PERJUANGAN LETNAN M. BOYA PAHLAWAN KEMERDEKAAN DARI INDRAGIRI HILIR

Dian Rahmawati


Pada awalnya Indragiri Hilir merupakan wilayah yang masih dalam bentuk satu kesatuan kabupaten yang bernama Indragiri.  Indragiri itu sendiri merupakan suatu wilayah yang dulunya terdiri atas tiga kewedanan, yaitu Kewedanan Kuantan Singingi dengan beribukota Taluk Kuantan, Kewedanan Indragiri Hulu dengan beribukota Rengat, dan Kewedanan Indragiri Hilir dengan beribukota Tembilahan. Pada tanggal 20 November 1965 Indragiri Hilir resmi menjadi salah satu kabupaten yang ada di Riau[1]

Jadi, berdasarkan kutipan diatas dapat diketahui bahwa dulunya Kabupaten Indragiri Hilir merupakan sebuah wilayah yang masih dalam bentuk satu kabupaten. Antara  Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu itu belum terpecah dan masih menyatu dalam satu kesatuan kabupaten yang bernama Indragiri. Kabupaten Indragiri itu sendiri memiliki tiga kewedanan atau wilayah seperti yang telah di

paparkan pada kutipan tersebut. Dari tiga kewedanan Kabupaten Indragiri tersebut akhirnya terpecah dari Kesatuan Kabupaten Indragiri dan akhirnya membentuk Kabupaten sendiri, dan pada akhirnya terpecahlah Kabupaten Indragiri tersebut menjadi tiga kabupaten yang sekarang kita kenal dengan Kabupaten Kuantan Singingi dengan beribukota Taluk Kuantan, Kabupaten Indragiri Hulu dengan beribukota Rengat, dan Kabupaten Indragiri Hilir dengan beribukota Tembilahan.

Indragiri Hilir merupakan sebuah wilayah yang terletak di bagian selatan Provinsi Riau, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

        ·         Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pelalawan

        ·         Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Provinsi Jambi

        ·         Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Hulu

        ·         Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau.

Pada awalnya sebelum terpecahnya Kabupaten Indragiri tersebut, ketika masa penjajahan Belanda tepat pada tanggal 27 September 1938 M, terjadi perjanjian Van Vrincdhaap (Perjanjian perdamaian dan persahabatan) antara kerajaan Indragiri dengan kolonial Belanda. Dengan adanya perjanjian tersebut menyebabkan Kesultanan Indragiri menjadi wilayah Zelfbestuur dengan dipimpin oleh seorang controller yang membawahi tujuh keamiran atau distrik wilayah di Indragiri. Yaitu Amir Tembilahan, Amir Tempuling, Amir Sungai Luar, Amir Enok, Amir Mandah, Amir Gaung, dan Amir Reteh.

Pada tanggal 31 Maret 1942 M yaitu pada masa kependudukan Jepang di Indragiri Hilir. Bala tentara Jepang menduduki Indragiri Hilir dengan melalui Singapura terus ke Rengat. Pendudukan Jepang di Indragiri Hilir dipimpin oleh seorang Cun Cho yang berdomisili di Tembilahan. Cun Cho itu sendiri membawahi lima Ku Cho atau distrik yaitu Ku Cho Tmbilahan dan Tempuling di Tembilahan, Ku Cho Sungai Luar, Ku Cho Reteh, Ku Cho Mandah dan Ku Cho Enok. Berkuasanya Jepang di Indragiri Hilir itu sampai pada bulan Oktober 1945 yaitu + 3,5 tahun.[2]

Sebelum terpecahnya Kabupaten Indragiri menjadi tiga Kabupaten, wilayah Indragiri tersebut dulunya pernah dikuasai oleh Belanda dan Jepang. Dan dulunya Indragiri ini merupakan sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Indragiri. Belanda menguasai wilayah indragiri pada 1938 M sedangkan Jepang menguasai Indragiri pada 1942 M, tepatnya penguasaan wilayah ini terjadi sebelum kemerdekaan Indonesia atau pada masa penjajahan yang kemudiannya pada masa penjajahan Belanda tersebut menciptakan sebuah perjanjian antara Kerajaan Indragiri dengan Belanda yang di sebut dengan perjanjian Van Vrincdhaap (Perjanjian perdamaian dan persahabatan. Perjanjian Van Vrincdaap ini maksudnya adalah perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Kerajaan Indragiri dan Belanda yang pada akhirnya menyebabkan Kerajaan Indragiri tersebut ditetapkan sebagai wilayah Zelfbestuur yang dipimpin oleh seorang Controller yang memimpin tujuh keamiran atau distrik wilayah. Sama seperti masa kependudukan Belanda di Indragiri pada masa kependudukan Jepang juga memiliki seorang Controller yang disebut dengan Cun Cho yang mebawahi lima Ku Cho atau distrik wilayah, kependudukan Jepang di Indragiri Hilir ini berlangsung lebih kurang sekitar tiga setengah tahun. 

Pada zaman kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada tahun 1945-1949 pertempuran rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dari Belanda juga dilakukan di tanah Melayu yaitu di Riau. Di bumi Lancang Kuning ini pertempuran melawan Belanda juga dilakukan oleh para pejuang Riau. Namun sayang tak banyak yang mengetahui mengenai pertempuran rakyat Riau dalam melawan Belanda demi merebut kembali wilayah yang di kuasai oleh Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan tanah air.

Salah satu wilayah Riau yang pernah dikuasai oleh Belanda dan Jepang adalah wilayah Indragiri Hilir. Hal ini terbukti dari penjelasan diatas mengenai pembagian distrik wilayah Indragiri pada masa kekuasaan Belanda dan masa kekuasaan Jepang yang telah teruraikan diatas. Namun, pertempuran rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan di Indragiri Hilir itu lebih kepada pertempuran melawan pihak Belanda. Dalam pertempuran melawan Belanda ada banyak pejuang yang menjadi tokoh pahlawan yang sangat berperan dan gugur dalam melawan penjajah tersebut di Indragiri Hilir. Salah satunya adalah tokoh Letnan M. Boya, yang merupakan seorang tokoh yang berperan melawan Belanda di Indragiri Hilir.

Dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka secara resmi rakyat Indonesia telah lepas dari penjajahan. Namun usaha tersebut tidak sampai disitu saja, karena Belanda berusaha kembali menguasai Indonesia, mereka tidak mengakui kedaulatan Indonesia dan kemudian menimbulkan suatu peristiwa yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda. Hal ini yang kemudian turut terjadi di Indragiri Hilir. Letnan M. Boya turut ikut dalam membela tanah air Indonesia pada masa Agresi Militer Belanda khususnya di daerah Tembilahan dan sekitarnya.[3]

Nah, dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa pada masa pertempuran rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan itu tidak hanya terjadi di kota-kota tua atau didaerah Jawa tetapi ianya juga terjadi di bumi Lancang Kuning, oleh sebab itu maka banyak rakyat Riau yang turut berjuang dalam memperjuangkan kemerdekaan republik Indonesia. Maka dari itu banyak para pejuang yang diakui sebagai pahlawan nasional dari Riau. Salah satunya adalah Letnan M. Boya yang berjuang melawan penjajah di wilayah Riau tepatnya di wilayah Indragiri Hilir. Setelah merdekanya republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka secara resmi rakyat Indonesia telah lepas dari penjajahan. Namun usaha  tersebut tidak sampai disitu saja, karena Belanda berusaha kembali untuk menguasai Indonesia yang kemudian menimbulkan suatu peristiwa yang disebut Agresi Militer Belanda. Dan pada peristiwa Agresi Militer Belanda ini kemudian juga terjadi di Indragiri Hilir yang turut melibatkan Letnan M. Boya tersebut dalam pertempuran melawan penjajah di wilayah Indragiri Hilir.

Pada Agresi Milter Belanda I yaitu setelah Jepang menyerah kepada sekutu, pasukan Belanda pada tahun 1945 M menambah kekuatan, baik menambah kekuatan maupun penambahan kapal-kapal perang dari sisa-sisa Perang Dunia ke II. Pos-pos strategis di Kepulauan Riau di tempati oleh KNIL Belanda. Pasukan TNI memperkuat kedudukan strategis di sepanjang pantai dan selat Sungai Indragiri, Sungai Guntung, Bekawan, Tanjung Ranggah, Perigi Raja, Concong Luar, Sungai Bela, Kuala Enok dan Kuala Patah Parang.

Muhammad Boya atau yang lebih dikenal dengan M. Boya adalah seorang letnan atau seorang tentara yang berpangkat Letda. Ia merupakan salah satu pejuang kemerdekaan yang turut mengusir penjajah dari wilayah Indragiri Hilir. Saat Riau membentuk Barisan Pemuda Perjuangan (BPR) beranggotakan para pemuda Riau bekas Gyugun, Heiho, Kaigon dan Masyarakat. Pemerintah pusat kemudian menginstruksikan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) beranggotakan para pemuda Riau bekas Gyugun, Heiho, Kaigun dan Masyarakat, dan semua organisasi perjuangan yang ada harus bergabung dalam BKR. Koordinator BKR Riau adalah Hasan Basri, BKR itu sendiri terdiri dari tiga Batalyon, Yaitu Batalyon Pekanbaru (dibawah komano DI Panjaitan), Batalyon Bengkalis (dikomandoi Arifin Achad) dan Batalyon Indragiri (dikomandoi Thofa Hanafi). Di Kawedanan Tembilahan kemudian dibentuk BKR Tembilahan pada tanggal 9 Oktober 1945. Para 29 anggota terdiri dari pemuda-pemuda bekas Heiho, Gyugun dan Kaygon yang dipimpin oleh M. Boya.

Pada pertempuran di Tanjung Kilang Letnan M. Boya turut ikut dalam pertempuran tersebut. Tanjung Kilang merupakan sebuah wilayah yang terletak di + 60 mil dari Sungai Guntung. Yang mana pada saat itu Pulau Durai diduduki oleh 1 Pleton KNIL dan 1 Detesement Veld Politie. Tanjung Kilang (Pulau Durai) telah mencatat sejarah heroik dari para pejuang-pejuang Indragiri Hilir dengan serangan berani mati dan berhasil merebut Tanjung Kilang selama 12 jam. Pada pertempuran di Tanjung Kilang ini, Letnan M. Boya turut serta dalam serbuan Tanjung Kilang yang di Komandoi oleh Kapten Mukhtar dari resimen Pekanbaru, dengan jajaran komando seksi Letnan I Abdurrahman Chatib, seksi Letnan II Muhammad Boya, Letnan II Suni Pahar, dan Brigade Letnan II Sarjono. Setelah sampai di bibir pantai tidak ada pilihan lain kecuali maju terus dikegelapan subuh memasuki semak dan pohon kelapa tepat pada tanggal 19 Juli 1946. Dan pada akhirnya setelah 12 jam bertempur, Tanjung Kilang dapat direbut kembali tepat pada pukul 07.00 pagi dengan diiringi nyanyian lagu Indonesia Raya dan ditegakkannya bendera Merah Putih.[4]

Dari kutipan tersebut dapat di simpulkan bahwa ketika pertempuran di Tanjung Kilang, tokoh Letnan M. Boya terlibat dalam pertempuran tersebut bersama rekan-rekannya. Terjadinya pertempuran di Tanjung Kilang tersebut dikarenakan pada saat itu Pulau Durai yang merupakan bagian wilayah dari Tanjung Kilang tersebut diduduki oleh 1 Pleton KNIL dan 1 Detesement Veld Politie. Dalam pertempuran ini Letnan M. Boya dan rekan-rekannya dapat merebut kembali wilayah tersebut selama 12 jam  tepatnya pada pukul 07.00 pagi dengan diiringi lagu Indonesia Raya dan ditegakkannya bendera Merah Putih. Ditandai dengan ditegakkannya bendera merah putih diwilayah tersebut menandakan bahwa wilayah tersebut telah bebas dari Belanda dan telah kembali kepada Indonesia.

Pada awal tahun 1949 kota Rengat dan Tembilahan sudah hampir sebulan diduduki oleh serdadu KNIL Belanda. Mereka berkerumun berkumpul dan membentuk koloni baru yang kemudian menguasai suatu wilayah kemudian menghancurkan wilayah yang mereka tempati. Sejak itu, mereka berupaya mencari tempat konsentrasi pasukan TNI. Rakyat terpaksa mundur dan meneruskan perang dengan taktik gerilya. Dari Rengat, sisa pasukan yang dipimpin Komandan Batalyon Kapten Marah Halim bergerak menuju Taluk Kuantan membangun pangkalan gerilya. Sebagian dari pasukan tersebut menuju ke selatan Indragiri Hilir bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Letnan II Muhammad Boya. Menurut tulisan seorang pejuang Riau, Zuhdi, pertahanan di Kuala Enok dibagi menjadi tiga pos pertahanan. Yaitu, Pos I dipimpin Sersan Kusen di Ujung Tanjung dekat kantor Bea dan Cukai, Pos II di sebelah hulu tanah merah dengan komandan Sersan Ahmad Kirman, dan Pos III di halaman masjid arah ke darat dengan komandan Sersan Suratman. Pos dibuat dari tanah liat dengan penahan kayu bakau.

Di pagi harinya, tepatnya pada 28 Januari 1949, masyarakat Kuala Enok telah diungsikan. Suasana pada pagi itu sepi, hanya terlihat beberapa orang saja yang masih melakukan aktivitas berjualan di kota tersebut. Pada pukul 10.00 pagi, pesawat Mustang milik Belanda menembaki pemukiman penduduk secara membabi buta selama 20 menit. Pasukan yang tinggal hanya dua regu. Dua regu lagi diperintahkan berangkat ke front utara memperkuat pasukan Letnan Bastian yang akan menyerang Kota Tembilahan. Kemudian setelah maghrib pada hari yang sama, Letnan M. Boya mengadakan inspeksi atau pemerikasaan secara langsung pada setiap pos, dia juga memerintahkan kepada Sersan Kosen untuk membuang senapan mesin Jepang apabila pelurunya hanya tinggal 40 butir. Sersan Ahmad Kirman diperintahkan untuk mundur ke arah masjid dan bergabung dengan Sersan Suratman bila tak sanggup bertahan. Ketika Tengah malam tepatnya pada pukul 02.00 dini hari, terdengar suara kapal patroli Belanda mendengung menuju ke arah hulu kemudian hilang dan tidak lama terdengar lagi dan hilang lagi. Pada pukul 03.00 WIB, tiba-tiba Pos I dihujani tembakan dengan senapan bensin jarak dekat. Dan pada Pukul 04.00 subuh kubu Sersan Suratman diserang serdadu Belanda secara mendadak dari arah barat dan Sungai Pinang.

Pada saat itu, Letnan M. Boya  maju ke depan untuk menyerang penjajah. Ia menyerang seorang diri di tengah baku tembak dengan Belanda. Dengan sigap Letnan Boya merampas standgun dari anak buahnya dan menembak sambil berdiri hingga memuntahkan 50 peluru. Letnan Muhamad Boya terus bergerak menuju tepi sungai, dan para pengawalnya tidak bisa mengikutinya. Ketika hari sudah mulai terang, suara tembakan tidak terdengar lagi. Tiga orang pengawal bergerak menuju jembatan, mereka menemukan topi baja, pisau dan samurai Letnan Boya. Pada Tanggal 30 Januari 1949, ketika pengawalnya bertemu dengan seorang anak yang bernama Mudik. Menurut Mudik, ia melihat Belanda telah meninggalkan Kuala Enok dengan menggunakan tiga buah motor kotak dan kapal patroli. Dan pada Pukul 16.00 WIB, ditemukan Jenazah Letnan M Boya didekat jembatan. Diduga gugurnya M. Boya karena tertembak pada saat menyeberangi sungai. Pada sore itu juga jenazahnya dibawa ke rumah ibunya dan adiknya di sungai Rukam Hulu Enok. Kemudian dimakamkan dengan upacara militer dan berlangsung khidmat.[5]

Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa Letnan M. Boya gugur pada saat pertempuran di Kuala Enok, tewasnya M. Boya itu diduga karena tertembak oleh Belanda pada saat dia menyeberangi sungai, yang kemudian ketika sore hari jasadnya di temukan dan dibawa ke rumah ibunya untuk di lakukan proses pemakaman. Gugurnya M. Boya dalam pertempuran di Kuala Enok maka berakhirlah perjuangannya sebagai pejuang di Indragiri Hilir yang kemudian pertempuran melawan penjajah tersebut di teruskan oleh teman-teman seperjuangannya. 

 

Kesimpulan

Indragiri hilir merupakan daerah dari Provinsi Riau yang dulunya pernah dikuasai oleh Belanda. Ketika pertempuran rakyat dalam melawan penjajah demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia juga dilakukan di tanah melayu salah satunya adalah wilayah Indragiri Hilir ini. Salah satu tokoh pejuang di Indragiri Hilir yaitu Letnan M. Boya. M. Boya adalah seorang tentara yang berpangkat Letda. Ianya merupakan salah satu tokoh pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan di wilayah Indragiri Hilir. Terbukti dengan keikutsertaannya pada pertempuran di Tanjung Kilang yang mana ianya menjadi salah satu anggota yang menyerbu di Tanjung Kilang yang dikomandoi oleh Kapten Mukhtar dan dibantu oleh anggota lainnya termasuk Letnan M. Boya. pada pertempuran di Tanjung Kilang (Pulau Durai) tersebut dapat dikuasai kembali dan direbut oleh para pejuang setelah 12 jam melakukan pertempuran terhadap Belanda. Pertempuran Letnan M. Boya selanjutnya adalah di Kuala Enok, pertahanan di Kuala Enok dibagi menjadi tiga pos pertahanan. Yaitu, Pos I dipimpin Sersan Kusen di Ujung Tanjung dekat kantor Bea dan Cukai, Pos II di sebelah hulu tanah merah dengan komandan Sersan Ahmad Kirman, dan Pos III di halaman masjid arah ke darat dengan komandan Sersan Suratman. Pos dibuat dari tanah liat dengan penahan kayu bakau. Namun sayang pada pertempuran di Kuala Enok ini menjadi pertempuran yang terakhir bagi M. Boya, karena pada pertempuran di Kuala Enok inilah Letnan M. Boya gugur dalam pertempuran memperjuangkan tanah air. Wafatnya Letnan M. Boya dalam bertempur diduga karena tertembak disaat menyeberangi sungai.  Jasadnya di kebumikan di Sungai Rukam Hulu Enok. Sampai sekarang Letnan M. Boya masih dikenal dan dikenang karena jasa-jasanya dala mempertahankan wilayah idragiri Hilir dan dikenal sebagai sosok pahlawan dari Indragiri Hilir.



[1] Repository Uinsuska. 2018. Bab IV Gambaran umum tempat penelitian Indragiri Hilir.  Diakses dari: http://Repository.uin-suska.ac.id/14286/9/9.%20BAB%20IV_2018586ADN.PDF Pada tanggal 19 November 2020 Pukul 13:15 Wib.

[2] Dr. H. Ali Azhar, S.Sos., M.H. Sandi Abd. Rasyid. 2020. Al-Fadhil Al-‘Alimul ‘Allaamah Al-‘Arif Billah (Mufti Kerajaan Indragiri) Syekh Abdurrahman Siddiq Bin Syekh Muhammad Afif Al-Banjari Dalam Senarai Kesejarahan Bumi Lancang Kuning. Yogyakarta: Trussmedia Grafka. Hal. 71

[3] Rita, Oktavia. 2019. Biografi Mayor Zuhdi Tahun 1933-2005. Jom Fkip-Ur. Volume 6,  Edisi 2 Juli-Desember 2019. Hal. 7

[4] Dr. H. Ali Azhar, S.Sos., M.H. Sandi Abd. Rasyid, op.cit. Hal. 73-74       

[5]Riauonline. 10 Nov 2015. Dengan Gagah Berani Letnan M. Boya Maju Melawan Belanda. Diakses dari: https://www.riauonline.co.id/riau/kota-pekanbaru/read/2015/11/10/dengan-gagah-berani-letnan-m-boya-maju-melawan-belanda. Pada tanggal 19 November 2020 pukul 13.05 Wib.

 

Daftar Pustaka

Dr. H. Azhar, ali, S.Sos., M.H. Sandi Abd. Rasyid. 2020. Al-Fadhil Al-‘Alimul ‘Allaamah Al-‘Arif Billah (Mufti Kerajaan Indragiri) Syekh Abdurrahman Siddiq Bin Syekh Muhammad Afif Al-Banjari Dalam Senarai Kesejarahan Bumi Lancang Kuning. Yogyakarta: Trussmedia Grafika.

Repository, uinsuska. 2018. Bab IV Gambaran umum tempat penelitian Indragiri Hilir.  Diakses dari: http://Repository.uin-suska.ac.id/14286/9/9.%20BAB%20IV_2018586ADN.PDF Pada tanggal 19 November 2020 Pukul 13:15 Wib.

Riauonline. 2015. Dengan Gagah Berani Letnan M. Boya Maju Melawan Belanda.  Diakses dari: https://www.riauonline.co.id/riau/kota-pekanbaru/read/2015/11/10/dengan-gagah-berani-letnan-m-boya-maju-melawan-belanda. Pada tanggal 19 November 2020 pukul 13.05 Wib.

Rita, Oktavia. 2019. Biografi Mayor Zuhdi Tahun 1933-2005. Jom Fkip-Ur Volume 6 Edisi 2 Juli-Desember 2019. 

No comments:

Post a Comment