PERKEMBANGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA DI INDONESIA


Anisa Mutiara Priyadi/PIS
            Tersebarnya pengaruh Hindu dan Buddha di Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan itu terlihat dengan jelas pada kehidupan masyarakat Indonesia di berbagai daerah di Indonesia.
1.      Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat di Berbagai Daerah dengan Tradisi Hindu-Buddha
Masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia menimbulkan perpaduan budaya antara budaya Indonesia dengan budaya Hindu-Buddha. Perpaduan dua budaya yang berbeda ini dapat disebut dengan akulturasi, yaitu dua unsure kebudayaan bertemu dan dapat hidup berdampingan serta saling mengisi dan tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut.
Namun, sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat di wilayah Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup maju. Unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia diterima dan diolah serta disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia, tanpa menghilangkan unsur-unsur asli.
Oleh karena itu, kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini disebabkan :
·         Masyarakat di Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayan yang cukup tinggi, sehingga masuknya kebudayaan asing menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
·         Masyarakat di Indonesia memiliki kecakapan istimewa yang disebut dengan local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadiannya.
Munculnya pengaruh Hindu-Buddha (india) di Indonesia sangat besar dan dapat terlihat melalui beberapa hal seperti :
a.      Seni Bangunan
Seni bangunan yang menjadi bukti berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia pada bangunan Candi. Candi Hindu maupun Candi Buddha yang ditemukan di Sumatera, Jawa dan Bali pada dasarnya merupakan perwujudan akulturasi budaya local dengan bangsa India. Pola dasar candi merupakan perkembangan dari zaman prasejarah tradisi megalitikum, yaitu bangunan punden berundak yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha, sehingga menjadi wujud candi, seperti Candi Borobudur.
b.       Seni Rupa/Seni Lukis
Unsur seni rupa atau seni lukis India telah masuk ke Indonesia. Seni rupa Nusantara yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Buddha dari India adalah seni pahat atau ukir dan seni patung. Hal ini terbukti dengan telah ditemukannya arca Buddha berlanggam Gandara di Kota Bangun, Kutai. Juga patung Buddha berlanggam Amarawati ditemukan di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Seni rupa India pada Candi Borobudur ada pada relief-relief ceritera sang Buddha Gautama.
c.       Seni Sastra
Seni sastra India turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Prasasti-prasasti awal menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, seperti yang ditemukan di Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Dalam perkembangan bangsa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa Sansekerta cukup dominan terutama dalam istilah-istilah pemerintahan juga kitab-kitab kuno di Indonesia banyak yang menggunakan bahasa Sansekerta.
d.      Kalender
Diadopsinya system kalender atau penanggalan India di Indonesia merupakan wujud dari akulturasi, yaitu dengan penggunaan tahun Saka. Di samping itu,juga ditemukan Candra Sangkala atau kronogram dalam usaha memperingati peristiwa dengan tahun atau kalender Saka.
e.       Kepercayaan atau Filsafat
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia, bangsa Indonesia telah mengenal dan memiliki kepercayaan, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan itu bersifat animisme dan dinamisme. Kemudian masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia mengakibatkan terjadinya akulturasi. Dibandingkan agama Hindu, agama Buddha lebih mudah diterima oleh masyarakat kebanyakan sehingga dapat berkembang pesat dan menyebar ke berbagai wilayah. Sebabnya adalah agama Buddha tidak mengenal kasta, tidak membeda-bedakan manusia, dan menganggap semua manusia itu sama derajatnya di hadapan Tuhan (tidak diskriminatif). Menurut agama Buddha, setiap manusia dapat mencapai nirwana asalkan baik budi pekertinya dan berjasa terhadap masyarakat.
f.       Pemerintahan
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bangsa Indonesia telah mengenal system pemerintahan. Sistem pemerintahan kepala suku berlangsung secara demokratis, yaitu salah seorang kepala suku merupakan pemimpin yang dipilih dari kelompok sukunya, karena memiliki kelebihan dari anggota kelompok suku lainnya. Akan tetapi, setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddha, tata pemerintahan disesuaikan dengan system kepala pemerintahan yang berkembang di India. Seorang kepala pemerintah bukan lagi seorang kepala suku, melainkan seorang raja, yang memerintah wilayah kerajaannya secara turun-temurun.
g.      Sistem perdagangan dan transportasi
Kekayaan bumi Nusantara telah dikenal luas sejak dahulu. Kemenyan, kayu cendana, dan kapur barus dari Indonesia telah dikenal di Cina menyaingi bahan wangi-wangian lainnya dari Asia Barat. Begitu pula berbagai jenis rempah-rempah, seperti lada dan cengkeh, serta hasil-hasil kerajinan dan berbagai jenis binatang khas yang unik. Awalnya, pedagang-pedagang dari India yang singgah di Indonesia membawa barang-barang tersebut ke Cina.
Seiring dengan perkembangan perdagangan internasional, hubungan dagang antara Indonesia –India – Cina pun berkembang . Wolters berpendapat bahwa perkembangan ini akibat dari sikap terbuka dan bersahabat dengan orang asing serta penghargaan terhadap barang dagangan yang dibawa orang asing. Sikap ini pula yang memungkinkan agama Hindu-Buddha dapat berkembang di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA :
Badrika,I Wayan.2006.Sejarah Untuk SMA Kelas XI Program Ilmu Alam. Jakarta : Penerbit Erlangga

LINGGA, DARI KECAMATAN MENJADI KABUPATEN


Dewi Larasati/SR/B

Tulisan ini mengenai terbentuknya Kabupaten Lingga.
A.Profil Kabupaten Lingga
Nama Resmi
:
Kabupaten Lingga
Ibukota
:
Daik Lingga
Provinsi 
:
Kepulauan Riau
Luas Wilayah
:
2.266,77 Km²
Jumlah Penduduk
:
98.409 Jiwa 
Wilayah Administrasi
Website
:
:
Kecamatan : 5, Kelurahan : 6, Desa : 51


(Permendagri No.66 Tahun 2011)
Secara astronomis wilayah Kabupaten Lingga terletak antara 0o- 1o Lintang Selatan dan 103o -105o Bujur Timur. Secara geografis letak Kabupaten Lingga cukup strategis, yaitu berdekatan dengan kota Batam dan kabupaten Bintan serta berbatasan langsung dengan Propinsi Jambi dan Bangka-Belitung. Adapun batas-batas Wilayahnya sebagai berikut :
Sebelah Utara    :Berbatasan dengan Kecamatan Galang Kota Batam dan Laut Cina Selatan
Sebelah Selatan  :Berbatasan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala
Sebelah Barat     :Berbatasan dengan Laut Indragiri
Sebelah Timur     :Berbatasan dengan Laut Cina Selatan
Kabupaten Lingga memiliki luas sekitar 211,772 Km2 dan 99% dari luas tersebut adalah Lautan, yaitu sekitar 654,28 Km2, sedangkan luas daratan hanya sebesar 1% atau 2.117,28 Km2. Kabupaten Lingga memiliki 5 Kecamatan, Yaitu :
Kecamatan Singkep beribukota di Dabo
Kecamatan Singkep Barat beribukota di Kuala Raya
Kecamatan Lingga beribukota di Daik
Kecamatan Lingga Utara beribukota di Duara
Kecamatan Senayang beribukota di Senayang
Wilayah Kabupaten Lingga terdiri dari 3 pulau besar (Singkep, Lingga dan Senayang.Jumlah Pulau yang terdapat di Kabupaten Lingga sebanyak 377 pulau besar dan kecil, 285 buah pulau diantaranya belum berpenghuni.
B.Pembentukan kabupaten lingga
Kabupaten Lingga merupakan salah satu Kabupaten yang baru terbentuk setelah adanya pemekaran wilayah di Propinsi Kepulauan Riau. Tadinya daerah ini merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Kepulauan Riau yang sekarang sudah menjadi Propinsi Daerah Tingkat I. Pembentukan Kabupaten Lingga berdasarkan Keputusan DPRD Propinsi Riau Nomor : 08 / KPTS / DPRD / 2002 tanggal 30 Juli 2002 dan meninjau kembali keputusan DPRD Kabupaten Kepulauan Riau Nomor : 14 / KPTS / DPRD / 1999 tanggal 24 Juni 1999 dan menjadikan kabupaten baru ini sebagai daerah otonom. Lingga dibentuk menjadi sebuah Kabupaten sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 31 tanggal 18 Desember 2003, yang disahkan oleh DPR RI dan diresmikan oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri RI pada tanggal 7 Januari 2004, serta menjadi Kabupaten yang terbungsu di Propinsi Kepulauan Riau.
Sebagai kabupaten yang masih baru terbentuk, kabupaten lingga pernah juga mengalami masalah perbatasan dengan propinsi jambi. Di dalam UU no.31 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Lingga, Provinsi kepulauan Riau (Kepri) diketahui bahwa telah terjadi kerugian konstitusional karena terdapat ketidakjelasan batas wilayah Provinsi Jambi dengan Riau. Adanya ketidakjelasan batas wilayah kabupaten Lingga yang disebutkan dalam undang-undang lebih dikarenakan tidak adanya teori kartografi (peta) yang dijadikan oleh undang-undang itu dalam merumuskan batas wilayah Kabupaten Lingga.Ketentuan pasal 5 UU No. 31 tahun 2003 membawa dampak perluasan wilayah Riau terkait dengan penegasan batas kabupaten Lingga sebagaimana dalam penjelasan Pasal 3 UU No. 25/2002 ditegaskan bahwa Kabupaten Kepulauan Riau tidak termasuk Pulau Berhala karena pulau Berhala termasuk dalam wilayah administratif Provinsi Jambi sesuai dengan UU No. 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Terlepas dari masalah perbatasan, kabupaten lingga mempunyai potensi yang kaya. Komoditi unggulan Kabupaten Lingga yaitu sektor perkebunan, pertanian dan jasa. Sektor Perkebunan komoditi unggulannya adalah Karet, Kopi, dan Kelapa. Sub sektor Pertanian komoditi yang diunggulkan berupa Jagung dan Ubi Kayu, sub sektor jasa yaitu Pariwisata. Hasil utama dalam bidang perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting salah satunya ialah ikan ekor kuning (Caesio cuning).  Jenis ikan ini diekspor langsung ke Singapura baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk daging  (fillet). Ikan ini langsung ditangkap dari laut maupun dipelihara dalam keramba apung. Sebagai penunjang kegiatan perekonomian, di wilayah ini tersedia 1 pelabuhan, antara lain Pelabuhan Dabo Singkep.
Dari banyak potensi alam yang dimiliki, Lingga memang pantas untuk menjadi kabupaten. Selain itu, dukungan masyarakat juga banyak agar Lingga beralih status dari kecamatan menjadi kabupaten. Setelah melewati perjalanannya, Lingga akhirnya ditetapkan sebagai kabupaten pada 2003 silam.
C.Arti Logo
Pengertian Lambang Daerah Kabupaten Lingga
1.      Bentuk Perisai Bujur Telur Bersegi Dua Berwarna Kuning Berbingkai Hijau Berelief Lingkaran Rantai Berwarna Emas
a.       Melambangkan persatuan masyarakat Kabupaten Lingga dalam membangun daerah Kabupaten Lingga.
2.      Bintang Berwarna Merah
a.       Melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Bersendikan iman dan takwa memberikan "Nur" (cahaya) Petunjuk yang menerangkan jalan menuju pembangunan daerah Kabupaten Lingga.
3.      Latar Belakang Gunung Daik Bercabang Tiga
a.       Melambangkan kemegahan, sebagai benteng yang kokoh, perkasa berdiri dengan tiga cabang mempertahankan daerah ini dari kepunahan hutan yang kehijawan yang memberikan kesejukan, kenyamanan sebagai negeri yang subur dan agraris.
4.      Payung Kebesaran Berwarna Kuning
a.       Melambangkan kewibawaan pemerintah, pengayom, melindungi masyarakat dari terisolir, pendidikan, agama, sosial dan ekonomi untuk bangkit bersama membangun Kabupaten Lingga Berbudaya.
5.      Padi dan Kapas
a.       Melambangkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lingga dalam memenuhi sandang dan pangan serta berbudi daya dan berhasil guna untuk mencapai kemakmuran.
6.      Dua Bilah Keris Berlekuk, Berwarna Coklat Muda, Bersilang Dua, Berhulu Kepala Burung Serindit
a.       Melambangkan kewibawaan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintah dengan tertib, jujur, bekerja keras untuk membangun Daerah Kabupaten Lingga dengan aman dan damai.
7.      Tepak dan Daun Sirih
a.       Melambangkan kebudayaan masyarakat Lingga menjalin silaturahmi yang dianjurkan ilahi agar menjadi persahabatan dan persaudaraan.
8.      Gelombang Laut Berwarna Putih 7 (Tujuh) Baris
a.       Melambangkan semangat kebersamaan, kerja keras, tulus ikhlas membangun Kabupaten Lingga sebagai daerah maritim.
9.      Lingkaran Rantai Berwarna Kuning Emas
a.       Melambangkan satu dari kesatuan wilayah untuk mencapai keutuhan masyarakat Kabupaten Lingga untuk bersama membangun Kabupaten Lingga kedepan.
Daftar pustaka:
Kasmadi,dkk.2007.Lingga Bunda Tanah Melayu.Pekanbaru:Alaf Riau
BPS Provinsi Kepulauan Riau.( Kepulauan Riau Dalam Angka 2010)

ZAMAN PRASEJARAH JEPANG

ROSELMA BR PANJAITAN/PIS

1. Zaman Paleolitik
Zaman Peleolitik berlangsung dari sekitar perkakas batu dan berakhir sekitar 12.000 SM pada akhir zaman es terakhir yang sekaligus awal dari periode Mesolitik zaman jomon. Bukti-bukti penggalian arkeologi menunjukkan kepulauan Jepang sudah dihuni orang sejak 35.000 SM.Kepulauan Jepang terpisah dari daratan Asia setelah zaman es terakhir sekitar 11.000 SM.Setelah terungkapnya pengelabuan zaman Peleolitik Jepang oleh peneliti amatir Shinichi Fujimura, bukti-bukti asal zaman Paleolitik Bawah dan zaman paleolitik Tengah yang diklaim oleh Fujimura dan rekan-rekan telah diteliri ulang dan ditolak.
2. Zaman Jomon
Zaman Jomon berlangsung dari sekitar 14.000 SM hingga 300 SM. Tanda-tanda pertama peradaban dan pola hidup stabil manusia muncul sekitar 14.000 SM dengan adanya kebudayaan Jomon yang bercirikan gaya hidup pemburu-pengumpul semi sedenter Mesolitik hingga Neolitik.Mereka tinggal di rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang digali dan di atasnya didirikan rumah beratap dari kayu. Orang zaman Jōmon sudah mengenal bentuk awal dari pertanian, namun belum mengenal cara menenun kain dan pakaian yang dibuat dari bulu binatang. Orang zaman Jomon mulai membuat bejana tanah liat yang dihias dengan pola-pola yang dicetakkan ke atas permukaan bejana sewaktu masih basah dengan menggunakan tongkat kayu atau tali atau simpul tali. Walaupun hasil penelitian menimbulkan keragu-raguan, menurut tes penanggalan radiokarbon, bebrapa contoh tembikar tertua di dunia berasal dari Jepang, disertai pisau Belati, giok, sisir dari kulit kerang, dan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya berasal dari abad ke-11 SM. Boneka tanah liat yang disebut dogu juga ditemukan dari situs ekskavasi. Barang-barang rumah tangga menunjukkan kemungkinan ada rute perdagangan yang jauhnya sampai ke Okinawa. Analisis DNA menunjukkan bahwa asli Hokkaido dan bagian utara Pulau Honshu yang disebut suku Ainu adalah keturunan orang zaman Jomon dan merupakan manusia pertama penghuni Jepang.
3. Zaman Yayoi
Zaman Yayoi berlangsung dari sekitar 400 SM hingga 250 M. Dari situs arkeologi kota Yayoi distrik Bunkyo Tokyo ditemukan artefak asal zaman yang kemudian disebut zaman Yayoi.
Pada awal zaman Yayoi, orang Yayoi sudah mulai dapat menenun, bertanam padi, mengenal pedukunan serta pembuatan perkakas dari besi dan perunggu yang dipelajari dari Korea dan Cina. Sejumlah studi Paleoetnobotani menunjukkan teknik menanam padi di sawah dan irigasi sudah dikenal sejak sekitar 8000 SM di Delta Sungai Yangtze dan menyabar ke Jepang sekitar 1000 SM.
Semasa Dinasti Han dan Dinasti Wei pengelana Cina tiba di Kyushu dan mencatat tentang para penduduk yang tinggal di sana. Menurut para pengelana Cina, mereka adalah keturunan dari Paman Agung (Taibo) dari negara Wu. . Penduduk di sana juga menunjukkan ciri-ciri orang Wu pra-Cina yang mengenal tato, tradisi mencabut gigi, dan menggendong bayi. Buku Sanguo Zhi mencatat ciri-ciri fisik yang mirip dengan ciri-ciri fisik orang yang digambarkan dalam boneka haniwa. Laki-laki berambut panjang yang dikepang, tubuh dihiasi tato, dan perempuan mengenakan pakaian terusan berukuran besar.
Situs Yoshinogari adalah situs arkeologi terbesar untuk peninggalan orang zaman Yayoi yang mengungkap adanya permukiman di Kyushu yang sudah didiami orang secara terus menerus selama ratusan tahun. Hasil ekskavasi menunjukkan artefak tertua berasal dari sekitar 400 SM. Di antara artefak yang ditemukan terdapat perkakas besi dan perunggu, termasuk perkakas dari Korea dan Cina. Dari barang-barang peninggalan diperkirakan orang zaman Yayoi sudah sering melakukan kontak dan berdagang dengan orang dari Daratan Cina.


Daftar Pustaka

TRAGEDI TANJUNG PRIOK 1984


EGGI MAKHASUCI / SI5

Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur'an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus mushala diciduk Kodim. Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat. Malah mereka memprovokasi dengan mempertontonkan salah seorang ikhwan yang ditahan itu, dengan tubuh penuh luka akibat siksaan.
Rabu. 12 September 1984. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, "Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini". Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, "Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?" Dijawab oleh massa, "Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !" Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma' Allah dan Al-Qur'an. Amir Biki berpesan, "Yang merusak bukan teman kita".
Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara). Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, lalu ... astaghfirullah ! Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para syuhada tersungkur dengan darah membasahi bumi. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.
Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.
Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung Priok memang terasa panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam. Terlebih lagi bila melihat yang menjadi Panglima ABRI saat itu, Jenderal Leonardus Benny Moerdani, adalah seorang Katholik yang sudah dikenal permusuhannya terhadap Islam.
Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Namun entah kenapa, di Tanjung Priok yang merupakan basis Islam itu para mubaligh dapat bebas berbicara bahkan mengkritik pemerintah, sampai menolak azas tunggal Pancasila. Adanya rekayasa dan provokasi untuk memancing ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain sebelum itu, misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film maksiat diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun seruan ini rupanya tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita Syarifin Maloko, ketua SONTAK dan mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12 September, ia baru mendengar adanya larangan tersebut setelah berada di dalam penjara. Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk memojokkan Islam dan ummatnya di Indonesia.
·         Dampak dari Peristiwa Tanjung Priok 1984
Tragedi Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah, jiwa yang melayang. Sebagian besar berasal dari kalangan umat Islam, terutama mereka yang dianggap melakukan tindakan subversi dengan statemen-statemen cita-cita Negara Islam. Jumlah korban dalam tragedi masih simpang siur. Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Menurut hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa Tanjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Sementara menurut Komnas HAM dalam laporannya yang dimuat di Tempo Interaktif menyatakan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang. Sementara keterangan resmi pemerintah korban hanya 28 orang.
Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat. Hingga kini, peristiwa Tanjung Priok masih menyisakan misteri. Korban yang meninggal tidak diketahui pemakamannya. Sedangkan mereka yang ditahan mengalami cacat seumur hidup, juga tidak jelas kesalahannya, banyak diantara mereka yang menjadi koban, padahal tidak mengetahui apa-apa.

DAFTAR PUSTAKA
·         Sumber Buku Pusat Studi dan Pengembangan Informasi Partai Bulan Bintang. (1998). Tanjung Priok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta : Gema Insani Press.
·         Ricklefs, MC. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : Serambi.