PERJUANGAN ANDI MAPPANYUKKI/ LA MAPPANYUKKI



KEVIN REZA – SI3 / A

La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa yang juga dikernal dengan nama Datu Silaja atau sekarang dengan nama Andi Mappanyukki. Pada masa Perang Gowa tahun 1906 M, ketika I Makkulawu Karaeng Lembang Parang KaraengE ri Gowa berperang dengan Kompeni Belanda. Setahun setelah tertangkapnya La Pawawoi dan diasingkan ke Bandung, Kompeni Belanda mengalihkan perangnya dari Bone ke Gowa. Padahal antara La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan SombaE ri Gowa adalah bersepupu satu kali. Ketika itu La Mappanyukki menjadi Datu Lolo ri Suppa, dia bersaudara dengan La Panguriseng Datu Alitta. Karena ayahnya adalah Karaeng ri Gowa, sehingga Suppa dengan Alitta melibatkan diri pada Perang Gowa untuk membantu ayahnya.
Adapun sebabnya Gowa diperangi oleh Kompeni Belanda, karena Belanda menyangka kalau Dulung Awang Tangka Arung Labuaja salah seorang Panglima Perang Bone pada masa pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri bersembunyi di Gowa. Selain itu Belanda berkeyakinan apabila kedua Bocco (Bone dan Gowa) telah ditaklukkan, maka daerah-daerah lain di Celebes Selatan akan mudah ditaklukkan. Makanya ketika pusat pemerintahan Gowa berhasil diduduki, SombaE ri Gowa mengungsi ke Ajattappareng bersama pengikutnya. Dia menetap di Suppa dan Alitta karena tempat itu merupakan akkarungeng kedua anaknya yaitu La Panguriseng di Alitta dan La Mappanyukki di Suppa.
Perang Gowa berakhir dengan gugurnya KaraengE ri Gowa dan putranya yang bernama La Panguriseng Datu Alitta. Oleh karena itu KaraengE ri Gowa dinamakan Tu Mammenanga ri Bundu'na. Sementara La Mappanyukki ditawan oleh tentara Belanda dan diasingkan ke Selayar. Itulah sebabnya La Mappanyukki dinamakan pula sebagai Datu Silaja.
La Mappanyukki diangkat menjadi Mangkau' di Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari MappajungE. Dia sengngempali dari turunan La Tenri Tappu MatinroE ri Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau' di Bone.
Ibu dari La Mappanyukki bernama We Cella atau We Bunga Singkeru' atau We Tenri Paddanreng Arung Alitta anak La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya We Tenriawaru Pancai'tana Besse Kajuara. Sedangkan ayahnya bernama I Makkulawu Karaeng Lembang Parang Somba di Gowa Tu Mammenanga ri Bundu'na, anak dari We Pada Arung Berru, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya Sumange' Rukka To Patarai Arung Berru. We Baego adalah anak dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata.
Pada hari Kemis tanggal 12 April 1931 M. Dan 13 Syawal 1349 H. La Mappanukki dilantik menjadi Mangkau' di Bone dan dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Ibrahim. Pada waktu itu Pembesar Kompeni Belanda di Celebes Selatan bernama Tuan L.J.J. Karon serta Raja Belanda di Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de Graff.
Setelah dilantik menjadi Mangkau' di Bone La Mappanyukki meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda untuk diberikan kembali rumah (salassa) milik La Pawawoi Karaeng Sigeri yang diambil oleh Belanda pada saat diasingkannya La Pawawoi ke Bandung. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Pembesar Kompeni Belanda. Rumah itulah yang ditempati Arumpone La Mappanyukki bersama seluruh anggota Hadat Tujuh Bone sebagai tempat untuk melaksanakan pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki, La Pabbenteng Arung Macege anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong, membunuh sepupu satu kalinya yang bernama Daeng Patobo saudara dari La Sambaloge Daeng Manabba Sulewatang Palakka. Oleh karena itu dia dikeluarkan dan diberhentikan sebagai Arung Macege. Kemudian Arumpone La Mappanyukki memanggil anaknya yang bernama La Pangerang yang pada waktu itu menjadi Bestuur Assistent atau Lanshap di Gowa untuk menggantikan La Pabbenteng sebagai Arung Macege.
Anaknya yang bernama La Pangerang itulah yang sering menggantikan ayahnya kalau bepergian jauh atau pada saat ayahnya tidak berkesempatan.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh negara-negara besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina melarikan diri bersama seluruh keluarganya ke Inggeris untuk minta perlindungan.
La Mappanyukki yang dikenal patuh dalam melaksanakan syariat Islam, sehingga pada tahun 1941 M. ia mendirikan Mesjid Raya Watampone. La Mappanyukki mengundang Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan Resident Boslaar untuk meresmikan pemakaian mesjid tersebut.
Pada tanggal 8 Desember 1941 M. dampak Perang Dunia II juga terjadi di Celebes Selatan dengan datangnya Bangsa Jepang bersekutu dengan Jerman dan Italia untuk melawan Belanda dan Amerika. Pada tahun 1942 M. Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dan Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menyerah.
Pada masa pemerintahan Jepang, nama Mangkau diganti dengan Bahasa Jepang menjadi Sutyoo dan Hadat menjadi Sutyoo Dairi. Sedangkan Arung Lili disebut Guntyoo dan Kepala Kampung disebut Sontyoo. Kedudukan Controleur Petoro Belanda diganti dengan Bunken Kanrikan, sedangkan kedudukan Assistent Resident diganti dengan Ken Kanrikan.
Jepang memerintah selama tiga setengah tahun yang membuat penderitaan dan kesengsaran bagi penduduk negeri. Hampir seluruh penduduk mengalami kekurangan makanan dan pakaian. Terjadilah kelaparan dimana-mana, perampokan juga tidak bisa ditanggulangi.
Karena Jepang merasa semakin terdesak dan tidak mampu lagi untuk memperkuat perlengkapan perangnya, Jepang membujuk penduduk pribumi untuk ikut memperkuat tentaranya dengan membentuk Heiho yang dikenal di Jawa sebagai Pembela Tanah Air (PETA).
Dalam tahun 1944 M. Jepang menjanjikan kemerdekan kepada Bangsa Indonesia. Datanglah Ir. Soekarno dari Jawa ke Celebes Selatan ( Ujungpandang) untuk menjelaskan kepada penduduk tentang maksud dan tujuan kemerdekaan itu. Setelah Ir. Soekarno kembali ke Jawa, Jepang juga mulai menarik diri dari kegiatan pemerintahan. Diangkatlah La Pangerang Arung Macege untuk menempati kedudukan Jepang yang disebut Ken Kanrikan.
Pada awal Kemerdekan Indonesia banyak orang yang ragu dan sulit untuk menentukan pendirian, dengan alasan sangat berbahaya dari tekanan Tentara Australia yangt bernama NICA ( Nederloand Indiche Cipil Administration). Namun bagi Arumpone La Mappanyukki dengan tegas menyatakan tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang di peroklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 M.
Adapun anaknya yang bernama La Pangerang yang pernah menjadi Arung Macege, pada masa pemerintahan Jepang diangkat sebagai Ken Kanrikan sama dengan Petoro Besar atau Assistent Residen di zaman Belanda. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditunjuk bersama DR Ratulangi pergi ke Jakarta sebagai utusan Indonesia bahagian timur dalam mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi setelah kembali dari Jawa, ia ditangkap oleh tentara NICA dan diasingkan ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki.
Setelah proklamasi kemerdekan 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta,La Pangerang dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone lama yang meliputi TellumpoccoE, kemudian diangkat menjadi Residen bersama Karaeng Pangkajenne yang bernama Burhanuddin, ketika Lanto Daeng Pasewang menjadi Gubernur Sulawesi. Setelah masa jabatan Lanto Daeng Pasewang berakhir, maka Pangerang yang nama lengkapnya Pangerang Daeng Rani menggantikannya menjadi Gubernur Sulawesi.
La Pangerang Daeng Rani kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Lebba, anak La Panguriseng saudara La Mappanyukki dengan isterinya I Puji. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama Abdullah Petta Nyonri, kedua bernama We Cina atau Mariayama, ketiga bernama We Ralle, keempat bernama We Tongeng. Kelima bernama I Kennang. Kemudian La Pangerang Daeng Rani kawin lagi dengan I Suruga Daeng Karaeng, anak Karaeng Parigi
Sedangkan anak La Mappanyukki yang bernama Abdullah Bau Massepe, inilah yang menjadi Datu Suppa. Akan tetapi dimasa perang kemerdekan, dia dibunuh oleh serdadu Belanda yang bernama Westerling dalam peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. Abdullah Bau Massepe kawin dengan We Soji Petta Kanjenne.
Anak La Mappanyukki dengan isterinya yang bernama Besse Bulo adalah I Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi. Inilah yang menjadi Addatuang Sawitto. Kawin dengan La Makkulawu anak dari We Mappasessu Datu WaliE, dengan suaminya yang bernama La Mappabeta. Selanjutnya anak La Mappanyukki dari isterinya yang bernama We Mannenne Karaeng Balangsari, adalah ; We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Luwu dengan La Jemma atau La Patiware Pajung ri Luwu.
Ketika La Pangerang Daeng Rani menjadi Gubernur Sulawesi, pemerintah pusat membagi Sulawesi menjadi dua Provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian kewedanan juga dirubah menjadi kabupaten. Oleh karena itu Kabupaten Bone lama dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu ;
    Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone.
    Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang.
    Kabupaten Soppeng dengan ibu kotanya Watassoppeng.
Hal yang demikian, merupakan realisasi dari UU No.4 Tahun 1957 sebagai pembubaran Daerah Bone lama meliputi Daerah Bone baru, ialah Zelfbestuur atau Swapraja Bone, ialah Kabupaten Bone baru dengan ibu kotanya Watampone.
Pada waktu itu, La Mappanyukki dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone. Setelah sampai masa jabatan dan pensiun, maka kembalilah La Mappanyukki ke Jongaya. Pada tanggal 18 Februari 1967 M. ia meninggal dunia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang.
Berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 89/TK/2004 tanggal 5 november 2004, La Mappanyukki dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Mirnawati (2012). Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap. Jakarta: CIF.
Portalbugis.wordpress.com

PERJUANGAN ABDUL KADIR



ANNASRUL – SI3 / A

Abdul Kadir Raden Temenggung Setia Pahlawan adalah pahlawan nasional dari Kalimantan Barat. Pada tahun 1845, dia diangkat sebagai kepala pemerintahan Melawi yang merupakan bagian dari kerajaan Sintang, dan bergelar Raden Temenggung.
Abdul Kadir dilahirkan di Sintang,Kalimantan Barat pada tahun 1771. Merupakan anak dari pasangan ayahnya bernama Oerip dan ibunya bernama siti safriyah. Dahulu kala, ayah raden tumenggung adalah seorang pemimpin pasukan di kerajaan sintang.
Setelah ayahnya meninggal,ia menjadi kepala pemerintahan Melawi pada tahun 1845,menggantikan kedudukan ayahnya,dan mendapatkan gelar Raden Tumenggung dari Raja Sintang. Ia berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat Melawi.
Perjuangan pertamanya ialah menyatukan dan mendamaikan dua suku yang bertikai selama hampir tujuh tahun:Suku Dayak dan Suku Melayu. Tujuannya adalah untuk menghimpun kekuatan untuk melawan penjajah. Hal itu dilakukannya secara diam-diam.
Dalam kedudukannya sebagai Kepala Pemerintahan Melawi dan Hulubalang Kerajaan Sintang, ditemukan bukti-bukti hubungan Raden Tumenggung Setia Pahlawan dengan para pimpinan perlawanan rakyat di Sintang.
Untuk menghadapi Belanda, Abdul Kadir memainkan peran ganda. Sebagai pejabat pemerintah, ia memperlihatkan setia kepada Penembahan (raja) Sintang yang berarti pula setia kepada pemerintahan Belanda. Namun deimikian, secara diam-diam ia berusaha menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Akhirnya, melalui usahanya, di Melawi dan daerah sekitarnya terbentuk kesatuan-kesatuan bersenjata anti-Belanda
Kegiatan yang dilakukannya tersebut mulai diketahui Belanda. Ketaatan dan penghormatan rakyat Melawi yang besar terhadap Abdul Kadir Gelar Raden Tumenggung Setia sangat mengkhawatirkan Pemerintah Belanda karena dianggap membahayakan posisi Belanda dalam upaya menanamkan kekuasaannya di Melawi. Belanda pun tak tinggal diam,lalu mencari cara untuk membendungnya. Hingga akhirnya pada tahun 1866,Belanda menemukan jalan keluarnya.
Belanda kemudian menemui Abdul Kadir, Pada tanggal 27 Maret 1866 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, memberikan gelar Setia Pahlawan dan sejumlah uang. Namun ternyata penghargaan tersebut tidak berhasil merubah sikap anti Belanda pada dirinya. Perlawanan rakyat masih terus berlangsung.
Kecintaannya pada Tanah Air tak lantas merubah pendirian dan berkhianat karena iming-iming gelar dan materi. Ia tetap berjuang melakukan perlawanan terhadap Belanda meskipun aksinya dilakukan secara terselubung.
Pada tahun 1866 Panembahan Sintang mengukuhkan gelar kepada Abdul Kadir menjadi Raden Tumenggung Setia Pahlawan dengan Melawi sebagai wilayah pemerintahan dan Nanga Pinoh sebagai ibukotanya. Pada tahun 1868 pihak Raden Tumenggung melibatkan diri dalam persiapan perang.
Pada tahun 1869, Raden Tumenggung Setia Pahlawan menyelenggarakan pertemuan di Kerueng dengan para pimpinan perlawanan Kawasan Melawi dan keputusan yang dihasilkan dari pertemuan itu antara lain :
a. Perlawanan berkelanjutan akan dilaksanakan dengan kegiatan pertempuran yang berkesinambungan pada setiap ada peluang di setiap waktu pada setiap tempat.
b. Merekrut rakyat untuk dilatih dan diikutsertakan dalam perlawanan.
c. Membangun sistim perlawanan yang dapat digerakan sesuai dengan situasi.
Pada tahun 1871 Laskar perlawanan menyerang konsentrasi pasukan Belanda di Selik (Wilayah Batu Butong) tempat persediaan persenjataan, amunisi dan perbekalan pasukan Belanda dihancurkan, serta sejumlah serdadu dibinasakan.
Pada tahun 1871 sampai 1873, untuk mencairkan suasana yang agak membeku dari kegiatan konfrontasi, agar perang tetap marak, maka Laskar Perlawanan melancarkan serangan melalui aksi-aksi terbatas di sekitar / di luar benteng-benteng Belanda, sambil melaksanakan sabotase, penghadangan atau serangan hit and run terus menerus di berbagai tempat dan kesempatan.
Hal itu membuat Belanda semakin meradang. Mereka pun mulai melancarkan operasi militer di daerah Melawi. Abdul Kadir terus melakukan perlawanan meskipun tak secara langsung. Namun, dialah sang aktor di balik layar yang bertugas mengatur strategi perlawanan. Ia pula yang berperan menghimpun kekuatan rakyat untuk menghadapi Belanda.
Posisinya yang terbilang strategis, yakni sebagai kepala pemerintahan Melawi membuatnya dapat dengan mudah mendapatkan informasi seputar rencana-rencana Belanda. Informasi tersebut kemudian disampaikan ke pemimpin serangan sehingga mereka dapat melakukan persiapan untuk mengantisipasi serangan yang akan dilancarkan pemerintah Belanda.
Strateginya pun tak sia-sia, Belanda kesulitan menumpas kelompok perlawanan. Kurang lebih selama 7 tahun terhitung sejak tahun 1868 sampai 1875, peran gandanya berjalan aman tanpa hambatan.
Selama tujuh tahun (1868-1875) Abdul Kadir berhasil menerapkan strategi peran ganda, namun akhirnya pemerintah Belanda mengetahuinya. Pada tahun 1875 ia ditangkap dan dipenjarakan di benteng Suka Dua milik Belanda di Nanga Pinoh. Tiga minggu kemudian ia meninggal dunia dalam usia 104 tahun,pada tanggal 12 Sya'ban tahun 1296 Hijriyah. Jenasahnya dimakamkan di Natali Mangguk Liang daerah Melawi.
Satu-satunya pahlawan yang meninggal dunia pada usia di atas 100 tahun ini dikenang atas seruan pengobar semangatnya pada rakyat Melawi, demikian bunyinya: "Selama masih berada di bawah telapak kaki penjajah, tidak akan pernah bahagia dan hidup makmur." Atas jasa-jasanya kepada negara, Abdul Kadir Raden Temenggung Setia Pahlawan diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No 114/TK/Tahun 1999 pada tanggal 13 Oktober 1999.
DAFTAR PUSTAKA

RADIN INTAN II PAHLAWAN DARI LAMPUNG



KEVIN REZA – SI3 / A

Radin Intan II adalah salah satu pahlawan nasional dari Propinsi Lampung yang yang memimpin perlawanan rakyat Lampung ketika melawan penjajahan Belanda. Atas jasa dan pengorbanannya dalam membela kepentingan rakyat, oleh pemerintah dijadikan sebagai pahlawan nasional, dan dibuatlah monumen di sekitar lokasi makamnya. Radin Intan II sebenarnya putra dari Raden Imba II, sedangkan Raden Imba II adalah putra dari Radin Intan.
Apabila dilihat dari silsilahnya Radin Intan I adalah keturunan dari Fatahillah yang merupakan anak dari Ratu Darah Putih dan Tun Penatih. Dia adalah pemimpin Keratuan Darah Putih di Lampung. Sedangkan Raden Imba II adalah keturunan Fatahillah anak dari Ratu Darah Putih dan Tun Penatih yang menikah dengan Ratu Mas. Sedangkan Radin Intan II adalah satu keturunan dari Fatahillah yang menyebarkan agama Islam di Banten sekitar abad XVI.
Radin Intan II dikenal sebagai pejuang dalam menentang penjajahan Belanda di Lampung dan gugur sebagai pahlawan. Ia adalah putra dari Raden Imba II, beliau dipelihara dan dibesarkan oleh ibu dan keluarganya dengan penuh rahasia. Ia lahir di hutan tahun 1831. Ketika Benteng Raja Gepei jatuh ke pemerintahan Belanda tahun 1834, ia berusia 3 tahun. Saat kecil Radin Intan II diliputi suasana perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya. Raden Intan II meninggal saat usia masih muda di saat ia belum menikah, sehingga tidak mempunyai keturunan lagi.
Sebelum kedatangan Belanda ke Lampung, Lampung merupakan salah satu daerah yang mendapat pengaruh kekuasaan dari Banten, hal itu disebabkan Lampung waktu itu, kaya akan rempah-rempah. Namun di saat kedatangan Belanda, secara perlahan Lampung dapat dikuasai oleh Belanda. Kedatangan Belanda ke Indonesia, tujuan utama adalah berdagang sambil mencari rempah rempah.
Perlawanan Radin Intan terhadap penjajahan Belanda, pertama dilakukan oleh Radin Intan I. Raden Intan I (1751-1828), adalah penguasa Keratuan Darah Putih atau Negara Ratu yang berpusat di Kahuripan. Daerah ini sekarang termasuk wilayah Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan. Bagi Belanda Radin Intan I dianggap sebagai orang yang keras kepala, ia tidak mau menuruti apa perintah Belanda, bahkan iapun cenderung untuk melawan dari segala kebijakan yang dibuat pemerintah Belanda, seperti monopoli perdagangan lada.
Meskipun demikian dibalik sikap Radin Intan I yang keras kepala tersebut, Belanda tetap memperlakukan Radin Intan I dengan sifat yang lunak. Sikap lunak sengaja diperlakukan oleh pemerintah Belanda (khususnya Gubernur Jenderal Belanda, H.W. Daendels), sebab Daendels mengakui kepemimpinan Raden Intan I sebagai penguasa di Lampung. Disamping itu, perlakukan lunak Belanda khususnya Daendels tersebut didasarkan atas perhatian Belanda yang terpecah, dikarenakan perhatian Belanda lebih tercurah pada persiapan untuk menghadapi ancaman pasukan Inggris. Selanjutnya pada kwartal I abad 19 ini, Belanda juga harus menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830).
Dengan ketidak mampuan Daendels dalam mendekati Radin Intan I tersebut, akhirnya Radin Intan I mengambil langkah-langkah yang bagi Belanda sangat membahayakan, seperti menjalin hubungan persahabatan dengan Daeng Gajah dari Tulang Bawang dan Seputih. Raden Intan pun sengaja melepaskan diri dari ikatan Belanda. Dengan tindakan yang diambil Raden Intan ini, menandakan bahwa Radin Intan I dianggap oleh Belanda sebagai pemberontak dan akan melakukan suatu pemberontakan. Dengan adanya kekhawatiran tersebut, akhirnya fihak Belanda mengadakan perundingan dengan Radin Intan I yang isinya :
    Radin Intan I bersedia mengakiri kekerasan dan membantu pemerintah Belanda.
    Raden Intan I akan diakui kedudukannya, sebagaimana pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels.
    Radin Intan I mendapat pensiun sebesar f.1200 per tahun dan saudara-saudaranya masing-masing sebesar f.600 per tahun.
Dari isi perundingan tersebut, pemerintah Belanda memberikan janji-janji kepada Radin Intan I, sehingga terciptalah suasana damai. Namun suasana damai tersebut, ternyata tidak memakan waktu lama, karena hubungan antara pemerintah Belanda dengan Radin Intan I kembali meruncing. Sebab-sebab meruncingnya hubungan kedua belah pihak tersebut dikarenakan Pemerintah Belanda secara sepihak melanggar kesepakatan damai dan dengan terang-terangan menempuh jalan kekerasan.
Pada awal bulan Desember 1825 pemerintah Belanda mengirim utusan untuk menangkap Radin Intan I, dengan cara mengirim Gezaghebber Lelievre di Telukbetung bersama Letnan Misonius. Kedatangan kedua orang Belanda tersebut dilengkapi dengan 35 serdadu dan 7 opas, bergerak menuju Negara Ratu. Awalnya Radin Intan I menerima dengan baik kedatangan kedua orang Belanda tersebut, dan Radin Intan pun bersedia dibawa ke Teluk Betung, tetapi dengan syarat Radin Intan meminta waktu 2 hari dikarenakan sedang sakit.
Tatkala kedua orang Belanda tersebut sedang istirahat di Negara Ratu, tiba-tiba diserang oleh pasukan Radin Intan I tanggal 13 Desember 1825, dan orang-orang Belanda pun berhasil dilumpuhkan. Korban tewas menimpa Lelievre bersama seorang sersan, sedangkan Letnan Misonius luka tertembak. Dengan kekalahan Belanda ini maka untuk sementara keadaan di Lampung kembali tenang, sebab Belanda mulai mencurahkan kekuatannya untuk menghadapi penyerangan Pangeran Diponegoro. Tiga tahun kemudian Radin Intan I jatuh sakit hingga meninggal dunia, sedangkan tahta sebagai pemimpin di Keratuan Darah Putih diwariskan kepada putranya yaitu Raden Imba II.
Raden Imba II yang mewarisi tahta sebagai Ratu di Lampung ternyata juga mewarisi sifat-sifat ayahnya yaitu anti terhadap penjajahan Belanda, dan berusaha untuk melawannya. Sikap anti terhadap penjajahan Belanda tersebut juga mendapat dukungan dari ayah mertuanya yaitu Kiai Arya Natabraja dan Kepala Marga Teratas Batin Mangundang, serta rakyat daerah Semangka. Semasa Raden Imba II menjabat sebagai Ratu Lampung, ia mempunyai hubungan ke luar istana yang sangat luas, yaitu menjalin hubungan persahabatan dengan kesultanan Lingga yang diwujudkan dengan perkawinan saudara perempuannya dengan Sultan Lingga, disamping itu Raden Imba II juga menjalin persahabatan dengan pelaut Bugis dan Sulu.
Dengan jalinan persahabatan yang dibina Raden Imba dengan beberapa wilayah di luar Lampung, membuat kekhawatiran di pihak tentara Belanda, sebab dikhawatirkan Raden Imba II menjalin suatu kekuatan untuk menyerang Belanda. Ternyata dugaan Belanda tersebut benar, Raden Imba II melakukan penyerangan di Teluk Lampung. Dengan bantuan rakyat setempat, Raden Imba II berhasil mengalahkan pasukan Belanda di dekat Kampung Muton. Serangan yang dilakukan Raden Imba II ini berakibat buruk, sebab petinggi pemerintah Belanda menderita kerugian, sehingga Asisten Residen Belanda untuk Lampung yaitu J.A. Dubois meminta bantuan bala tentaranya dari Batavia, untuk segera mengirim bantuannya guna memadamkan perlawanan Raden Imba II.
Bala bantuan pun datang dengan kekuatan lima buah Kapal Alexander dan Dourga, 300 serdadu Belanda, serta 100 serdadu Bugis. Bala bantuan tersebut dibawah pimpinan Kapten Hoffman dan Letda Kobold. Pasukan Belanda ini mendarat di Kalianda tanggal 8 Agustus 1832. Pasukan Belanda juga menuju Kampung Kesugihan dan Negara Putih, tapi sayang tempat tersebut sudah ditinggalkan oleh Raden Imba II. Untuk melampiaskan kekesalannya, Belanda membakar semua rumah yang ada di kampung tersebut.
Raden Imba II yang mengetahui kejadian tersebut langsung membangun kubu pertahanan yang tersebar di beberapa daerah, seperti di Raja Gepeh, Pari, Bedulu, Huwi Perak, Merambung, Katimbang, dan Sakti. Agar tidak kehabisan bahan makanan, Raden Imba II juga membangun lumbung-lumbung persedian makanan, begitu pula untuk mengimbangi kekuatan Belanda, Raden Imba II menambah senjata, dengan cara melakukan barter dengan Inggris yang berkuasa di Bengkulu. Pertempuran melawan Belanda pun kembali terjadi tanggal 9 September 1832 di daerah Gunung Tanggamus. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Hoffman. Namun dalam perlawanan melawan Belanda kali ini pasukan Raden Imba II kembali mengalami kemenangan. Dari pasukan Belanda banyak yang tewas, sedangkan Kapten Hoofman mengalami luka-luka. Dengan kekalahan tersebut, akhirnya pasukan Belanda ditarik mundur.
Dengan ditariknya pasukan Belanda dari daerah Gunung Tanggamus tersebut, bukan berarti pasukan Belanda menerima kekalahan. Artinya justru pasukan Belanda membangun kekuatan untuk membalas kekalahannya terhadap Raden Imba II. Kapten Hoffman untuk kedua kalinya memimpin penyerangan terhadap Raden Imba II. Kali ini Kapten Hofman mengerahkan kekuatan yang lebih besar, yaitu ditemani oleh 600 serdadu Belanda yang direkrut dari pasukan yang telah berpengalaman dalam melawan Pangeran Diponegoro. Kapten Hoffman juga mendapat bantuan pasukan dari Letnan Vicq de Cumtich. Pertempuran kali ini dapat dikatakan pertempuran besar yang terjadi di Benteng Raja Gepei. sebab dari keduanya mengalami kerugian yang sangat besar, yaitu pasukan Raden Imba II kehilangan 100 pasukannya, sedangan pasukan Belanda hanya 65 orang termasuk Letnan Neuenborger dan Letan Huiseman. Namun demikian Raden Imba II masih dapat berhasil memimpin pasukannya untuk mempertahankan Benteng Raja Gepei. Begitu pula pasukan Belanda masih tertahan dan mendapat bantuan pasukan dibawah pimpinan Kapten Beldhouder dan Kapten Pouwer. Namun kedua kapten tersebut tewas.
Beberapa kali kekalahan yang dialami oleh pasukan Belanda dalam menghadapi setiap perlawanan, bagi Belanda menjadikan suatu cambuk untuk mengirimkan bala bantuan yang lebih besar, begitu pula yang dialami Belanda dalam menghadapi beberapa kali perlawanan yang dilakukan oleh Raden Imba II. Tanggal 23 September 1834, pemerintah Belanda di Batavia kembali mengirimkan bantuan dalam jumlah yang besar, yaitu 21 opsir (perwira), dan 800 serdadu istimewa yang dilengkapi dengan meriam besar, bantuan tersebut dibawah pimpinan Kolonel Elout. Benteng Raja Gepei yang selama ini dijadikan tempat persembunyian Raden Imba II, oleh Belanda berhasil dihancurkan dan diduduki, namun Raden Imba II dan mertuanya Kyai Arya Natabraja berhasil meloloskan diri. Selanjutnya Raden Imba dan beberapa pasukannya menyingkir ke Kesultanan Lingga sekaligus minta perlindungan. Namun sayang tempat persembunyiannyapun diketahui oleh Belanda. Raja Lingga akhirnya mendapat tekanan dari Belanda, yang isinya apabila tidak menyerahkan Raden Imba II, Kerajaan Lingga akan mendapat serangan dari Belanda. Akhirnya Raden Lingga pun menyerahkan Raden Imba II meskipun dengan terpaksa.
Dengan diserahkannya Raden Imba II dan beberapa pengikutnya ke Belanda, maka mereka ditangkap dan dibawa ke Batavia. Pada saat di Batavia itulah mertua Raden Imba II dan hulu balangnya Raden Mangunang meninggal dunia. Sedangkan Raden Imba II dibuang ke Pulau Timor. Raden Imba II pun akhirnya meninggal di Pulau Timor. Sedangkan istrinya yang sedang hamil tua dipulangkan ke Lampung.
Dengan meninggalnya Raden Imba II, maka kekuasaan Lampung berada sepenuhnya di tangan Belanda. Selama itulah kurang lebih 15 tahun, Lampung sepi dari pemberontakan.
Istri Raden Imba yang telah hamil, beberapa waktu kemudian melahirkan seorang laki-laki sebagai anak yatim, karena Raden Imba II telah meninggal dunia. Anak tersebut diberi nama Radin Intan II. Ia meneruskan jejak leluhurnya sebagai orang yang anti penjajahan.
Pada tahun 1850, Radin Intan II telah menginjak usia 15 tahun, karena ia sebagai anak tunggal dari Raden Imba II, maka ia pun berhak meneruskan tahta memimpin Keratuan Darah Putih di Lampung, sehingga ia pun dilantik sebagai penguasa Negara Ratu tersebut. Ia mulai menata segala sarana dan prasarana yang telah rusak akibat perlawanan ayahnya terhadap Belanda. Di antaranya Radin Intan II memperbaiki benteng yang rusak, dan iapun membangun kembali benteng-benteng baru di antaranya di Galah Tanah, Pematang Sentok, Kahuripan, dan Salaitahunan. Semua benteng tersebut dilengkapi dengan parit dan terowongan rahasia. Sedangkan persenjataannya masih sangat sederhana untuk ukuran sekarang seperti keris, badik, pedang, dan meriam besar dan kecil. Sedangkan pasukannya dibagi menjadi unit-unit kecil yang terdiri atas 40 orang dengan dipimpin oleh seorang komandan prajurit, begitu pula sarana lain juga dipersiapkan seperti dapur umum atau pejunjongan (untuk menopang pejuang).
Pertahanan dipusatkan di Gunung Rajabasa, yang secara militer letak gunung ini sangat strategis dalam menghadapi serangan lawan dari manapun karena letaknya yang dikelilingi benteng-benteng pertahanan, seperti sebelah barat dan utara terdapat Benteng Merabung, Galah Tanah, Pematang Sentok, Katimbang, dan Salai Tabuhan. Sebelah timur terdapat Benteng Bendulu dan Hawi Perak, sedangkan di kaki-kaki gunung terdapat Benteng Raja Gepei Cempaka dan Kahuripan Lama.
Sepak terjang Radin Intan II hampir menyerupai ayahnya, yaitu menggalang persahabatan dengan beberapa tokoh penting seperti Singabranta, Wak Maas, dan Haji Wakhia, serta rakyat dari Marga Ratu dan Dataran. Tujuannya penggalangan tersebut adalah untuk meningkatkan kekuatan pasukan. Bagi Belanda, sepak terjang yang dilakukan oleh Radin Intan II ini dianggap membahayakan. Oleh sebab itu Belanda mengambil tindakan yaitu berupaya untuk membujuk dan melakukan diplomasi dengan Radin Intan II. Dengan syarat-syarat yang cukup menjanjikan, Belanda berusaha membujuk Radin Intan II agar menghindari permusuhannya dengan Belanda, dengan imbalan akan diberi pengampunan, ditawari biaya pendidikan, dan sebagainya.
Namun Radin Intan II menolak segala bujukan tersebut. Karena tawaran Belanda ditolak, maka Belanda pun pada tahun 1851 mengirim pasukan yang berkekuatan 400 serdadu yang langsung dipimpin oleh Kapten Tuch. Pasukan Belanda pun langsung menyerang/menyerbu Benteng Merambung, tetapi sayang penyerangan Belanda ini mengalami kegagalan. Dan kemenangan ada di pihak Radin Intan II.
Pada tahun 1853, pemerintah Belanda kembali mengajukan suatu perdamaian yang isinya agar Radin Intan II menghentikan penyerangan. Usulan perdamaian kali ini diterima oleh Radin Intan II, dan Radin Intan II pun menghentikan suatu peperangannya dengan Belanda sehingga suasana menjadi tenang. Namun sayang suasana tenang itupun hanya berlangsung 2 tahun yaitu sampai 1855. Dan tahun 1856 Radin Intan II kembali melakukan penyerangan.
Bila diruntut dari perlawanan satu ke perlawanan berikutnya, baik yang dilakukan oleh Radin Intan I, Raden Imba II, dan Radin Intan II, ternyata pemerintah Belanda selalu dipihak yang kalah. Oleh karena pemerintah Belanda ingin mengerahkan bala bantuannya sebanyak mungkin yang diminta dari Batavia, yang tujuannya untuk menghentikan perlawanannya di Keratuan Darah Putih Lampung.
Pada tahun 1856, bala bantuan dari Batavia tersebut benar-benar datang. Untuk bala bantuan kali ini dibawah pimpinan Kolonel Walleson yang dibantu Mayor Nauta, Mayor Van Oostade, dan Mayor AWP Weitzel. Bala bantuan ini/atau yang disebut ekspedisi ini terdiri atas 9 buah kapal perang, 3 buah kapal angkut peralatan, puluhan perahu mayung, dan jung dengan mengangkut 1.000 serdadu, dan 350 perwira, 12 meriam besar, serta 30 satuan zeni. Dengan datangnya bala bantuan tersebut, pasukan Belanda mendarat untuk merebut Pulau Sikepal (yaitu daerah Teluk Tanjung Tua), pada tanggal 10 Agustus 1856, dua hari kemudian pimpinan pasukan Belanda mengeluarkan ultimatum kepada Radin Intan II dan pimpinan rakyat lainnya agar menyerahkan diri dalam tempo 5 hari.
Dari Pulau Sikepal pasukan Walseson kemudian bersiap untuk menyerang Benteng Bendulu, penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1856 yaitu melalui daerah Ujau dan Kenali. Benteng Bendulu dapat dikuasai keesokan harinya tanpa perlawanan. Kemudian pasukan Belanda bergerak menuju Benteng Hawi Perak, sekitar pukul 8 pagi tanggal 18 Agustus 1856. Namun berita yang beredar, Benteng Bendulu telah direbut kembali oleh pasukan Radin Intan II. Dengan begitu Walleson dan pasukannya segera kembali berbalik arah ke Benteng Bendulu. Beteng Bendulu berhasil direbut kembali oleh Walleson dan selanjutnya dijadikan sebagai pangkalan (markas) pasukan Belanda dalam penyerbuan ke benteng-benteng pertahanan Radin Intan yang lain.
Dalam melakukan penyerangan terhadap benteng Katimbang, Walleson memecah kekuatan pasukan menjadi tiga kelompok yang bergerak melalui tiga arah yang berbeda; pasukan pertama dipimpin langsung oleh Kolonel Walleson yang bergerak dari pesisir selatan terus melingkar melalui lereng timur Gunung Rajabasa ke arah utara. Pasukan kedua yang dipimpin oleh Mayor van Costade bergerak dari pesisir selatan (Pulau Palubu, Kalianda, dan Way Urang) melingkar melalui lereng sebelah barat dan utara menuju Kelau dan Kunyaian, untuk merebut Benteng Merambung dan kemudian menuju Benteng Katimbang. Pasukan ketiga dipimpin oleh Mayor Nauta bergerak dari Penengahan melalui hutan untuk merebut Benteng Salaitahunan dan akhirnya menuju benteng Katimbang.
Keesokan harinya tanggal 19 Agustus 1856, pasukan Walleson berhasil merebut Benteng Hawi Perak, namun karena sesuatu hal, yaitu cuaca buruk, maka pasukan Walleson pun terpaksa balik kembali ke Bendulu. Sedangkan Benteng Hawi Perak dibakar. Setelah membakar benteng tersebut, selanjutnya pasukan Walleson bergabung dengan pasukan Mayor van Costade yang bergerak melalui lereng barat Rajabasa. Kemudian pada tanggal 27 Agustus 1856, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Walleson dan Van Costade berhasil merebut Benteng Merambung, Galah tanah, dan Pematang Sentok. Benteng Merambung berhasil direbut pada pukul 7 pagi dan Benteng Pematang Sentok direbut tanpa perlawanan.
Pada saat merebut Benteng Galah Tanah tersebut, pasukan Belanda mendapat perlawanan yang cukup sengit, sebab pasukan Radin Intan II siap bertahan, dalam mempertahankan benteng dengan senjata meriam dan ranjau darat. Akan tetapi akhirnya sekitar pukul 09.00 pagi Benteng Galah berhasil direbut pasukan Belanda. Sementara itu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Nauta dengan susah payah berhasil merebut Benteng Salai Tahunan. Dengan dikuasainya Benteng Galah dan Benteng Salai Tahunan, terbukalah jalan kearah Benteng Katimbang.
Tanggal 27 Agustus 1856, Benteng Katimbang mulai diserang oleh Belanda, sekitar pukul 12 siang. Alasan diserangnya benteng ini, karena memiliki persediaan logistik yang cukup besar yang dipertahankan oleh Raden Intan II dan pasukannya. Tetapi karena demi segi persenjataan yang tidak seimbang itulah maka Benteng Katimbang berhasil direbut oleh Belanda pada pukul 05.00 subuh. Radin Intan dan kawan-kawannya seperti Haji Makhia, Singa Branta, dan Wak Maas berhasil meloloskan diri.
Dengan larinya Radin Intan II dan beberapa temannya, pasukan Belanda berusahan mengejarnya. Dengan pengejaran pasukan Belanda tersebut, maka Radin Intan II melakukan gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda. Akhirnya pasukan Belanda pun dibuat jengkel oleh Raden Intan II. Oleh karena itu untuk menangkap Radin Intan II di persembunyian, pasukan Belanda melakukannya dengan berbagai cara yaitu menanyakan dimana keberadaan Radin Intan kepada penduduk ataupun beberapa wanita, sehingga keberadaan Radin Intan II pun dapat diketahui oleh Belanda, namun demikian Radin Intan II tidak dapat ditangkap karena tempat persembunyian Raden Intan selalu berpindah-pindah, yaitu dari tempat satu ke tempat lain.
Dengan kesulitan untuk menangkap Radin Intan tersebut, Belanda mulai membabi buta yaitu melakukan cara-cara yang tidak pada tempatnya seperti menangkap saudara atau orang-orang terdekatnya Radin Intan II seperti istri, anak, menantu, maupun saudara-saudara teman seperjuangan Radin Intan II. Kemudian pada tanggal 9 September 1856 bersamaan dengan hukuman mati Kiai Wakhia, dan dalam pertempuran berikutnya Wak Maas dibunuh oleh pasukan Belanda, dan lama-kelamaan Radin Intan II melakukan perjuangan secara sendirian.
Karena Belanda masih kesulitan dalam menangkap Radin Intan II, maka satu-satunya jalan Belanda melakukan tipu muslihat, yaitu dengan cara meminjam orang Lampung sendiri. Pasukan Belanda berhasil membujuk Kepala Kampung Tataan Udik yaitu Raden Ngarupat. Raden Ngarupat akhirnya termakan bujukan Belanda, iapun melalukan perintah Belanda dalam melakukan tipu muslihatnya. Caranya Raden Ngarupat mengundang Radin Intan II untuk makan malam di rumahnya. Ketika Raden Ngarupat sedang menghadapi hidangan, pasukan Belanda langsung menyergapnya. Radin Intan II yang ditemani saudara sepupunya langsung memberikan perlawanan. Namun sayang dengan kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya Radin Intan II gugur. Dengan gugurnya Radin Intan II, perlawanan terhadap Belanda sifatnya kecil yang bagi bagi Belanda mudah untuk mengalahkannya.
DAFTAR PUSTAKA
A.H. Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 1. Disjarah AD bekerjasama dengan Angkasa. Bandung. 1973.
Dean G. Pruitt, dkk. Teori konflik Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2004.
www.geschool.net