Showing posts with label INDONESIA ZAMAN ORDE BARU. Show all posts
Showing posts with label INDONESIA ZAMAN ORDE BARU. Show all posts

PELAKSANAAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA SETELAH PERISTIWA G-30 S/PKI 1965

AGUSNIYARNI/PIS

Pada masa orde lama ,Indonesia merasa terkucil dari ergaulan dunia ,terutama setelah Indonesia keluar dari keanggotaan PBB.Setelah pemerintahan inonesia dipegang oleh soeharto,Indonesia di menyatakan aktif lagi dalam keanggotaan PBB,Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada 28 september 1966 dan Indonesia masih saja menjadi anggota urutan PBB ke 60.Bahkan mentri luar negri Indonesia Adam Malik terpilih menjadi Ketua Majelis Umum  untuk masa persidangan tahun 1974.
Sementara itu hubungan antara Negara-negara di asia tenggara dikukuhkan dalam suatu bentuk organisasi yang bersifat regional .Para mentri luar negri yang berada di asia tenggara menyelenggarakan suatu konferensi dibangkok  pada tanggal 8 agustus 1967 yang hasil konfernsi tersebut dikenel dengan nama deklarasi Bangkok yang berisikan pernyataan tekat untuk bersama-sama memvangun asia tenggara yang tentram,man,damai,dan mkmur. Ats deklarasi Bangkok itualah berdirinya  Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Perbara) atau Association of south East Asia Tenggara((ASEAN).
Negara-negara anggota asean ykin bahwa Negara mereka akan stabil dan mampu menghadapi ekspansi komunis jika kehidupan rakyatnya makmur.Untuk mencapai taraf demikian  maka Sidang Mentri Luar Negri Asean yang diselenggarakan pada tanggal 27 november 1971sepakat mengeluarkan deklrasi kuala lumpur yang brisikan keinginn untuk menjadikan kawasan asia tenggara yang damai,bebes,dan netral.yang artinya asia tenggara tidak menginginkan wilayah geografisnya dijadikan sebagai ajang pertikaian.
A .Pemurnian politik luar negri Indonesia
Tugas dari politik luar negri Indonesia pada masa orde baru adalah mengoreksi semua penyelewengan pada masa orde lama .Berdasarkan pernyataan itu maka MPRS sbagai lembaga kenegaraan tertinggi telah menegaskan kembali landasan kebijakan politik luar negri Indonesia.
Landasan politik lur negri Indonesia pada masa Orde Baaru adalah sebagai berikut:
1.Ketetapan MPRS No,XII/MPRS/1966 tentang Penegasan kembali Landasan kebijakan Politik Luar Negri repoblk Indonesia.
2.Ketetapan MPRS No.XIII/MPRS/1966 tentang pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi ,Keuangan, dan Pembangunan.
3.Ketetapan MPRS No.XI/MPRS/1968 Tentang  Tugas Pokok Kabinet Pembangunan.
4.Ketetapan MPRS No. IV/MPR/1973 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
Politik konfrontasi yang pernah dilakukan indonesi tidak sesuai dengan dasar politik bebas dan aktif ,yaitu pancasila .Oleh karenaitu politik konfrontasi diakhiri dan diganti oleh politik bertetangga dan brsahabat baik dalam  hidup berdampingan secara damai yang saling menguntungkan .Indonesia juga berpegang teguh kepada ketetapan dan Nota Politik MPRS tahun 1966 dan 1968 tentang politik luar negri Indonesia yang berdasarkan Ideologi Pancasila.
B.Memelihara Keamanan Dan Stabilitas Asia Tenggara
Sesuai dengan politik indonsia bebas aktif indonsia tidak menghendaki adanya pakta militer atau pangkalan-pngkalan militr asing di asia tenggara ,yang aka nantinya menimbulkan  ketegangan dan konflik bersenjata  dari pada membawa perdamaian serta tidak sesuai dengan prinsip hidup berdampingan secara damai.Tetapi dalam masalah ini Indonesia cukup realistis untuk menerima alasan dari Negara-negara tetangganya .Untuk memperluas daerah netral diAsia tenggara  Indonesia dan india pada bulan april 1973 telah menyerukan dihapuskan nya  campur tangan negara-negara di Samudra hindia ,hilangnya permusuhan diantara negara negara besar akan memberikan keamanan di kawasan asia tenggara .
Dengan demikian perkembangan politik luar negri indonesia  setelah garakan 30 September 1965/PKI atau pada masa Orde Baru  diarahkan kepada politik luar negri indonesia bebas aktif yang dilaksanakan oleh pihak indonesia ber tujuan untuk memberikan keuntungan kepada bangsa indonesia sebab melalui politik ini indonesia dapat menjalin hubungan dengan semua negara di dunia.
 Daftar Pustaka:
Suyoto.2012.Sejarah Program studi IPS dan Bahasa Kelas XII.penerbit CV.Arya Duta,depok

GERAKAN ACEH MERDEKA

PERTIWI RESTI/SIV

             Umum menganggap bahwa GAM dilahirkan pada 4 Desember 1976. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam.
             Terdapat berbagai pendapat yang telah menjelaskan beberapa hal yang menjadi kausa peristiwa ini. Pertama, bahwa GAM merupakan lanjutan perjuangan—atau setidaknya terkait—Darul Islam (DI) Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII Daud Beureueh.
             Kedua, faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh. Ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, dan berbagai ketidakadilan lainnya merupakan faktor ketiga dari sebab kelahiran GAM.
             Penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru sampai era Reformasi. Pada masa Presiden B.J.Habibie, pemerintah tetap mengedepankan pendekatan keamanan dengan menggunakan militer dan polisi dalam menjaga keamanan di Aceh. Pada masa Presiden Abdurahman Wahid mencoba melakukan pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri berlaku Kesepakatan Penghentian Kekerasan. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tampak keduanya memilih cara non-militer untuk menyelesaikan persoalan. Terlebih inisiatif, Jusuf Kalla dengan cara bekerja di balik layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan GAM, dalam rangka melakukan komunikasi politik di satu sisi dan sekaligus membangun kepercayaan. Musibah yang mendatangkan berkah akhirnya terjadi, tsunami 26 Desember 2004 telah turut mengambil peran untuk mendamaikan para pihak yang bertikai. Musibah tersebut menuntut pemerintah dan GAM untuk lebih memikirkan solusi damai dalam menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Aceh.    
Faktor-faktor perdamaian di Aceh:
1.      Bencana Alam Tsunami
Posisi pemerintah sangat jelas disini. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, beberapa hari setelah tsunami dengan jelas mengumumkan bahwa perdamaian harus segera dilakukan. Bagi Jusuf Kalla, sangat mustahil membangun puing-puing reruntuhan Aceh apabila pemerintah dan GAM masih bersebrangan.
2.      Keseriusan Pemerintahan SBY-JK
Keseriusan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, telah menunjukkan keseriusan untuk memulai perundingan damai dengan GAM. Keinginan kedua pemimpin ini bukan sekedar retorika tetapi aksi nyata.
3.      Dukungan TNI
TNI sendiri amat sangat mendukung dan mendorong terciptanya perdamaian di Aceh. Dalam konteks ini peranan presiden SBY sangat dominan. SBY dengan tegas menyatakan bahwa TNI harus ikut keputusan politik yang dilakukan pemimpin.
4.      Perubahan semangat GAM
Hasil operasi pasukan TNI yang besar-besaran sebelum tsunami membuat pasukan GAM mengendur. Pasukan GAM mengalami kekalahan yang signifikan dan membuat semangat tempur orang-orang GAM di lapangan mengalami perubahan.
5.      Peranan Martti Ahtisaari
Kepemimpinan mantan Presiden Finlandia,  Martti Ahtisaari, dalam memediatori dan memfasilitasi perundingan damai tersebut sangat menentukan. Ia amat tegas dalam, penuh siasat dan ia juga memiliki rencana yang matang pada setiap perundingan. Ia selalu berkomunikasi langsung dengan Sekjen PBB, Koffi Annan selama perundingan. Dengan demikian ia amat gampang memobilisasi segala keperluan untuk mencapai perdamaian di Aceh.
6.      Agenda Konkret Pemerintah
Faktor ini sangat menentukan sebab tawaran konkret tersebut membuat posisi pemerintah Indonesia di meja perundingan, sangat menguntungkan. Manakala pihak GAM masih berputar-putar damal mengadu argumentasi dan berusaha mengelak memasuki subtansi persoalan, Ahtisaari selalu menggunakan tawaran konkret itu untuk menekan GAM.
7.      Dukungan Internasional
Dunia internasional amat mendukung ikhtiar damai yang dilakukan oleh pemerintahan baru SBY-JK.  Dukunga internasional untuk mempercepat perdamaian di Aceh ini tidak terlepas dari tsunami. Dunia internasioal secara serentak membantu melakukan rekonstruksi Aceh pasca bencana tsunami. Dunia internasional lebih rasional dan realistis bahwa adalah tidak mungkin melakukan bentuan kemanusiaan dan melakukan rekonstruksi Aceh tanpa adanya perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan GAM.
8.      Format Dialog
Kali ini pihak pemerintah Indonesia dan GAM bertemu langsung di sebuah meja perundingan. Tak ada perantara yang menyampaikan masing-masing pesan. Denga demikian, tak ada kata yang ditafsirkan lain. Pertemuan langsung memang sangat efektif sebab selain masing-masing pihak mendengar secara langsung, juga segala rencana dan isi pikiran dengan mudah dikemukakan.
9.      Lobi Personal yang Intensif
Kontak person dengan para petinggi GAM yang dilakukan oleh pemerintah menjadi sangat signifikan. Hal yang sama juga dilakukan Wapres terhadap Ahtasaari. Dengan berkomunikasi langsung tersebut, baik dengan petinggi GAM maupun Ahtasaari, amat yakin tentang kesungguhan pemerintah untuk mencapai perdamaian.
10.  Kesabaran dan Toleransi Negositator Pemerintah
Daya tahan para perunding pemerintah untuk bersikap sabar dan toleransi terhadap serangan GAM, turut menentukan kelancaran perundingan. Dan sikap ini tidak terjadi begitu saja, sebab, setiap saat JK selalu mengingatkan agar berlatih menahan emosi dan reaksi. Ajaran JK tersebut bukan tanpa alasan. Pengalaman menyelesaikan konflik kekerasan di Poso dan Ambon beberapa tahun silam, membuat JK percaya bahwa bagian kesuksesan mendamaikan oranng adalah kesabaran.
11.  Komitmen Kedua Belah Pihak
Kepatuhan kedua belah pihak untuk menjaga komitmen bahwa subtansi pembicaraan selama dialog berlangsung, tidak boleh diketahui public. Baik pihak pemerintah maupun GAM, keduanya tunduk pada aturan main ini. Pihak mediator juga demikian. Ia hanya melakukan jumpa pers pada akhir tiap putaran dialog. Itu pun atas persetujuan kedua belah pihak.
12.  Kedisiplinan GAM
Kerapihan struktur organisasi GAM memungkinkan mereka amat disiplin. Selama perundingan berlangsung, tak ada satu un aktivis GAM yang melenceng dari perintah pemimpin mereka yang tengah berunding di Helsinki. Semuanya tunduk pada kepemimpinan Malik Mahmud dan Zaini Abdullah.

Daftar Pustaka
Haramain, A. Malik. 2004. Gus Dur, Militer, Dan Politik. Yogyakarta: LKiS
Awaludin, Hamid. 2008. Damai Di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM Di Delsinki. Yogyakarta: Centre For Strategic And International Studies

TRAGEDI TANJUNG PRIOK 1984


EGGI MAKHASUCI / SI5

Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur'an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus mushala diciduk Kodim. Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat. Malah mereka memprovokasi dengan mempertontonkan salah seorang ikhwan yang ditahan itu, dengan tubuh penuh luka akibat siksaan.
Rabu. 12 September 1984. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, "Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini". Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, "Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?" Dijawab oleh massa, "Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !" Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma' Allah dan Al-Qur'an. Amir Biki berpesan, "Yang merusak bukan teman kita".
Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara). Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, lalu ... astaghfirullah ! Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para syuhada tersungkur dengan darah membasahi bumi. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.
Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.
Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung Priok memang terasa panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam. Terlebih lagi bila melihat yang menjadi Panglima ABRI saat itu, Jenderal Leonardus Benny Moerdani, adalah seorang Katholik yang sudah dikenal permusuhannya terhadap Islam.
Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Namun entah kenapa, di Tanjung Priok yang merupakan basis Islam itu para mubaligh dapat bebas berbicara bahkan mengkritik pemerintah, sampai menolak azas tunggal Pancasila. Adanya rekayasa dan provokasi untuk memancing ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain sebelum itu, misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film maksiat diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun seruan ini rupanya tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita Syarifin Maloko, ketua SONTAK dan mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12 September, ia baru mendengar adanya larangan tersebut setelah berada di dalam penjara. Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk memojokkan Islam dan ummatnya di Indonesia.
·         Dampak dari Peristiwa Tanjung Priok 1984
Tragedi Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah, jiwa yang melayang. Sebagian besar berasal dari kalangan umat Islam, terutama mereka yang dianggap melakukan tindakan subversi dengan statemen-statemen cita-cita Negara Islam. Jumlah korban dalam tragedi masih simpang siur. Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Menurut hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa Tanjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Sementara menurut Komnas HAM dalam laporannya yang dimuat di Tempo Interaktif menyatakan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang. Sementara keterangan resmi pemerintah korban hanya 28 orang.
Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat. Hingga kini, peristiwa Tanjung Priok masih menyisakan misteri. Korban yang meninggal tidak diketahui pemakamannya. Sedangkan mereka yang ditahan mengalami cacat seumur hidup, juga tidak jelas kesalahannya, banyak diantara mereka yang menjadi koban, padahal tidak mengetahui apa-apa.

DAFTAR PUSTAKA
·         Sumber Buku Pusat Studi dan Pengembangan Informasi Partai Bulan Bintang. (1998). Tanjung Priok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta : Gema Insani Press.
·         Ricklefs, MC. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : Serambi.

PETRUS, SISI KELAM PEMERINTAHAN SOEHARTO


Rinaldi Afriadi Siregar / PIS
PAGI itu, di pinggir Jalan Jenderal Sudirman Semarang seputar kawasan perumahan Cakrawala Semarang, tak jauh dari pompa bensin (kini sudah gulung tikar, red), ramai orang berkerumun. Mereka mengelilingi sebuah karung goni tergeletak di antara lalat-lalat hijau. Bagian atas karung tidak terikat, dan menyembul wajah pucat menyeringai. Sesosok mayat pria muda telanjang dada dan penuh tato terlihat. Orang-orang bergunjing. Ini adalah mayat kali kesekian yang ditemukan tergeletak di tepi jalan.
Beberapa hari kemudian, di kawasan Jalan Hasanudin juga didapati mayat dengan kondisi serupa. Tetapi tidak terbungkus. Tergeletak begitu saja, di bawah tiang listrik. Wajahnya juga menyeringai seperti menahan takut dan sakit yang amat sangat. Mereka menamakan pria-pria malang itu sebagai korban petrus (penembak misterius).Hampir tiap pagi orang menjumpai mayat seperti itu. Hampir seluruh korban adalah pria bertato, dan belakangan diketahui mereka adalah yang dikenal sebagai bromocorah, gali, preman, dan segolongan mereka. Para korban sebagian besar tewas karena ditembak, tetapi sebagian yang lain mati tercekik, atau terjerat lehernya. Bahkan cerita dari mulut ke mulut lebih sadis dari itu. Para korban ada yang disergap di tengah jalan. Tapi tak jarang mereka dieksekusi di depan anak-istri mereka. Jika ditangkap di depan khalayak, mereka dibawa ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian ia disuruh berlari, dan … dorr!
'Pesan'
Banyak mayat para korban seakan-akan sengaja diletakkan di tempat ramai, seolah menjadi "pesan" kepada para preman dan penjahat untuk tidak macam-macam lagi. Tak ayal kondisi ini membuat kelompok hitam, atau bahkan siapa saja yang di tubuhnya terdapat tato amat cemas, menunggu "Kapan giliran saya?". Beberapa di antara mereka berusaha menghilang sejauh mungkin, atau melenyapkan tato di tubuhnya."Pada suatu tengah malam, ketika kami sedang ngobrol, datang sebuah mobil. Lalu dari dalam mobil itu berhamburan 4-5 orang. Kami kalang kabut menyelamatkan diri berlarian ke sawah. Besoknya saya dapat kabar Mas Ripto ditemukan tewas. Di lehernya seperti ada bekas jeratan." Begitulah tutur seorang warga Tawangsari.
Ripto pada masanya dikenal sebagai pimpinan sebuah geng. Dia amat disegani, bahkan ditakuti bersama (waktu itu) kelompok Kisromi dari kawasan Krobokan. Reputasi di dunia hitam menempatkannya pada target Petrus. Kabar tewas nya Ripto membuat rekan-rekannya terpencarpencar menyelamatkan diri. Begitu juga dengan mereka yang merasa memiliki catatan di dunia hitam. Misalnya Wagiman seorang tukang copet terminal.
"Wah, saya betul-betul takut. Waktu Petrus mulai dulu, saya baru saja berumur 18 tahun. Saya sudah dua tahun "kerja" waktu itu. Karena kata orang yang dicari-cari itu yang bertato, tato di tangan dan di punggung saya, saya setrika. Karena masih khawatir juga, saya lari ke Riau dan sembunyi di kampung- kampung di sana selama empat tahun. Baru sesudah agak aman saya kembali lagi ke sini, dan mulai lagi 'kerja". Habis bagaimana lagi! Saya perlu makan. Jadi, terpaksa yaa kerja copet ini saja. Saya biasa beroperasi di terminal dan dalam bus rute Semarang – Yogyakarta. Masak orang kayak saya ini yang ditembak. Kalau mau ditembak, ya …, koruptor-koruptor itulah!" Trauma Berapa sebenarnya angka korban petrus? Sulit mencari data resmi karena ini operasi tertutup.
Beberapa orang menyebut, Petrus yang berlangsung tahun 1983-1985 memakan korban 5.000 orang. Namun ada pula yang menyebut angka 10.000 orang. Petrus tak hanya menjadi horor bagi mereka yang masuk daftar golongan hitam. Keluarga mereka pun tak urung dilanda ketakutan dan trauma sepanjang hidup mereka. Ini juga yang diakui oleh Lita BM. Wanita asal Semarang putri dari Bathi Mulyono.Bathi adalah pimpinan para mantan narapidana yang tergabung dalam organisasi Fajar Menyingsing. Dia lolos dari incaran Petrus, dan sempat menghilang beberapa tahun. Hilangnya Bathi ini menyisakan pengalaman traumatik bagi Lita.
"Aku salah satu korban operasi Petrus itu. Ayahku hilang dalam tragedi berdarah yang sampai sekarang tak pernah terungkap itu," kata Lita.
Untuk mengungkapkan perasaan gundahnya, Lita yang juga penyanyi ini kemudian merilis sebuah album berjudul Tirai Kelahiran "83. Lita mengaku tidak ingin mencari keadilan dengan meluncurkan album ini, namun ia berharap sebagai aktualisasi diri saja. Kalaulah ada nilainya, sekadar sebagai pengingat agar tidak terjadi lagi peristiwa pembunuhan massal seperti itu lagi.
"Harapanku, apa yang terjadi padaku tidak terjadi pada orang lain. Jujur saja, sangat menyakitkan. Aku hanya bisa sampaikan lewat lagu apa yang aku rasakan sejak kecil," tutur Lita yang sempat ditempa olah vokal oleh Uci dari Elfa"s, kepribadian dengan aktor Didi Petet, dan Shahnaz Haque.
Jika biasanya launching dan promo dilakukan di sebuah kafe atau restauran, Lita melantunkan lagu-lagunya dengan karaoke di sebuah demonstrasi massa. Di depan Istana Merdeka lagi. Hal itu berlangsung Kamis (24/1) siang lalu, di tengah-tengah demonstrasi para korban kemanusiaan kejahatan rezim Orde Baru, yang dikoordinasi Kontras. Demo itu antara lain menyuarakan kasus Semanggi, pembunuhan Munir, Penembakan Misterius (Petrus), peristiwa Tanjung Priok dll, bersamasama mahasiswa dan LSM
Habisi Penjahat Dekil Hingga Mesin Politik
BENARKAH Soeharto dalang di balik Pe­­­­trus? Dalam dokumen yang dimiliki Kon­­tras, Petrus berawal dari operasi pe­nang­gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng­har­gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber­ha­silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret tahun yang sama, di hadap­an Rapim ABRI (sekarang TNI), Soehar­to meminta polisi dan ABRI mengambil lang­kah pemberantasan yang efektif me­ne­kan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pang­­­kopkamtib Laksamana Soedomo da­lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja­ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja­ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma­sing-masing kota dan provinsi lainnya.
Operasi Clurit yang notabene sama de­ngan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan.
Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an­­taranya 15 orang tewas ditembak. Ta­hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an­taranya tewas ditembak. Para korban Pe­trus sendiri saat ditemukan masyarakat da­lam kondisi tangan dan lehernya  te­ri­kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la­ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa­ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke­amanan.
Mesin politik
Menarik menyimak ucapan yang di­lon­tarkan Bathi Mulyono yang akrab di­sapa BM. Mantan pimpinan Fajar Me­nying­sing, organisasi eks bromocorah yang eksis di Jawa Tengah sebelum tragedi penembakan misterius (Petrus) 1983. Me­nurut BM yang pernah terlibat dalam ber­bagai operasi politik, Petrus bukan ha­nya ditujukan bagi penjahat kerah dekil se­mata, tapi juga menghabisi mesin politik partai yang berkuasa waktu itu setelah se­lesai dimanfaatkan. Istilahnya habis ma­nis sepah dibuang!
Soal penanganan terhadap penjahat, BM yang selama 1,5 tahun sembunyi di hu­tan Gunung Lawu sepakat dengan per­nyataan mantan Wapres Adam Malik, ja­ngan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi ma­ti. Jadi syarat sebagai negara hukum su­dah terpenuhi. Adam Malik mengingat­kan, setiap usaha yang bertentangan de­ngan hukum akan membawa negara ini pa­da kehancuran. (Sinar Harapan, 25 Juli 1983)
Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pe­megang kekuasaan. Petrus pertama kali
dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang Dandim 0734 Letkol CZI M Hasbi (kini Wakil Ketua DPRD Jateng, red) sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Hasbi menyebutkan, landasan hukum operasi yang ditanganinya adalah Operasi Clurit. Sedang landasan pelaksanaannya adalah tingkat keresahan masyarakat. (Kompas, 15 April 1983). Pengakuan operasi ini juga dikemukakan Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
Kadapol IX/Jateng Mayjen (Pol) Montolalu di Semarang menegaskan, aparat keamanan bertekad menurunkan angka kejahatan, walaupun harus ditempuh dengan berbagai cara yang lunak sampai tindakan keras. Selama tiga bulan operasi penumpasan kejahatan di Semarang dan Solo, polisi berhasil menangkap 1.091 penjahat. Di antaranya 29 orang tewas tertembak dan empat lainnya tewas dikeroyok massa yang menangkap. (Kompas, 23 Juni 1983).
Jika di Yogyakarta dan Jateng ada "pengakuan " operasi pemberantasan kejahatan, tapi di daerah lain tidak diakui. Contohnya, Pangdam V Jaya/Pangkopkamtibda Mayjen TNI Try Sutrisno bersama Deputy Kapolri Letjen Pol Drs Pamudji dan Kadapol Metro Jaya, Mayjen Pol Drs R Soedjoko selesai pertemuan mengatakan di wilayah hukum Laksusda Jaya tidak ada penembakan misterius. "Yang menyebut ada penembakan misterius hanyalah media massa sendiri," ujarnya. (Sinar Harapan dan Berita Harian Gala, 24 Juni 1983).
Sementara itu Amir Machmud, Ketua MPR/DPR selesai konsultasi dengan Presiden Soeharto di Binagraha, secara pribadi menyatakan setuju mengenai adanya penembak-penembak misterius dalam menumpas pelaku kejahatan. Demi untuk memberikan rasa aman kepada 150 juta rakyat Indonesia, tidak keberatan apabila ratusan orang pelaku kejahatan harus dikorbankan. (Sinar Harapan, 21 Juli 1983).
"Penjahat mati misterius tidak perlu dipersoalkan, " kata Kepala BAKIN Yoga Sugama selesai melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Diungkapkan adanya surat Amnesti Internasional, yang katanya mempersoalkan iniitu, termasuk penjahat terbunuh di Indonesia. "Ini merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan," tambahnya. (Berita Harian Gala, 25 Juli 1983).
Lain lagi pendapat Wakil Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) Ali Murtopo, yang mengatakan penembakan misterius yang terjadi selama ini "dapat" dipertanggungjawabkan dan itu justru menurut ketentuanketentuan yang berlaku di dalam pelaksanaan tugas Hankam. "Saya melihat sistem konvensional ini sudah tidak bisa mengatasi masalah kriminal yang terjadi di Indonesia, maka ini harus diambil satu pertimbangan, kriminalitas dibasmi atau tidak. Jadi keputusannya dibasmi demi kepentingan rakyat," kata Ali Murtopo bersama pimpinan DPA M Panggabean, Wakil Ketua HJ Naro dan Sapardjo setelah konsultasi dengan Presiden Soeharto di Bina Graha (Sinar Harapan, 28 Juli 1983).
Tentu saja ada pandangan yang tidak setuju operasi semacam Petrus. Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan (FKP: fraksinya Golkar, red) Oka Mahendra SH menanggapi soal masalah "gali" mengatakan, sedikitnya ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek keamanan, sosial, ekonomi dan politik. "Memang aspek keamanan lebih menonjol, tapi tidak berarti aspek lainnya dapat ditinggalkan! Untuk itu para petugas keamanan agar tidak hanya terpukau pada aspek yang menonjol itu saja, tapi harus mendalami keseluruhan permasalahannya, " kata anggota dewan yang membawahi masalah Depdagri (Kompas, 16 April 1983).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution SH menyatakan, jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. "Jika ada pejabat apapun pangkatnya dan kedudukannya, mengatakan tindakan main dor-doran itu benar, saya tetap mengatakan hal itu adalah salah," tegas Buyung. (Sinar Harapan, 6 Mei 1983).
"Sekalipun mereka penjahat, namun sebagai manusia berhak mendapat keadilan melalui lembaga peradilan. Dan menembak ditempat, walaupun oleh petugas Negara, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan," kata Ketua Yayasan LBH (Sinar Harapan, 14 Mei 1983).
Jika sekarang muncul tuntutan pertanggungjawaban atas tragedi Petrus, siapa yang harus bertanggung jawab? "Jadi menurut saya, tidak ada prajurit yang salah. Semua tanggung jawab di pundak pimpinan. Siapa? Soeharto! Itu sesuai pengakuannya dalam buku biografi berjudul Soeharto, Pikiran dan Tindakan Saya hasil wawancara Ramadhan KH dan G Dwipayana, tegas Bathi Mulyono yang tak ada tato satu pun di tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA :