LEGENDA IKAN PATIN


Slamet Kabul Budiarto/B/SR3
                     

Pada zaman dahulu kala, ditanah melayu hiduplah seorang nelayan tua yang bernama Awang Gading. Ia tinggal seorang diri ditepian sebuah sungai yang luas dan jernih. Meskipun ia hidup seorang diri, Awang Gading tidak selalu merasa sedih, ia selalu merasa bahagia. Ia mensyukuri atas setiap nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerjaan sehari-harinya adalah menangkap ikan disungai dan mencari kayu di hutan.
Pada suatu sore hari, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. Ia sangat berharap  hari ini akan mendapatkan ikan besar. Lalu ia pun melemparkan kailnya kedalam air, ia pun berdendang sambil menunggu umpannya dimakan oleh ikan. Beberepa saat kemudian umpannya pun dimakan oleh ikan. Dengan hati-hati disentaknya kail itu, dan apa yang terjadi, ternyata ikan itu terlepas dari mata kailnya. Lalu ia pun memasang lagi umpan pada mata kailnya. Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, namun pada saat kailnya ditarik ikannya terlepas lagi.
Hari sudah mulai gelap, namun tak seekor ikan pun yang diperolehnya. Ia pun segera membenahi segala peralatan yang ia bawa, dan ia pun bergegas untuk pulang. Namun baru saja ia melangkah , tiba-tiba terdengar olehnya suara tangisan bayi. Dengan perasaan yang takut, ia pun mencoba mencari sumber suara tersebut. Tidak lama mencari, ia pun menemukan seorang bayi perempuan yang mungil tergolek diatas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai, ucap Awang Gading dalam hati. Ia pun merasa iba dengan bayi tersebut, lalu dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.
Setibanya ia di rumah pada malam hari, malam itu juga ia membawa bayi tersebut ke rumah tetua kampung. Kemudian tetua kampung pun berpesan kepada Awang Gading untuk merawat bayi tersebut dengan baik. Berbahagialah hati Awang Gading karena dipercaya oleh tetua kampung untuk merawat bayi tersebut. Awang Gading pun berharap kelak bayi tersebut menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik.
Keesokan harinya, Awang Gading pun mengadakan selamatan atas hadirnya bayi tersebut di tengah kehidupannya. Ia pun mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading pun memberikan nama bayi tersebut dengan nama Dayang Kumunah. Seusai acara tersebut, Awang Gading pun menimang-nimang bayi tersebut sambil mendendang "Dayang saying, anakku seorang, cepatlah engkau besar menjadi gadis dambaan".
Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat dalam bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang Kumunah. Awang Gading pun membekali Dayang Kumunah dengan berbagai ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang baik. Setiap hari ia juga mengajak Dayang Kumunah pergi mengail dan mencari kayu di dalam hutan untuk mengenalkan kehidupan alam lebih dekat kepada Dayang Kumunah.
Waktu terus berjalan, hingga beberapa tahun kemudian. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia pun sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayng Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, ada seorang pemuda tampan dan kaya dari desa sebelah yang kebetulan lewat di depan rumah Awang Gading. Pemuda tersebut bernama Awangku Usop. Pada saat Awangku Usop lewat di depan rumah tersebut, ia melihat seorang gadis yang sangat cantik yang sedang menjemur pakaian, gadis cantik tersebut ialah Dayang Kumunah. Awangku Usop pun terpaku pandangannya oleh kecantikan Dayang Kumunah. Dan ia pun langsung jatuh hati kepada Dayang Kumunah dan berniat untuk segera melamarnya.
Beberapa hari kemudian, Awangku Usop kembali mendatangi rumah Awang Gading dengan niat untuk melamar putri Awang Gading yaitu Dayang Kumunah. Setelah Awangku Usop mengatakan maksud kedatangannya, Awang Gading pun tidak langsung memberikan jawaban. Ia memberikan keputusan tersebut kepada Dayang Kumunah. Lalu Dayang Kumunah pun memberikan jawaban sambil menjelaskan kepada Awangku Usop. "Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untu tertawa," pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop pun menyanggupi syarat tersebut, ia berjanji untuk memenuhi syarat tersebut.
Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan pun berlangsung sangat meriah. Semua kerabat dan tetangga dari kedua mempelai pun diundang. Para undangan pun turut gembira menyaksikan kedua pasangan tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop pun seorang pemuda yang sangat tampan. Setelah pernikahan mereka, mereka mulai menjalani hidup baru dalam berubah tangga. Mereka hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung cukup lama. Beberapa minggu setelah pernikahan mereka, ayah dari Dayang Kumunah yaitu Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah pun sangat sedih kehilangan seorang ayah yang sangat ia cintai dan ia sayangi, yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Waktu terus berjalan, Dayang Kumunah pun akhirnya melahirkan buah hatinya dengan Awangku Usop yang berjumlah lima orang. Dengan kehadiran buah hatinya tersebut, kesedihan Dayang Kumunah pun segera terobati dan perlahan dapat menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada ayahnya. Ia pun kembali hidup bahagia bersama suami dan kelima anaknya tersebut.
Namun, Awangku Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awangku Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.
Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama suami dan anak-anaknya di teras rumah. Pada saat itu, si bungsu anak mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua keluarga tertawa bahagia melihat kelucuan si bungsu, kecuali Dayang Kumunah. Awangku Usop pun lalu meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak istrinya untuk tertawa. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Pada saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya.
Sesampainya di tepi sungai, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, "kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik, bekalilah anak-anak kita dengan budi pekerti yang baik". Perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awangku Usop pun baru menyadari kekhilafannya. Ia segera meminta maaf kepada istrinya dan menyesal telah melanggar janji yang telah di pinta oleh istrinya. Awangku Usop pun membujuk Dayang Kumunah untuk kembali ke rumah, namun semua sudah terlambat.
Dayang Kumunah telah terjun ke sungai dan ia telah menjelma menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengkilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang.
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat sedih melihat Dayang Kumunah menjelma menjadi seekor ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan tersebut, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Mereka menyebutnya sebagai ikan patin, maka dari itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.
Catatan:
Cerita rakyat diatas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut ialah kewajiban mendidik anak, berbudi pekerti luhur, dan pantangan melanggar janji. 
DAFTAR PUSTAKA
Widiasari Tami, 2010, Legenda Rakyat Nusantara, Yogyakarta: Great! Publisher.
http://www.melayuOnline.com

No comments:

Post a Comment