LEGENDA PULAU SENOA
LISAWATI/B/SR
Cerita rakyat Natuna, tentang kisah legenda pulau Senoa adalah sebuah pulau yang terkenal karena bentuknya seperti Orang lagi hamil dengan pemandangan pantai yang putih bersih memiliki jenis pasir kuarsa putih. Pulau Senoa yang biasa di panggil orang setempat asli ranai adalah Pulau Senue atau Pulau Senuou. Pulau senoa ini letaknya berada di depan Desa Sepempang, jika kita ingin menuju kepulauan ini harus menggunakan transportasi laut seperti pompong nelayan yang berjarak ± 20 menit. Pulau ini masih kental dengan pesan-pesan mistis dari penduduk setempat dimana kita tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor dan berperilaku yang tidak pantas. Di bagian belakang pulau senoa terdapat sebuah goa dimana tempat burung wallet bersarang. Pulau ini selain tempat sarang burung wallet juga tempat habitat penyu hijau (hawke). Pulau Senoa terrkenal memiliki legenda cerita rakyat dimana menyampaikan pesan – pesan yang mendidik kita sebagai makhluk tuhan haruslah tolong – menolong tidak pelit dan senang membantu sesama.
Kata Senoa jika diterjemahkan dengan bahasa Siam Negeri Thailand yakni "TGI TSI NGSOO" yang berarti "PERUT MANUSIA" karena jika kita lihat pulau ini persis seperti orang yang lagi hamil sedang berbaring. Dalam Bahasa Melayu Senoa artinya sama dengan "pelit atau serakah".
Kata Senoa jika diterjemahkan dengan bahasa Siam Negeri Thailand yakni "TGI TSI NGSOO" yang berarti "PERUT MANUSIA" karena jika kita lihat pulau ini persis seperti orang yang lagi hamil sedang berbaring. Dalam Bahasa Melayu Senoa artinya sama dengan "pelit atau serakah".
Gambar pulau Senoa
Alkisah pada jaman dahulu di sebuah daerah di Natuna, Kepulauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri yang selalu didera miskin. Kehidupan mereka tak pernah membaik sejak menikah. Sang suami bernama Baitusen, sedangkan istrinya bernama Mai Lamah. Karena ingin merubah nasib, pasangan suami istri itu Suatu ketika mereka memutuskan merantau ke Pulau Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau Bunguran karena daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut, terutama kerang dan siput.
Ketika pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan sebagaimana umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, Baitusen pergi ke laut mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan), kelekuk-kulai (siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang yang akan dijual sebagai bahan baku untuk perhiasan.
Ketika pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan sebagaimana umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, Baitusen pergi ke laut mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan), kelekuk-kulai (siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang yang akan dijual sebagai bahan baku untuk perhiasan.
Baitusen dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran, karena Selain penduduknya yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan terhadap sesama, kehidupan mereka juga lebih baik dibanding sewaktu menetap di Natuna. warga pulau tersebut menunjukkan sikap yang ramah dan penuh persaudaraan. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dengan rumah Mak Semah, seorang bidan kampung yang miskin, tetapi baik hati. "jika suatu ketika kalian sakit-mentak (sakit-sakitan), panggil saja Emak! Emak pasti akan datang," pesan mak Semah kepada Mai Lamah, tetangga barunya itu."Terimakasih, Mak!"ucap Mai Lamah dengan senang hati. Begitu pula warga Bungguran lainnya,
mereka senantiasa bersikap baik terhadap Baitusen dan istrinya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan tinggal di daerah itu, mereka sudah merasa menjadi penduduk setempat.
mereka senantiasa bersikap baik terhadap Baitusen dan istrinya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan tinggal di daerah itu, mereka sudah merasa menjadi penduduk setempat.
"Bang! Sejak berada di kampung ini, Adik tidak pernah merasa sebagai pendatang. Semua penduduk di sini menganggap kita sebagai saudara sendiri," kata Mai Lamah kepada suaminya."Begitulah kalau kita pandai membawa diri di kampung halaman orang," pungkas Baitusen.Waktu terus berjalan. Baitusen bekerja dengan penuh semangat dan semakin rajin pergi ke laut mencari kerang dan siput. Ia berangkat ke laut sebelum matahari terbit di ufuk timur dan baru pulang saat matahari mulai terbenam. Daerah pencariannya pun semakin hari semakin jauh hingga ke daerah pesisir Pulau Bunguran Timur.Semangat Baitusen untuk merubah nasib keluarganya semakin besar takkala Mai Lamah mulai mengandung. Ia tak ingin anaknya nanti menderita seperti yang pernah ia rasakan bersama istrinya.
Pada suatu hari tanpa sengaja, Baitusen menemukan lubuk teripang yang berisi ribuan ekor teripang (sejenis binatang laut) di dalamnya.. Ia berharap bahwa dengan mencari teripang hidupnya akan menjadi lebih baik.Para tetangga menyarankan Baitusen untuk mengeringkan teripang- teripang itu dan menjualnya kepada para pedagang yang datang dari bandar Singapura dan di pasar Kwan Tong di Negeri Cina. Ia pun membawa pulang teripang-teripang untuk dikeringkan lalu dijual ke Negeri Singapura dan Cina. Harga teripang kering di Cina sangatlah mahal. Karena itulah para pedagang Cina bersedia membelinya dengan harga tinggi.Apa yang dikatakan tetangga Baitusen bukanlah isapan jempol belaka. Semenjak itu, Baitusen tak pernah lagi mencari siput dan kerang, Ia terus memburu teripang setiap hari. Uang yang diperolehnya dipergunakannya untuk membeli perahu yang lebih besar. Karena nasibnya yang mujur, Baitusen selalu memperoleh teripang dalam jumlah besar. Hanya dalam waktu singkat, Baitusen dan Mai Lamah berubah menjadi orang kaya di pulau Bunguran.
Akhirnya, hasil penjualan tersebut benar-benar mengubah nasib Baitusen dan istrinya. Mereka telah menjadi nelayan kaya raya. Para tauke dari negeri seberang lautan pun berdatangan ke Pulau Bunguran untuk membeli teripang hasil tangkapan Baitusen dengan menggunakan tongkang-wangkang (kapal besar). Setiap enam bulan sekali segala jenis tongkang-wangkang milik para tauke tersebut berlabuh di pelabuhan Bunguran sebelah timur. Sejak saat itu, Baitusen terkenal sebagai saudagar teripang. Langganannya pun datang dari berbagai negeri. Tak heran jika dalam kurun waktu dua tahun saja, pesisir timur Pulau Bunguran menjadi Bandar yang sangat ramai. Istri Baitusen pun terkenal dengan panggilan Nyonya May Lam oleh para tauke langganan suaminya itu. Rupanya, gelar tersebut membuat Mai Lamah lupa daratan dan lupa dengan asal-usulnya. Ia lupa kalau dirinya dulu hanyalah istri nelayan pencari siput yang miskin dan hidupnya serba kekurangan.
Sejak menjadi istri seorang saudagar kaya, penampilan sehari-hari Mai Lamah berubah. Kini, ia selalu memakai gincu, bedak, dan wangi-wangian. Bukan hanya penampilannya saja yang berubah, tetapi sikap dan perilakunya pun berubah. Ia berusaha menjauhkan diri dari pergaulan, karena jijik bergaul dengan para tetangganya yang miskin, berbau anyir, pedak-bilis (sejenis pekasam atau ikan asin, makanan khas orang Natuna), dan berbau kelekuk (siput) busuk. Selain itu, ia juga menjadi pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit).
Kekayaan yang diperoleh suaminya, rupanya membuat Mai Lamah lupa daratan. Bukan hanya dandanannya yang berubah bak seorang nyonya, perangainyapun ikut berubah. Mai Lamah kini bukanlah Mai Lamah yang dulu. Ia berubah menjadi seorang wanita yang sangat sombong dan kikir. Mata hatinya seakan tertutupi oleh silaunya harta. Ia bukan hanya menolak tetangganya yang datang meminta bantuannya, melainkan juga menghina mereka. Teguran Baitusen agar Mai Lamah merubah sikapnya sama sekali tak dihiraukannya. Para tetangga mulai menjauh dari Baitusen dan Mai Lamah. Mereka enggan untuk sekedar bertegur sapa dengan suami istri itu. Meski demikian Mai Lamah tak jua berubah. Ia justru merasa beruntung tak ada lagi orang yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan.
Pada suatu hari, Mak Semah datang ke rumahnya hendak meminjam beras kepadanya. Namun malang bagi Mak Semah, bukannya beras yang ia peroleh dari Mai Lamah, melainkan cibiran."Hai, perempuan miskin! Tak punya kebun sekangkang-kera (bidal untuk menentukan luas tanah ladang/perkebunan), masih saja pinjam terus. Dengan apa kamu akan membayar hutangmu?"Mai Lamah mencemooh Mak Semah. Mendengar cemooh itu, Mak Semah hanya Terdiam menunduk. Sementara suami Mai Lamah yang juga hadir di tempat itu, berusaha untuk membujuk istrinya."istriku penuhilah permintaan Mak Semah ! bukankah dia tetangga kita yang baik hati.dulu dia telah banyak membantu kita." "ah, persetan dengan yang dulu-dulu itu! Dulu itu dulu, sekarang ya sekarang!" seru Mai Lamah dengan ketus.Begitulah sikap dan perlakuan Mai Lamah kepada setiap warga miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan. Dengan sikapnya itu, para warga pun menjauhinya dan enggan untuk bergaul dengannya. Hari berganti hari, waktu berjalan begitu cepat.
Tak terasa tibalah saatnya suatu ketika Mai Lamah membutuhkan pertolongan tetangganya.ia hendak melahirkan, sedangkan Mak Bidan dari pulau seberang belum juga datang.Baitusen telah berkali-kali meminta bantuan Mak Semah dan warga lainnya namun tak seorang pun yang bersedia menolong. Mereka sakit hati karena sering dicemooh oleh istrinya,May Lamah."ah' buat apa menolong Mai Lamah yang kedekut itu! Biar dia tau rasa dan sadar bahwa budi baik dan hidup berrtegur sapa itu jauh lebih berharga dari harta benda,"cetus Mak Saiyah, seorang istri nelayan tetangga Mai Lamah.
Baitusen yang tidak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang untuk mencari bidan.Baitusen merasa sangat bingung ketika istrinya itu berteriak teriak kesakitan. Segera saja Baitusen meminta pertolongan kepada para tetangga. Rasa sakit hati membuat tak seorangpun di Pulau Bunguran yang mau menolong, bahkan dukun beranak pun menolak untuk menolong Mai Lamah.
Baitusen yang tidak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang untuk mencari bidan.Baitusen merasa sangat bingung ketika istrinya itu berteriak teriak kesakitan. Segera saja Baitusen meminta pertolongan kepada para tetangga. Rasa sakit hati membuat tak seorangpun di Pulau Bunguran yang mau menolong, bahkan dukun beranak pun menolak untuk menolong Mai Lamah.
Baitusen yang tidak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang untuk mencari bidan."Ayo, kita ke pulau seberang saja, Istriku!" ajak Baitusen sambil memapah istrinya naik ke perahu."Bang! Jangan lupa membawa serta peti emas dan perak kita! Bawa semua naik ke perahu!" seru Mai Lamah sambil menahan rasa sakit."Baiklah, Istriku!" jawab Baitusen.Setelah mengantar istrinya naik ke atas perahu, Baitusen kembali ke rumahnya untuk mengambil peti emas dan perak tersebut.
Setelah itu, mereka pun berangkat menuju ke pulau seberang. Baitusen mulai mendayung perahunya. Arus air dari arah pulau yang dituju membuat perahunya berat untuk dikayuh. Belum lagi emas yang mereka bawa membuat perahu itu semakin terasa berat. Meski Baitusen telah mendayung dengan sekuat tenaga, perahunya hanya melaju perlahan.Semakin ke tengah laut, ombak yang datangpun semakin besar. Baitusen mulai kehabisan tenaga. Air laut yang masuk ke dalam perahu membuat Mai Lamah menjerit ketakutan. "Awas bang… kita bisa tenggelam…", teriaknya panik. Ketakutan Mai Lamah segera menjadi kenyataan. Lama-kelamaan, perahu itu semakin berat muatannya dan akhirnya tenggelam bersama seluruh peti emas dan perak ke dasar laut.
Sementara Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mereka berenang menuju ke pantai Bungurun Timur mengikuti arus gelombang laut. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam di permukaan air laut, karena keberatan oleh kandungannya dan ditambah pula dengan gelang-cincin, kalung lokit (liontin emas), dan subang emas yang melilit di tubuhnya. Untungnya, ia masih bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yang terbuat dari kulit kayu terap yang cukup kuat,Tubuh Baitusen dan Mai Lamah hanyut terbawa gelombang air laut dan terdampar di pantai Bunguran Timur. Namun, malang nasib istri saudagar kaya yang kedekut itu, bumi Bunguran tidak mau lagi menerimanya. Saat itu,Angin kencang dan hujan turun dengan derasnya ketika tubuh sepasang suami istri itu tiba di pantai. Tak terduga petir menyambar tubuh Mai Lamah yang berbadan dua itu berkali kali disusul suara guntur yang menggelegar dan merubahnya menjadi batu.
Sementara Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mereka berenang menuju ke pantai Bungurun Timur mengikuti arus gelombang laut. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam di permukaan air laut, karena keberatan oleh kandungannya dan ditambah pula dengan gelang-cincin, kalung lokit (liontin emas), dan subang emas yang melilit di tubuhnya. Untungnya, ia masih bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yang terbuat dari kulit kayu terap yang cukup kuat,Tubuh Baitusen dan Mai Lamah hanyut terbawa gelombang air laut dan terdampar di pantai Bunguran Timur. Namun, malang nasib istri saudagar kaya yang kedekut itu, bumi Bunguran tidak mau lagi menerimanya. Saat itu,Angin kencang dan hujan turun dengan derasnya ketika tubuh sepasang suami istri itu tiba di pantai. Tak terduga petir menyambar tubuh Mai Lamah yang berbadan dua itu berkali kali disusul suara guntur yang menggelegar dan merubahnya menjadi batu.
Tak berapa lama kemudian, tubuh Mai Lamah menjelma menjadi batu besar dalam keadaan berbadan dua.Seiring berjalannya waktu, batu jelmaan tubuh Mai Lamah bertambah besar dan menjadi sebuah pulau. Oleh masyarakat sekitar pulau yang terletak di ujung Tanjung Senubing, Bungu Timur itu dinamakan Senoa yang berarti satu tubuh berbadan dua. Sementara emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah menjelma menjadi burung layang-layang putih atau lebih kenal dengan burung walet. Hingga kini,Pulau Bunguran terkenal sebagai pulau sarang burung layang-layang putih itu.
Daftar Pustaka:
1. B.M.Syamsuddin.1997.Cerita Rakyat dari Nusantara.Jakarta:Grasindo
2. .http://www.Natuna.Org/Legenda-Pulau-Senoa.html
3. Tennas Effendy.2006.Tunjuk Ajar Melayu.Yogyakarta:Balai dan Pengembangan Budaya
Melayu Bekerjasama dengan Penerbit Adicita KaryaNusa
4. http:// www.Anaknusantara.com/Klasik2/-legenda-pulau-senoa-Kepulauan-Riau.html