LEGENDA IKAN PATIN


Slamet Kabul Budiarto/B/SR3
                     

Pada zaman dahulu kala, ditanah melayu hiduplah seorang nelayan tua yang bernama Awang Gading. Ia tinggal seorang diri ditepian sebuah sungai yang luas dan jernih. Meskipun ia hidup seorang diri, Awang Gading tidak selalu merasa sedih, ia selalu merasa bahagia. Ia mensyukuri atas setiap nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerjaan sehari-harinya adalah menangkap ikan disungai dan mencari kayu di hutan.
Pada suatu sore hari, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. Ia sangat berharap  hari ini akan mendapatkan ikan besar. Lalu ia pun melemparkan kailnya kedalam air, ia pun berdendang sambil menunggu umpannya dimakan oleh ikan. Beberepa saat kemudian umpannya pun dimakan oleh ikan. Dengan hati-hati disentaknya kail itu, dan apa yang terjadi, ternyata ikan itu terlepas dari mata kailnya. Lalu ia pun memasang lagi umpan pada mata kailnya. Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, namun pada saat kailnya ditarik ikannya terlepas lagi.
Hari sudah mulai gelap, namun tak seekor ikan pun yang diperolehnya. Ia pun segera membenahi segala peralatan yang ia bawa, dan ia pun bergegas untuk pulang. Namun baru saja ia melangkah , tiba-tiba terdengar olehnya suara tangisan bayi. Dengan perasaan yang takut, ia pun mencoba mencari sumber suara tersebut. Tidak lama mencari, ia pun menemukan seorang bayi perempuan yang mungil tergolek diatas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai, ucap Awang Gading dalam hati. Ia pun merasa iba dengan bayi tersebut, lalu dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.
Setibanya ia di rumah pada malam hari, malam itu juga ia membawa bayi tersebut ke rumah tetua kampung. Kemudian tetua kampung pun berpesan kepada Awang Gading untuk merawat bayi tersebut dengan baik. Berbahagialah hati Awang Gading karena dipercaya oleh tetua kampung untuk merawat bayi tersebut. Awang Gading pun berharap kelak bayi tersebut menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik.
Keesokan harinya, Awang Gading pun mengadakan selamatan atas hadirnya bayi tersebut di tengah kehidupannya. Ia pun mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading pun memberikan nama bayi tersebut dengan nama Dayang Kumunah. Seusai acara tersebut, Awang Gading pun menimang-nimang bayi tersebut sambil mendendang "Dayang saying, anakku seorang, cepatlah engkau besar menjadi gadis dambaan".
Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat dalam bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang Kumunah. Awang Gading pun membekali Dayang Kumunah dengan berbagai ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang baik. Setiap hari ia juga mengajak Dayang Kumunah pergi mengail dan mencari kayu di dalam hutan untuk mengenalkan kehidupan alam lebih dekat kepada Dayang Kumunah.
Waktu terus berjalan, hingga beberapa tahun kemudian. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia pun sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayng Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, ada seorang pemuda tampan dan kaya dari desa sebelah yang kebetulan lewat di depan rumah Awang Gading. Pemuda tersebut bernama Awangku Usop. Pada saat Awangku Usop lewat di depan rumah tersebut, ia melihat seorang gadis yang sangat cantik yang sedang menjemur pakaian, gadis cantik tersebut ialah Dayang Kumunah. Awangku Usop pun terpaku pandangannya oleh kecantikan Dayang Kumunah. Dan ia pun langsung jatuh hati kepada Dayang Kumunah dan berniat untuk segera melamarnya.
Beberapa hari kemudian, Awangku Usop kembali mendatangi rumah Awang Gading dengan niat untuk melamar putri Awang Gading yaitu Dayang Kumunah. Setelah Awangku Usop mengatakan maksud kedatangannya, Awang Gading pun tidak langsung memberikan jawaban. Ia memberikan keputusan tersebut kepada Dayang Kumunah. Lalu Dayang Kumunah pun memberikan jawaban sambil menjelaskan kepada Awangku Usop. "Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untu tertawa," pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop pun menyanggupi syarat tersebut, ia berjanji untuk memenuhi syarat tersebut.
Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan pun berlangsung sangat meriah. Semua kerabat dan tetangga dari kedua mempelai pun diundang. Para undangan pun turut gembira menyaksikan kedua pasangan tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop pun seorang pemuda yang sangat tampan. Setelah pernikahan mereka, mereka mulai menjalani hidup baru dalam berubah tangga. Mereka hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung cukup lama. Beberapa minggu setelah pernikahan mereka, ayah dari Dayang Kumunah yaitu Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah pun sangat sedih kehilangan seorang ayah yang sangat ia cintai dan ia sayangi, yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Waktu terus berjalan, Dayang Kumunah pun akhirnya melahirkan buah hatinya dengan Awangku Usop yang berjumlah lima orang. Dengan kehadiran buah hatinya tersebut, kesedihan Dayang Kumunah pun segera terobati dan perlahan dapat menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada ayahnya. Ia pun kembali hidup bahagia bersama suami dan kelima anaknya tersebut.
Namun, Awangku Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awangku Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.
Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama suami dan anak-anaknya di teras rumah. Pada saat itu, si bungsu anak mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua keluarga tertawa bahagia melihat kelucuan si bungsu, kecuali Dayang Kumunah. Awangku Usop pun lalu meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak istrinya untuk tertawa. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Pada saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya.
Sesampainya di tepi sungai, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, "kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik, bekalilah anak-anak kita dengan budi pekerti yang baik". Perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awangku Usop pun baru menyadari kekhilafannya. Ia segera meminta maaf kepada istrinya dan menyesal telah melanggar janji yang telah di pinta oleh istrinya. Awangku Usop pun membujuk Dayang Kumunah untuk kembali ke rumah, namun semua sudah terlambat.
Dayang Kumunah telah terjun ke sungai dan ia telah menjelma menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengkilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang.
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat sedih melihat Dayang Kumunah menjelma menjadi seekor ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan tersebut, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Mereka menyebutnya sebagai ikan patin, maka dari itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.
Catatan:
Cerita rakyat diatas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut ialah kewajiban mendidik anak, berbudi pekerti luhur, dan pantangan melanggar janji. 
DAFTAR PUSTAKA
Widiasari Tami, 2010, Legenda Rakyat Nusantara, Yogyakarta: Great! Publisher.
http://www.melayuOnline.com

GERAKAN ACEH MERDEKA

PERTIWI RESTI/SIV

             Umum menganggap bahwa GAM dilahirkan pada 4 Desember 1976. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam.
             Terdapat berbagai pendapat yang telah menjelaskan beberapa hal yang menjadi kausa peristiwa ini. Pertama, bahwa GAM merupakan lanjutan perjuangan—atau setidaknya terkait—Darul Islam (DI) Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII Daud Beureueh.
             Kedua, faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh. Ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, dan berbagai ketidakadilan lainnya merupakan faktor ketiga dari sebab kelahiran GAM.
             Penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru sampai era Reformasi. Pada masa Presiden B.J.Habibie, pemerintah tetap mengedepankan pendekatan keamanan dengan menggunakan militer dan polisi dalam menjaga keamanan di Aceh. Pada masa Presiden Abdurahman Wahid mencoba melakukan pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri berlaku Kesepakatan Penghentian Kekerasan. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tampak keduanya memilih cara non-militer untuk menyelesaikan persoalan. Terlebih inisiatif, Jusuf Kalla dengan cara bekerja di balik layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan GAM, dalam rangka melakukan komunikasi politik di satu sisi dan sekaligus membangun kepercayaan. Musibah yang mendatangkan berkah akhirnya terjadi, tsunami 26 Desember 2004 telah turut mengambil peran untuk mendamaikan para pihak yang bertikai. Musibah tersebut menuntut pemerintah dan GAM untuk lebih memikirkan solusi damai dalam menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Aceh.    
Faktor-faktor perdamaian di Aceh:
1.      Bencana Alam Tsunami
Posisi pemerintah sangat jelas disini. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, beberapa hari setelah tsunami dengan jelas mengumumkan bahwa perdamaian harus segera dilakukan. Bagi Jusuf Kalla, sangat mustahil membangun puing-puing reruntuhan Aceh apabila pemerintah dan GAM masih bersebrangan.
2.      Keseriusan Pemerintahan SBY-JK
Keseriusan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, telah menunjukkan keseriusan untuk memulai perundingan damai dengan GAM. Keinginan kedua pemimpin ini bukan sekedar retorika tetapi aksi nyata.
3.      Dukungan TNI
TNI sendiri amat sangat mendukung dan mendorong terciptanya perdamaian di Aceh. Dalam konteks ini peranan presiden SBY sangat dominan. SBY dengan tegas menyatakan bahwa TNI harus ikut keputusan politik yang dilakukan pemimpin.
4.      Perubahan semangat GAM
Hasil operasi pasukan TNI yang besar-besaran sebelum tsunami membuat pasukan GAM mengendur. Pasukan GAM mengalami kekalahan yang signifikan dan membuat semangat tempur orang-orang GAM di lapangan mengalami perubahan.
5.      Peranan Martti Ahtisaari
Kepemimpinan mantan Presiden Finlandia,  Martti Ahtisaari, dalam memediatori dan memfasilitasi perundingan damai tersebut sangat menentukan. Ia amat tegas dalam, penuh siasat dan ia juga memiliki rencana yang matang pada setiap perundingan. Ia selalu berkomunikasi langsung dengan Sekjen PBB, Koffi Annan selama perundingan. Dengan demikian ia amat gampang memobilisasi segala keperluan untuk mencapai perdamaian di Aceh.
6.      Agenda Konkret Pemerintah
Faktor ini sangat menentukan sebab tawaran konkret tersebut membuat posisi pemerintah Indonesia di meja perundingan, sangat menguntungkan. Manakala pihak GAM masih berputar-putar damal mengadu argumentasi dan berusaha mengelak memasuki subtansi persoalan, Ahtisaari selalu menggunakan tawaran konkret itu untuk menekan GAM.
7.      Dukungan Internasional
Dunia internasional amat mendukung ikhtiar damai yang dilakukan oleh pemerintahan baru SBY-JK.  Dukunga internasional untuk mempercepat perdamaian di Aceh ini tidak terlepas dari tsunami. Dunia internasioal secara serentak membantu melakukan rekonstruksi Aceh pasca bencana tsunami. Dunia internasional lebih rasional dan realistis bahwa adalah tidak mungkin melakukan bentuan kemanusiaan dan melakukan rekonstruksi Aceh tanpa adanya perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan GAM.
8.      Format Dialog
Kali ini pihak pemerintah Indonesia dan GAM bertemu langsung di sebuah meja perundingan. Tak ada perantara yang menyampaikan masing-masing pesan. Denga demikian, tak ada kata yang ditafsirkan lain. Pertemuan langsung memang sangat efektif sebab selain masing-masing pihak mendengar secara langsung, juga segala rencana dan isi pikiran dengan mudah dikemukakan.
9.      Lobi Personal yang Intensif
Kontak person dengan para petinggi GAM yang dilakukan oleh pemerintah menjadi sangat signifikan. Hal yang sama juga dilakukan Wapres terhadap Ahtasaari. Dengan berkomunikasi langsung tersebut, baik dengan petinggi GAM maupun Ahtasaari, amat yakin tentang kesungguhan pemerintah untuk mencapai perdamaian.
10.  Kesabaran dan Toleransi Negositator Pemerintah
Daya tahan para perunding pemerintah untuk bersikap sabar dan toleransi terhadap serangan GAM, turut menentukan kelancaran perundingan. Dan sikap ini tidak terjadi begitu saja, sebab, setiap saat JK selalu mengingatkan agar berlatih menahan emosi dan reaksi. Ajaran JK tersebut bukan tanpa alasan. Pengalaman menyelesaikan konflik kekerasan di Poso dan Ambon beberapa tahun silam, membuat JK percaya bahwa bagian kesuksesan mendamaikan oranng adalah kesabaran.
11.  Komitmen Kedua Belah Pihak
Kepatuhan kedua belah pihak untuk menjaga komitmen bahwa subtansi pembicaraan selama dialog berlangsung, tidak boleh diketahui public. Baik pihak pemerintah maupun GAM, keduanya tunduk pada aturan main ini. Pihak mediator juga demikian. Ia hanya melakukan jumpa pers pada akhir tiap putaran dialog. Itu pun atas persetujuan kedua belah pihak.
12.  Kedisiplinan GAM
Kerapihan struktur organisasi GAM memungkinkan mereka amat disiplin. Selama perundingan berlangsung, tak ada satu un aktivis GAM yang melenceng dari perintah pemimpin mereka yang tengah berunding di Helsinki. Semuanya tunduk pada kepemimpinan Malik Mahmud dan Zaini Abdullah.

Daftar Pustaka
Haramain, A. Malik. 2004. Gus Dur, Militer, Dan Politik. Yogyakarta: LKiS
Awaludin, Hamid. 2008. Damai Di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM Di Delsinki. Yogyakarta: Centre For Strategic And International Studies

KEPAHLAWANAN UNTUNG SURAPATI


KEVIN REZA – SI3 / A
Berdasarkan Babad Bali, Untung Surapati kecil lahir di Puri Jelantik Gelgel Bali tahun 1660. Ayah beliau adalah Panglima Perang kerajaan Swecalinggarsapura Gelgel. Karena Ayah beliau difitnah, untuk menghindari konflik, akhirnya Ayah beliau beserta rakyat yang setia dengan ayah beliau mengungsi ke barat tepatnya ke desa Marga Tabanan. Dalam perjalanan anak nomor 2 yaitu Untung kecil terlepas dari rombongan sewaktu menyeberang sungai Ayung. Saat itu Untung kecil masih berumur 4 tahun.
Pada waktu umur 7 tahun Untung kecil dipungut oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makasar. Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama "Si Untung".
Karena sejak kecil sudah berpisah dengan keluarganya, maka tidak ada orang yang mengetahui riwayat asal-usulnya. Nama Untung itu sendiri adalah nama paraban (alias) yang diberikan oleh majikannya, nama garbhopati (nama sejak lahir) yang diberikan orang tuanya adalah Surawiroaji. Ia adalah seorang tokoh dalam sejarah Nusantara yang dicatat dalam Babad Tanah Jawi. Kisahnya menjadi legendaris karena mengisahkan seorang anak rakyat jelata dan budak VOC yang menjadi seorang bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan.
Menurut silsilah keluarganya Surawiroaji alias Untung adalah anak dari Jatiwiyasa, seorang keluarga bangsawan di Bali. Kakeknya bernama Tirtawijaya Sukma anak dari Karma Pujanggabuana anak dari Resi Mertadharma anak dari Sarataleksi anak dari Bharata Darwa Muksa anak dari Satya Putralaksana anak dari Kuwu Wika Kertaloka anak dari Prahma Putra Reksa anak dari Resi Wuluh Sedyaloka. Orang Jawa menyebut Resi Wuluh Sedyaloka dengan nama Begawan Sidolaku, sastrawan terkenal dari Tabanan Bali. Ketika masih muda Raden Ronggowarsito (Pujangga kraton Surakarta) pernah belajar ke Tabanan untuk mempelajari kitab kasusastraan peninggalan Resi Wuluh Sedyaloka.
Resi Wuluh Sedyaloka adalah keturunan Prabu Kertajaya, raja terakhir Panjalu (Kediri) yang dikalahkan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Ketika pasukan Ken Arok menyerbu istana Kediri, Prabu Kertajaya berhasil melarikan diri dengan diiringkan ketiga istri dan beberapa abdi saja. Raja yang malang ini bersembunyi di lereng Gunung Semeru dan akhirnya menjadi seorang pertapa.
Tidak lama berselang Ken Arok mencium keberadaan Prabu Kertajaya, maka ditugaskan bala tentaranya untuk menangkap lawan politiknya tersebut. Prabu Kertajaya berhasil lolos dalam pengejaran hingga akhirnya menemukan tempat yang aman di Pulau Bali. Prabu Kertajaya mendapat perlindungan dari penguasa di pulau dewata sebab antara raja Jawa dan Raja Bali masih memiliki hubungan darah.
Jadi apabila dirunut ke atas, leluhur Untung adalah gabungan dari wangsa Dharmodayana (Prabu Udayana) yang berkuasa di Bali dan wangsa Isana (Empu Sindok) yang berkuasa di tanah Jawa. Wangsa Isana adalah kelanjutan dari wangsa Syailendra yang mendirikan kerajaan Mataram (Medang Kamulan) di lereng barat daya gunung Merapi.
Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan penjara oleh Moor karena menjalin hubungan dengan putrinya yang bernama Suzane. Untung seorang pemuda berwajah tampan dan halus tutur katanya. Dia sangat pemberani namun berhati mulia, sehingga selama di dalam penjara sangat disegani kawan-kawannya. Pada suatu kesempatan Untung memimpin para narapidana melakukan perlawanan kepada penjaga penjara. Penjara berhasil dijebol, berbagai senjata dirampas dan dibawa kabur. Kompeni mengirimkan serdadu untuk menangkap mereka, tetapi upaya itu tidak membuahkan hasil. Untung dan pengikutnya justru membunuh beberapa serdadu yang mengejarnya. Kompeni semakin marah kepada Untung dan terus-menerus melakukan pengejaran.
Pada tahun 1683, VOC berhasil mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa,  sang raja Banten. Putra sang raja yang bernama Pangeran Purbaya melakukan pelarian ke Gunung Gede. Setelah melalui proses yang panjang, Ia memutuskan menyerah asalkan ia dijemput oleh perwira VOC pribumi. Dilain sisi Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung. Mereka ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi menjemput Pangeran Purbaya.
Di dalam perjalanan tugasnya ia berhasil menangkap Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura. Meskipun Untung Suropati telah menangkap Pangeran Purbaya, ia tidak tega untuk membunuh Purbaya sehingga dituduh sebagai pengecut oleh sesama opsir Belanda. Kemudian datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar. Untung tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari 1684.
Pangeran Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, di tengah perjalanan Untung bertemu dengan janda Pangeran Purbaya yang bernama Raden Ayu Gusik Kusumo, mereka saling memperkenalkan diri serta menceritakan riwayat masing-masing. Gusik Kusumo terpaksa bercerai dengan Pangeran Purbaya karena suaminya akan menyerahkan diri kepada Belanda, wanita tersebut tidak  menyetujui niat suaminya. Sementara Untung menceritakan kalau dirinya menjadi buronan serdadu kompeni karena melarikan diri dari penjara bersama teman-temannya.
Setelah saling mengetahui riwayatnya, mereka menyatakan keinginannya bersatu untuk melawan  kompeni.  Gusik  Kusumo  mengajak  Untung dan pengikutnya mencari perlindungan ke Kasultanan Cirebon, karena Sultan Cirebon masih mempunyai hubungan keluarga dengannya. Setelah dipikir dengan matang, Untung menyambut baik ajakan tersebut, mereka segera bergerak menuju Cirebon. Untung kini kembali menjadi buronan VOC.
Ketika melewati Kesultanan Cirebon, Untung berkelahi dengan Raden Surapati, anak angkat sultan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Surapati. Surapati pun dihukum mati. Setelah itu Sultan Cirebon sangat gembira menerima kedatangan Gusik Kusumo dan seluruh teman-temannya. Wanita itu menceritakan semua peristiwa yang dialami, mulai dari kepergiannya meninggalkan suami sampai pertemuannya dengan Untung. Kanjeng Sultan sangat prihatin akan nasib keponakannya, tetapi beliau juga bangga. Meskipun seorang wanita, Gusik Kusumo tidak gentar melawan kompeni.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada Untung yang sudah mengawal keponakannya, Untung dianugerahi nama Suropati oleh Sultan Cirebon, sehingga namanya menjadi Untung Suropati. Dalam ajaran Jawa-Hindu nama Suropati adalah sebutan lain dari Bathara Endra, yakni rajanya para dewa.
Beberapa saat lamanya Untung tinggal di Cirebon, hingga pada suatu hari Kanjeng Sultan menyarankan agar Untung meneruskan perjalanan ke Kartasura. Sultan khawatir kompeni akan menyerang Cirebon, sementara kondisi kesultanan tidak memungkinkan melakukan perlawanan. Cirebon adalah kerajaan yang hanya memiliki prajurit dalam jumlah terbatas. Di Kartasura Untung akan mendapat pengayoman karena Kartasura memiliki prajurit yang sangat besar. Ayah angkat Gusik Kusumo adalah Patih Nerangkusuma.
Untung Suropati memahami hal itu, sebenarnya dia bersama kawan-kawannya juga sudah berencana meninggalkan Kesultanan Cirebon. Mereka terpaksa bertahan di Cirebon karena menunggu keputusan Gusik Kusumo.
Pada waktu yang hampir bersamaan Gusik Kusumo mengutarakan niatnya untuk pulang ke Kartasura. Sang Putri sudah sangat rindu kepada keluarganya di Mataram dan harus secepatnya diberitahu kalau dirinya sudah bercerai dengan Pangeran Purbaya. Pernikahannya dengan Purbaya dulu adalah atas kehendak Sunan Amangkurat, jadi apapun yang terjadi harus dilaporkan ke Mataram.
Kanjeng Sultan memberikan perbekalan yang cukup untuk keberangkatan mereka. Beliau juga mengijinkan orang-orang Bali, Madura dan Makassar yang hidup bergelandangan di Cirebon bergabung dengan Untung Suropati. Setelah berpamitan kepada Kanjeng Sultan, rombongan Untung dan Gusik Kusumo meninggalkan Cirebon dengan perasaan sangat terharu.
Untung alias Surapati tiba di Kartasura mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh anti VOC yang gencar mendesak Amangkurat II agar membatalkan perjanjiannya dengan bangsa Belanda tersebut. Nerangkusuma juga menikahkan Gusik Kusuma dengan Surapati.
Kapten François Tack (perwira VOC senior yang ikut berperan dalam penumpasan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura bulan Februari 1686 untuk menangkap Surapati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC.
Pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75 orang Belanda tewas. Kapten Tack sendiri tewas di tangan Untung. Tentara Belanda yang masih hidup menyelamatkan diri ke benteng mereka.
Amangkurat II takut pengkhianatannya terbongkar. Ia merestui Surapati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan. Di kota itu, Surapati mengalahkan bupatinya, yaitu Anggajaya, yang kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan Surapati di Kartasura.
Untung Surapati pun mengangkat diri menjadi bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung Wiranegara. Pada tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.
Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger. Akhirnya Sunan Mas terlunta-lunta nasibnya, prajuritnya sudah tercerai berai dan kekuasaan sudah lenyap dari genggaman. Kerajaan Mataram yang diwarisi dari ayahandanya telah berpindah ke tangan pamannya (Pangeran Puger). Dalam hati sebenarnya beliau menyesali tindakannya yang tidak mau bekerjasama dengan kompeni. Tetapi semua itu sudah berlalu dan tidak mungkin terulang lagi. Kompeni terlanjur membenci Sunan Mas dan menganggapnya sebagai musuh.
Selama dalam pelarian, Sunan Mas mendapat perlindungan di wilayah Pasuruan. Adipati Wironegoro menjamin keselamatan mantan raja Kartasura itu. Siapapun yang berani menyakiti Sunan Mas, dia akan berhadapan langsung dengan Untung Suropati. Hal itu sebagai balas budi atas kebaikan ayahanda Sunan Mas, ketika masih dalam kondisi yang serba sulit Untung Suropati juga mendapat pengayoman di kraton Kartasura.
Keberadaan Untung Suropati yang didukung seluruh rakyat Pasuruan terus menjadi ancanam bagi kompeni Untuk menghilangkan ancaman tersebut, tahun 1706 Gubernur Jendral kompeni di Batavia menunjuk Mayor Govert Knol memimpin penyerangan besar-besaran ke Kadipaten Pasuruan. Pada bulan September serdadu kompeni sudah berkumpul di Surabaya bersama prajurit dari Madura dan prajurit Adipati Jangrono.
Secara diam-diam Adipati Wironegoro dan Adipati Jangrono sudah bersepakat menggagalkan penyerangan. Mereka menyusun rencana penggagalan dengan cara halus sehingga kompeni tidak mengetahuinya. Adipati Jangrono memerintahkan agar prajurit Surabaya yang dipercaya sebagai penunjuk jalan melewati medan berat berawa-rawa, terkadang menyeberangi telaga luas dan dalam.
Serdadu kompeni menghadapi kesulitan luar biasa, mereka berjuang keras mengusung meriam yang jumlahnya sangat banyak. Mayor Knol mencurigai prajurit Surabaya sengaja menyesatkan jalan tetapi dia tidak berani melakukan tindakan apa-apa.
Knol berusaha menghindari kesalahapahaman dengan orang-orang Surabaya agar tidak membuat suasana menjadi semakin buruk.  Setelah melewati medan panjang yang melelahkan, serdadu kompeni sampai di desa Derma untuk kembali menyusun kekuatan. Serdadu kompeni tiada henti mengumpat prajurit Surabaya, mereka sadar sudah dijeremuskan dalam medan yang sangat sulit dan tidak semestinya dilalui oleh pasukan tempur.
Setelah kekuatan serdadunya pulih, Mayor Knol memimpin serangan besar-besaran  ke Bangil yang merupakan benteng pertahanan terdepan Kadipaten Pasuruan dari arah Surabaya. Kompeni menghujani musuh dengan bedil dan tembakan meriam. Adipati Wironegoro mengamuk bagai banteng ketaton, secepat kilat dapat berpindah di segala tempat sehingga Adipati Wironegoro menjadi banyak dan berada di mana-mana. Prajurit Surabaya yang terlibat dalam pertempuran itu terlihat tidak bersungguh-sungguh, malah sepertinya hanya main-main saja. Prajurit Pasuruan yang berhadapan dengan orang-orang Surabaya secepat mungkin pergi menjauh. Mayor Knol sangat membenci tindakan orang-orang Surabaya, tetapi sekali lagi dia harus menahan kemarahannya kepada Adipati Jangrono.
Orang-orang Madura kurang memahami taktik pertempuran yang sedang digelar, mereka mengamuk dengan sekuat tenaga sehingga banyak prajurit Pasuruan yang terluka dan terbunuh. Pasukan Pasuruan menjadi berang, mereka membalas tindakan orang-orang Madura dengan sungguh-sungguh bertempur. Akibatnya banyak prajurit Madura yang roboh, bahkan salah seorang putra Adipati Cakraningrat tewas dalam pertempuran.  Kesalahapahaman itu sangat berbahaya bagi keselamatan kedua belah pihak. Adipati Wironegoro secara rahasia mengirim utusan untuk minta maaf dan menjelasakan duduk persoalan kepada Adipati Cakraningrat, dan akhirnya kesalahpahaman itu dapat diatasi secara baik-baik.
Pasukan kompeni sangat gentar menghadapi musuh dengan segudang kadigdayan yang tidak masuk akal. Kehadiran Untung Suropati terlihat berada di semua tempat dalam waktu bersamaan sangat menyulitkan serdadu Belanda. Mereka menjadi bingung dan ragu-ragu dalam bertempur. Raden Suropati dan Raden Surodilogo juga sangat memusingkan kompeni, mereka berdua tidak mempan oleh peluru dan meriam. Beratus-ratus korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Serdadu kompeni mulai terdesak dari pertempuran, tapi mereka terus menghujani lawan dengan meriam seakan tidak ada hentinya. Prajurit Pasuruan kesulitan menerobos meriam yang menyalak bertubi-tubi.
Tiba-tiba terdengar gemuruh prajurit Pasuruan, mereka berteriak histeris melihat pemimpinnya terjatuh dari kuda. Sudah menjadi takdir Gusti Allah,  Adipati Wironegoro tertembak lambungnya dan terluka parah. Para pengawal segera mengusung Sang Adipati dengan tandu menyingkir dari pertempuran. Raden Surodilogo beserta prajuritnya meneruskan perlawanan dengan sekuat tenaga, tetapi karena sudah tidak ada pemimpinnya, benteng Bangil jatuh ke tangan kompeni. Prajurit Untung Suropati berhamburan meninggalkan palagan, mereka kembali ke Pasuruan untuk mempertahankan pusat pemerintahan.
Setelah Bangil dapat dikuasai kompeni, Adipati Jangrono menyarankan kepada Mayor Knol agar pasukan segera ditarik kembali ke Surabaya. Rencana penyerangan ke Pasuruan sebaiknya ditunda dahulu sambil menyusun kekuatan yang baru. Mayor Knol keberatan dengan saran itu, tetapi Adipati Jangrono terus mendesak dengan berbagai alasan. Beliau mengancam tidak akan ikut dalam pertempuran kalau serdadu Belanda nekad diberangkatkan menggempur Pasuruan. Sikap keras dan tegas Jangrono membuat Mayor Knol berpikir ulang, terlebih lagi saat itu hujan turun sangat lebat dan semangat tempur serdadunya memang sangat menurun. Dengan terpaksa Mayor Knol memenuhi keinginan Adipati Jangrono, dia segera memerintahkan pasukannya kembali ke Surabaya.
Adipati Wironegoro berada di pesanggrahan desa Randa Telu untuk menjalani perawatan. Dalam kondisi semakin parah Sang Adipati berpesan supaya anak-anaknya meneruskan perlawanan. Adipati Wironegoro melarang anak keturunannya bersahabat dengan orang-orang Belanda, jika ada yang melanggar maka dia akan terkena kutukan Untung Suropati. Beliau juga memberi wasiat apabila meninggal kuburnya jangan diberi tanda agar tidak ada yang mengetahui Untung Suropati sudah gugur.
Tanggal 5 Nopember 1706 Adipati Wironegoro wafat. Putra-putra Untung Surapati, antara lain Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa dan Bali). Sepeninggal ayahandanya, Raden Pengantin menggantikan jumeneng adipati di Pasuruan dengan mengambil nama abhiseka Adipati Wironegoro II. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Surapati palsu. Seluruh anak keturunan Untung Suropati bertekad terus melawan penjajah Belanda sampai tetes darah penghabisan.
Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam Surapati yang segera dibongkarnya. Jenazah Surapati pun dibakar dan abunya dibuang ke laut.
Sebagian pengikut Untung Surapati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak Surapati dalam perang tahun 1706.
Setelah Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Surapati masih setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran Blitar menentang Amangkurat IV yang didukung VOC tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Surapati dan para pengikutnya dibuang VOC ke Srilangka.
Kisah Untung Surapati yang legendaris dan perjuangannya melawan kolonialisme VOC di Pulau Jawa membuatnya dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Kisah perjalanan hidup Untung Surapati yang legendaris, selain sekarang menjadi nama jalan yang umum di Indonesia, juga cukup banyak ditulis dalam bentuk sastra. Selain Babad Tanah Jawi, juga terdapat antara lain Babad Surapati.
Penulis Hindia Belanda Melati van Java (nama samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada tahun 1887. Karya ini kemudian diterjemahkan oleh FH Wiggers dan diterbitkan tahun 1898 dengan judul Dari Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah ini adalah sastrawan Abdul Muis dalam novelnya yang berjudul Surapati.
Taman Burgemeester Bisschopplein di Batavia (sekarang Jakarta) pasca kemerdekaan Indonesia dirubah namanya menjadi "Taman Suropati" untuk mengabadikan nama Untung Surapati.
DAFTAR PUSTAKA
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
Abdul Muis. 1999. Surapati. cet. 11. Jakarta: Balai Pustaka