REVOLUSI HIJAU DI INDONESIA


Lisa rahmadania/pis
Revolusi  Hijau di Indonesia di mulai sejak berlakunya UU Agraria pada tahun 1870 yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial  Belanda, sehingga di Indonesia dapat dikembangkan berbagai jenis tanaman. Dalam perkembangan kemudian , pada masa Orde Baru, program Revolusi  Hijau digunakan  sebagai  salah satu cara untuk meningkatkan produksi  pangan di Indonesia, terutama produksi beras. Revolusi Hijau ini dilaksanakan sebagai secara sistematis, terprogram,  dan terus –menerus sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan Indonesia mampu meningkatkan swasembada pangan yaitu penghasil beras sehingga Presiden Soeharto mendapat penghargaan Nobel.
Usaha yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk meninggatkan swaembada pangan nasional yaitu,
  Program  Bimbingan Massal (Bimas) untuk meningkatkan produksi beras.
   Program Intensifikasi Massal (Inmas) yang merupakan kelanjutan Bimas.
    Program Intensifikasi Khusus (Insus) yang merupakan upaya peningkatan produksi per unit.
    Program Supra Intensifikasi Khusus (Supra Insus) yang dapat meningkatkan swasembada beras.
Program-program di atas dikembangkan melalui intensifikasi pertanian, yaitu upaya peningkatan produksi per unit dan eksensifikasi, yaitu upaya perluasan areal pertanian.
Revolusi Hijau di Indonesia diformulasikan dalam konsep Pancausaha Tani dan Saptausaha Tani.
Pancausaha Tani mamiliki langkah-langkah yaitu:
a. Pemilihan dan penggunaan bibit unggul atau varietas unggul.
    Pempukukan yang teratur.
    Pengairan yang cukup.
    Pemberantasan hama secara intensif
    Teknik penanaman yang lebih teratur
Untuk meningkatkan produksi pangan d an produksi pertanian umumnya dilakuan dengan empat usaha pokok, yaitu sebagai berikut,
a.      Intensifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan menerapkan panca usaha tani.
    Ekstensifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan membuka lahan baru termasuk usaha penangkapan ikan dan penanaman rumput untuk makanan tenak.
    Diversifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan keanekaragaman     usaha tani.
    Rehabilitasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan pemuliha kemampuann daya produktivitas sumber daya pertanian yang sudah kritis.
Sedangkan Saptasauna Tani memiliki langkah-langkah serupa Pancausaha Tani ditambah pengolahan dan penjualan pascapanen.
Revolusi Hijau di Indonesia memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan bagi masyarakat Indonesia yaitu,
a.      Keuntungan:
1)      Masalah pangan nasional teratasi.
2)      Menenal aneka jenis  tanaman.
3)      Ditemukan bibit unggul.
4)      Keseejahteraan petani makin baik.
5)      Pendapatan petani meningkat.
    Kelemahan:
1)      Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pengunaan pupuk buatan dan pestisida hijau secara berlebihan.
2)      Berkurangnya keanekaragaman genetika jenis tanaman tertentu.
3)      Kemampuan daya produksi tanah makin turun.
4)      Timbul urbanisasi.
5)      Pencemaran tanah.
Adapun usaha yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk membatasi kelemahan di atas adalah dengan cara,
1)      Membasmi serangga dan hama tanaman secara biologi.
2)      Menggunakan pupuk buatan, yaitu pupuk kandang dan pupuk hijau.
3)      Menerapkan sistem rotasi tanam, yaitu menanam tanaman secara bergantian.
Dampak Revolusi Hijau dan Industrialisi bagi Masyarakat Indonesia pada Masa Orde Baru
Kebijakan modernisasi pertanian di Indonesia pada masa Orde Baru, yang sering dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau merupakan proses memodernisasikan pertanian gaya lama menjadi pertanian gaya modern dengan melakukan pengembangan bibit unggul jenis IR dari IRRI. Hal ini telah mengubah pola pertanian subsistensi menuju pertanian berbasis kapital dan komersial. Untuk mendukung komersial tersebut, dilakukan dengan cara pembangunan sistam ekonomi modern, pembangunan pabrik pupuk nasional, dan pendirian Koperasi Unit Desa (KUD). Pelaksanaan Revolusi Hijau dan industrialisasi di Indonesia memberikan dampak positif dan negatif yaitu,
a.      Dampak Positif
1)      Lapangan pekerjaan, khususnya pertanian lebih terbuka.
2)      Lahan pertanian menjadi luas.
3)      Pendapatan para petani mengalami peningkatan, tercapainya efisiensi, dan efektivitas dalam pengelolaan pertanian.
4)      Peningkatan kualitas hasil pertanian.
5)      Peningkatan kualitas hasil produksi dan penjualan hasil pertanian.
    Dampak Negatif
1)      Munculnya  kesenjangan sosial antara petani kaya dan miskin akibat perbedaan ekonomi.
2)      Sistem kekerabatan pada masing-masing lapisan masyarakat mulai memudar.
3)      Masyarakat memiliki budaya industri yang berupa budaya konsumtif.
4)      Munculnya kesengajaan ekonomi yang nampak dari adanya kemiskinan, kemelaratan, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan kenakalan remaja.
5)      Pencemaran lingkungan yang tinggi.
Daftar pustaka
alian, magdalian.soeyono,nana nurliana.suhartono,sudarini.2006.sejarah sma dan ma kelas XII program ipa.jakarta:
 mujtahid269.blogspot.com/2013/07/revolusi-hijau-di-indonesia.htmlerlangga

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DI BATAVIA ABAD KE 19

MUHAMMAD FIKRI MUZAKI  /  SI 3  /  B

 Tidak seperti pada masa VOC, abad ke-19 kaya akan catatan-catatan pribadi yang ditulis oleh anggota komunitas Eropa di Indonesia yang berkembang pesat. Tidak ada lagi catatan-catatan perjalanan yang ditinggalkan oleh para pelancong. Pada abad ini, para pemukim dari berbagai tingkatan masyarakat merasa tergerak untuk mengemukakan pendapatnya di surat kabar yang terbit pada masa itu. Kebanyakan para penulis tersebut mengemukakan pendapatnya mengenai ketidakmampuan orang Belanda di Indonesia dalam menjaga integritas mereka dengan kebudayaan asli mereka selama beberapa decade.
Banyak imgran abad-19 yang berusaha menjelaskan perubahan drastic yang terjadi pada kebudayaan Eropa di Indonesia. Banyak penulis, mulai dari Jhannes Hennus sampai Bas Veth melayangkan kritik terhadap terhadap kondisi hidup di Indonesia abd ke-19 dan menganggapnya sebagai sebuah degenerasi. Penjelasan mereka mengenai perubahan kebudayaan bervariasi. Dari penolakan keras para imigran untuk menghargai hak istimewa dan hak asazi system kelas pada masyarakat , perkawinan campur, sampai merusak keturunan Belanda. Di samping itu, praktek pengambilan perempuan local sebagai gundik ditenggarai sebagai penyebab hilangnya nilai-nilai budaya Belanda. Juga pemicu permasalahan domestic rumahtangga imigran dan penelantaran anak hasil hubungan tersebut. Anak-anak ini tumbuh menjadi orang-orang yang merusak hukum dan ketertiban.
Penulis menyalahkan perubahan mendadak dalam gaya hidup dan kepercayaan para perempuan kulit putih. Mereka dianggap malas, sombong dan terlalu mencintai dunia setelah menetap di Indonesia. Penulis lain mencemooh berkurangnya kesalehan dan menggolongkan para imigran sebagai orang yang terobsesi terhadap harta, jabatan dan kehormatan. Sudah menjadi suatu yang lumrah bagi para penulis untuk mengkritik kebiasaan membaca masyarakat Eropa di Indonesia yang tidak terarah dan tanpa tujuan yang serius. Para kritikus tersebut menghubungkan perubahan budaya dengan pergaulan sehari-hari bersama penduduk setengah Asia. mereka mendesak para orang tua untuk mengirimkan anaknya belajar ke Belanda. Mereka menunjukkan keterkejutan terhadap kebiasaan bangsa Eropa yang menonton wayang dan mengagumi keseniaan Indonesia.
Kritik terpedas ditunjukkan kepada para imigran yang hidup layaknya penduduk local."kisah-kisah horror" ini ditulis dalam semua laporan mengenai kehidupan orang indies. Kritik mereka menunjukkan bahwa dalam masyarakat colonial, penampilan luar memiliki banyak implikasi. Perubahan pada pakian yang dikenakkan seseorang bisa diartikan perubahan mata pencaharian, perubahan system hukum yang mengatur perbuatanya. Semua ini menujukkan perbedaan hak dan kewajiban , naik atau turunya status seseorang dalam kelompok yang terpisah.
Pada masyarakat berikutnya, beberapa penulis lain mengemukakan kekagumannya terhadap kebiasaan dan tingkahlaku yang khas Indonesia. Mereka menyebutnya sebagai "keramahan Indies". Keramahan Indies ini antara lain adalah keroyalan memberikan hadiah pada teman dan saudara. Juga keramahan pada tamu yang selalu mereka hibur agar betah berlama-lama dirumahnya. Mereka melihat bahwa hidup yang elegan adalah kehidupan sehari-hari yang berjalan dalam tempo lambat, percakapan diluar rumah di malam hari selama berjam-jam, berjalan-jalan dengan kereta kuda dan bermain bola. Mereka begitu hangat dan suka menolong sesame orang eropa yang dianggap oleh kritikus sebagai sebuah kemunafikan semata.
Orang-orang eropa ini semakin menambah keluwesan meraka berbudaya Indies dengan meminum kopi di pagi hari, tidur siang dan saling berkunjung satu sama lain. Ketika dihadapkan pada kritikus yang mengancam kurangnya stimulasi intelektual pada masyarakat colonial, para penulis ini berasalasan bahwa tindakan mereka ditujukan untuk memperluas pemikiran. Bahkan, beberapa dari penulis ini menunjukan kekaguman mereka terhadap para nyai ( gundik Indonesia ) yang setia pada majikan dan bagi pemiliknya menguak " misteri dunia timur". Sementara itu beberapa penulis lainya mengabdikan eksistensi juru masak dan pengasuh Jawa dalam tulisan mereka.
Para penulis ini mengagumi kebiasaan masyarakat Indies. Terutama dalam bentuk pakian, kebiasaan mandi dan risjsttafel yang menjadi karakteristik koloni Eropa di paruh abd ke-19. Seperti telah disebutkan sebelumnya, ketika para imigran dapat tetap berhubungan dengan tanah kelahiran nya melalui telegraf, buku dan cuti kekampung halaman, meraka tetap mengadopsi kebiasan-kebiasaan Indonesia. para imigran laki-laki VOC yang mungkin tidak pernah mengunjungi tanah kelahiranya bisanya mempertahankan gaya berpakaian dan rambut palsunya. Mereka jarang mandi dan mengganti baju serta bekerja terus sampai sore. namun, pada paruh akhir abad ke-19, para pegawai VOC mengenakkan pakian colonial berwarna putih dan keluar kantor jam 2 siang . mereka mengenakkan piyama batik setelah tidur siang dan makan masakan Indonesia.
Jadi aneh ketika ada yang menganggap kehidupan mereka di Indonesia pada dasarnya sama dengan kehidupan mereka di Belanda. C.W.Wormser adalah salahsatunya. ia hanya menuliskan mengenai pergaulanya dengan sesame imigran Eropa, keakraban dalam lingkup keluarga yang berkisar antara ibu dan para isteri, serta anggota keluarga yang menjunjung tinggi kerja keras dan selalu berhemat. Sangat mudah untuk mengindahkan catatan semacam ini, yang mengesampingkan keberadaan orang Indonesia. Bahkan ia tidak menyebutkan nyai-nyai yang setia atau pengganggu misterius dan selalu mengancam. Pada akhir abad ke-19, Wormster mencatat bahwa sebuah keluarga Belanda yang paling sederhan sekalipun memiliki satu sampai enam pelayan Indonesia yang hidup menurut kebiasaan Indonesia bersama anak dan isterinya. Dengan demikian, seorang Belanda biasnya hidup setidaknya dengan 12 orang Indonesia.
Foto-foto dan catatan yang menunjukkan imigran Eropa tengah mengenakkan kebaya dan kain sementara para laki-laki mengenakkan celana batik dan jaket tanpa kerah. Mereka berpose untuk sebuah pemotretan dengan para pelayan duduk bersila santai di lantai.  Augusta de Wit menulis bahwa sudah menjadi kebiasaan bagi penduduk Indonesia dari kelas rendah untuk berjongkok dengan kedua telapak tangan terkatup ketika melewati orang Eropa seperti menghormati seorang ningrat Jawa. Bahkan, pegawai colonial Indonesia yang mengecap pendidikan Barat pun harus duduk dilantai ketika memberikan laporan pada pegawai Belanda muda.
Foto-foto dan catatan tersebut menggambarkan bahwa kehidupan social di Batavia. Perubahan budaya ini mengakibatkan strata sosialdan kebudayaan yang pernah ditinggal kan oleh VOC mulai luntur karen kehidupan imigran yang menyukai kebudyaan Indies yang lebih baik,ramah, sopan ketimbang budaya Eropa yg membeda-bedakan seseorang berdasarkan ras, budaya, etnis, warna kulit, tinggkat ekonomi, social , budaya dan agama mereka. Banyak dari imigran Eropa mengikuti kebudayaan ini dikarenakan juga mereka memiliki isteri Asia atau Indonesia yang secara tidak langsung diimplementasikanya didalam lingkungan keluarga mereka. Yang berhubungan setiap hari. Anak-anak mereka juga tidak terlepas pengaruhnya dari orang tua mereka yang setengah Asia. Mereka kecil dan dibesarkan di lingkungan social yang budayanya budaya Timur.
Salah satu dari mereka adalah nyonya van Kloppenburg-Versteegh yang mengenakkan pakaian khas Indonesia abad ke -19. Ia juga menulis tentang buku pengobatan herbalindonesia yang banyak digunakan oleh komunitas Eropa. Ini juga menandakan adanya pertukran budaya dari budaya elite Eropa ke budaya Indies.
Iklan cetak bisa dipandang sebagai sumber opini yang apa adanya dari anggota komunitas Eropa dan sumber-sumber semacam itu selalu tersedia. Namun, perlu diingat bahwa pada masa itu pemerintah colonial menerapkan system sensor yang ketat pada semua bentuk pertanyaan public maupun pribadi. Dizaman VOC, surat yang dikirim untuk seseorang kenalan diEropa harus terlebih dahulu lulus pemeriksaan oleh petugas. Beberapa tulisan seperti Oud en Nieww Oost-Indien karya Valentijn mengalami penundaan penerbit. Karya Gubernur Jenderal van Imhoff, Nouvelles, bahkan dilarang terbit.

Daftar Pustaka
Buur, Dorothee
1973-1290 Persoonlijke Documenten Nederlands-Indie/Indonesie(Dokumen Pribadai Hindia-Belanda/Indonesia).Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-,Land-en Volkenkunde
 Encyclopedaedie van Nederlandsch-Indie
      Tt   (Ensiklopedi Belanda-Hindia). 's-Gravenhage, Leiden: M. Nijhoff dan E.J Brill.      
   Bruggencate,
1963   Nederlands-Engels woordenbook ( Kamus Belanda-Inggris). Ed. Ke-6 Groningen: J.B. Wolters.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

RUNTUHNYA PENGARUH HINDU DAN BUDHA DI INDONESIA

RAHMAT ARIFAN/PIS

Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu maupun Buddha di Indonesia mengalami masa kejayaan antara abad ke-7 sampai 12 M. Setelah memasuki abad ke-10 sampai abad ke-12, kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu maupun Buddha di Indonesia mulai mengalami kemunduran. Secara umum, faktor-faktor penyebab runtuhnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha sebagai berikut.
1.  Terdesaknya kerajaan-kerajaan kecil oleh kerajaan-kerajaan besar.
2.  Tidak ada pengaderan pemimpin sehingga tidak ada pemimpin pengganti yang setara dengan pendahulunya.
3.  Munculnya perang saudara yang melemahkan kerajaan.
4.  Kemunduran ekonomi perdagangan negara.
5.  Tersiarnya agama Islam yang mendesak agama Hindu-Buddha.
Walaupun kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha telah runtuh, tetapi tradisinya masih hidup di Nusantara. Berikut ulasan mengenai faktor-faktor penyebab runtuhnya tiga kerajaan besar di Nusantara yang bercorak Hindu-Buddha.
A.SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut. 
a.  Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan
sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
b.  Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.
c.  Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan. Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian timur dan Sriwijaya di bagian barat.
d.  Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menyebabkan utusan yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun
1023 1030. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya dengan pendudukan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah pendudukan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377).
Berita Cina dari zaman dinasti Tang menyebutkan bahwa pada abad ke-7, di Kanton dan Sumatra sudah ada orang muslim. Hal ini berkaitan dengan perkembangan perdagangan dan pelayaran yang bersifat internasional antara negara-negara Asia Barat dan Asia Timur, yaitu antara Kerajaan Islam Bani Umayyah, kerajaan Cina dinasti Tang, dan Kerajaan Sriwijaya.
Pada abad ke-7 sampai ke-12 Masehi, Kerajaan Sriwijaya memang memegang peranan penting di bidang ekonomi dan perdagangan untuk daerah Asia Tenggara. Namun pada abad ke-12, peranan tersebut mulai menunjukkan kemunduran. Bukti mengenai kemunduran ekonomi dan perdagangan Sriwijaya dapat diketahui dari berita Chou Ku-Fei tahun 1178. Berita tersebut menyatakan bahwa harga barang-barang dari Sriwijaya mahal karena rupanya tidak lagi menghasilkan hasil-hasil alamnya. Untuk mencegah kemunduran ekonomi dan perdagangan, Kerajaan Sriwijaya kemudian membuat peraturan cukai yang lebih berat bagi kapal dagang yang singgah ke daerah pelabuhannya.
Kemunduran Sriwijaya di bidang perdagangan dan politik dipercepat oleh usaha- usaha Kerajaan Singasari untuk memperkecil kekuasaan Sriwijaya dengan mengadakan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275. Usaha tersebut dimanfaatkan oleh daerah-daerah lain untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Sejalan dengan itu para pedagang muslim (mungkin disertai para mubalignya pula) mempergunakan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan dan politik. Mereka mendukung daerah-daerah yang melepaskan diri tersebut dan memunculkan kekuatan-kekuatan baru berupa kerajaan- kerajaan bercorak Islam, seperti Samudra Pasai yang terletak di pesisir timur laut Aceh, termasuk Kabupaten Aceh Utara dekat Lhokseumawe.
B.MATARAM KUNO
Peranan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah mundur ketika pusat kekuasaannya pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ada beberapa pendapat mengenai pemindahan pusat kerajaan ini. Pendapat lama mengatakan bahwa pemindahan pusat kerajaan ini sehubungan dengan adanya bencana alam berupa banjir atau gunung meletus atau adanya wabah penyakit. Namun, pendapat ini tidak dapat dibuktikan sebab tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah. Pendapat lain menyebutkan bahwa rakyat menyingkir ke Jawa Timur akibat adanya paksaan terhadap para penganut Hindu untuk membangun candi Buddha. Pendapat baru menyebutkan dua faktor berikut.
a.  Keadaan alam bumi Mataram yang tertutup secara alamiah berakibat negara ini sulit berkembang. Sementara, keadaan alam Jawa Timur lebih terbuka untuk perdagangan luar, tidak ada pegunungan atau gunung yang merintangi, bahkan didukung adanya Sungai Bengawan Solo dan Brantas yang memperlancar lalu lintas dari pedalaman ke pantai. Apalagi, alam Jawa Timur belum banyak diusahakan sehingga tanahnya lebih subur dibandingkan dengan tanah di Jawa Tengah.
b.  Dari segi politik, ada kebutuhan untuk mewaspadai ancaman Sriwijaya, terutama karena Sriwijaya pada saat itu dikuasai dinasti Syailendra. Sebagai antisipasinya, pusat kerajaan perlu dijauhkan dari tekanan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya sungguh-sungguh menyerang pada pertengahan abad ke-10, Mpu Sindok dapat mematahkannya. Tetapi,serangan Sriwijaya berikutnya dibantu Raja Wurawari pada tahun 1017 menghancurkan Mataram yang saat itu dipimpin Dharmawangsa. Kerajaan Mataram yang kedua berdiri kembali di Jawa Tengah pada abad ke-16, kali ini telah beragama Islam.
C.KERAJAAN MAJAPAHIT
Kemunduran Majapahit berawal sejak wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364. Hayam Wuruk tidak dapat memperoleh ganti yang secakap Gajah Mada. Jabatan-jabatan yang dipegang Gajah Mada (semasa hidupnya, Gajah Mada memegang begitu banyak jabatan) diberikan kepada tiga orang. Setelah Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389, Majapahit benar-benar mengalami kemunduran.
Beberapa faktor penyebab kemunduran Majapahit sebagai berikut.

a.  Tidak ada lagi tokoh di pusat pemerintahan yang dapat mempertahankan kesatuan wilayah setelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk meninggal.
b.  Struktur pemerintahan Majapahit yang mirip dengan sistem negara serikat pada masa modern dan banyaknya kebebasan yang diberikan kepada daerah memudahkan wilayah- wilayah jajahan untuk melepaskan diri begitu diketahui bahwa di pusat pemerintahan sedang kosong kekuasaan.
c.  Terjadinya perang saudara, di antaranya yang terkenal adalah Perang Paregreg (1401
– 1406) yang dilakukan oleh Bhre Wirabhumi melawan pusat Kerajaan Majapahit. Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di wilayah Blambangan. Namun, ia berambisi untuk menjadi raja Majapahit. Dalam cerita rakyat, Bhre Wirabhumi dikenal sebagai Minakjingga yang dikalahkan  oleh Raden Gajah atau Damarwulan. Selain perang saudara, terjadi juga usaha memisahkan diri yang dilakukan Girindrawardhana dari Kediri (1478).
d.  Masuknya agama Islam sejak zaman Kerajaan Kediri di Jawa Timur menimbulkan kekuatan baru yang menentang kekuasaan Majapahit. Banyak bupati di wilayah pantai yang masuk Islam karena kepentingan dagang dan berbalik melawan

DAFTAR PUSTAKA
WARDAYA.2009.CAKRAWALA SEJARAH PROGRAM BAHASA KELAS XI.JAKARTA.PENERBIT PUSAT PERBUKUAAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL.

PERISTIWA RENGASDENGKLOK

RAHMAT ARIFAN/PIS

 Pada 16 Agustus 1945. Pagi-pagi buta, sekitar pukul 04.30 WIB, sekelompok pemuda revolusioner membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Di sana Bung Karno, Bung Hatta, dan pemuda merundingkan Proklamasi Kemerdekaan.Menurut, peristiwa itu adalah aksi pemuda "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta. Kejadian itu, katanya, merupakan buntut dari silang pendapat antara golongan tua versus muda mengenai Proklamasi Kemerdekaan.
golongan tua terlalu kompromis dan hanya menunggu hadiah kemerdekaan dari Jepang. Sebaliknya, golongan muda menginginkan proklamasi segera dilakukan dan tidak rela kemerdekaan sebagai hadiah dari Jepang.Bung Karno dan Bung Hatta dianggap representasi golongan tua. Sementara di golongan pemuda ada nama-nama seperti Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Aidit, Sidik Kertapati, Darwis, Suroto Kunto, AM Hanafie, Djohar Nur, Subadio, dan lain-lain.
ketika pemuda berupaya membawa Bung Karno dan Bung Hatta keluar kota, tidak ada pemaksaan dan penghilangan kemerdekaan. Ketika itu, sekitar pukul 04.00 WIB, Bung Karno masih tertidur di kediamannya di Pegangsaan Timur 56 Cikini. Ia dibangunkan oleh Chaerul Saleh.
.Ketika Bung Karno dan rombongan tiba di Rengasdengklot, para pemuda PETA menyambut dengan pekik "Hidup Bung Karno!", "Indonesia Sudah Merdeka!", dan lain-lain. Artinya, kalau penculikan, tak mungkin ada penyambutan seperti itu.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, ada pertemuan di Asrama Baperki (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia) di Tjikini 71. Sejumlah tokoh pemuda hadir, seperti Chaerul Saleh, Wikana, Aidit, Djohan Nur, Subadio, Suroto Kunto, dan lain-lain.
Hasil pertemuan itu: Kemerdekaan Indonesia harus dinyatakan melalui Proklamasi. Putusan tersebut akan disampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar mereka atas nama Rakyat Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan itu. Artinya, para pemuda menginginkan agar Proklamasi dinyatakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Indonesia.
Tujuan dibawahnya ir soekarno dan moh hatta ke rengasdengklok agarpara pemimpin bangsa tersebut tidak dipengaruhi oleh pemerintahan jepang.di sana ir soekarno dan moh hatta berserta golongan muda menempati sebuah rumah milik warga keturunan tiong hoa yang bernama ji ki song, dan di sana para pemuda berupaya menekan ir soekarno dan moh hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan republik indonesia.
Ir soekarno akhirnya bersedia untuk memproklamasikan kemerdekaan republik indonesia melalui pembicaranya sudancho singgi kembali kejakarta untuk memberi tahukan berita tersebut kepada golongan muda. Di saat bersamaan terjadilah perundingan antara golongan muda(wikana) dengan golongan tua(ahmad soebardjo) hasil perundingan tersebut memutuskan proklamasi kemerdekaan republik indonesia akan dilaksanakan dijakarta. Dan perumusan naska proklamasi akandilaksanakan di rumah kediaman laksamana tadashi maeda di pilihnya kediaman laksamana tadashi maeda berdasarkan pertimbangan karena laksamana tadashi maeda memberikan jaminan keselamatan bagi seluruh pemimpin bangsa indonesia dan tidak akan ikut campur dalam masalah perumusan naska proklamasi kemerdekaan republik indonesia.
Ketika rombongan ir soekarno dan moh hatta sampai di jakarta mereka langsung menuju ke kediaman laksamana tadashi maeda,dan susunan konsep  naska proklamasi akhirnya berhasil diselesaikan menjelang subuh yang diketik ulang oleh sayuti melik kemudian di tanda tangani oleh ir soekarno dan moh hatta atas nama bangsa indonesia.
Pembacaan naska proklamasi yang awalnya direncanakan akan di bacakan di lapangan ikada(
ikatan atletit jakarta) terpaksa di batalkan karena disana telah berbaris tentara jepang dengan senjata lengkap,untuk menghindari bentrokan dengan tentara jepang pembacaan naska proklamasi dialihkan didepan rumah kediaman ir soekarno di jalan pengasaan timur no 56 jakarta pada hari jum'at 17 agustus 1945 pembacaan naska proklamasi tepat pada pukul 10.00 yang dilanjutkan dengan pidato singkat oleh ir soekarno dan pengibaran bendera merah putih yang di jahit tangan oleh ibu fatmawati,pengibaran dilakukan oleh suhut dan latif,Dan secaran spontan mayarakat yang hadir dalam upacara tersebut menyanyikan lagu indonesia raya.

DAFTAR PUSTAKA
Wayan,I Badrika.2006.sejarah untuk SMA jilid 3 kelas XII program ips.jakarta.penerbit erlangga

AUSTRALIA DALAM PERUNDINGAN RENVILLE

RAHMAT ARIFAN/PIS

Setelah  proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih mengalami berbagai gangguan terhadap eksistensi dan kedaulatannya. Agresi militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947 memaksa bangsa Indonesia untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah 2 tahun diproklamasikan. Pertempuran antara Belanda melawan laskar dan tentara Indonesia yang tidak kunjung mereda telah memicu Amerika Serikat untuk melakukan intervensi. Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang memperoleh kemenangan pasca Perang Dunia (PD) II merasa bahwa Indonesia adalah wilayah strategis yang potensial untuk dimanfaatkan. Hal ini dapat dimengerti karena iklim politik pasca PD II mulai diwarnai Perang Dingin antara Amerika Serikat (blok Barat) dan Uni Soviet (blok Timur).

Intervensi Amerika Serikat (AS) terhadap posisi Indonesia diwujudkan dalam prakarsa negara tersebut menyelenggarakan Perjanjian Renville. Sebuah perundingan di atas kapal USS Renville di teluk Jakarta pada 17 Januari 1948. Perundingan ini melibatkan beberapa negara lain, disamping tentunya Indonesia dan Belanda sebagai negara yang berseteru. Amerika Serikat memprakarsai pembentukan komisi yang berperan sebagai penengah, dimana komisi ini dikenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Australia, Belgia dan amerika serikat sendiri

 Delegasi Indonesia dalam perundingan Renville
Diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifoedin
Wakil Ketua Ali Sastroamidjojo
dengan beberapa anggota antara lain
Sutan Sahrir
Mr. Nasroen,
 Ir Djuanda
dan Dr Tjoa Siek Ien
Indonesia memilih Australia sebagai rekanan dalam perundingan tersebut. Sementara itu delegasi Belanda
 ketuai oleh oleh Abdulkadir Wiryoatmodjo
dan wakil ketua H.K.L.F van Vredenburgh
dengan beberapa anggota
Dr. Soumukil,
 Pangran Kartanagara
dan Zulkarnain

dan lebih memilih negara tetangganya Belgia sebagai rekanan. AS yang bertindak sebagai negara penengah, lebih berperan sebagai pemimpin komisi perundingan. Frank Porter Graham sebagai ketua komisi yang berasal dari AS, sejak semula berusaha menekankan beberapa konsesi agar Indonesia bersikap lunak kepada Belanda. Dari poin ini, nampak bahwa AS berusaha menerapkan "the policy of containment" dalam rangka membendung pengaruh Blok Timur. Terlepas dari pengaruh politik AS dalam perjanjian Renville dan KTN, terdapat poin lain yang cukup menarik dimana Australia berperan sebagai rekanan Indonesia dalam perundingan tersebut.
Hal ini menjadi terlihat tidak lazim karena notabene Australia adalah negara persemakmuran di bawah kolonisasi Inggris. Inggris selama PD II adalah salah satu sekutu AS yang cukup dekat Peranan Australia sebagai rekanan Indonesia dalam perundingan Renville sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh lobi eksternal dari AS, melainkan juga adanya peranan internal dari pemerintah Australia sendiri. Pada dekade 1940-an, pemerintah Australia didominasi oleh Partai Buruh Australia (Australian Labor Party/ALP) yang notabene juga dominan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri negara tersebut. Sebenarnya arah kebijakan ALP juga tidak secara tegas akan langsung menjadi rekanan Indonesia pada saat Indonesia sedang mengalami konflik dengan Belanda.

Para pimpinan ALP waktu itu lebih memilih "jalan aman" dengan mengikuti kebijakan AS yang dominan pasca PD II. Namun yang cukup penting untuk dicermati adalah adanya tekanan yang datang dari simpatisan partai (ALP) yang meminta agar ALP mempengaruhi pemerintah Australia secara umum untuk menjadi rekanan Indonesia dalam perundingan Renville. Memang tidak terdapat keterangan yang jelas tentang motif dibalik dorongan simpatisan ALP agar pemerintah Australia menjadi rekanan Indonesia. Beberapa hipotesa kemudian muncul, dimana pada saat yang sama Indonesia juga dipimpin Perdana Menteri Amir Syarifoedin yang notabene seorang sosialis. Hipotesa pertama ini memang diperkuat dengan adanya Sutan Sahrir dalam delegasi Indonesia. Sutan Sahrir meskipun memiliki aliran yang agak berbeda dengan Amir, namun pemikirannya juga berbasis pada sosialis. Di sisi lain, hipotesa pertama ini masih memiliki kelemahan karena secara umum peranan Australia kurang dapat dirasakan dalam hasil perjanjian Renville.

Salah satu hasil perjanjian yang menyatakan bahwa Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia di wilayah Sumatra
Jawa Tengah
 dan Yogyakarta
Dengan demikian justru wilayah kedaulatan Indonesia menjadi lebih sempit dari sebelumnya. Hasil ini pula yang menjatuhkan kredibilitas kabinet Amir Syarifoedin di depan parlemen dan di mata para pejuang kemerdekaan Indonesia ketika itu. Hipotesa lain yang muncul adalah motif pemerintah Australia untuk memerlukan Indonesia sebagai rekanan secara geo-politik dan geo-ekonomi. Posisi Indonesia yang berada di utara Australia memang berperan sebagai "barrier" geo-politik dalam menghadapi Perang Dingin. Di tambah lagi posisi Indonesia yang sangat potensial dari sudut pandang geo-ekonomi, mendorong Australia untuk memperkuat kerjasama internasional dengan Indonesia.

Hipotesa kedua ini memang lebih logis dibandingkan dengan hipotesa yang pertama. Bahkan di era Orde Baru, Australia melakukan beberapa manuver yang lebih cenderung dapat dikatakan sebagai intervensi terutama dalam permasalahan Selat Timor dan bahkan dalam terlepasnya Timor-Timur dari wilayah Indonesia. Namun terlepas dari beberapa kasus tersebut, terdapat beberapa bukti menarik dari masyarakat Australia sendiri, yang justru lebih memperkuat hipotesa pertama.


DAFTAR PUSTAKA
Wayan,I Badrika.2006.sejarah untuk SMA jilid 3 kelas XII program ips.jakarta.penerbit erlangga