesemuanya dilakukan di rumah Sjam. [2]
Setelah persiapan terakhir menjelang pelaksanaan kudeta dibicarakan dalam rapar-rapat rahasia oleh tokoh-tokoh pelaksana utama di bawah pimpinan Sjam, ditetapkan bahwa gerakan akan dimulai pada hari Kamis malam tanggal 30 September 1965. Sesuai dengan keputusan rapat terakhir tanggal 29 September 1965 di rumah Sjam, gerakan itu diberi nama Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal G-30-S/PKI ataupun Gestapu/PKI. Disamping mengadakan rapat-rapat rahasia dengan beberapa orang oknum ABRI yang memangku jabatan di Jakarta tersebut, Sjam selaku Kepala Biro Khusus PKI berturur-turut mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala Biro Khusus daerah yang diselenggarakan di rumahnya. Di dalam rapat-rapat itu dibicarakan tugas-tugas yang harus dijalankan oleh Biro Khusus daerah dalam rangka gerakan yang akan dilancarkan. Pertemuan dengan Biro Khusus Daerah Jawa Barat tanggal 4 September 1965, dengan Biro Khusus Daerah Jawa Barat tanggal 8 September, dengan Biro Sumatra Barat tanggal 17 September, dan daerah Biro Khusus Daerah Jawa Tengah 15 September, dengan Biro Khusus Daerah Sumatra Barat tanggal 17 September, dan daerah Biro Khusus Daerah Sumatra lainnya tanggal 20 September 1965.
Secara fisik-militer gerakan akan dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) selaku pimpinan formal seluruh gerakan. Mereka mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965, didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa ke desa Lubang Buaya sebelah selatan Pangkalan Udara Utama Halim Perdana Kusuma. Secara kejam mereka dianiaya dan akhirnya dibunuh oleh anggota-anggota Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain organisasi satelit PKI. Setelah puas dengan segala kekejamannya, semua jenazah dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua lalu ditimbun dengan sampah dan tanah. Keenam perwira tinggi tersebut adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani, Deputi II Pangad (Mayor Jenderal R. Soeprapto), Deputi III Pangad (Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo), Asisten I Pangad (Mayor Jenderal Siswondo Parman), Asisten IV Pangad (Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan), Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo).
Jenderal Abdul Haris Nasution, Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) berhasil meloloskan diri dari bahaya penculikan, tapi putri beliau Adik Irma Suryani tewas akibat tembakan penculik. Ajudannya, letnan Satu Pierre Andries Tendean menjadi sasaran penculikan karena sepintas lalu dalam kegelapan wajahnya mirip Jenderal Nasution. Telah tewas juga Brigadir Polisi (Pembantu Letnan) Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah Jenderal A.H. Nasution. Bersama pengawal lainnya Satsuit Tubun mengadakan perlawanan ketika mereka akan dilucuti oleh penculik yang akan masuk ke rumah Jenderal A.H. Nasution. Bersama dengan gerakan penculikan, mereka juga menguasai dua buah sarana komunikasi yang vital yaitu Studio RRI Pusat di jalan Medan Merdeka Barat, dan gedung PN Telekomunikasi di jalan Medan Merdeka Selatan. Melalui RRI yang telah mereka kuasai, pada pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 Letnan Kolonel Untung menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September. Antara lain diumumkan bahwa gerakan mereka ditujukan kepada jendral-jendral anggota  Dewan Jendral yang akan mengadakan kudeta (perebutan kekuasaan).
Untuk menutupi tujuan yang sebenarnya, fitnah dilancarkan terhadap tokoh-tokoh pimpinan Angkatan darat. Mereka mengumumkan bahwa G-30-S/PKI dilancarkan oleh perwira-perwira yang berfikiran maju, menentang rencana kudeta Dewan Jenderal. Tapi kedok yang dilapisi fitnah tersebut terbuka sendiri pada hari itu. Pada pukul 13.00 disiarkan sebuah dekrit tentang pembentukan Dewan Revolusi, dan Kabinet Dwikora dinyatakan demisioner. Diumumkan pula bahwa  Dewan Revolusi merupakan sumber kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia. Dengan adanya hal tersebut maka terbukalah tabir yang menyelubungi tujuan G-30-S yang sebenarnya, bahwa mereka adalah gerakan merebut kekuasaan yang didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan pimpinan Angkatan Darat, karena mereka dinilai sebagai penghalang utamanya.
Gerakan yang mendadak, dilaksanakan pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 oleh G-30-S/PKI yang berhasil membuat masyarakat kebingungan. Akan tetapi, pada hari itu, Panglima Komandan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto setelah menerima laporan mengenai terjadinya penculikan dan pembunuhan segera betindak cepat untuk menguasai keadaan. Hal tersebut sesuai dengan tata cara yang berlaku bahwa apabila Menteri/Panglima Angkatan Darat berhalangan, Pangkostrad yang ditunjuk mewakilinya. Sambil menunggu pengaturan lebih lanjut dari Presiden/Panglima tertinggi ABRI, untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegangnya, lalu dengan segera ia mengambil langkah-langkah mengadakan koordinasi di antara kesatuan-kesatuan ABRI, khususnya yang ada di Jakarta, melalui Panglima masing-masing yang semuanya berhasil dihubungi kecuali Menteri/Panglima Angkatan Udara yang ternyata mendukung G-30-S/PKI. Lalu diambil kesimpulan bahwa penculikan dan pembunuhan terhadap perwira tinggi Angkatan Darat adalah merupakan bagian dari usaha perebutan kekuasaan pemerintahan, bahwa pimpinan Angkatan Udara membantu gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September, bahwa Batalyon 454/Diponegoro dan 530/Brawijaya yang berada disekitar Medan Merdeka disalah gunakan oleh G-30-S/PKI.
Hubungan dengan Presiden Soekarno tidak dapat dilakukan karena ia berada di Pangkalan Udara Utama Halim Perdana Kusuma yang dikuasai oleh G-30-S/PKI, sehingga tidak dapat dimintai petunjukknya untuk menghadapi keadaan tersebut. Maka Pangkostrad dengan berpegang kepada Saptamarga memutuskan untuk segera melancarkan operasi menumpas G-30-S/PKI dengan keyakinan bahwa gerakan tersebut adalah suatu pemberontakan untuk merebut kekuasaan pemerintahan, yang tampak jelas setelah mereka mengumumkan dekrit pembentukan Dewan Revolusi dan Pendimisioneran Kabinet Dwikora. Dengan menggunakan unsur-unsur Kostrad yang sedang berada di Jakarta dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun ABRI (Batalyon 328 Kujang/Siliwangi, Batalyon 2 Kavaleri, dan Batalyon 1 Resimen Para Komando Angkatan Darat), maka gerakan penumpasan segera dimulai.
1.      Penumpasan di Jakarta
 Penumpasan G-30-S/PKI yang dilancarkan tanggal 1 Oktober itu juga, diusahakan sedapat mungkin terjadi tanpa adanya bentrokan senjata. Pertama kali yang dilakukan adalah diusahakannya penetralisasian para pasukan yang ada di sekitar Medan Merdeka yang digunakan oleh pemberontak. Anggota-anggota pasukan Batalyon 530/Brawijaya minus 1 kompi, berhasil diamankan dari keterlibatan dalam pemberontakan, dan berhasil di tarik ke markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan anggota-anggota Batalyon 545/Diponegoro sekitar pukul 17.00 ditarik mundur oleh pihak pemberontak ke Lanuma Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer mulai digerakkan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965, dan pukul 19.15 pasukan RPKAD telah berhasil menduduki gedung RRI Pusat dan geung Telekomunikasi serta mengamankan seluruh Medan Merdeka tanpa terjadinya bentrokan senjata. Batalyon 328 Kujang/Siliwangi telah menguasai Lapangan Banteng untuk pengamanan Markas Kodam V/Jaya dan sekitarnya. Lalu, Batalyon I Kavaleri berhasil mengamankan BNI Unit I dan Percetakan Uang Kebayoran. Maka dalam waktu yang sangat cepat tanggal 1 Oktober itu juga kota Jakarta telah dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan gerakan para pemberontak berhasil dikalahkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menginsafkan pasukan-pasukan yang terlibat dalam pemberontakan, melalui RRI pada pukul 20.00, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan tentang adanya usaha perebutan kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan Tiga Puluh September. Diumumkan pula tentang penculikan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat. Presiden dan Menko/KASAB dalam keadaan aman dan sehat juga dinyatakan bahwa antara Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Kepolisian telah terdapat saling pengertian untuk bekerja sama serta terdapat kebulatan tekad untuk menumpas G-30-S. Kepada rakyat dianjurkan supaya tetap tenang dan waspada. [3]
Ketika berada di Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno telah mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh Angkatan Bersenjata untuk mempertinggi kesiap siagaan dan untuk tetap di pos masing-masing dan hanya bergerak atas perintah. Seluruh rakyat supaya tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan dan memelihara kesatuan dan persatuan nasional. Diumumkan pula bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu berada langsung dalam tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI, dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra, Asisten III/Men/Pangad. [4]
Perintah tersebut tidak segera diketahui oleh para anggota ABRI yang berada di luar daerah Halim, oleh karena pada hari yang sama sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan bahwa untuk sementara ia memegang pimpinan Angkatan Darat. Langkah berikutnya adalah membebaskan Pangkalan Udara Halim. Kepada Presiden Soekarno telah disampaikan pesan melalui kurir khusus supaya meninggalkan daerah tersebut. Setelah meninggalkan Halim menuju Istana Bogor, diperintahkan supaya pasukan RPKAD, Batalyon 328 Kujang/Siliwangi, dan Batalyon 1 Kavaleri bergerak menuju sasaran. Bantuan kekuatan sebanyak tiga kompi tempur Kavaleri Pengintai dari Bandung dipimpin langsung oleh Komandan Kesenjataan Kavaleri (Dansenkav) Kolonel Subiantoro telah tiba di Cijantung, langsung diikut sertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpang tiga daerah Cililitan, Kramatjati dan simpang tiga Lanuma Halim, Lubang Buaya. Tanpa menemui kesulitan, pada pukul 06.10 tanggal 2 Oktober 1965, Pangkalan Udara Halim telah dikuasai. Tetapi terjadi bentrokan senjata yang tidak terlalu besar dari pasukan Batalyon 454, ketika gerakan pembersihan dilanjutkan ke kampung Lubang Buaya yang sebelumnya dijadikan tempat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Agar masalah ini dapat diselesaikan, maka pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua Panglima Angkatan ke Istana Bogor. Ia memutuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung berada dalam tangan Presiden. Untuk menyelesaikan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat tetap ditunjuk Mayor Jenderal Pranoto, dan kepada Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan peristiwa 30 September. Keputusan tersebut diumumkan melalui RRI Pusat pukul 01.30 pada tanggal 3 Oktober 1965. Hal ini merupakan awal eksistensi Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Pada tanggal 3 Oktober 1965, ditemukannya tempat jenazah para perwira Angkatan Darat yang dikuburkan dalam sebuah lubang sumur tua. Penggalian dan usaha dalam pengangkatan jenazah pada saat itu ditunda, karena hari sudah gelap dan mengalami kesulitan tekhnis karena lubang sumur bergaris tengah kurang dari 1 meter kedalaman 12 meter. Keesokan harinya tanggal 4 Oktober, pengangkatan berhasil diselesaikan oleh para anggota RPKAD dan KKO-AL. Seluruh jenazah di bawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (Rumah Sakit Gatot Subroto) untuk dibersihkan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. 5 Oktober 1965, bertepatan Hari Ulang Tahun ABRI. Para jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.
Kebijaksanaan Presiden Soekarno mengenai penyelesaian masalah G-30-S dinyatakan dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor, bahwa Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno menandaskan bahwa ia mengutuk pembunuhan-pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualang-petualang kontra- revolusi dari apa yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Presiden tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan Dewan Revolusi. Hanya Bung Karno sajalah yang bisa mendemisioner kabinet, bukan orang lain. Setelah keluarnya pernyataan Presiden tersebut dan semakin tersingkapnya mengenai fakta bahwa PKI yang mendalangi G-30-S, kemarahan rakyat kepada PKI semakin bertambah, terbukti dengan dibakarnya gedung kantor pusat PKI di jalan Kramat Jaya. Rumah-rumah para tokoh PKI dan kantor-kantor mereka menjadi sasaran kemarahan rakyat, aksi-aksi corat-coret menuntut supaya pimpinan PKI diadili dan demonstrasi menuntut pembubaran PKI yang dipelopori oleh mahasiswa, pelajar, dan ormas-ormas yang setia kepada Pancasila. Gerakan operasi pembersihan sisa-sisa G-30-S terus ditingkatkan, antara lain telah berhasil ditangkap Kolonel A. Latief komandan yang telah dipecat dari Brigade Infanteri I/Kodam V Jaya tanggal 9 Oktober 1965. Bekas Letnan Kolonel Untung tertangkap ada tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal dalam perjalanan melarikan diri ke Jawa Tengah.
Dengan adanya kejadian tersebut, Presiden Soekarno masih belum mengambil langkah-langkah kearah penyelesaian politik daripada masalah G-30-S/PKI. Sementara itu D.N. Aidit dalam pelariannya, tanggal 6 Oktober 1965 dari Blitar mengirim surat kepada Presiden, ia mengusulkan supaya melarang adanya tuduh menuduh dan salah menyalahkan. Dengan hal seperti itu diharapkan kemarahan Rakyat kepada PKI reda. Akan tetapi, aksi-aksi rakyat tetap berjalan terus. Pepelrada-pepelrada (Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah) yakni Komando Daerah Militer (Kodam) berutut-turut membekukan PKI dan ormas-ormasnya.
2.      Penumpasan Di Jawa Tengah
Di seluruh wilayah Indonesia, daerah yang paling gawat dalam Pemberontakan G-30-S/PKI adalah Jakarta dan Jawa Tengah. Di kedua tempat tersebut pemberontakan sempat menggunakan kekuatan senjata, sedangkan di daerah-daerah yang lain secara umum pihak G-30-S/PKI tidak dapat beraksi menggunakan senjata. Kodam VII/Diponegoro memiliki 3 Brigade, yakni Brigade 4, 5, dan 6. Sebagai hasil dari garapan oleh Biro Khusus PKI anggota-anggota Brigade 6 dipergunakan oleh G-30-S/PKI dan para anggota Brigade 5 minimal dipengaruhi. Hanya anggota-anggota Brigade 6 yang tidak terpengaruh. Batalyon-batalyon yang aktif dipergunakan oleh G-30-S/PKI yakni Batalyon K dan M berkedudukan di Solo, Batalyon L dan C berkedudukan di Yogya, dan Batalyon D berkedudukan di Salatiga.
Pada pukul 13.00 tanggal 1 Oktober 1965 melalui RRI Semarang, Asisten I Kodam VII/Diponegoro Kolonel Sahirman mengumumkan dukungannya terhadap G-30-S/PKI Daerah Tingkat I Jawa Tengah. Lalu mereka menguasai Markas Kodam VII/Diponegoro yang kemudian dijadikan pusat gerakannya, untuk meluaskannya ke seluruh Korem dan Brigade di dalam lingkungan Kodam VII/Diponegoro. Pasukan pelindung yang dipergunakannya telah didatangkan dari Solo, yakni Batalyon  K pimpinan Mayor Kadri dan dua kompi Batalyon D dari Salatiga pimpinan Mayor Soepardi. Pasukan-pasukan itu terutama ditempatkan di Makodam, RRI, Telekomunikasi, dan tempat-tempat strategis lainnya. Kolonel Sahirman mengumumkan bahwa Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto mengambil alih pimpinan Kodam VII/Diponegoro.
Dewan Revolusi di Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Dengan menggunakan Batalyon L mereka menguasai Makorem 072 dan menculik Kepala Staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugijono.  Setelah itu mereka mengeluarkan perintah kepada segenap Komando Distrik Militer supaya mendukung G-30-S, dan membagikan senjata kepada anggota Legiun Veteran setempat. Pada tanggal 2 Oktober 1965 terjadi demonstrasi anggota-anggota PKI dan ormas-ormasnya di depan Makorem 072 untuk menyatakan dukungan kepada G-30-S. Pada hari itu juga Kolonel Katamso diculik dari rumahnya dan dibawa ke komplek Batalyon L di desa Kentungan, utara Yogyakarta. Selanjutnya bersama Letnan Kolonel Sugijono ia dibunuh dengan memukul kepalanya hingga pecah dengan tangkai mortar.
Setelah ada siaran RRI Jakarta bahwa Jakarta telah dikuasai kembali oleh ABRI, maka pasukan-pasukan yang dipergunakan G-30-S mulai tidak kompak. Sehingga kota Semarang pada pukul 10.00 telah berhasil dikuasai kembali tanpa adanya letusan senjata. Kolonel Sahirman dan kawan-kawan melarikan diri ke luar kota dikawal oleh 2 kompi anggota Batalyon K pimpinan Mayor Kadri. Sedangkan 2 kompi anggota Batalyon K lainnya dan 2 kompi anggota Batalyon D dapat disadarkan kembali dari keterlibatan G-30-S/PKI. Selanjutnya berturut-turut kota demi kota yang pernah dikuasai G-30-S berhasil direbut kembali. Daerah Jawa Tengah merupakan basis PKI yang kuat, itulah alas an mengapa D.N Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah, menggunakan pesawat terbang yang telah dipersiapkan oleh Menteri/Panglima Angkatan Udara Omar Dani, setelah Jakarta dikuasai kembali oleh ABRI.
Dalam mengatasi kekacauan dan menegakkan ketertiban umum, Pangdam VII/Diponegoro mendapat bantuan pasukan RPKAD dan Kavaleri yang diberangkatkan dari Jakarta tanggal 16 Oktober dan tiba di Semarang tanggal 19 Oktober 1965. Untuk melancarkan gerakan pembersihan terhadap sisa-sisa G-30-S/PKI, tanggal 1 Desember 1965 dibentuk Komando Operasi Merapi yang dipimpin langsung Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.  Dalam operasi ini ditembak matinya bekas Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, Letnan Kolonel Usman, Mayor Samadi, Mayor R.W. Sakirno, dan Kapten Sukarno. Operasi penumpasan terhadap PKI gelap dilakukan pula di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur di daerah pegunungan Lawu dan Kendeng, dengan nama operasi KIkis, berhasil menghancurkan kompro-kompro dan menangkap 200 orang kader PKI.
Penyelesaian aspek politik sebagaimana diputuskan dalam siding Kabinet Dwikora 6 Oktober 1965 akan ditangani langsung oleh Presiden Soekarno. Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G-30-S/PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut menuntut penyelesaian politis yang terlibat G-30-S/PKI, dan pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan dalam satu front, yaitu Front Pancasila.
Gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI makin bertambah meluas. Perasaan tidak puas menggugah hati nurani para pemuda, dan tercetuslah Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat atau Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Tanggal 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan (Tritura), yaitu pembubaran PKI, pembersihan cabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI, dan penurunan harga/perbaikan ekonomi. Selanjutnya masalah tuntutan terhadap pembubaran PKI, dilaksanakan oleh Letnan Jenderal Soeharto tanggal 12 Maret 1966 sehari setelah menerima Surat Perintah 11 Maret (SP 11 Maret/Supersemar). Sejak itu dimulailah pengkoreksian atas segela penyelewengan yang dilakukan Orde Lama. Maka dari hal tersebut tanggal 11 Maret 1966 dianggap sebagai awal permulaan Orde Baru [5]

Notes :

 [1] Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI), Jakarta, 1978, hal. 100
[2] Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, op. cit., hal 101-105
[3] Komando Operasi Tertinggi, Rangkaian Pidato Dan Pernjataan-pernjataan Resmi Disekitar “Gerakan 30 September”, Djakarta, 1965, No. 2
[4] Komando Operasi Tertinggi, Rangkaian Pidato Dan Pernjataan-pernjataan Resmi Disekitar “Gerakan 30 September”, Djakarta, 1965, No. 1
[5] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan PN Balai Pustaka

PERHIMPUNAN INDONESIA MASA RADIKAL


SYAFITRI ARIYANI/SI IV/B
      Perhimpunan Indonesia (PI) didirikan pada tahun 1908 oleh orang-orang Indonesia yang berada di Negara Belanda, diantaranya adalah Sultan Kasayangan, R.N. Noto Suroto, mula-mula dengan nama  "Indische Vereeniging".(1)
      Tujuan dari Perhimpunan Indonesia ini adalah untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama dari orang-orang yang berasal dari Indonesia, maksudnya orang-orang pribumi dan non-pribumi bukan orang Eropa, di Negara Belanda dan hubungan dengan Indonesia. Pada mulanay organisasi ini bersifat organisasi sosial. Akan tetapi semenjak berakhirnya Perang Dunia 1 perasaan anti kolonialisme dan imperialisme dikalangan pemimpin-pemimpin indisch Vereeniging makin menonjol. Lebih-lebih sejak adanya seruan Presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat setelah Perang Dunia 1 berakhir, kesadaran mereka tentang hak dari bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
      Perkembangan baru dalam tubuh organisasi itu juga membawa perubahan nama yang kini diganti menjadi " Indonesische Vereeniging" pada tahun 1922. Pergantian nama ini diartikan dengan perasaan bersatu antara orang-orang Indonesia. Para mahasiswa ini juga giat berdiskusi, mereka melakukan diskusi dirumah anggota-anggota perkumpulan yang memeiliki keluarga di Belanda. Selain berdiskusi dengan sesama anggota, para anggota yang berkumpulan ini juga berdiskusi dengan orang Belanda.
      Pada tahun 1925 disamping nama dalam bahasa Belanda dipakai, nama Perhimpunan Indonesia(PI) juga dipakai. Dan lama-kelamaan hanya nama PI saja yang dipakai, dengan demikian PI semakin tegas bergerak memasuki bidang politik. Perubahan ini juga didorong oleh bangkitnya seluruh bangsa-bangsa terjajah di Asia-Afrika untuk menuntut kemerdekaan.
      Majalah Hindia Potra bulan Maret 1923 menyebutkan keterangan azas PI yaitu: " mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab hanya kepada Rakyat Indonesia semata-mata, bahawa hal yang demikian itu hanya akan dapat dicapai oleh orang Indonesia sendiri bukan dengan pertolongan siapapun juga, sehingga segala jenis perpecahan tenaga haruslah dihindarkan supaya tujuan itu lekas tercapai.(2)
      Semenjak tahun 1923, PI aktif berjuang bahkan memelopori dari jauh perjuangan kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia dengan jiwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang murni dan kompak. Berdasarkan perubahan ini PI keluar dari Indonesisch Verbond van Studeerenden ( suatu perkumpulan yang bertujaun menggabungkan organisasi-organisasi mahasiswa Indonesia, Belanda, Indo Belanda dan peranakan  Cina yang berorientasi ke Indonesia dalam suatu kerja sama) pada tahun 1923 karena dianggap tidak perlu lagi. Dalam tahun itu juga diterbitkan suatu buku peringatan PI yang menggemparkan kaum kolonialis Belanda, yaitu denagn mengeluarkan buku  Godenkboek 1908-1923 Indonesische Vereeniging. Buku ini berisi artikel-artikel dari tokoh-tokoh PI sebanyal 13 artikel didalamanya. Langkah selanjutnya dari sikap radikal PI ini adalah merubah nama majalahnya dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka tahun 1924.
   Selain itu untuk menambah kesan kebangsaan ditetapka pula para anggota PI harus menggunakan kopiah, hal ini sebagai penunjuk identitas PI. Selain itu perubahan juga terjadi pada nama-nama anggota yng berbau feodal atau kebangsawanan. Nama-anam anggota PI yang ada nama kebagsawanan sudah tidak dipegunakan lagi dilingkungan teman dan masyarakat. Selain itu juga pemakaian lambang merah putih dengan lambang kepala kerbau, dinyatakan resmi sebagai lambang Organisasi Perhimpunan Indonesia. Selain itu pada tahun 1925 juga muncul manifesto didalam majalah PI yaitu Indonesia Merdeka. Semenjak berganti nama Perhimpunana Indonesia organisasi ini semakin giat uasaha menyebarluaskan tentang proses perkembangan pergerakan Perhimpunan Indonesia.(3)Usaha ini dilakukan oleh Ali Sastromidjojo dengan secara aktif mengisi majalah Indonesia Merdeka yang beredar di Belanda. Selain beredar di Belanda majalah ini juga berusaha diedarkan di Nusantara. Pengiriman ke Nusantara dialakukan melalui penyelundupan denagn menyobek halaman majalah Indonesia Merdeka kemudian ditempelkan pada halaman-halaman majalah Belanda yang masuk ke Indonesia yang tidak dilarang untuk dikirim ke Indonesia. Ali mengirimkan majalah-majalah Belanda itu kepada adiknya Usman untuk disebarkan.
    Pada rapat umum bulan Januari 1923, Iwa Kusumasumantri sebagai ketua baru memberi penjelasan bahwa organisasi yang sudah dibenahi ini mempunyai 3 azas pokok yang disebut juga Manifesto politik, yaitu:
1.      Indonesia ingin mentkan nasib sendiri.
2.      Agar dapat menentukan nasib sendiri, bangsa indonesia harus mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri.
3.      Dengan tujuan melawan Belanda, Indonesia harus bersatu.
      Cita-cita PI tertuang dalam 4 pokok ideologi dengna memerhatikan masalah sosila, ekonomi dengan menepatkan kemerdekaan sebagai tujuan politik  yang dikembangkan sejak tahun 1925. Keempat pokok ideologi tersebut  adalah kesatuan nasional, solidaritas, nonkooperasi, dan swadaya.  Meningkatnya aktivitas kearah politik terutama sejak datangnya dua orang mahasiswa ke Negara Belanda, yaitu A. Subarjo tahun 1919, dan Mohammad Hatta tahun 1921, yang kedua-duanya pernah mengetuai PI. Dengan bertambah banyaknya mahasiswa Indonesia yang belajar di Negara Belanda bertambah pula kekuatan PI. Pada permulaan tahun 1925 dibuatlah suatu anggaran dasar baru yang merupakan penegasan yang lebih jelas lagi dari pertjuangan PI. Didalamnya disebutkan bahwa kemerdekaan penuh bagi Indonesia hanya akan diperoleh dengan aksi bersama yang dilakukan serentak oleh seluruh kaum nasionalis dan berdasarkan atas kekuatan sendiri. Untuk itu sangat diperlukan kekompakan rakyat seluruhnya.  Yang menjadi soal terpenting didalam segala penjajahan kolonial ialah soal kepentingan antara pihak yang menjajah dengan pihak yang dijajah, yang memang sangat bertentangan. Penjajahan itu mamang membawa pengaruh yang merusak jasmani dan rohani orang Indonesia dan merusak kehidupan lahir-batin.
     Sementara itu kegiatannya meningkat menjadi nasional-demokratis, non-koperasi dan meninggalkan sikap kerja sama dengan kaum penjajah, bahkan menjadi Internasioanl dan anti-kolonial. Dibidang Internasional ini PI bertemu dan bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan dan tokoh-tokoh pemuda serta mahasiswa yang berasal dari Negara-negara jajahan di Asia dan Afrika yang mempunyai cita-cita yang sama dengan Indonesia. PI memang berusaha supaya masalah Indonesia mendapatkan perhatian dari dunia Internasional. Hubungan dengan beberapa organisasi Internasional diadakan seperti Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan kolonial. Komintern dan lain-lain dalam kongres ke 6 liga demokratie Internasional untuk perdamaian pada bulan Agustus 1926 di Paris (Perancis), Moh. Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan untuk kemerdekaan Indonesia.(4) Kejadian ini menyebabkan pemerintahan Belanda bertambah curiga terhadap PI, kecurigaan ini bertambah lagi sewaktu Moh. Hatta atas nama PI menandatangani suatu perjanjian rahasia dengan Semaun (PKI) pada tanggal 5 Desember 1926 yang isinya menyatakan bahwa PKI mengakui kepemimpinan PI dan akan dikembangkan menjadi partai rakyat kebangsaan Indonesia, selama PI secara konsekwen tetap menjalankan politik untuk kemerdekaan Indonesia.(5)
Perjanjian ini dinilai oleh Komintern sebagai suatu kesalahan besar, maka perjanjian tersebut dibatalkan oleh Semaun.
   Dalam kongres I Liga pada bulan Februari 1927 di Berlin yang dihadiri antara lain wakil-wakilnya pergerakan dinegara jajahan, PI yang bertindak atas nama PPPKI di Indonesia juga mengirimkan wakil-wakilnya, Moh. Hatta, Nazir Pamontjak, Gatot Dan A. Subardjo, kongres mengambil keputusan antara lain:
1.      Menyatakan simpati sebesar-besarnya kepada pergerakan Indonesia dan akan menyongkong usaha tesebut dngan segala daya.
2.      Menuntut dengan keras kepada pemerintahan Belanda kebebasan bekerja untuk pergerakan rakyat Indonesia. 
      Dalam kongres kedua di Brussel tahun1927, PI juga ikut tetapi sewaktu Liga didominasi oleh kaum komunis, PI keluar dari Liga. Kegiatan PI dikalangan Internasional ini menimbulkan reaksi yang keras dari pemerintahan Belanda. Perhimpunan Indonesia dalam gerakan politiknya juga berbicara dalam forum-forum internasinal seperti Moh. Hatta yang berpidato dalam kongres Democratique Internatioanale Pour La Paix di Bierville dekat Paris, Perancis Agustus 1926. Dalam kongres ini Moh. Hatta jelas menuntut  kemerdekaan Indonesia selain itu dalam pidatonya Hatta juag tidak menggunakan nama Hindia Belanda tapi secara jelas menggunakan nama Indonesia. Sealain di Perancis Hatta juga berpidato dalam Liga anti imperialisme. Gerakan yang di anggap radikal dari PI membuat pemerintah Belanda akhirnya menangkap tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia, atas tuduhan " dengan tulisan menghasut dimuka umum untuk memberontak terhadap pemerintah" maka pada tanggal 10 Juni 1927 empat anggota PI yaitu: Moh. Hatta, Nazir Pamontjak, Abdulmadjid Djojoadiningrat dan Ali Sastromidjojo ditangkap dan ditahan sampai tanggal 18 Maret 1928. Namun dalam pemeriksaan disidang pengadilan di Den Haag tanggal 22 Maret 1928, karena tidak terbukti bersalah mereka dibebaskan.
     Dalam kalangan pergerakan Indonesia sendiri nampak berangsur-angsur semakin berhasil dipengaruhi oleh PI. Bahkan ada kejadian penting yang timbul ditanah air yang secara langsung mendapat ilham dari PI, seperti lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927 dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926.
Notes:
[1] Dr. A. Rivai, Student Indonesia di Eropa, hal.16
[2]  Mr.A.K. Pringgodigdo,op,cit, hal.54
[3] www.debbyzalina.com/2012/PerhimpunanIndonesia.html
[4]  Moh. Hatta" Onze buitenlandsche propaganden"dalam Indonesia merdeka,1926,hal.148
[5]  Mr.A.K. Pringgodigdo,op,cit,hal 56-57.
DAFTAR PUSTAKA
Poesponegoro, Marwati Djoned & Nugroho Notosusanto, Sejarah Indonesia V,Balai Pustaka, Jakarta.1984
http://dumadia.wordpress.com
http://www.debbyzalina.com 

PERJALANAN INDISCHE PARTIJ

Amrina Rosada/SIIV/A
                        Pergerakan nasionalisme Indonesia dipengaruhi oleh adanya kaum terpelajar yang telah banyak bergaul dengan bangsa luar sehingga membuka mata mereka tentang kesadaran akan perasaan senasib sepenanggungan sebagai satu bangsa yang memiliki hak untuk menentukan arah hidupnya sendiri (self-determination).
            Budi Utomo adalah organisasi pertama yang berdiri di Indonesia. Namun, keanggotaan dalam Budi Utomo masihlah terbatas dan belum ada tanda-tanda perjuangan kemerdekaan. 25 Desember 1912, berdirilah sebuah partai politik pertama di Indonesia. Partai ini adalah partai yang secara terang-terangan memiliki tujuan untuk mencapai kemerdekaan bagi Indonesia. Ini adalah salah satu perwujudan dari adanya rasa nasionalisme anak-anak bangsa untuk menuntun ke arah kemerdekaan dan juga menggerakan bangsa agar sadar untuk bersatu demi kemerdekaan. Partai inilah yang mengawali politik anak bangsa meski salah satu pendirinya adalah seorang Indo. Partai ini adalah Indische Partij. Indische Partij adalah partai politik pertama di Hindia Belanda. Didirikan oleh tiga serangkai, yaitu Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Melalui partai ini, Ernest Douwes Dekker mendesak pemerintah untuk mengubah garis kebijaksanaan yang ditempuh. Politik "Etis" yang dilaksanakan Belanda sejak awal abad ke-20 dihantamnya. Seperti diketahui, garis "politik etis" itu tidak lagi memperlakukan Hindia-Belanda sebagai daerah eksploitasi, sapi perahan untuk kemakmuran negeri Belanda, tetapi dimaksudkan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pribumi. [1]
            Douwes Dekker, ia melihat adanya keganjian dalam masyarakat colonial, khususnya diskriminasi antara keturunan belanda murni dan keturunan indo. Selain itu douwes dekker juga melihat penderitaan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ia beranggapan bahwa nasib kaum indo tidak ditentukan oleh pemerintahan colonial, tetapi terletak dalam kerja sama dengan rakyat Indonesia lainnya.[2] Maka dari itulah tiga serangkai ini ingin menyadarkan bangsa Indonesia pada waktu itu untuk melawan diskriminasi antara keturunan belanda murni dan indo. Dan untuk mrngurang penderitaan para rakyat Indonesia.
            Julukan tiga serangkai ini di berikan pada tiga orang ini karena Ernest Douwes Dekker mengadakan dan dua orang temannya itu yaitu Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat melakukan aksi antikolonial sehingga mereka sering dianggap sebagai tiga serangkai.[3]
Asas perjuangan Indische Partij adalah nasionalisme dan kooperatif. Semboyannya berbunyi : Indie los van Holland (Hindia bebas dari Holland) dan Indie voor Inders (Hindia untuk orang Hindia). Keanggotaanya bersifat terbuka bagi semua orang tanpa pandang bulu, dengan tujuan: membangkitkan rasa cinta tanah air Indonesia - membangun kerja sama untuk kemajuan tanah air mempersiapkan tanah air bagi kehidupan bangsa yang merdeka  Propaganda dilakukan di mana-mana bahkan ke seluruh Jawa baik secara lisan maupun tertulis. Propaganda Indische Partij ini disambut dengan antusias oleh orang-orang yang anti penjajah sehingga partai ini sudah memiliki 30 cabang di seluruh Jawa.[4]
            Para pemimpin Indische Partij berusaha mendaftarkan status badan hukum dari Indische Partij kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui sidang parlemen tetapi pada tanggal 11 Maret 1913, penolakan dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg (wakil pemerintah Belanda di negara jajahan). Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh pemerintah kolonial pada saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.[5]
            Dalam tindak-tanduknya, ketiga tokoh pendiri partai ini sudah diperhatikan oleh pemerintah Belanda. Tindakan-tindakan ini mulai nyata pada 21 Maret -23 Maret 1913, ketika Belanda akan merayakan upacara peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis (Napoleon) dengan menggunakan pungutan dana dari Hindia Belanda. Melalui karangan-karangannya, douwes dekker didalam Het Tijdschrift kemudian dilanjutkan di dalam de Express propagandanya meliputi pelaksanaa suatu program "Hindia" untuk setiap gerakan politik yang sehat dengan tujuan menghapuskan perhubungan colonial, menyadarkan golongan indo dan penduduk bumi putra, bahwa masa depan mereka terancam oleh bahaya yang sama, yaitu Eksploitasi Kolonial.[6]
            Indische partij berdiri di atas dasar nasionalime. Indonesia merupakan national home, tempat semua orang, baik keturunan pribumi, belanda, cina, arab, dan lain-lain yang mengakui hindia sebagai tanah air dan bangsanya. Faham ini dikenal dengan istilah Indische natiolisme, atau nasionalisme Hindia.
            Melalui majalah De Express, Suwardi Suryaningrat menulis sebuah artikel yang mengkritik pemerintah Belanda dengan judul "Als ik eens Nederlander was" (Jika Aku Seorang Belanda). Berikut kutipannya "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikitpu. Seandainya aku seorang Belanda, aku protes peringatan yang akan diadakan itu.Aku akan peringatkan kawan-kawan penjajah ,bahwa sesungguhnya sangat berbahaya pada saat itu mengadakan perayaan peringatan kemerdekaan. Aku akan peringatkan semua bangsa Belanda jangan menyinggung peradaban bangsa Indonesia yang baru bangun dan menjadi berani.Sungguh aku akan protes sekeras-kerasn". [7] Akibat dari tindakan yang radikal melalui artikel tersebut ,pemerintah Belanda dibuat resah dan pada tanggal 31 Maret 1913 , tiga serangkai diasingkan (diinternir). Douwes Dekker dibuang ke Timor (Kupang). Tjipto Mangunkusumo dibuang ke Banda sedangkan Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka. Tidak lama kemudian mereka dieksternir (diasingkan) ke Belanda, namun pada tahun 1914 ,Cipto Mangunkusumo diizinkan kembali karena masalah kesehatan. Pada tahun 1917 Douwes Dekker dibebaskan dari hukuman dan Suwardi Suryaningrat pada tahun 1918 ,lalu kembali ke Indonesia.Bersamaan dengan waktu pengasingan 3 serangkai dimulai, pemerintah Hindia Belanda telah membubarkan Indische Partij. Partai ini sudah dilarang karena sikapnya yang radikal untuk menuntut kemerdekaan ,namun perjuangan masih terus berlanjut. Sebagian besar anggotanya berkumpul lagi dalam Serikat Insulinde dan Comite Boemi Poetra. Pengalaman di pengasingan atau dibuang tidak membuat tokoh-tokoh 3 serangkai jera dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
            Selanjutnya, Indische Partij berganti nama menjadi nama partai insulinde. Azasnya adalah "membina semangat nasionalisme hindia dengan memperkuat cita-cita persatuan bangsa". Seluruh anggotanya ditekankan untuk menyebut dirinya"indiers" (orang local atau Indonesia). Kemudia douwes dekker dan kawan-kawan dari negeri Belanda tahun 1918 tidak begitu bearti bagi partai Inulinde. Pada tahun 1919, Insulinde berganti nama menjadi National Indische Partij (NIP). Dalam perkembangannya, NIP tidak mempunyai pengaruh yang cukup terhadap rakyat Indonesia. Bahkan, akhirnya NIP hanya perkumpulan orang-orang terpelajar saja.
Notes:
[2]. alfian, Magdalena dkk. 2007. Sejarah SMA dan MA kelas XI. Jakarkata. Esis. Hal: 94
[6]. Tim nasional penulisan sejarah Indonesia. 2008. Zaman kebangkitan nasional dan masa hindia belanda. Jakarta. Balai pustaka. Hal: 350
Daftar pustaka:
alfian, Magdalena dkk. 2007. Sejarah SMA dan MA kelas XI. Jakarkata. Esis.
Tim nasional penulisan sejarah Indonesia. 2008. Zaman kebangkitan nasional dan masa hindia belanda. Jakarta. Balai pustaka.