KEVIN REZA – SI3 / A
Berdasarkan Babad Bali, Untung Surapati kecil lahir di Puri Jelantik Gelgel Bali tahun 1660. Ayah beliau adalah Panglima Perang kerajaan Swecalinggarsapura Gelgel. Karena Ayah beliau difitnah, untuk menghindari konflik, akhirnya Ayah beliau beserta rakyat yang setia dengan ayah beliau mengungsi ke barat tepatnya ke desa Marga Tabanan. Dalam perjalanan anak nomor 2 yaitu Untung kecil terlepas dari rombongan sewaktu menyeberang sungai Ayung. Saat itu Untung kecil masih berumur 4 tahun.
Pada waktu umur 7 tahun Untung kecil dipungut oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makasar. Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama "Si Untung".
Karena sejak kecil sudah berpisah dengan keluarganya, maka tidak ada orang yang mengetahui riwayat asal-usulnya. Nama Untung itu sendiri adalah nama paraban (alias) yang diberikan oleh majikannya, nama garbhopati (nama sejak lahir) yang diberikan orang tuanya adalah Surawiroaji. Ia adalah seorang tokoh dalam sejarah Nusantara yang dicatat dalam Babad Tanah Jawi. Kisahnya menjadi legendaris karena mengisahkan seorang anak rakyat jelata dan budak VOC yang menjadi seorang bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan.
Menurut silsilah keluarganya Surawiroaji alias Untung adalah anak dari Jatiwiyasa, seorang keluarga bangsawan di Bali. Kakeknya bernama Tirtawijaya Sukma anak dari Karma Pujanggabuana anak dari Resi Mertadharma anak dari Sarataleksi anak dari Bharata Darwa Muksa anak dari Satya Putralaksana anak dari Kuwu Wika Kertaloka anak dari Prahma Putra Reksa anak dari Resi Wuluh Sedyaloka. Orang Jawa menyebut Resi Wuluh Sedyaloka dengan nama Begawan Sidolaku, sastrawan terkenal dari Tabanan Bali. Ketika masih muda Raden Ronggowarsito (Pujangga kraton Surakarta) pernah belajar ke Tabanan untuk mempelajari kitab kasusastraan peninggalan Resi Wuluh Sedyaloka.
Resi Wuluh Sedyaloka adalah keturunan Prabu Kertajaya, raja terakhir Panjalu (Kediri) yang dikalahkan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Ketika pasukan Ken Arok menyerbu istana Kediri, Prabu Kertajaya berhasil melarikan diri dengan diiringkan ketiga istri dan beberapa abdi saja. Raja yang malang ini bersembunyi di lereng Gunung Semeru dan akhirnya menjadi seorang pertapa.
Tidak lama berselang Ken Arok mencium keberadaan Prabu Kertajaya, maka ditugaskan bala tentaranya untuk menangkap lawan politiknya tersebut. Prabu Kertajaya berhasil lolos dalam pengejaran hingga akhirnya menemukan tempat yang aman di Pulau Bali. Prabu Kertajaya mendapat perlindungan dari penguasa di pulau dewata sebab antara raja Jawa dan Raja Bali masih memiliki hubungan darah.
Jadi apabila dirunut ke atas, leluhur Untung adalah gabungan dari wangsa Dharmodayana (Prabu Udayana) yang berkuasa di Bali dan wangsa Isana (Empu Sindok) yang berkuasa di tanah Jawa. Wangsa Isana adalah kelanjutan dari wangsa Syailendra yang mendirikan kerajaan Mataram (Medang Kamulan) di lereng barat daya gunung Merapi.
Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan penjara oleh Moor karena menjalin hubungan dengan putrinya yang bernama Suzane. Untung seorang pemuda berwajah tampan dan halus tutur katanya. Dia sangat pemberani namun berhati mulia, sehingga selama di dalam penjara sangat disegani kawan-kawannya. Pada suatu kesempatan Untung memimpin para narapidana melakukan perlawanan kepada penjaga penjara. Penjara berhasil dijebol, berbagai senjata dirampas dan dibawa kabur. Kompeni mengirimkan serdadu untuk menangkap mereka, tetapi upaya itu tidak membuahkan hasil. Untung dan pengikutnya justru membunuh beberapa serdadu yang mengejarnya. Kompeni semakin marah kepada Untung dan terus-menerus melakukan pengejaran.
Pada tahun 1683, VOC berhasil mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa, sang raja Banten. Putra sang raja yang bernama Pangeran Purbaya melakukan pelarian ke Gunung Gede. Setelah melalui proses yang panjang, Ia memutuskan menyerah asalkan ia dijemput oleh perwira VOC pribumi. Dilain sisi Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung. Mereka ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi menjemput Pangeran Purbaya.
Di dalam perjalanan tugasnya ia berhasil menangkap Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura. Meskipun Untung Suropati telah menangkap Pangeran Purbaya, ia tidak tega untuk membunuh Purbaya sehingga dituduh sebagai pengecut oleh sesama opsir Belanda. Kemudian datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar. Untung tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari 1684.
Pangeran Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, di tengah perjalanan Untung bertemu dengan janda Pangeran Purbaya yang bernama Raden Ayu Gusik Kusumo, mereka saling memperkenalkan diri serta menceritakan riwayat masing-masing. Gusik Kusumo terpaksa bercerai dengan Pangeran Purbaya karena suaminya akan menyerahkan diri kepada Belanda, wanita tersebut tidak menyetujui niat suaminya. Sementara Untung menceritakan kalau dirinya menjadi buronan serdadu kompeni karena melarikan diri dari penjara bersama teman-temannya.
Setelah saling mengetahui riwayatnya, mereka menyatakan keinginannya bersatu untuk melawan kompeni. Gusik Kusumo mengajak Untung dan pengikutnya mencari perlindungan ke Kasultanan Cirebon, karena Sultan Cirebon masih mempunyai hubungan keluarga dengannya. Setelah dipikir dengan matang, Untung menyambut baik ajakan tersebut, mereka segera bergerak menuju Cirebon. Untung kini kembali menjadi buronan VOC.
Ketika melewati Kesultanan Cirebon, Untung berkelahi dengan Raden Surapati, anak angkat sultan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Surapati. Surapati pun dihukum mati. Setelah itu Sultan Cirebon sangat gembira menerima kedatangan Gusik Kusumo dan seluruh teman-temannya. Wanita itu menceritakan semua peristiwa yang dialami, mulai dari kepergiannya meninggalkan suami sampai pertemuannya dengan Untung. Kanjeng Sultan sangat prihatin akan nasib keponakannya, tetapi beliau juga bangga. Meskipun seorang wanita, Gusik Kusumo tidak gentar melawan kompeni.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada Untung yang sudah mengawal keponakannya, Untung dianugerahi nama Suropati oleh Sultan Cirebon, sehingga namanya menjadi Untung Suropati. Dalam ajaran Jawa-Hindu nama Suropati adalah sebutan lain dari Bathara Endra, yakni rajanya para dewa.
Beberapa saat lamanya Untung tinggal di Cirebon, hingga pada suatu hari Kanjeng Sultan menyarankan agar Untung meneruskan perjalanan ke Kartasura. Sultan khawatir kompeni akan menyerang Cirebon, sementara kondisi kesultanan tidak memungkinkan melakukan perlawanan. Cirebon adalah kerajaan yang hanya memiliki prajurit dalam jumlah terbatas. Di Kartasura Untung akan mendapat pengayoman karena Kartasura memiliki prajurit yang sangat besar. Ayah angkat Gusik Kusumo adalah Patih Nerangkusuma.
Untung Suropati memahami hal itu, sebenarnya dia bersama kawan-kawannya juga sudah berencana meninggalkan Kesultanan Cirebon. Mereka terpaksa bertahan di Cirebon karena menunggu keputusan Gusik Kusumo.
Pada waktu yang hampir bersamaan Gusik Kusumo mengutarakan niatnya untuk pulang ke Kartasura. Sang Putri sudah sangat rindu kepada keluarganya di Mataram dan harus secepatnya diberitahu kalau dirinya sudah bercerai dengan Pangeran Purbaya. Pernikahannya dengan Purbaya dulu adalah atas kehendak Sunan Amangkurat, jadi apapun yang terjadi harus dilaporkan ke Mataram.
Kanjeng Sultan memberikan perbekalan yang cukup untuk keberangkatan mereka. Beliau juga mengijinkan orang-orang Bali, Madura dan Makassar yang hidup bergelandangan di Cirebon bergabung dengan Untung Suropati. Setelah berpamitan kepada Kanjeng Sultan, rombongan Untung dan Gusik Kusumo meninggalkan Cirebon dengan perasaan sangat terharu.
Untung alias Surapati tiba di Kartasura mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh anti VOC yang gencar mendesak Amangkurat II agar membatalkan perjanjiannya dengan bangsa Belanda tersebut. Nerangkusuma juga menikahkan Gusik Kusuma dengan Surapati.
Kapten François Tack (perwira VOC senior yang ikut berperan dalam penumpasan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura bulan Februari 1686 untuk menangkap Surapati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC.
Pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75 orang Belanda tewas. Kapten Tack sendiri tewas di tangan Untung. Tentara Belanda yang masih hidup menyelamatkan diri ke benteng mereka.
Amangkurat II takut pengkhianatannya terbongkar. Ia merestui Surapati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan. Di kota itu, Surapati mengalahkan bupatinya, yaitu Anggajaya, yang kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan Surapati di Kartasura.
Untung Surapati pun mengangkat diri menjadi bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung Wiranegara. Pada tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.
Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger. Akhirnya Sunan Mas terlunta-lunta nasibnya, prajuritnya sudah tercerai berai dan kekuasaan sudah lenyap dari genggaman. Kerajaan Mataram yang diwarisi dari ayahandanya telah berpindah ke tangan pamannya (Pangeran Puger). Dalam hati sebenarnya beliau menyesali tindakannya yang tidak mau bekerjasama dengan kompeni. Tetapi semua itu sudah berlalu dan tidak mungkin terulang lagi. Kompeni terlanjur membenci Sunan Mas dan menganggapnya sebagai musuh.
Selama dalam pelarian, Sunan Mas mendapat perlindungan di wilayah Pasuruan. Adipati Wironegoro menjamin keselamatan mantan raja Kartasura itu. Siapapun yang berani menyakiti Sunan Mas, dia akan berhadapan langsung dengan Untung Suropati. Hal itu sebagai balas budi atas kebaikan ayahanda Sunan Mas, ketika masih dalam kondisi yang serba sulit Untung Suropati juga mendapat pengayoman di kraton Kartasura.
Keberadaan Untung Suropati yang didukung seluruh rakyat Pasuruan terus menjadi ancanam bagi kompeni Untuk menghilangkan ancaman tersebut, tahun 1706 Gubernur Jendral kompeni di Batavia menunjuk Mayor Govert Knol memimpin penyerangan besar-besaran ke Kadipaten Pasuruan. Pada bulan September serdadu kompeni sudah berkumpul di Surabaya bersama prajurit dari Madura dan prajurit Adipati Jangrono.
Secara diam-diam Adipati Wironegoro dan Adipati Jangrono sudah bersepakat menggagalkan penyerangan. Mereka menyusun rencana penggagalan dengan cara halus sehingga kompeni tidak mengetahuinya. Adipati Jangrono memerintahkan agar prajurit Surabaya yang dipercaya sebagai penunjuk jalan melewati medan berat berawa-rawa, terkadang menyeberangi telaga luas dan dalam.
Serdadu kompeni menghadapi kesulitan luar biasa, mereka berjuang keras mengusung meriam yang jumlahnya sangat banyak. Mayor Knol mencurigai prajurit Surabaya sengaja menyesatkan jalan tetapi dia tidak berani melakukan tindakan apa-apa.
Knol berusaha menghindari kesalahapahaman dengan orang-orang Surabaya agar tidak membuat suasana menjadi semakin buruk. Setelah melewati medan panjang yang melelahkan, serdadu kompeni sampai di desa Derma untuk kembali menyusun kekuatan. Serdadu kompeni tiada henti mengumpat prajurit Surabaya, mereka sadar sudah dijeremuskan dalam medan yang sangat sulit dan tidak semestinya dilalui oleh pasukan tempur.
Setelah kekuatan serdadunya pulih, Mayor Knol memimpin serangan besar-besaran ke Bangil yang merupakan benteng pertahanan terdepan Kadipaten Pasuruan dari arah Surabaya. Kompeni menghujani musuh dengan bedil dan tembakan meriam. Adipati Wironegoro mengamuk bagai banteng ketaton, secepat kilat dapat berpindah di segala tempat sehingga Adipati Wironegoro menjadi banyak dan berada di mana-mana. Prajurit Surabaya yang terlibat dalam pertempuran itu terlihat tidak bersungguh-sungguh, malah sepertinya hanya main-main saja. Prajurit Pasuruan yang berhadapan dengan orang-orang Surabaya secepat mungkin pergi menjauh. Mayor Knol sangat membenci tindakan orang-orang Surabaya, tetapi sekali lagi dia harus menahan kemarahannya kepada Adipati Jangrono.
Orang-orang Madura kurang memahami taktik pertempuran yang sedang digelar, mereka mengamuk dengan sekuat tenaga sehingga banyak prajurit Pasuruan yang terluka dan terbunuh. Pasukan Pasuruan menjadi berang, mereka membalas tindakan orang-orang Madura dengan sungguh-sungguh bertempur. Akibatnya banyak prajurit Madura yang roboh, bahkan salah seorang putra Adipati Cakraningrat tewas dalam pertempuran. Kesalahapahaman itu sangat berbahaya bagi keselamatan kedua belah pihak. Adipati Wironegoro secara rahasia mengirim utusan untuk minta maaf dan menjelasakan duduk persoalan kepada Adipati Cakraningrat, dan akhirnya kesalahpahaman itu dapat diatasi secara baik-baik.
Pasukan kompeni sangat gentar menghadapi musuh dengan segudang kadigdayan yang tidak masuk akal. Kehadiran Untung Suropati terlihat berada di semua tempat dalam waktu bersamaan sangat menyulitkan serdadu Belanda. Mereka menjadi bingung dan ragu-ragu dalam bertempur. Raden Suropati dan Raden Surodilogo juga sangat memusingkan kompeni, mereka berdua tidak mempan oleh peluru dan meriam. Beratus-ratus korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Serdadu kompeni mulai terdesak dari pertempuran, tapi mereka terus menghujani lawan dengan meriam seakan tidak ada hentinya. Prajurit Pasuruan kesulitan menerobos meriam yang menyalak bertubi-tubi.
Tiba-tiba terdengar gemuruh prajurit Pasuruan, mereka berteriak histeris melihat pemimpinnya terjatuh dari kuda. Sudah menjadi takdir Gusti Allah, Adipati Wironegoro tertembak lambungnya dan terluka parah. Para pengawal segera mengusung Sang Adipati dengan tandu menyingkir dari pertempuran. Raden Surodilogo beserta prajuritnya meneruskan perlawanan dengan sekuat tenaga, tetapi karena sudah tidak ada pemimpinnya, benteng Bangil jatuh ke tangan kompeni. Prajurit Untung Suropati berhamburan meninggalkan palagan, mereka kembali ke Pasuruan untuk mempertahankan pusat pemerintahan.
Setelah Bangil dapat dikuasai kompeni, Adipati Jangrono menyarankan kepada Mayor Knol agar pasukan segera ditarik kembali ke Surabaya. Rencana penyerangan ke Pasuruan sebaiknya ditunda dahulu sambil menyusun kekuatan yang baru. Mayor Knol keberatan dengan saran itu, tetapi Adipati Jangrono terus mendesak dengan berbagai alasan. Beliau mengancam tidak akan ikut dalam pertempuran kalau serdadu Belanda nekad diberangkatkan menggempur Pasuruan. Sikap keras dan tegas Jangrono membuat Mayor Knol berpikir ulang, terlebih lagi saat itu hujan turun sangat lebat dan semangat tempur serdadunya memang sangat menurun. Dengan terpaksa Mayor Knol memenuhi keinginan Adipati Jangrono, dia segera memerintahkan pasukannya kembali ke Surabaya.
Adipati Wironegoro berada di pesanggrahan desa Randa Telu untuk menjalani perawatan. Dalam kondisi semakin parah Sang Adipati berpesan supaya anak-anaknya meneruskan perlawanan. Adipati Wironegoro melarang anak keturunannya bersahabat dengan orang-orang Belanda, jika ada yang melanggar maka dia akan terkena kutukan Untung Suropati. Beliau juga memberi wasiat apabila meninggal kuburnya jangan diberi tanda agar tidak ada yang mengetahui Untung Suropati sudah gugur.
Tanggal 5 Nopember 1706 Adipati Wironegoro wafat. Putra-putra Untung Surapati, antara lain Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa dan Bali). Sepeninggal ayahandanya, Raden Pengantin menggantikan jumeneng adipati di Pasuruan dengan mengambil nama abhiseka Adipati Wironegoro II. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Surapati palsu. Seluruh anak keturunan Untung Suropati bertekad terus melawan penjajah Belanda sampai tetes darah penghabisan.
Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam Surapati yang segera dibongkarnya. Jenazah Surapati pun dibakar dan abunya dibuang ke laut.
Sebagian pengikut Untung Surapati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak Surapati dalam perang tahun 1706.
Setelah Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Surapati masih setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran Blitar menentang Amangkurat IV yang didukung VOC tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Surapati dan para pengikutnya dibuang VOC ke Srilangka.
Kisah Untung Surapati yang legendaris dan perjuangannya melawan kolonialisme VOC di Pulau Jawa membuatnya dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Kisah perjalanan hidup Untung Surapati yang legendaris, selain sekarang menjadi nama jalan yang umum di Indonesia, juga cukup banyak ditulis dalam bentuk sastra. Selain Babad Tanah Jawi, juga terdapat antara lain Babad Surapati.
Penulis Hindia Belanda Melati van Java (nama samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada tahun 1887. Karya ini kemudian diterjemahkan oleh FH Wiggers dan diterbitkan tahun 1898 dengan judul Dari Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah ini adalah sastrawan Abdul Muis dalam novelnya yang berjudul Surapati.
Taman Burgemeester Bisschopplein di Batavia (sekarang Jakarta) pasca kemerdekaan Indonesia dirubah namanya menjadi "Taman Suropati" untuk mengabadikan nama Untung Surapati.
DAFTAR PUSTAKA
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
Abdul Muis. 1999. Surapati. cet. 11. Jakarta: Balai Pustaka