KOMUNIS DALAM SAREKAT ISLAM (SI)


Ridho Arif P / SIV
SI (Syarikat Islam) dahulu bernama Sarekat Dagang Islam didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudin. Pada awal pendiriannya untuk perkumpulan pedagang-pedagang islam yang menentang masuknya pedagang asing untuk menguasai komplar ekonomi rakyat pada masa itu, selanjutnya tahun 1912 berkat keadaan politik dan sosial HOS Tjokroaminoto menggagas SDI untuk mengubah nama menjadi organisasi pergerakan yang sekarang disebut  SYARIKAT ISLAM. Hal ini dilakukan untuk menyumbangkan semangat perjuangan islam dalam semangat juang rakyat terhadap kolonialisme dan Imperialisme . SI yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda. Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaonen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:
  1. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen adalah ketua SI Semarang.
  2. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.
  3. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV.
  4. Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang melanda pada tahun 1917 di Semarang[1].
Dan pada saat itu SI pecah menjadi dua kubu yaitu: SI putih dan Si merah. SI putih berhaluan kanan berpusat di kota yogyakarta dengan tokohnya yaitu: H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto dan Sekarmadji maridjan Kartosoewirjo. Dan SI merah berhaluan kiri berpusat di kota Semarang dengan tokohnya yaitu: Semaoen, Alimin dan Darsono.
Hal ini dapat terjadi semenjak Semaoen dan Darsono di keluarkan dari SI, dan pada akhirnya nanti SI merah melebur kedalam partai Komunis, sejak perpecahan ini SI tidak pernah lagi meraih kebesarannya, seperti yang diraihnya empat tahun pasca kelahirannya[2].
Selain itu juga karena disebabkan oleh kemenangan lenin di rusia dalam revolusi oktober 1917 dan selogan komunis yang anti penjajah merupakan daya pikat tersendiri bagi sebagian kaum pergerakan untuk bergabung dengan partai komunis Hindia, termasuk beberapa Kyai [3].
Ini membuktikan bahwa anti penjajahan yang dikumandangkan oleh para komunis, seperti angin segar bagi para pelaku pergerakan untuk membebaskan diri dari tangan penjajah, hal ini mungkin menjadi salah satu sebab mengapa komunis bisa masuk kedalam tubuh SI, karena pada dasarnya keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu bebas dari tangan penjajah, walaupun dengan cara yang berbeda. Tetapi perlu diingat bahwa masuknya kominis dalam tubuh SI bukan semata-mata untuk hal yang demikian, tetapi untuk hal yang lebih besar lagi, seperti mengubah indonesia menjadi negara komunis, namun pada saat itu usaha yang dilakukan oleh H.J.F.M Sneevliet melalui ISDV yang dirasa kurang memuaskan dalam usaha penyebaran paham komunis , karena itu ia mencoba menyebarkan dengan suatu organisasi yang sudah di terima dalam masyarakat nusantara, hal yang pertama ia lakukan iyalah menarik hati para pengurus SI disemarang, yang kebetulan sasarannya adalah SI itu sendiri, walaupun demikian SI sangat terbuka terhadap H.J.F.M Sneevliet dan kawan-kawannya, ini terbukti sering diundangnya H.J.F.M Sneevliet kedalam rapat-rapat SI untuk memberi ceramah tentang kebebasan atau keluar dari penjajahan. Dan pada akhirnya H.J.F.M Sneevliet berhasil memecah belah SI menjadi dua blok.
Telah disinggung di depan bahwa pada awalnya SI adalah Serikat Dagang Islam, yang didirikan atas pertimbangan komersil ekonomis. Asas komersil ekonomis itu telah tertukar dengan asas nasionalisme , yang sepenuhnya merupakan haluan politik. Nasionalisme yangb dianut SI adalah nasionalisme lunak karena SI mengambil sikap kooperatif terhadap pemerintah, suasana kehidupan politik setelah tahun1920 berbeda dengan kehidupan politik saan SI mulai berdiri. Pengalaman berpolitik selama sepuluh tahun lebih memberi pandangan luas. Pengaruh gerakan politik dari luar pun telah masuk. Demikianlah , sikap partai SI terhadap kerja sama dengan pemerintah jajahan perlu ditinjau kembali. Meskipun demikian setelah timbulnya perpecahan dalam tubuh SI akibat keluarnya golomngan revolusioner sosialistis yangg dipimpin oleh Semaun dan penggabungan berbagai Si lokal dengan PKI, sebenarnya Partai Serikat Islam menjadi setengah lumpuh.
Tenaga-tenaga revolusioner telah meninggalkan Sarekat Islam. Keuntungannya adalah bahwa asas dan tujuan Sarekat Islam dapat diselamatkan dari penyelewengan golongan Seamaun yang jelas menganut  Paham Komunis Internasional. Bagaimanapun untuk mencapai tujuannya, tidak ada lagi pertentangan dan ketegangan didalamnya. Keretakan dan ketegangan antara para anggota dalam suatu organisasi terbukti menghambat kemajuan menuju realisasi tujuan utama organisasi dan akhitnya perpecahan tidak dapat dihindarkan[4].
Walaupun demikian terpuruknya keadaan SI pasca banyak ditinggal anggotanya yang memilih berhaluan komunis internasional, namun beberapa tokoh SI mulai bangkit untuk mengembalikan keadaan Si seperti semula, seperti yang dilakukan oleh Haji Agus Salim yang melancarkan gerakan Pan-Islamisme, maksudnya adalah mencari hubungan dan menghimpun segala kekuatan islam yang ada di indonesia yang berarti sudah mengacu pada persatuan islam internasional.
Kongres-kongres mulai digelar, hal ini dilakukan untuk mengurangi perselisihan dan bagaimana cara mewujudkan kerja sama yang baik antara kaum muslimin sesuai yang tertera pada kongres pertama yang diadakan di cirebon, dan pada kongres selanjutkan lebih menitik beratkan kepada islam dan perjuangan islam dalam menghadapi kapitalis, walaupun sayap kiri dari SI berhaluan komunis yang bertentangan dengan kapitalis. Karena pada hakikatnya komunis dan kapitalis tidak dapat disatukan , ia ada untuk saling berbenturan. Dan pada akhirnya SI menjalankan sikap kooperatif kepada pemerintah , yang sejak semula ditentukan oleh pimpinan SI , pada kongres kedua tahun 1917.
Bila dilihat ulang perjuangan SI dalam kebangkitan nasional memang cukup berat ini dikarenakan terpecahnya SI menjadi dua kubu berbeda yaitu SI putih dan SI merah, perpecahan ini sedikit mengejutkan karena SI merah justru menggunakan paha komunisme didalamnya, yang memiliki selogan anti penjajahan.walaupun perpecahan di dalam tubuh SI sangat rumit, namun dapat dilihat bahwa ada keunikan yang terjadi, yaitu berjalannya islam dengan kominis dalam jalan yang sama untuk terhindar dari penjajahan, walau pun dengan caranya masing-masing. Tetapi demikian perjuangan kebangkitan yang dilakukan oleh SI adalah salah satu gerakan pertama indonesia untuk menggapai kemerdekaan walaupn sangat lama, namun demikian dala sejarahnya perjuangan SI sangat sulit digantikan dalam sejarah indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
-  id.wikipedia.org/wiki/sarekat_islam
- Maarif, Ahmad Syafii (2009). ISLAM DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN: SEBUAH REFLEKSI SEJARAH. PT Mizan Pustaka.Bandung.
- Muljana, Slamet (2008). KESADARAN NASIONAL.PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta. Yogyakarta.

[1] id.wikipedia.org/wiki/sarekat_islam
[2] Maarif, Ahmad Syafii (2009). ISLAM DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN: SEBUAH REFLEKSI SEJARAH. PT Mizan Pustaka.Bandung. Hal : 103
[3] Maarif, Ahmad Syafii (2009). ISLAM DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN: SEBUAH REFLEKSI SEJARAH. PT Mizan Pustaka.Bandung. Hal :104
[4]  Muljana, Slamet (2008). KESADARAN NASIONAL.PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta. Yogyakarta. Hal : 130-131

SULTAN AGUNG HANYAKRAKUSUMA PAHLAWAN ASAL MATARAM.



Rizki Aiditya/SI3/B
Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601.
Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.
Senapati digantikan oleh putranya, Mas Jolang, yang bertahta tahun 1601-1613. Maas Jolang lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pada masa pemerintahannya, dibangun taman Danalaya di sebelah barat kraton. Panembahan Seda Krapyak hanya memerintah selama 12 tahun Ia meninggal ketika sedang berburu di Hutan Krapyak.
Sultan Agung Melawan VOC
Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.
Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya.
Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.
Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.
Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC.
Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan.
Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC. Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).
Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).
Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC Semarang saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan menjadi Paku Buwana III (1749).
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III.Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.
DAFTAR PUSTAKA:
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar sejarah Indonesia baru:1500-1900. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
www.serbasejarah.wordpress.com/2009/03/09-nagara-islam-mataram-melawan-VOC.

KESEWENANGAN PIETER BOTH DI PULAU JAWA


Rizki Aiditya/SI3/B
A.    Awal Mula Ekspedisi
Kapal pihak asing yang pertama kali berlabuh di Nusantara adalah kapal Portugis yang berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511. Pada tahun 1521, untuk pertama kalinya rempah-rempah diangkut secara lansung dari Nusantara, tepatnya dari Maluku menuju Eropa, Ekspedisi yang memelopori pembukaan jalur pelayaran dan perdagangan rempah-rempah ke Eropa, atau tepatnya ke Portugis adalah Sabastian del cano. Del cano berlayar dari tidore menuju selatan, kemudian ke Timor lalu ke arah barat daya menyeberangi Samudra Indonesia menuju selatan Afrika hingga kemudian sampai ke laut Atlantik dan muara Sungai Guadalquivir di Iberia Selatan, sampai akhirnya tiba kembali di Sevilla. Rempah-rempah yang saat itu banyak banyak digemari oleh orang Portugis antara lain cengkeh, pala, merica, dan lainnya.
Peristiwa tersebut menandakan bahwa Portugis telah membuka jalur pelayaran baru menuju Nusantara. Sebelum nya, rempah-rempah dari Maluku ini harus menempuh jalur yang berliku dan memakan waktu yang lebih lama untuk sampai di pasaran Eropa. Dahulu rempah-rempah tersebut diangkut dari Maluku Utara ke Hitu dan Banda, untuk kemudian diangkut ke bagian barat Indonesia yaitu ke pelabuhan-pelabuhan di pesisir jawa, pantai timur Sumatra, dan selat Malaka. Perjalanan laut dilanjutkan dengan melintasi laut Arab yang memiliki dua pilihan jalur. Jalur pertama di sebelah utara, dengan rute menuju Teluk Oman melalui selat Ormuz dan dilanjudkan ke teluk Persia. Jalur kedua dengan rute melalui Teluk Aden dan Laut Merah hingga Suez, kemudian Iskandariah. Melalui rute inilah sejumlah kapal asal Arab, Persia, hingga India telah pulang-pergi melintasai barat ke timur dan terus hingga ke Negri Tiongkok. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa sesudah abad ke-9, kapal-kapal Tiongkok pun mengikuti jalur perlayaran tersebut. Menyadari akan pentingnya jalan dagang tersebut, Portugis bermaksud untuk menguasai jalur perdagangan yang melalui rute tersebut. Hingga kemudian Alfonso d'Albuquerque berhasil menduduki Goa di tahun 1510, Malaka di tahun 1511, dan Ormuz di tahun 1515. Inilah asal mula terjadinya penjajahan di Nusantara.
Setelah berhasil menguasai Malaka, kemudian di tahun 1522 d'Albuquerque bermaksud memperluas wilayah kekuasaannya dengan mengirim Enrique Leme ke Sunda Penjajaran untuk meminta izin kepada penguasa saat itu untuk membangun benteng di Sunda kelapa. Permohonan Lame dikabulkan dengan syarat mereka bersedia membantu Sunda Pajajaran jika diserang oleh pasukan Demak-Cirebon.
Akan tetapi, ketika Portugis kembali di tahun 1527 untuk membangun bentenng sesuai perjanjian sebelumnya, ternyata Sunda Kelapa telah dikuasai oleh pasukan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah. Kehadiran Portugis pun berhasil dihadang dan akhirnya mereka harus kembali ke Malaka. Kemenengan ini dirayakan Fatahillah dengan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527.
Di akhir abad ke-16, yaitu pada tahun 1596, kapal-kapal Belanda pun mulai mengikuti jejak Portugis, berdatangan untuk berdagang di Nusantara. Pada saat itu sudah banyak terbentuk kota-kota pelabuhan besar di seluruh Nusantara, di antaranya Jayakarta, Banten, Demak, dan Gresik. Persaingan antara sejumlah kota pelabuhan pun terjadi dan hal ini tanpa disadari justru melemahkan penduduk setempat sehingga kalah bersaing dengan pihak asing.
Kondisi tersebut membuat kemampuan dan kekuatan Belanda semakin besar dalam menguasai jalur perdagangan yang ada, terutama jalur perdagangan di Jayakarta. Hal ini membuat kapal-kapal dagang bumiputra semakin sulit untuk melakukan hubungan satu sama lain, ataupun antara pulau. Pada tahun 1609 kapal Inggris di bawah komando Captain William Keeling, juga berlabuh di Jayakarta, dalam perjalanan dari Banten kr kepulauan Maluku. Kapal ini merupakan kapal Inggris pertama yang berlabuh di Jayakarta, miskipun beberapa waktu sebelumnya sudah pernah berlabuh di wilayah bumu Nusantara lainya, seperti tercatat di antaranya pada tahun 1602, 1604-1606, 1607-1609, dan 1615-1617. Sepuluh tahun semenjak kedatangan kapal Inggris pertama kali di Jayakarta, Inggris dan Belanda terlihat dalam pertikaian sengit karena bersaing dalam memperebutkan Nusantara, dan masa depan perdagangan  rempah-rempahnya. Peperangan tersebut dimenangkan oleh pihak belanda. Akibatnya, Inggris pun harus angkat kaki dari Jayakarta.
Setelah 100 tahun lebih berkuasa penuh di Batavia serta di wilayah Nusantara lainnya, Belanda tidak bisa menghindari perang yang berkecamuk di berbagai di berbagai daerah di Nusantara, sebagai bentuk perlawanan rakyat atas penindasan yang di lakukan VOC. Pada tahun 1799 VOC mengalami kerugian besar akibat perang local yang berkepanjangan. Nusantara kemudian menjadi rebutan antara Negara Perancis dan Inggris. Antara tahun 1808-1816, Nusantara sempat menjadi koloni Perancis (1808-1811) dan koloni Inggris (1811-1816). Selanjutnya, pemerintah Belanda baru mengundur ketika Perang Dunia II pecah. Saat itu negeri Belanda diserang oleh pasukan Jerman pada tahun 1940. Watak sesungguhnya dari pihak Belanda, Inggris, dan Perancis tidaklah berbeda. Mereka sama-sama ingin menjadikan Nusantara sebagai daerah koloninya. Dengan kata lain, siapa pun pihak asing yang menduduki Nusantara kala itu tetap akan membawa kesengsaraan dan penderitaan panjang bagi penduduk setempat.
B.     Penyebab Nya
Pada tahun 1580, setelah Portugal diintegrasi oleh Spanyol, Spanyol segera memblokir Lisabon, yang merupakan pasar rempah-rempah, agar Belanda mengalami berbagai kesulitan untuk membelinya. Oleh karna itu, Belanda terpaksa mencari rempah-rempah lansung ke negri penghasil rempah-rempah. Tindakan ini membuat kaum kapitalis Belanda merintis jalur perdagangan baru, dan akhirnya Belanda berhasil tiba di pelabuhan Banten pada tahun 1596. Setelah itu, semakin banyak kapal dagang Belanda yang berlayar ke Nusantara. Orang-orang Belanda saling berlomba mendatangi Nusantara untuk mencari ke untungan yang sebesar-besarnya. Semakin banyaknya orang Belanda yang berdagang di Nusantara, telah menyebabkan terjadinya persaingan, yang bukan hanya di antara mereka saja, tetapi juga dengan pedagang-pedagang bangsa lain.VOC terdiri atas enam bagian wilayah yaitu Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, Delft, dan Middelburg. VOC memiliki pimpinan pusat, yang berpungsi sekaligus sebagai dewan pengurus, yang terdiri atas tujuh belas utusan atau disebut juga 'Heren 17', yang pada mulanya terdiri atas delapan dari Amsterdam, empat dari Zeelan/Middelburg,dan satu utusan dari setiap bagian wilayah lainnya. Heren 17 memiliki wewenang yang sangat besar dalam memutuskan segala bentuk perkara yang terjadi di setiap koloni VOC.
Terbentuknya VOC menjadikan praktek monopoli Belanda kian meluas. Hal ini dikarenakan VOC diberi wewenang penuh untuk melakukan perekrutan pasukan,membangun tempat penembakan meriam, mencetak uang, mengangkat pejabat, bahkan berperang atau gencatan senjata, serta berhak mewakili kongres untuk membuat perjanjian dengan Negara lain. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa VOC bukan hanya organisasi dagang, melainkan juga sebuah badan politik colonial yang haus kekuasaan. Perdagangan  rempah-rempah di Nusantara hanya dijadikan kedok atas misi sesungguhnya untuk merampas kekayaan bumi Nusantara dan secara bertahap menjadikan Nusantara sebagai koloninya.
Untuk pertama kalinya di tahun 1610, VOC mengangkat gebnur jendral untuk pulau jawa, yaitu Pieter Both. Pengangkatan ini disertai sebuah tugas, bahwa Pieter Both harus mendapatkan sebuah tempat yang tepat untuk mendirikan kantor dagang dan dapat dijadikan sebagai pusat pelayaran seluruh Hindia. Pieter Both kemudian memilih banten karena letaknya sangat strategis. Sebelumnya, Banten merupakan tempat VOC membeli dan menumpuk barang-barang dagangannya. Akan tetapi, VOC merasa khawatir bahwa kepetingannya di Banten akan diganggu oleh penguasa setempat, karena kerajaan Banten saat itu masih terlalu kuat bagi VOC.Pada tahun itu juga pihak VOC melakukan perundingan kerjasama dengan pangeran Wijayakrama dari kerajaan Banten. Hasil perundingan tersebut ditandatangani pada bulan Januari 1611. Sebagian kecil ketentuan dalam perjanjian itu berkisar pada proses pengurusan pembayaran bead an proses hukum, sedangkan sebagian lagi berkaisar pada penjualan sebidang tanah di timur tepi kali Ciliwung untuk mendirikan sebuah rumah batu dan kayu (timmeren), yang berpungsi sebagai tempat tinggal, kantor, sekaligus gudang, di atas tanah seluas 50 X 50 depa/ vadem dengan pembayaran ganti rugi sebesar 1.200 real kepada pangeran Wijayakrama.
Akan tetapi, ternyata kedua rumusan naskah asli dengan sengaja disusun berbeda oleh VOC, untuk digunakan sebagai alasabn menyerang pihak Banten dengan dalih tidak menepati surat perjanjian. Adanya perbedaan rumusan perjanjian, telah menimbulkan pengertian yang berbeda antara Pangeran Wijayakrama dan VOC, khususnya dalam hal penjualan tanah. Dalam kerajaan Banten, termasuk Jayakarta kala itu, tanah tetap milik raja yang hanya boleh dipergunakan untuk waktu tertentu dengan syarat-syarat yang bisa berubah sewaktu-waktu. Akan tetapi bagi VOC, makna pembelian tanah itu berarti menjadi hak milik VOC.Meskipun sempat terjadi ketegangan, tetapi akhirnya tempat untuk VOC ditentukan berdampinagan dengan kampong Tionghoa yang dikepalai oleh Nahkoda Watting. Di masa kini, kampong Tionghoa itu terletak disekitar jembatan di atas Kali Besar, sedangkan kampong bumuiputra berada di sebelah timurnya, yang kepalai oleh Kiai Aira, Patih Pangeran Wijayakrama, dan kini  kira-kira berada di sekitar Jalan Tongkol dan Jalan Kembang.
Pada tahun 1611, akhirnya di jayakarta didirikan kantor dagang tak permanen berukuran 31,5 X 11,4 meter yang terbuat dari bahan gedek dan batu. Gudang ini kemudian disebut Nassau, yang selesai dibangun pada tahun 1613 oleh Abraham Theunemans. Gudang ini terletak di tepi timur Kali Besar, yang jaraknya kurang lebih 150 meter di sebelah selatan jembatan dekat Menara Syahbandar pada saat ini.Sebelum jatuhnya kekuasaan Pangeran Wijayakrama, ternyata VOC kembali melakukan penambahan pada isi rumusan kesepakatan antara VOC dan Pangeran Wijayakrama yang telah dibuat sebelumnya. Tambahan pada versi VOC yaitu, diberikannya izin membongkar rumah-rumah warga etnis Tionghoa yang dianggap terlalu dekat dengan gudang mereka. Alasan penambahan pada isi rumusan adalah karena tidak adanya kepastian mengenai beacukai. Menurut perjanjian versi VOC, Nahkoda Watting juga bertugas sebagai penerjemah dan perantara antara kedua belah pihak. Di kemudian hari, Nahkoda Witting dibunuh oleh pihak Banten ketika Pangeran Wijayakrama dipecat oleh Pangeran Ranamanggala.
c. Ketidak  Adilan yang dirasakan
Sejalan dengan meningkatnya perdagangan di Batavia, meningkat pula jumlah para imigrannya seperti dari Jepang, Tiongkok, Moor/Moro, dan Mestizo. Sebagian besar imigrasi Jepang pada saat itu bekerja pada kompeni VOC, Inggris, ataupun Sepanyol, dan sebagian lainya memiliki mata pencaharian sebagai pedagang atau penyewa tanah. Orang Tionghoa kebanyakan bekerja sebagai pedagang, penyuling arak, kuli, pandai besi, hingga petani. Bidang perdagangan juga banyak diketahui oleh orang Moro. Orang Moro, yaitu orang keling islam, yang berasal dari Koromandel. Mayoritas orang Mesotizo juga berpropesi sebagai pedagang atau tuan tanah.
Pada saat itu, VOC membangun kota Batavia di atas tanah rawa, maka untuk mencegah banjir, kompeni VOC banyak membuat kanal. Proyek borongan pembangunan kanal itu banyak dipegang oleh orang Tionghoa. Bersinergi dengan meningkatnya jumlah proyek kebutuhan kompeni, jumlah kuli pun meningkat, termasuk kuli etnis Tionghoa. Hal ini sebenarnya lebih banyak menguntungkan pihak VOC, karena kebutuhan akan tenaga kerja kasar terpenuhi, dan pendapatan pajak kepala yang juga dibebankan kepada kuli etnis Tionghoa pun jadi meningkat.
Bukan dibidang pekerjaan saja VOC melakukan orang Tionghoa dengan perlakuan yang tidak adil, bahkan dalam setiap tahun sejumlah 4.000 budak diperdagangkannya. Tak hanya itu, VOC bahkan melakukan penculikan penduduk di daerah pantai tenggara Tiongkok dan India.Tampak jelas sekali kekejaman VOC dalam menerapkan berbagai cara demi keuntungan pribadi dan negaranya. Sementara, kondisi ekonomi penduduk Nusantara kian terpuruk. Dampaknya meluas pada buruknya kondisi sumber daya manusia dengan kesehatan dan kesejahteraan yang sangat rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Wijayakusuma, M. Hembing. 2005. Pembantataian Massal 1740, Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
SEJARAH INDONESIA IV, Marwati Djoened Poesponegoro,Nugroho Susanto/ Depatermen Pendidikan dan Kebudayaan/Pn Balai Pustaka Jakarta 1984

PENETRASI VOC DI KALIMANTAN BARAT

MUSRI INDRA  WIJAYA/SI3

Pada awal abad 17 kalimantan barat telah mempunyai hubungan perdagangan dengan Palembang, Johor, Riau, Banten, Mataram, Kalimantan Selatan, Makassar dan sebagainya. Yang sangat menarik perdagangan ialah intan dan berlian. Pedagang barat seperti bangsa Portugis, Spanyol dan belanda juga telah menampakkan diri di daerah itu.
Antara kerajaan-kerajaan tidak hanya timbul persaingan perdagangan tetapi juga perjuangan kekuasaan. Di bawah pemerintahan ratu bunku, janda Panembahan Giri Kusuma. Landak dan Sukadana ada di bawah satu kekuasaan. Ratu Bunku bersifat tidak pro terhadap VOC sedangkan Raja Sambas memberi kelonggaran kepada VOC untuk berdagang dan membangun pabrik di wilayahnya, terutama dengan meksud untuk memajukan perdagangannya. Namun ternyatahal ini menjadi sumber perselisihan antara Sambas dan Landak.
Kerajaan Sambas ang mengkui suzereinitas kerajaan sukadana semakin lama semakin banyak dipengaruhi oleh Wangsa dan Sukadana. Raja Tengah seorang ipar Sultan Muhammad Safiudin bersama putranya Raden Sulaiman datang bermukim di Sambas dan akhirnya Raden Sambas tersebut berhasil bertahta sebagai Sultan Sambas debgan gelar sama dengan pamannya, sultan Muhammad Safiudin.
Pada akhir bad 17 pecahlah perang berlian antar Landak dan Sukadana, oleh karena yang terakhir menuntut agar berlin besar yang disebut danau Raja, diserahkan oleh Landak. Dengan bantuan Banten dan VOC, Landak menyerang dan berhasil menakhlukan Sukadana. Sultan Zainuddin terpaksa mengungsi ke Kotaringin dan Sukadana dijadikan sebagai vasal Banten. Dari Banten serta Pangeran Agung diserahi tugas untuk memegang pemerintahannya.
Kemudian sultan menacri bantuan ke Sultan Banjarmasin dan petinggi-petinggi dari Bugis. Berkat bantuan upu daeng Menambon Sultan Zainudin dilepaskan dari suatu tawanan. Sebagai balas jasa dia dinikahkan  dengan Putri Kasumba, seorang  keturunan dinasti Mempawa. Setelah Sukadana dapat dikalahkan maka Sultan Zainudin dikembalikan ke tahtanya lagi, sedangkan daeng menambong menetap di mempawa di mana ia berkuasa dan sepeninggalnya diganti oleh putranya, Panembahan Adijaya Kusuma.
Kerajaan Pontianak
Di antara pedagang Asia yang melakukan kegiatannya di pelabuhan-pelabuhan Indonesia, terdapat  pedagang arab. Beberapa diantaranya mendapat kewibawaan mereka sebagai Syarif atau memperoleh pengaruh  besar di kalangan istana raja-raja, seperti Palembang, Banten, Siak dan Banjarmasin. Sebagai orang keramat pengaruh itu jauh melampaui bidang ekonomi dan agama seperti beberapa kasus yang telah dikemukakan di atas memperoleh kekuasaan politik yang besar bahkan ada yang berhasil menggeser  dinasti yang bekuasa .
Asal mula kerajaan Pontianak kembali pada riwayat hidup Syeh Abdurrahman seorang putra Syaraif Husain Ibnu Ahmad al kadri. Datang di Matan pada tahun 1753 sebagai orang yang hendak mengadu peruntungan di daerah perantauan, kemudian dia terpaksa pindah ke Mempawa mencari perlindungan Sultan Daeng Menambon. Sebabnya ialah bahwa kecamannya terhadap raja Matan atas tindakannya yang kejam membangkitkan amarah raja itu, sehingga hidupnya terancam. Di kalangan masyarakat Syarif Husain sangat terkenal dan berpengaruh, lebih lagi setelah ia menjadi seorang patih.
Pada tahun 1742 seorang putra laki-laki lair dari pernikahannya dengan Putri Dayak yang diberi nama Syarif Abdurrahman. Sebagai anak muda yang tampan, dia telah menunjukkan bakat serta ambisinya. Masa mudanya penuh dengan petualangan, berdagang lada ke Banjarmasin. Menyerang dan merompak kapal Prancis di pasir dan merompak Junk Cina. Di Banjarmasin dia menjadi menantu Sultan, menikah dengan Sirih Anom. Karena ambisinya akhirnya di sana dia sangat dibenci sehingga terpaksa kembali ke Mempawa. Pada akhir tahun 1771 bersama dengan sejumlah pengikutnya Syarif Aburrahman berlayar mudik sungai Kapuas sampai tempat pertemuannya sungai Landak. Di tempat itulah dia mendirikan pemukiman baru untuk dikembangkan sebagai pusat perdagangan. Menurut cerita tempat itu dihuni oleh hantu-hantu dan kesemuanya diusir olehnya dan dimulailah pembukaan hutan  7 januari 1772 maka tempat itu diberi nama Pontianak. Pemilihan tempat yang strategis itu membawa keberhasilan karena kemudian banyak orang asing dari luar daerah untuk singgah dan berdagang seperti Bugis, Melayu, Cina dan juga dari Sangau, Mempawa, Sukadana, dan Sambas.
Dengan kedudukann yang cukup kuat Syarif Abdurrahman  berusaha melakukan ekspansi yang menjadi incaran pertama adalah Sangau. Raja sangau selaku menjadi vassal Banten meminta bantuan ke sana. Pihak Banten masih dipandang mempunyai  suzereinitas dikerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat sesunguhya sudah tidak berdaya lagi melakukan tindakan maka pada tanggal 26 maret 1778 Sultan Banten bersama para pembesar launnya menyerahkan suplemasi ke Kerajaan Landak, Sukadana dan seluruh wilayah Kalimantan Barat kepada VOC.
Dalam menghadapi situasi baru itu serta penuh kesadaran akan kekuasaan kumpeni , maka Syarif Abdurrahman mengakui supremasinya dengan menandatangani kontrak pada tanggal 5 juli 1779. Dia diakui sebagai sultan Pontianak dan sangau dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Husain Alkadri VOC berhak atas sebagian besar penghasilan dari kerajaan Pontianak  dan hak monopoli seperti perdagangan Berlian, Emas, Lada, Sarang burung, Lilin, Sago, Rotan. Pedagang erasal dari daerah nusantara lainnya sepeti Bugis, Melayu, Jawa, Bali dan yuridiksi VOC.
Akibat dari ekspedisi VOC ke riau pada tahun 1784 ialah ahwa Sultan Ibrahim terpaksa mengungsi ke pegunungan di Riau, raja Mohammad Ali dari Siak direstorasi pada kedudukannya semula, sedangkan Raja Ali sebagai Raja Muda menyelamatkan diri ke Mempawa. Pada tanggal 10 november 1784 voc membuat kontrak dengan sultan Mahmud Syah dari Johor dan Pahang, raja yang sah dari Riau yang menentukan statusnya selaku pelaku vassal dari pihak pertama. Selanjutnya dibuatlah peraturan larangan untuk semua bengsa Bugis untuk bertempat tinggal di Riau. Kehadiran raja Raja Ali sebagai musuh VOC di Mempawa digunakan oleh Sultan Syarif Adurrahman untuk menyerang kerajaan-kerajaan yang dipandangnya sebagai penghalang kemajuan perdagangan Pontianak.
Perjuangan kekuasaan di wilayah itu menjadi kompleks oleh karena ada konflik mengenai perbatasan antara Mempawa dan Sambas. Meskipun konflik itu dengan perantaraan sultan Syarif Abdurrahman  dapat diselesaikan, namun pertentangan antara Penembahan Mempawa dan Abdurrahman meningkat. Hal ini dikarenakan pihak pertama tidak memenuhi pembayaran denda berdasarkan kontrak tersebut. Dengan intrinya Abdurrahman mencoba meyakinkan VOC ahwa Panembahan Mempawa adalah musuh besarnya.
Factor lain yang menambah kompleksitas pertentangan  banyak sudut itu ialah persaingan dan permusuhan antara Pontianak dengan Sukadana. Antara lain mengalirnya hasil dari daerah hulu sungai Kapuas ke Sukadana hal ini merugikan Pontianak. Waktu Raja Ali pindah dari Mempawa dan mengungsi ke Sukadana, Abdurrahman terdorong lebih kuat untuk meminta bantuan kepada VOC. Bagi VOC ada alasan kuat untuk memberi bantuan itu karena Sukadana selalu tidak bersedia mengakui supremasinya. Dikirimlah angkatan laut untuk menyerang Sukadana bersama dengan barisan di bawah pimpinan Syarif Kasim, putra dari Syarif Abdurrahman. Sultan Ahmad Kaharudin dengan pasukannya menyelamatkan diri sebelum Sukadana jatuh ke tangan musuh dan dibumihanguskan pada 1786.
Setelah kemenangan itu mempawa mendapat giliran, meskipun lama bertahan dalam menghadapi pengepungan, akhirnya panembahan terusir dan Syarif Kasim diangkat sebagai sultan Mempawa dan vassal dari VOC. Panemahan Mempawa beserta rakyatnya mengungsi ke daerah pedalaman, dan bangsa Bugis dilarang tinggal di Mempawa dan semua benteng dihancurkan.  Sementara kerajaan matan masih berdiri tegak dan tetap menolak untuk mengakui supremasi VOC. Yang berkuasa di Matan ialah Sultan Ahmad Kamaluddin yang melarikan diri dari Sukadana. Kemudian dipilihnya Koyung sebagai pusat kerajaannya. Seorang saudara Sultan, Pangeran Kusumaningrat, yang menjadi Patih membuka pemukiman baru di Simpang dan kemudian praktis berkuasa penuh dengan kedaulatan sendiri.
Persaingan dan pertentangan da antara kerajaan-kerajaan Kalimantan Barat ternyata mengundang campur tangan VOC. Oleh karena kesulitan intern VOC maka penetrasi kekuasaannya tinggal pada pengakuan supremasi saja. Jaringan komunikasi di Kalimantan  Barat yang terbentuk lewat perdagangan, perang, perkawinan dan diplomasi pada akhir abad 18, telah mewujudkan suatu tingkatan integrasi dengan skala yang melampaui lokalitas
  DAFTAR PUSTAKA:
1.      Kartidirdjo, Sartono, 1999, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium Sampai Imporium, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
2.      Ricklefs, M. C, 1991, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press