PEMBERONTAKAN CINA DI BATAVIA

MUSRI INDRA WIJAYA/SIV

Telah diuraikan besarnya peranan pedagang cina di Indonesia di beberapa pelabuhan, seperti banten jambi, Palembang, malaka. Kecuali perdagangan rempah-rempah dan lada, mereka juga menjual hasil negeri Cina. Banyak keuntuan diperoleh dari perdagangan itu. Setelah VOC mempunyai tempat rondez-vous sendiri, ialah Batavia, politiknya ialah hendak menarik cina sebanyak mungkin ke Batavia dengan tujuan agar perdagangan beserta segala keuntunannya masuk ke kantong kompeni. Di samping itu kota Batavia memerlukan banyak tenaga pekerja, khususnya bagi pertukangan dan kerajinan. Politik pintu terbuka biasanya sering dipakai oleh VOC  sewaktu ada perang dengan kerajaan Banten. Orang jawa tidak dipercaya, maka kaum cina dapat memenuhi keutuhan akan kebijakan VOC tersebut.
Pada masa itu setiap kapal Cina banyak membawa ratusan penumpang cina. Pengerahan tenaga cina tersebut terus dipergiat lagi karena aliran kolonis belanda sebagai vrijburger (warga bebas) sangat kecil. Sebagai akibat blockade dari kerajaan Banten adalah salah satu factor yang menyebabkan banyaknya orang Cina hijrah ke Batavia. Pada tanggal 7 Oktober 1619 ada 300 sampai 400 orang Cina sampai ke Batavia, 31 Juli 1620 800 orang cina yang hadir, 26 Oktober 1620 ada sekitar 850 sampai1900 orang Cina yang kembali datang ke Batavia.
J. P Coen sangat menghargai bangsa cina ini dan memberikan perlindungan terhadap esewenang-wenangan bangsa barat. Sebagai pemimpin pertama diangkatlah So Bing Kong, jabatan yang mana disebut sebagai kapten Cina. Pada akhir abad ke 18 jumlah cina semakin banyak Speelman banyak menarik cina dari banten lagi pula pergolakan di negeri asalnya juga menyebabkan banyaknya orang cina bermigrasi ke luar cina dan pergi ke Nusantara. 
Sejak zaman pemerintahan Gubernur Jendral J P Coen, warga Batavia keturunan Tionghwa menjadi warga yang dibanggakan oleh pemerintahan VOC pada saat itu, sehingga terjadi imigrasi besar-besaran dari Hokkian ke Batavia. Hal itu kemudian berakibat pada membludaknya warga keturunan Tionghwa di Batavia, mulai dari yang rajin telaten bekerja di perkebunan tebu, dagang, hingga yang berbuat criminal karena menganggur.
Membludaknya warga keturunan Tionghwa, mulai dari yg punya usaha maupun yang pengangguran, menjadi ancaman bagi warga eropa di Batavia. Ada yang merasa usahanya terancam, ada yang merasa kurang aman karena kriminalitas oleh orang Tionghwa pada saat itu tinggi. Konflik ini semakin meruncing ketika VOC mengimpor gula dari brazil dan akibat dari impot itu banyak perkebunan tebu dan produsen gula local yang bangkrut, sehingga mengakibatkan pengangguran yg banyak.
Melihat kejadian ini, Gubernur Jendral Adriaan Valckenir tidak tinggal diam, beliau bersama para pejabat VOC yang lainnya mengeluarkan kebijakan tentang Pajak Kepala dan Pass yang harus dimiliki setiap imigran yang ada di Batavia. Karena banyaknya yang pengangguran, kemudian banyak imigran tionghwa juga yang yang tidak sanggup bayar pajak kepala dan membuat pass. Di lain sisi, Anggota Raad Van Indie yang juga sepupu Adrian Valckenir, Gustaf Willem Baron van Imhoff yang baru pulang dari Ceylon, mengusulkan untuk melakukan transmigrasi para pengangguran Tionghwa untuk dikirim ke Ceylon, karena memang Ceylon maih membutuhkan. Namun kemudian muncul gossip di kalangan Tionghwa yang mengatakan bahwa setiap Tionghwa yang di bawa dengan kapal lau menuju Ceylon, tidak pernah sampai karena mereka di lempar ke laut. Maka gemparlah masalah ini di antara kaum Tionghwa, dari situ mulailah pergerakan perlawanan yang merupakan reaksi dari rangkaian kejadian di Batavia.
Pada tanggal 26 September 1740 seorang Kapiten Bumiputra Pasqual Andriesc bersama tiga orang Letnan Tionghwa, melaporkan bahwa ada bibit pemberontakan di luar tembok Batavia. Pada pertemuan yang sama, Adriaan Valckenier bertanya tentang hal ini pada Kapiten Tionghwa Ni Hoe Kong, yang kemudian dengan ketidaktahuan. Lalu pada pertemuan itu diperintahkan pada Commisarriat urusan Bumiputra untuk kirim orang rahasia agar mencari tahu tentang pemberontakan ini.
Satu bulan kemudian ditangkaplah 6 orang Tionghwa yang tidak punya Pass, namun kemudian dibebaskan oleh Potia/mandor kebun punya Ni Hoe Kong. Karena ini pula kemudian Gubernur Jendral A. Valckenier menuduh Ni Hoe Kong terlibat dengan pemberontakan, yang kemudian dijawab lagi dengan ketidak tahuan Ni Hoe Kong.
Pada tanggal 8 Oktober 1740 terjadilah serangan kecil oleh para pemberontak Tionghwa di salah satu gerbang kota Batavia, yang kemudian berhasil dir edam oleh pasukan VOC, mulai saat itulah kecurigaan terhadap para Tionghwa yang tinggal di dalam Tembok Kota Batavia muncul dikepala para orang Eropa, termasuk Gubernur Jendral Valckenier. Maka pada tanggal 9 Oktober dia memerintahkan agar dilakukan penggeledahan di semua rumah milik Tionghwa. Termasuk rumah milik Ni Hoe Kong. Para Warga Tionghwa yang ketakutan kemudian teriak-teriak dan sebagian melakukan perlawanan atas geledah ini, dan entah datang dari mana perintahnya, kemudian dimulailah pembantaian terhadap warga tionghwa, tak terkecuali anak-anak maupun perempuan dimana saja, termasuk para pasien yang ada di rumah sakit dan di dalam penjara. Setelah kejadian ini, kemudian kapiten Tionghwa Ni Hoe Kong dan saudara laki-lakinya Ni Lian kong ditangkap dan di adili.
Para pejabat VOC di Batavia yang melihat kejadian ini kemudian menyalahkan Gubernur Jendral Adriaan Valckenir atas insiden genosida tersebut. Kemudian Raad Van Indie melakukan mosi tidak percaya terhadap Gubernur Jendral, namun Valckenier melakukan perlawanan, dan menangkap semua Anggota Raad Van Indie, yang termasuk didalamnya ada Willem van Imhoff. Para anggota Raad Van Indie tersebut kemudian di kirim pulang menghadap Dewan 17, namun Dewan 17 kemudian memberikan keputusan yang berbeda, mereka mengirim balik Willem van Imhoff ke Batavia bukan sebagai tahanan, namun sebagai Gubernur Jendral Batavia yang baru. Adrian Valckenier yang dalam perjalanan pulang kemudian ditangkap dan diadili hingga mati.
Adriaan Valckenier
Seorang Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda sejak tahun 1737. Valckenier dilahirkan di Amsterdam tanggal 6 Juni 1695. Ia berangkat ke Hindia bulan Oktober 1714 sebagai pedagang muda onderkoopman. Sesudah berhasil mencapai status pedagang utama (opperkoopman) pada tahun 1730 dan 1733, ia menjadi anggota Dewan Hindia. Tahun 1736 Valckenier menjadi anggota yang paling penting dalam Dewan Hindia, sebagai direktur jenderal yang merupakan orang kedua sesudah gubernur jenderal.
Pada masa Valckenier berkuasa, ia tidak dapat menangani peristiwa pembantaian orang Cina tanggal 8-10 Oktober 1740, justru mendukung perintah membunuh semua tawanan dalam penjara dan pasien-pasien dalam rumah sakit Tionghoa pada tanggal 9 Oktober 1740. Peristiwa penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan pihak VOC ini menimbulkan pemberontakan di kalangan orang Cina, yang dikenal dengan nama Geger Pacino. Untuk mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya atas peristiwa ini, Valckenier tidak diizinkan kembali ke negeri Belanda dan ditahan untuk diadili. Pembunuhan sepuluh ribu orang Tionghoa di dalam Kota dan sekitarnya berakibat besar bukan hanya untuk Batavia, melainkan pula untuk seluruh Pulau Jawa. Hal ini menjadi pertentangan antara Gubernur Jenderal A. Valckenier dengan van Imhoff seorang anggota Dewan Hindia, dewan penasehat Elias de Haeze dan Mr. Isaac van Schinne. Kemudian Valckenier memutuskan untuk menahan ketiganya dan memulangkan kembali ke Belanda. Oleh karena keputusannya itu, pemerintah Belanda memecat dan menahan Gubernur Jenderal Valckenier.
Setelah Peristiwa Geger Pacino (Chinezeenmord) tahun 1743, kedudukannya sebagai gubernur jenderal digantikan oleh seorang anggota Dewan Hindia yang lain, yaitu van Imhoff. Apalagi Valckenier juga tidak membina hubungan yang harmonis dengan Dewan Tujuhbelas di Amsterdam. Van Imhoff termasuk seorang penentang Valckenier bahkan pernah dipenjarakan atas perintah Valckenier.
Dua tahun kemudian bekas Gubernur Jenderal Valckenier ditahan di Capetown (Afrika Selatan) ketika sedang dalam pelayaran pulang ke Negeri Belanda. Ia dibawa kembali ke Batavia atas perintah pimpinan tertinggi Kompeni di Amsterdam dan dipenjarakan di Kubu Robijn (Batu Delima) di Benteng Batavia. Karena putus asa Valckenier meninggal dunia tanggal 20 Juni 1751 dan dimakamkan tanpa suatu kehormatan.
Daftar Pustaka:
1.                  Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar sejarah Indonesia baru:1500-1900. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
2.                  www.tembi.net/pemberontakan-cina-di-nuantara

SISTEM KEPERCAYAAN MANUSIA PRAAKSARA


Khairin Nisa/pis

Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia, maka masyarakat Indonesia sebelum adanya pengaruh Hindu-Buddha juga telah mempercayai adanya kekuatan di luar diri mereka. Hal ini juga tidak terlepas dari kehidupan mereka. Mereka hidup dari berladang dan bersawah. Dalam mengolah/mengerjakan ladang atau terutama sawah harus ada kerjasama diantara mereka, seperti gotong royong membuat parit, membuat pintu air, bahkan mendirikan rumah. Kehidupan ini hanya dapat berjalan dalam masyarakat yang sudah teratur, yang telah mengetahui hak dan kewajibannya. Ini berarti telah ada organisasi dan yang menjadi pusat organisasi ialah desa dan ada aturan-aturan yang harus dipatuhi bersama. Kepentingan desa berarti kepentingan bersama. Dalam suasana untuk saling memahami, saling menghargai, tolong menolong dan bertanggung jawab, maka muncullah faktor baru, yakni pemimpin (ketua desa/datuk). Yang memegang pimpinan adalah ketua adat, yang dianggap memiliki kelebihan dari yang lain. Ia harus melindungi anggotanya dari serangan kelompok lain, atau ancaman binatang buas sehingga tercipta kemakmuran, kesejahteraan dan ketentraman. Pemimpin bekerja untuk kepentingan seluruh desa, maka masyarakat berhutang budi kepada pemimpinnya. Sifat kerja sama antara rakyat dan pemimpinnya membentuk persatuan yang kuat, memunculkan kepercayaan, yakni memuja roh nenek moyang, memuja roh jahat dan roh baik bahkan mereka percaya bahwa tiap-tiap benda memiliki roh.

Sistem kepercayaan telah berkembang pada masa manusia praaksara. Mereka menyadari bahwa ada kekuatan lain di luar mereka. Oleh sebab itu, mereka berusaha mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut. Caranya ialah dengan mengadakan berbagai upacara, seperti pemujaan, pemberian sesaji, atau upacara ritual lainnya. Dengan demikian muncullah Animisme, Dinamisme, dan Totemisme.
a.       Animisme
Animisme adalah kepercayaan terhadap roh yang mendiami semua benda. Setiap benda baik hidup maupun mati mempunyai roh atau jiwa. Roh itu mempunyai kekuatan gaib yang disebut mana. Roh atau jiwa itu pada manusia disebut nyawa. Nyawa itu dapat berpindah-pindah dan mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, nyawa dapat hidup di luar badan manusia. Nyawa dapat meninggalkan badan manusia pada waktu tidur dan dapat berjalan kemana-mana (itulah merupakan mimpi). Akan tetapi apabila manusia itu mati, maka roh tersebut meninggalkan badan untuk selama-lamanya.

 Roh yang meninggalkan badan manusia untuk selama-lamanya itu disebut arwah. Menurut kepercayaan, arwah tersebut hidup terus di negeri arwah serupa dengan hidup manusia. Mereka dianggap pula dapat berdiam di dalam kubur, sehingga mereka ditakuti. Bagi arwah orang-orang ter- kemuka seperti kepala suku, kyai, pendeta, dukun, dan sebagainya itu di- anggap suci. Oleh karena itu, mereka dihormati; demikian pula nenek moyang kita. Manusia purba percaya bahwa roh nenek moyang masih berpengaruh terhadap kehidupan di dunia. Mereka juga memercayai adanya roh di luar roh manusia yang dapat berbuat jahat dan berbuat baik. Roh-roh itu mendiami semua benda, misalnya pohon, batu,gunung, dan sebagainya. Agar mereka tidak diganggu roh jahat, mereka memberikan sesaji kepada roh-roh tersebut.

b. Dinamisme
         Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Istilah dinamisme berasal dari kata dinamo artinya kekuatan. Dinamisme adalah paham/kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak dan keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda suci itu mem- punyai sifat yang luar biasa (karena kebaikan atau keburukannya) sehingga dapat memancarkan pengaruh baik atau buruk kepada manusia dan dunia sekitarnya.

 Dengan demikian, di dalam masyarakat terdapat orang, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dan sebagainya yang dianggap mem- punyai pengaruh baik dan buruk dan ada pula yang tidak Benda-benda yang berisi mana disebut fetisyen yang berarti benda sihir. Benda-benda yang dinggap suci ini, misalnya pusaka, lambang kerajaan, tombak, keris, gamelan, dan sebagainya akan membawa pengaruh baik bagi masyarakat; misalnya suburnya tanah, hilangnya wabah penyakit, menolak malapetaka, dan sebagainya. Antara fetisyen dan jimat tidak terdapat perbedaan yang tegas. Keduanya dapat berpengaruh baik dan buruk tergantung kepada siapa pengaruh itu hendak ditujukan. Perbedaannya, jika jimat pada umumnya dipergunakan/dipakai di badan dan bentuknya lebih kecil dari pada fetisyen. Contohnya, fetisyen panji Kiai Tunggul Wulung dan Tobak Kiai Plered dari Keraton Yogyakarta. Mereka percaya terhadap kekuatan gaib dan kekuatan itu dapat menolong mereka. Kekuatan gaib itu terdapat di dalam benda-benda seperti keris,patung, gunung, pohon besar. Untuk mendapatkan pertolongan kekuatan gaib tersebut, mereka melakukan upacara pemberian sesaji, atau ritual lainnya.

c. Totemisme
Totemisme adalah kepercayaan bahwa hewan tertentu dianggap suci dan dipuja karena memiliki kekuatan supranatural. Hewan yang dianggap suci antara lain sapi, ular, dan harimau. Adanya anggapan bahwa binatang-binatang juga mempunyai roh, itu disebabkan di antara binatang-binatang itu ada yang lebih kuat dari manusia, misalnya gajah , harimau, buaya, dan ada pula yang larinya lebih cepat dari manusia. Pendeknya, banyak yang mempunyai kelebihan-kelebihan di- bandingkan dengan manusia sehingga ada perasaan takut atau juga meng- hargai binatang-binatang tersebut. Sebaliknya, banyak pula binatang yang bermanfaat bagi manusia, seperti kerbau, sapi, kambing, dan sebagainya Dalam melaksanakan upacara penyembahannya, manusia purba membuat berbagai bangunan dari batu. Masa ini disebut sebagai kebudayaan Megalithikatau Megalithikum(kebudayaan batu besar). Bangunan-bangunan tersebut masih dapat ditemui saat ini. Sarana upacara ritual manusia purba antara lain seperti berikut.
(1)   Peti kubur batu, bangunan yang berfungsi sebagai peti jenazah. Peti kubur ada yang berbentuk kotak persegi panjang, ada pula yang berbentuk kubus dan memiliki tutup dari batu bergambar (disebut juga waruga), serta ada pula yang berbentuk menyerupai mangkuk (disebut juga sarkofagus). Di dalamnya, selain jenazah, juga terdapat 'bekal kubur'.
(2)   Menhir, bangunan berupa tiang atau tugu batu sebagai tanda peringatan dan lambang arwah nenek moyang.
(3)  Punden berundak, bangunan serupa candi yang terbuat dari susunan batu bertingkat. Merupakan tempat melakukan upacara pemujaan.
(4)   Dolmen, bangunan barupa meja batu tempat meletakkan sesaji dalam memuja roh nenek moyang.

        Benda purba merupakan aset bangsa yang tak ternilai. Oleh sebab itu, peninggalan-peninggalan tersebut perlu dilestarikan.
DAFTAR PUSTAKA
Didang Setiawan, Pengetahuan sosial 1 SMP/MTs kelas VII, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
http://maalkhairaat.wordpress.com/2010/04/10/sistem-kepercayaan-masyarakat-zaman-pra-sejarah/

SISTEM TANAM PAKSA


Khairin Nisa/pis
Berdasarkan Konvensi London tahun 1814, pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah Indonesia meskipun kondisi ekonomi negara Belanda masih sangat lemah karena kas keuangannya dalam keadaan kosong. Lemahnya perekonomian pemerintah Belanda pada saat itu disebabkan oleh banyaknya utang negara Belanda terhadap luar negeri dan besarnya pengeluaran biaya perang di Eropa maupun di beberapa daerah Indonesia.
Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah Belanda untuk menutup kekosongan kas keuangan negara, satu di antaranya adalah dengan menerapkan aturan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia. Istilah tanam paksa berasal dari Bahasa Belanda, yaitu Cultuurstelsel (sistem penanaman atau aturan tanam paksa). Pencetus ide tanam paksa dan sekaligus pelaksana aturan tanam paksa di Indonesia adalah Johannes Van Den Bosch yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
            Selama periode antara tahun 1816-1830,Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan keuangan. Di bawah Gubernur Jenderal Van de Bosch, Pemerintah Hindia Belanda berusaha menutupi kesulitan keuangan itu dengan memberlakukan Cultuur Stelsel (Tanam Paksa). Adapun peraturan Tanam Paksa tersebut adalah sebagai berikut:
a. setiap desa diharuskan menanam 1/5 daritanahnya dengan tanaman seperti kopi, gula,tembakau, dan nila.
b. hasil tanaman itu harus dijual pada pemerintahkolonial dengan harga yang telah ditentukan.
c. tanah garapan untuk tanaman ekspor dibebaskan dari pajak bumi. d. kegagalan panen akan         menjadi tanggung jawab pemerintah.
e. mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama 66 hari/tahun di perkebunan milik pemerintah.Dengan ketentuan tersebut, sistem tanam paksa banyak mendatangkan keuntungan bagi Belanda. Halitu terlihat dari saldo keuntungan antara tahun 1832–1867 diperkirakan mencapai angka 967 juta Gulden. Sehingga kas negara segera terisi kembali, bahkan utang luar negeri Belanda dapat dilunasi dan sisanya dapat digunakan untukmodal usaha-usaha industri di Belanda.Akibat tanam paksa, timbullah reaksi rakyat Indonesia menentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa.
            Pada tahun1833, terjadilah huru-hara di perkebunan tebu di daerah pasuruan. Pada tahun 1848 terjadi pembakaran kebun tembakau seluas tujuh hektar di Jawa Tengah. Reaksi lain terhadap pelaksanaan Sistem Tanam Paksa juga muncul di negeri Belanda. Reaksiitu datang dari golongan humanis, yaitu orang orang yang menjunjung tinggi asas-asas etika dan perikemanusiaan, seperti Douwes Dekker (Multatuli) dalam bukunya Max Havelaar, secara terang terangan mengecam penyimpangan tanam paksadan penindasan terhadap rakyat yang dilakukan oleh pegawai Belanda dan penguasa setempat.
            Baron van Houvel sebagai pendeta melaporkan penderitaan rakyat Indonesia dalam sidang perkebunan di Negeri Belanda. Sejak saat itu banyak orang Belanda yang menentang tanam paksa, terutama anggota parlemen dari golongan liberal. Atas desakan parlemen, pemerintah Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, dan sebagai gantinya dikeluarkanlah Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870.
Pelaksanaan Aturan Tanam Paksa
Pelaksanaan aturan tanam paksa sudah dimulai pada tahun 1830 dan mencapai puncak perkembangannya hingga tahun 1850, yaitu ditandai dengan hasil tanam paksa mampu mencapai jumlah tertinggi. Dengan demikian, keuntungan tinggi dapat diperoleh pemerintah Belanda dari pelaksanaan aturan tanam paksa.
Tekanan-tekanan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia dalam upaya mencari keuntungan dari pelaksanaan aturan tanam paksa tersebut mulai menurun akibat adanya berbagai kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda yang dipandang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan.
Pada tahun 1860, sistem tanam paksa yang diberlakukan untuk menanam lada dihapuskan dan pada tahun 1865 menyusul dihapuskan untuk menanam nila dan teh. Berlanjut hingga tahun 1870, hampir semua jenis tanaman yang ditanam untuk tanam paksa dihapuskan, kecuali tanaman kopi. Akhirnya, pada tahun 1917, tanaman kopi yang diwajibkan untuk ditanam bagi rakyat di daerah Priangan juga dihapuskan.
Sejak VOC dibubarkan tahun 1799, daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda. Kebijakan 'Culture Stelsel' dilaksanakan untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia tanpa mau memperhatikan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Van Den Bosch. Secara teoritis, peraturan yang ditetapkan dalam sistem tanam paksa tidak memberatkan. Akan tetapi dalam prakteknya, banyak sekali penyimpangan yang dilakukan dalam sistem ini. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai berikut:
  1. Dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk 'cultur stelsel' adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga dan bahkan setengah dari sawah milik pribumi.
  2. Tanah petani yang dipilih hanya tanah yang subur, sedangkan rakyat hanya mendapat tanah yang tidak subur.
  3. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian.
  4. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
  5. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
  6. Penduduk yang tidak memiliki tanah dipekerjakan di perkebunan Belanda, dengan waktu 3-6 bulan bahkan lebih.
  7. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam, tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
  8. Kerusakan tanaman tetap ditanggung petani.

A. Penyimpangan sistem tanam paksa

             Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
1.   Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.
2.  Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.
3.  Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
4.    Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
5.  Bahaya kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.
          Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui
parlemen di Negeri Belanda.



B. Tokoh-tokoh penentang tanam paksa

            Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut.


1. Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
             Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.

2. Baron van Hoevell (1812–1870)
             Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.


3. Fransen van der Putte (1822-1902)
             Fransen van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.


4. Golongan Pengusaha

             Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
  • Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
  • Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
  • Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.

              Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal kolonial.

C. Dampak tanam paksa

1. Bagi Belanda
  1. Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
  2. Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
  3. Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
  4. Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
  5. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
  6. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
  7. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.

2. Bagi Indonesia
  1. Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
  2. Beban pajak yang berat.
  3. Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
  4. Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
  5. Pemaksaan bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
  6. Jumlah penduduk Indonesia menurun.
  7. Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
  8. Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
  9. Memperkenalkan teknoligo multicrops dalam pertanian.


D. Pengaruh sistem tanam paksa di masyarakat

1. Bidang Sosial
  1. Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. (Sartono, 1987: 321).
  2. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.Penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
  3. Tanam paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
  4. Peranan bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan penguasa.

2. Bidang Ekonomi
  1. Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
  2. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.(Burger, 1977: 18).

          Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya "kerja rodi" yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.
DAFTAR PUSTAKA
Iwan Setiawan, Wawasan Sosial 1: ilmu pengetahuan sosial untuk Sekolah Menengah
Pertama/MadrasahTsanawiyah, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan
Nasional, 2008.
http://buihkata.blogspot.com/2012/10/sejarah-sistem-tanam-paksa.html